BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Angklung, merupakan istrumen bambu yang dalam khasanah musik etnis Indonesia sangat mewarnai kehidupan musik tradisional di Jawa Barat khususnya di kalangan masyarakat pedesaan. 1 Awal mula saya mengenal angklung ketika masih di sekolah dasar. Sekolah kami memiliki satu paket angklung laras Salendro 2 yang hanya dipajang di kantor kepala sekolah. Pada mata pelajaran seni budaya, guru kelas enam saya menunjukan angklung dan cara memainkannya serta menceritakan sedikit sejarahnya. Angklung merupakan alat musik multitonal (bernada ganda) yang terbuat dari bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Kata angklung dapat dikatakan berasal dari bahasa sunda “angkleung-angkleungan” yang memiliki makna perpindahan pemain angklung yang sedikit bergoyang dengan langkah mengalun (seperti ombak) dan suara “klung” yang datang dari instrumen tersebut.3 Secara etimologi, angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada, dan “lung” yang berarti putus. “Long time ago, angklung was an instrument that had religious ritual function. The main function of angklung was as a medium to invite Dewi Sri (rice 1
R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), p. 423 2
Angklung memiliki empat skala tangga nada, yaitu laras Salendro, laras Pelog, laras Madenda, dan laras Degung. 3
Web resmi Saung Angklung Udjo, http://www.angklung-udjo.co.id/angklung/definition/
goddess/prosperity) to come down to the earth and gave fertility to plants. They used tritonik (three tones) angklung, tetra tonik (four tones) and pentatonic (five tones). This kind of angklung usually calls angklung buhun that means ‘the old angklung’ which had not been influenced by other elements. Until now, some villages still use angklung buhun in many ceremonies, such as pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi, etc.4 ” (“Pada masa lampau, angklung merupakan instrumen yang memiliki fungsi untuk ritual keagamaan. Fungsi dari angklung itu sendiri adalah sebagai media untuk mengundang Dewi Sri (Dewi Padi) untuk turun ke bumi dan memberi kesuburan pada tanaman. Mereka menggunakan angklung tritonik, tetra tonik dan penta tonik. Jenis angklung ini biasanya dikenal sebagai angklung buhun yang berarti ‘angklung tua’ yang belum terpengaruh dengan elemen lain. Sampai saat ini, beberapa daerah masih menggunakan angklung buhun dalam beberapa perayaan, seperti pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, haleran, turun bumi, sedekah bumi, dan lain sebagainya.”
Cerita singkat diatas menggambarkan kehadiran angklung sebagai instrumen dalam masyarakat dengan setting budaya agraris. Menurut I Ketut Yasa, masyarakat agraris untuk upaya mencapai keberhasilannya menggunakan dua jalur, yaitu yang bersifat rasional dan irrasional. 5 Jalur rasional dapat terlihat dari bagaimana mereka mengolah lahan, membuat alat-alat bantu dan lain sebagainya. Sementara jalur irrasional dapat terlihat seperti dalam paparan diatas berupa upacara baik yang bersifat permohonan maupun yang bersifat syukuran atau ucapan terimakasih. Angklung memang sudah jarang sekali ditemukan sebagai pertunjukan seni. Salah satu kesempatan saya untuk dapat menyaksikan pertunjukan angklung bisa jadi hanya pada saat Festiva l Garut, perayaan ulang tahun kabupaten Garut. Ada sekitar 10 orang berbaris di atas sebuah panggung yang masing- masingnya 4
Ibid. History of Angklung
5
I Ketut Yasa, Musik Tradisional : Dari Setting Budaya Agraris ke Budaya Industri, dalam IDEA Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan Edisi II/02. Tahun 2001. Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
2
memegang angklung. Mereka mengenakan pakaian ala orang sunda (kampret), dengan setelan baju berwarna, iket kepala bermotif batik dan ‘menyelempangkan’ sarung. Lagu yang disajikan merupakan lagu- lagu ber-genre pop Sunda. Setelah saya kuliah di Jogja dan bergabung dengan organisasi KEMAGA Jogja (keluarga mahasiswa Garut yang berada di Jogja), barulah saya memiliki kesempatan untuk memainkan angklung. Saat itu kami mencoba untuk membentuk kelompok seni dengan alat musik utama angklung dan dilengkapi dengan kulintang, kendang, biola serta gitar. Selama jangka waktu cukup lama walau tak bertahan lama, kami mulai pentas di sana-sini dengan membawa nama Jawa Barat. Sampai akhirnya masing- masing dari kami mulai sibuk termasuk saya sehingga meninggalkan kelompok angklung tersebut. Kelompok ini masih tetap eksis apabila ada panggilan pertunjukan meskipun dengan anggota dan konsep yang berbeda, namun tetap mengusung nama Jawa Barat. Pada acara ‘pesta’ penerimaan mahasiswa baru Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang biasa disebut Inagurasi, saya turut serta bersama kawan-kawan
Antropologi
Budaya
angkatan
2009
untuk
menampilkan
pertunjukan. Pada kesempatan itu, pertunjukan yang kami tampilkan memiliki tema ‘pesta panen’. Pertunjukan dimulai dengan upacara yang dipimpin oleh seorang ‘dukun’ yang tentu saja bukan dukun yang sebenarnya. Pesta dimulai setelah gendang berbunyi diikuti oleh alat musik lainnya. Kala itu, kami menampilkan pertunjukan musik bambu lengkap dengan tariannya. Salah satu alat yang juga merupakan alat musik yang berfungsi menjadi melodi bagi kesatuan alat musik lainnya adalah angklung. Angklung yang digunakan sudah merupakan satu renteng sebanyak dua oktaf dan bernada diatonik. Karena sudah merupakan 3
rentengan angklung, maka angklung ini dapat dimainkan oleh seorang diri. Melihat hal tersebut, tersirat sebuah pertanyaan apa perbedaan antara angklung yang saya mainkan bersama kelompok musik Jawa Barat dengan angklung yang dimainkan dalam pertunjukan Inagurasi 2009 ini? Ketertarikan terhadap angklung semakin tumbuh ketika saya mulai sering bergelut dalam kesenian jawa, seperti tari jogja klasik, bermain gamelan jawa dan lain sebagainya. Sungguh ironis bila saya dapat mengenal berbagai macam kesenian akan tetapi tidak mengenal kesenian dari tanah lahir sendiri. Dalam upaya menjawab pertanyaan tadi dan juga sebagai usaha lebih mengenal angklung, saya mulai mencari tahu mengenai kesenian dari tanah sunda ini. Pencarian di internet menjadi perkenalan awal saya dengan Saung Angklung Udjo. Merasa penasaran, akhirnya saya pun mengunjungi website Saung Angklung Udjo, yang selanjutnya akan saya sebut SAU, saya pun menyaksikan video melalui situs YouTube. Tak puas dengan menonton video saja, pada awal tahun 2013 saya pun berkunjung ke SAU. Saat itu saya menyaksikan Pertunjukan Bambu Petang yang menyajikan permainan angklung yang dikolaborasikan dengan alat musik bambu lainnya. Konsep yang disajikan sangat menarik karena yang memainkan angklung adalah anak-anak. Lagu yang disajikan pun bervariasi, mulai dari lagu tradisional sampai lagu pop. Ada dua tokoh yang dikenal memiliki peranan dalam memperkenalkan angklung sehingga menjadi instrumen yang boleh dikatakan mendunia, yaitu Daeng Soetigna dan Udjo Ngalagena. Daeng Soetigna menjadi pelopor keberadaan
4
angklung modern6 - kemudian diteruskan oleh Udjo Ngalagena- yang berkat ketekunannya, ia berhasil menciptakan empat skala tangga nada untuk angk lung, sehingga angklung mampu memainkan tangga nada diatonik, dan tetap hadir dalam segala skala tangga nada yang terdapat pada dunia musik etnis Sunda. 7 Karena keberhasilannya inilah, Daeng Soetigna dinobatkan menjadi Bapak Angklung Indonesia. Keberadaan SAU disini menurut saya merupakan pabrik budaya industri untuk angklung itu sendiri. Angklung yang dikemas melalui indera pendengar (audio) diusahakan dapat dikemas pula melalui indera penglihatan (visual).8 Ekspresi lainnya terdapat pada saat penonton diminta untuk memainkan nada- nada angklung yang sebelumnya dicontohkan oleh pimpinan angklung sehingga menjadi penampilan musik angklung yang sangat meriah. SAU sebagai produsen seni tidak hanya mengadakan pertunjukan angklung. Ada beberapa program SAU baik itu pertunjukan internal (di dalam komplek SAU), maupun pertunjukan eksternal. Diantaranya terdapat Pertunjukan Bambu Petang dan Setengah Hari di SAU. Kedua nya termasuk kedalam pertunjukan internal yang dilaksanakan di komplek SAU. Pertunjukan Bambu Petang 6
Angklung digolongkan menjadi angklung tradisional dan modern. Beberapa jenis angklung tradisional yaitu angklung Baduy, angklung Buncis, angklung Gubrak dan angklung Bungko. Kesemua angklung tradisional ini masih digunakan dalam upacara-upacara tradisional yang bersifat religious. Sementara angklung modern merupakan angklung yang mampu tampil sebagai ansambel musik dengan tangga nada bervariasi dan disajikan dalam rangka hiburan semata tanpa ada unsur religious. 7
R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), p. 424 8
Trustho, Aspek Audio Visual dalam Repertoar Gending Karawitan Jawa, 2006. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Trustho yang mencoba mengatakan karawitan sebagai suatu pertunjukan musik, namun poin yang saya angkat disini adalah angklung sebagai pertunjukan seni.
5
merupakan pertunjukan angklung seperti yang saya ungkapkan sebelumnya. Sementara Setengah Hari di SAU merupakan program yang diperuntukan bagi pelajar. Disini mereka diperkenalkan dengan angklung, diperlihatkan bagaimana membuat angklung, bagaimana bermain angklung dan berbagai macam pengetahuan mengenai angklung lainnya. Hal tersebut menurut saya juga merupakan kemasan yang menarik sebagai sebuah ajang hiburan serta pendidikan yang dapat mendatangkan para wisatawan. Dalam hal ini saya asumsikan kemasankemasan angklung yang diciptakan SAU sebagai produk-produk yang bersifat edutainment.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan dari latar belakang diatas, terbentuk rumusan-rumusan permasalahan yang akan menjadi topik utama dalam tulisan ini. Keberadaan SAU sebagai produsen pertunjukan seni terutama angklung menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para konsumen seni. Saung Angklung Udjo sebagai komunitas dan bahkan industri seni, terutama angklung, juga eksistensinya dalam berbagai bentuk pertunjukan maupun program-program yang ditawarkan sehingga wisatawan mendapat pengalaman audio, visual serta edukasi, menimbulkan pertanyaan Seperti apakah bentuk kemasan yang dijual SAU sebagai Industri Seni?Manakah produk yang dominan dipilih pengunjung? Lantas bagaimana produk-produk SAU tersebut
berperan dalam pembelajaran masyarakat terutama pelajar dengan
metode edutainment yang menyajikan angklung sebagai paket pendidikan dan wisata?
6
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui elemen-elemen yang ada dalam pertunjukan SAU sehingga menjadi kesatuan produk. Dalam hal ini diharapkan dapat terurainya berbagai macam elemen yang menjadi faktor penentu keberhasilan pertunjukan-pertunjukan yang diadakan oleh SAU. Selain itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode edutainment yang diterapkan SAU dengan menyajikan angklung sebagai paket pendidikan dan wisata terhadap proses pembelajaran masyarakat terutama para pelajar. Diharapkan penelitian ini dapat melihat gambaran bagaimana metode edutainment SAU yang diterapkan pada salah setiap produk yang termasuk dalam pertunjukan internal di Saung Angklung Udjo serta proses yang terjalin didalamnya. Hasil dari penelitian ini pun diharapkan akan semakin memicu Saung Angklung Udjo, baik itu manajemen maupun seniman yang tergabung untuk terus berkarya dan berkreasi sehingga memancing kehadiran para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
D. KERANGKA PEMIKIRAN Edy Sedyawati (1981) dalam Pertumbuhan Seni Pertunjukan memaparkan mengena i pengembangan kesenian tradisional. Pengembangan sebuah kesenian tidak selalu pada segi kuantitas, namun juga segi kualitas dari kesenian tersebut. Angklung sebagai salah satu instrumen tradisional disini oleh SAU dikembangkan dari kedua segi yaitu kuantitas dan kualitasnya. Perkembangan dikedua segi ini semakin menambah nilai estetis dari keberadaan angklung sendiri sebagai salah
7
satu kesenian tradisional yang bersumber dan berakar serta dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat pendukungnya dalam hal ini masyarakat Sunda. Alfred Gell (1992) menyatakan bahwa seni pada hakekatnya merupakan teknik pesona. Teknik pesona menurut Gell yang dikutip oleh Lono Simatupang dalam essay-nya yang berjudul Seni dan Agama adalah teknik-teknik yang diterapkan pada materi (gerak, suara, benda, bau, rasa) dengan tujuan agar perhatian orang-orang terserap, tertuju, terpusat, pada produk yang dihasilkan (materi atau perilaku). Pagelaran angklung di SAU juga memiliki teknik-teknik dalam upaya menarik perhatian orang-orang. Angklung sendiri merupakan salah satu teknologi pesona dalam pertunjukan seni. Adapun Lono Simatupang mengutip pernyataan Maruska Svasek yang masih sependapat dengan Gell, sebagai berikut : “Object agency is the ways an artefact is able to impact upon a viewer both in terms of evoking certain emotional states and ideas, as well as sometimes motivating them to take different types of social action.” (Svašek. 2007: 12) “Agensi suatu obyek adalah cara-cara lewat mana sebuah artefak mampu menimbulkan impak pada orang yang melihatnya, baik dalam arti mampu membangkitkan emosi dan gagasan tertentu, maupun kadang kala mampu mendorongnya melakukan tipe tindakan sosial yang berbeda.”
Lono Simatupang juga mengutip pernyataan Svasek pada bagian lainnya, yang berbunyi : “… artefacts are used by individuals and groups as pragmatic tools and performative agents to stimulate, enchant and manipulate their own and other people’s feelings and resulting behaviour.” (Svašek. 2007: 67) “ … artefak digunakan orang dan kelompok sebagai alat pragmatis dan agen tergelar untuk merangsang, mempesona dan memanipulasi perasaan mereka dan orang lain serta perilaku yang dihasilkan darinya.”
8
Dalam hal ini angklung menjadi artefak yang digunakan dalam merangsang dan mempesona serta memanipulasi perasaan orang-orang. Seiring dengan pernyataan Svasek, artefak ini digunakan orang dan kelompok dan dalam hal ini angklung digunakan oleh Saung Angklung Udjo sebagai suatu komunitas dan organisasi. Sebuah organisasi, organisasi apa pun itu, memerlukan manajemen. Menurut Bagong Kussudiardja (1993) organisasi apa pun perlu sistem dan cara pengelolaan yang baik dan benar. Jika suatu organisasi tidak secara baik dan benar maka kemungkinan besar tidak dapat mencapai tujuan dan sasarannya. Kussudiardja menyatakan pengelolaan yang paling utama di dalam organisasi seni adalah pengelolaan Sumber Daya Manusia. Mengelola organisasi seni sama dengan mengelola manusia lengkap dengan segala latar belakang karakter dan seni budayanya. (Bagong Kussuadirdja, 1993 : 57) SAU sebagai sebuah organisasi yang memiliki manajemen pengelolaan sendiri membentuk angklung sebagai sebuah kemasan seni. Keberadaan para wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik melahirkan kemasan seni khusus yang disajikan bagi para wisatawan (komunitas wisata). Adapun ciri utama seni pertunjukan wisata di Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang menurut R.M. Soedarsono (1999) yaitu : 1) Tiruan dari aslinya, 2) Singkat, padat, bentuk mini dari aslinya, 3) Penuh variasi, 4) Ditinggalkan nilai-nilai sakral, magis, serta simbolisnya, 5) Murah harganya
9
Apabila kita kembali melihat sejarah angklung yang merupakan bagian dari ritual masyarakat, angklung memenuhi kelima ciri diatas. Angklung diubah sedemikian rupa namun dalam skala yang mirip atau tidak jauh dengan bentuk aslinya, dan dengan penuh variasi serta meninggalkan nilai-nilai simbolis yang terdapat didalamnya sehingga menjadi sebuah paket wisata seni yang murah harganya. Murah disini dimaksudkan sebagai dapat dilihat oleh siapa saja yang berkenan untuk melihatnya. Perkembangan
masyarakat
dan
perubahan
kebudayaan
diungkapkan
Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pengalaman masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari masyarakat berbudaya agraris menuju masyarakat berbudaya industri. I Ketut Yasa (2001) mengutip Sri Hastanto mengungkapkan pengertian budaya industri yaitu segala sesuatu yang dititikpusatkan pada industri. Andre Hardjana (1993) juga mengungkapkan bahwa pandangan industrialisme dibangun atas beberapa asumsi dasar, seperti masyarakat pada dasarnya bersifat dinamis, selalu berubah, tidak pernah mandeg; perubahan dinamis selalu bergerak ke arah pertumbuhan dan perkembangan gerakan perubahan yang demikian merupakan cetusan sistem nilai keinginan, semangat dan cita-cita masyarakat itu sendiri; sehingga industrialisme merupakan konsep sistemik yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Pada saat ini, angklung merupakan sebuah produk yang oleh SAU dikemas sebagai paket pend idikan dan wisata. Keberadaan angklung sebagai instrumen tradisional semakin diakui dunia setelah mampu bersaing dengan alat musik lainnya terutama alat musik diatonik yang mendunia. Disini terlihat perkembangan angklung dari pelengkap ritual religi dalam masyarakat agraris
10
menuju angklung sebagai produk konsumsi dalam budaya industri. Melihat fenomena seperti ini, mengingatkan pernyataan akan konsekuensi meninggalkan tradisi lama yang dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini. Sutrisno dalam bukunya Revolusi pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa edutainment berasal dari kata education (pendidikan) dan entertainment (hiburan). Edutainment dari segi bahasa berarti pendidikan yang menghibur atau menyenangkan. Sedangkan dari segi terminologi, edutainment adalah suatu proses pembelajaran yang didesain sedemikian rupa sehingga muatan hiburan dan pendidikan dapat dikombinasikan secara harmonis. Lain halnya dengan pengertian edutainment dalam merriam-webster.com. Edutainment merupakan sebuah jenis hiburan yang didesain sehingga mengandung muatan pendidikan. Dalam hal ini, yang saya lihat ada di SAU adalah pengertian kedua yaitu entertaiment yang didesain educational. SAU sebagai sebuah organisasi seni menawarkan beberapa paket wisata di antaranya Pertunjukan Bambu Petang dan Setengah Hari di SAU. Kedua paket wisata ini menurut leaflet atau berbagai artikel lain serta video unggahan di dunia maya memiliki metode edutainment. Seperti pengertian edutainment diatas, kesemua paket wisata yang ditawarkan SAU memberi kesempatan kepada para wisatawan untuk mempelajari angklung dengan teknis yang berbeda-beda dalam setiap paketnya akan tetapi menawarkan gairah yang sama dalam belajar, yaitu menyenangkan. Untuk melihat proses edutainment yang lebih dalam lagi saya menggunakan konsep pertunjukan partisipatoris. Thomas Turino (2008) dalam bukunya Music as Social Life mendefinisikan pertunjukan partisipatoris sebagai tipe spesial dari praktik seni dimana tidak ada perbedaan antara seniman dan audiens, hanya ada
11
perbedaan peran partisipan dan calon partisipan. Adapun tujuan dari pertunjukan ini adalah melibatkan sebanyak-banyaknya orang sehingga berperan dalam sebuah pertunjukan. Sama halnya dengan SAU yang dalam setiap pertunjukannya melibatkan para penonton untuk ikut serta memainkan angklung sehingga semakin memeriahkan pertunjukan. Selain angklung, menari bersama di akhir pertunjukan merupakan bentuk partisipatoris lainnya. Kemudian mengenai hal yang berkaitan dengan hasil dari edutainment, saya bersandar pada tiga aspek penting dalam pendidikan, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Sejauh mana pertunjukan di SAU berpengaruh dalam pendidikan bisa saja dilihat dari partisipasi anak yang berkaitan dengan tiga aspek tersebut.
E. METODE PENELITIAN 1. Lokasi Lokasi dari penelitian ini adalah di komplek SAU. Tidak sulit untuk menemukan SAU, dapat ditempuh sekitar dua jam perjalanan dari Ibu Kota Jakarta. Angkutan umum yang menuju ke lokasi ini pun banyak, seperti angkutan kota (angkot) jurusan Cicaheum kemudian berhenti di jalan Suci-Jalan Padasuka. Menuju SAU kurang dari satu kilometer dari jalan raya dapat di tempuh dengan berjalan kaki. Banyak pula tukang ojek yang selalu menawarkan jasanya di bibir jalan, dengan membayar Rp. 4.000,- dan dalam beberapa menit sudah dapat sampai di lokasi SAU. Sesampainya di SAU, pengunjung disambut dengan pohon bambu yang saling berjejer dan menjulang tinggi menyerupai pagar. Sebuah papan berukuran sekitar 1 x 1,5 m bertengger manis pada tiang tinggi dilengkapi lampu rotor oranye 12
menjadi petunjuk untuk para pengunjung agar tidak ‘kebablasan’. Pos Satpam yang dihuni dua orang saling bergantian berdiri tegak tepat setelah pengunjung melewati main gate. Biasanya Pak Satpam akan menanyakan tujuan kedatangan kepada pengunjung atau tamu. Lokasi SAU ini termasuk ke dalam pemukiman masyarakat. Pemukiman di daerah Padasuka ini cukup padat. Baik bagian kanan, kiri dan bahkan bagian belakang SAU dikelilingi oleh rumah-rumah warga setempat. Sementara bagian depan SAU bersebrangan dengan warung bakso. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa SAU ini sangat dekat dengan masyarakat di sekitarnya.
Main Gate Saung Angklung Udjo Sumber : Dokumentasi Pribadi
2. Informan Pemilihan informan dilakukan untuk mendapatkan data yang mendukung penelitian ini sehingga dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Informan yang digunakan dalam penelitian ini pertama adalah seorang staf managemen SAU yang menangani bagian public relation sehingga dapat terkumpul data mengenai manajemen SAU. Kemudian dua orang seniman/musisi 13
yang termasuk dalam komunitas di SAU juga menjadi informan yang sangat membantu dalam pengumpulan data sejarah pertunjukan serta pertunjukan SAU saat ini. Dari sisi lain, saya juga menggunakan 5 penonton pertunjukan SAU sebagai informan yang paling utama guna melihat proses edutainment dalam pertunjukan SAU.
3. Teknik pengumpulan data Upaya
pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan metode kualitatif. Bogdan dan Tylor (dalam Moleong, 1990:3) menjelaskan bahwa metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis/lisan dari orang-orang serta perilakunya yang dapat diamati. Ahimsa Putra (2000:35-36) membagi telaah kesenian dalam antropologi menjadi dua bagian, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Dalam hal ini saya menggunakan pendekatan kontekstual (holistik). Pendekatan ini merupakan perkembangan dari paradigma fungsional dan struktural yaitu fungsionalisme struktural yang dikembangkan Talcott Parsons. Di sini kesenian diibaratkan sebagai sistem yang berarti sekumpulan unsur yang saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Pendekatan ini sering dilakukan dalam antropologi karena bersifat menyeluruh. Dalam hal ini, peneliti mampu melihat suatu fenomena dengan melihat kaitannya dengan fenomena- fenomena lain. Bila dihubungkan dengan pertunjukan yang ada di SAU, saya melihat fenomena edutainment dengan melihat fenomena- fenomena lainnya seperti pelaku pertunjukan dengan penonton. 14
Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dalam rangka mengumpulkan data, yaitu: a. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan sumber data tertulis yang berkaitan dan relevan sehingga menunjang penelitian ini. Tahapan ini merupakan tahap pertama yang saya lakukan dalam penelitian ini. Adapun data tertulis yang dimaksud berupa buku, artikel, jurnal, naskah baik media cetak maupun media internet. Termasuk leaflet dan halaman website yang dimiliki SAU. Hal tersebut dilakukan sebagai arahan dan pandangan pemikiran dalam menganalisa objek yang diteliti. b. Observasi Partisipasi Dalam tahap ini pengumpulan data dilakukan dengan cara berpartisipasi secara langsung dengan objek yang diteliti. Tahapan ini dilakukan di komplek SAU yaitu jalan Padasuka no 119 Bandung. Tahapan ini merupakan tahapan utama yang saya lakukan dalam proses penelitian guna mendapatkan data secara menyeluruh. Proses partisipasi saya lakukan saat latihan serta melakukan pengamatan pada saat pertunjukan maupun diluar pertunjukan. Proses obeservasi ini saya lakukan selama tiga bulan (September – November 2013) meskipun tidak menggunakan keseluruhan waktu tersebut. Karena jarak Bandung – Jogja yang tidak sedikit, proses observasi pun terpotong oleh waktu bolak-balik selama waktu tiga bulan tersebut.
15
c. Wawancara Mendalam Tahap ini dilakukan guna memperdalam pengumpulan data dengan berdiskusi dengan narasumber, baik itu dari pihak manajemen, seniman maupun penonton. Narasumber merupakan pihak-pihak informan yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun wawancara mendalam ini dapat bersifat formal dan ada pula yang sekedar ngobrol bersama.
16