BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta dan Surakarta sampai saat ini masih dianggap sebagai “daerah pusat kebudayaan Jawa”, karena di kedua daerah tersebut terdapat Keraton Jawa yang masih tetap berpengaruh bagi kehidupan orang Jawa (Tiwikromo, 2006:18). Seni dan tradisi Jawa pun (bagian tengah) pada garis besarnya mengacu pada klasifikasi dua gaya yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Kedua gaya ini sudah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Lazimnya istilah tradisi dipakai untuk menunjuk pada hal-hal yang keberadaannya diyakini telah diturunkan dari generasi ke generasi, biasanya minimal tiga generasi (Simatupang, 2013:12). Klasifikasi gaya ini mengikuti pola kontrak politik pada masa silam. Pada tanggal 13 Februari 1755 dicapai kesepakatan antara Sunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi. Isi perjanjian itu bahwa Pangeran Mangkubumi diberi separuh kerajaan Mataram dengan ibukota di Yogyakarta. Perjanjian ini dalam sejarah disebut dengan Perjanjian Giyanti atau Babad Palihan Negari (Kustiniyati, 1982:53). Babad Palihan Negari atau Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Sebuah perjanjian yang pada pokoknya “membelah negara” atau membelah negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwono I, dengan ibukota Ngayogyakarta.
1
Pangeran Mangkubumi resmi menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati
Ing
Ngalaga
Khalifatullah
Ngabdurrahman
Sayiddin
Panatagama Ingkang Jumeneng Ing Negari Yogyakarta Hadiningrat Ingkang Jumeneng Sepisan. Orang umum lebih mengenal dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I.Pada tanggal 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwono I mulai menempati Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, setelah sejak 5 April 1755 dimulai pembukaan Hutan Pabringan. Penyelesaiannya ditandai dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 J dan yang mengungkapkan makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal (artinya: Hakikat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (yang berarti: Kepribadian). Selanjutnya tanggal 7 Oktober itu diperingati sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta (Damardjati, 1993: 76). Berkaitan dengan hal tersebut Soedarsono (1991:144) mengatakan bahwa atas persetujuan Pakubuwono II, Hamengkubuwono I melestarikan dan mengembangkan tari gaya Mataram di Kasultanan Yogyakarta. Dari sinilah lahir istilah Joget Mataram yang merupakan dasar tari klasik gaya Yogyakarta. Sementara itu Susuhunan Pakubuwono II menciptakan gaya tari baru yang bercorak dinamis dan romantik (Kuswarsantya, 1997:54).Semenjak menjadi Sultan Hamengku Buwono I, beliau memprakarsai pengembangan kesenian. Dalam bidang seni tari, terciptalah Beksan Lawung, Beksan Sekar Medura, Beksa Etheng,danWayang Wong. Kekuasaan Jawa dibangun dengan menggunakan legitimasi religio magis. Mengungkap permasalahan kehidupan Keraton tidak dapat dipisahkan dari
2
persoalan sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah melihat wujud kekuasaan tradisional Jawa dengan sejumlah konsep yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Suatu cerminan hubungan patron-client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti, (Ricklefs, 1974:16). Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755 Mataram telah terbagi dua (Condronegoro, 1995:63). Pulung sebagai sumber kepemimpinan diyakini hanya melekat pada satu orang. Pulung atau wahyu tidak terbagi-bagi dan tetap utuh wujudnya. Dengan demikian seseorang yang telah mendapatkan pulung kepemimpinan itu tidak mempunyai kewajiban moral bagi dirinya untuk mengadakan distribusi wewenang. Mereka percaya bahwa kepemimpinan yang terbagi-bagi akan mengganggu harmoni alam. Kepemimpinan yang otoriter diperkenankan asal tetap pada landasan ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana, yang berarti berbuat adil dan bijak seperti sifat dewa, serta membuat kebaikan di dunia. Manusia dan masyarakat mempunyai hubungan timbal balik dengan alam sekitarnya. Di atas telah diterangkan bahwa kekuasaan negara berasal dari manusia atau rajanya sendiri dan dapat pula berasal dari rakyat. Meskipun demikian sebagaimana telah disinggung dalam contoh-contoh terdahulu bahwa
3
berhasilnya seseorang menduduki tahta kerajaan tidak hanya disebabkan oleh kedua unsur tersebut, tetapi juga oleh ketentuan dari Tuhan sesuai dengan dharma dan karyanya. Masyarakat Jawa percaya bahwa seorang dapat menjadi raja, jika ia mendapat wahyu Keraton atau pulung (Sunoto, 1983:47). Aspek magis religius tersebut juga terkait dengan tari yang dipentaskan di Keraton Jawa.Kedudukan tari dalam kebudayaan Jawa, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta menjadi penting. Seni tari dalam pandangan Hadi (2005:13) sebagai ekspresi manusia yang bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat independen. Secara tekstual tari dapat dipahami dari bentuk dan teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk dan penataan koreografinya) atau teknik menarinya, sementara dilihat dari kontekstual tari adalah bagian imanen dan integral dari dinamika sosial dan kultural masyarakat. Tari penting karena komunitas nasional dan lokal menggunakannya untuk mewakili diri mereka sendiri kepada diri mereka sendiri dan kepada orang lain. Ini bagian dari suatu politik representasi, tetapi kontras dengan simbol-simbol material lainnya, ini diwujudkan (Hugghes-Freeland, 2009:1). Demikian ketika sebuah produk budaya yang secara tekstual disebut Bedhaya dipagelarkan oleh Keraton Yogyakarta. Perangkat kontekstual sangatlah menarik untuk disimak. Secara umum bedhaya merupakan salah satu genre tari yang disebut klasik yang dilahirkan oleh beberapa lembaga pemerintahan feodal tradisional di Indonesia. Di bekas pemerintahan lama seperti halnya di Kasunanan Surakarta kita mengenal beberapa bentuk tarian Bedhaya. Demikianlah halnya di Mangkunegaran, Paku Alaman dan tentu saja Yogyakarta. Masing-masing pusat
4
kebudayaan Jawa ini mempunyai tarian sakral yang bertujuan untuk mengokohkan eksistensi kekuasaan. Eksistensi tari Bedhaya terkait erat dengan usaha untuk memberi eksistensi dan legitimasi atas kekuasaan Keraton. Masing-masing Keraton memiliki berbagai jenisBedhaya.
Di
Kasunanan
Solo
dikenal
adanya
BedhayaKetawang,BedhayaLala, di Mangkunegaran dikenal adanya Bedhaya Bedhah Madiun,Bedhaya Surya Sumirat, di Paku Alaman ada BedhayaAngron Akung sedangkan di Kasultanan Yogya dikenal beberapa nomor Bedhaya seperti Bedhaya Ngambar Arum,Bedhaya Sinom, Bedhaya Semang dan lain-lain. Ia ditarikan oleh sembilan orang penari wanita (beberapa judul bedhaya ditarikan tujuh orang penari). Diartikan bahwa jumlah angka sembilan dalam bedhaya melambangkan sembilan lubang dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan Keraton yang memiliki sembilan pintu masuk. Komposisi sembilan yang diasosiasikan sebagai struktur tubuh manusia yang terdiri dari satu hati, satu kepala, satu leher, dua telinga, satu dada, dua tungkai dan satu organ seks. Angka sembilan juga diartikan untuk sembilan wali dan sembilan arah mata angin (Soedarsono, 1981:25). Bermacam-macam jenis tari yang telah dipentaskan dalam aneka forum upacara adat. Di Keraton Yogyakarta bedhaya pada umumnya dipagelarkan dalam rangka penobatan sultan atau peringatan hari jadi penobatan sultan yang sedang memerintah. Penampilan bedhaya menjadi bagian penting dalam keseluruhan acara peringatan penobatan yang biasa dilakukan di Bangsal Kencana ataupun Pagelaran Keraton Yogyakarta, sebutan tempat semi terbuka yang berada di
5
bagian depan Keraton Yogyakarta. Dimana dalam pagelaran tersebut publik umumnya dapat menontonnya lewat jeruji pagar Keraton yang membatasi antara Keraton dengan Alun-alun Utara. Upacara tersebut biasanya dilaksanakan setahun sekali dalam hitungan tahun Jawa. Pagelaran bedhaya merupakan bagian dari upacara adat Jumenengan. Bedhaya dipagelarkan malam hari dengan dihadiri oleh para bangsawan kasultanan, pejabat daerah, rekanan sultan dan lain-lain. Sebagai tarian yang memiliki tingkat sosial tertinggi, penari bedhaya terdiri dari para perempuan yang telah dilatih dengan mengikuti syarat-syarat khusus. Pada waktu dulu penari bedhaya ini tinggal di Keraton dengan mendapat fasilitas serta kesejahteraan yang memadai. Seiring dengan perkembangan jaman, eksistensi penari bedhaya dalam Keraton Yogyakarta juga mengalami perubahan.
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah eksistensi bedhaya sebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia di Keraton Yogyakarta?
2.
Bagaimanakah fungsi bedhaya sebagai tarian perempuan dalam memberi legitimasi atas kekuasaan Keraton Yogyakarta?
3.
Bagaimanakah perubahan para penari bedhaya di Keraton Yogyakarta dari masa ke masa?
4.
Bagaimanakah konstruksi bedhaya sebagai tarian perempuan terkait dengan perubahan sosial di era globalisasi?
6
C. Tujuan Penelitian 1.
Menjelaskan eksistensi bedhaya sebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia di Keraton Yogyakarta.
2.
Menjelaskan fungsi bedhaya sebagai tarian perempuan dalam memberi legitimasi atas kekuasaan Keraton Yogyakarta.
3.
Menjelaskan perubahan para penari bedhaya di Keraton Yogyakarta dari masa ke masa.
4.
Menjelaskan relevansi bedhaya sebagai tarian perempuan terkait dengan perubahan sosial.
D. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori yang berhubungan dengan konsep sakral dan profan. Di mana setiap agama ataupun keyakinan memiliki konsep tentang keduanya. Persoalan sakral dan profan hanya dapat dipahami dalam tataran perasaan, karena masalah sakral dan profan lebih pada konsep intuitif dan temporer.
Hal
tersebut
terkait
dengan
konteks
bagaimana
masyarakat
menempatkannya (Cailois, 2001:42). Bedhaya: tarian perempuan dalam pertunjukan regalia termasuk dalam jenis folklor. Para ahli folklor tidak sekadar mengumpulkan materi kajiannya untuk didokumentasikan. Mereka juga melakukan analisis. Dalam rangka analisis itulah berperan teori, yakni asumsi-asumsi yang digunakan untuk memahami temuan dalam kajian. Seiring dengan semakin dewasanya disiplin ini, teori-teori
7
yang digunakan dalam analisis folklor pun juga berkembang (Simatupang, 2013:21). Aktivitas spiritual orang Jawa dilakukan dengan bentuk mesu budi dan melakukan asketis.Mesu budi berarti mencari dengan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan karakter dan pribadi yang baik.Kegiatan orang Jawa Kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi, menurut meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan pada tempattempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam leluhur, ruang yang memiliki nilai keramat dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1984:37). Pada umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan. Penelitian terhadap bedhayaini secara khusus ditinjau dari segi ideologi manusia Jawa, masyarakat yang masih hidup dalam bayang-bayang Kasultanan Yogyakarta, di mana mereka masih tetap menyimpan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan keberadaan mahluk-mahluk supranatural dan kekuasaan yang ada di dunia ini dalam sistem kepercayaan mereka. Pandangan-pandangan tersebut mengandung suatu makna yang dalam dan mempunyai keeratan hubungan dengan konsepsi manusia Jawa tentang dunia (Tiwikromo, 2006:5). Mitologi Kanjeng Ratu Kidul digunakan sebagai kerangka acuan dan sarana kontrol
bagi
penguasa
Kasultanan
Yogyakarta
dalam
menjalankan
pemerintahannya. Bedhaya menjadi sarana politik representasi hubungan antara para Sultan dengan Kanjeng Ratu Kidul (Tiwikromo, 2006:84).
8
Dalam konteks keberadaannya, Bedhaya: Tarian Perempuan Dalam Pertunjukan Regalia, menjadi sarana untuk mengkonstruksikan tubuh dan indera. Bagaimana tubuh dinilai secara sosial dan ditentukan (Synnott, 1993:408). Disiplin atas teknologis puitis atas tubuh untuk menjadikan individu patuh dan berguna (Foucault, 1997:74). Namun ekspresinya tetap berdasarkan pada nilai spiritual. Sejak dulu kala Keraton-Keraton di Jawa menjalankan adat dengan mementaskan tari bedhaya sebagai sarana ungkapan spiritual. Jika di Keraton Kasunanan Solo masyarakat mengenal satu nomor bedhaya yang dianggap paling sakral yaitu Bedhaya Ketawang, di Keraton Kesultanan Yogyakarta dikenal BedhayaSemang sebagai satu nomor bedhaya yang dianggap paling tua dan paling sakral. Ia diyakini diciptakan oleh Sultan Agung yang memerintah pada tahun 1613-1646. Legitimasi kekeramatan BedhayaSemang disitir oleh Soedarsono (1981: 98) dari Babad Nitik milik Keraton Yogyakarta. Dikatakannya bahwa BedhayaSemang merupakan gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama Semang diberikan oleh Sultan Agung. Data semacam ini juga ditulis dalam manuskrip Babad Sultan Agung milik proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Dalam pandangan Hadi (2005:82) “Tari-tarian yang bersifat tematis selalu menghadirkan mitos dengan tokoh-tokoh mitosnya menjadi bagian integral dari tari. Kehadiran mitos memperteguh keberadaan tari sebagai sarana hubungan antara kekuatan supranatural dengan penguasa”. Sejalan dengan pandangan Tiwikromo, bahwa keberadaan mitos dalam suatu masyarakat seringkali mempunya jalinan kait-mengkait dengan praktik kekuasaan yang ada.
9
Mitos dapat digunakan sebagai sarana pendukung ataupun sarana untuk melegitimasi kekuasaan (Tiwikromo, 2006:15). Secara naratif tarian ini berbicara tentang hubungan antara tokoh mitos Jawa Kanjeng Ratu Kidul, dengan para sultan penguasa Keraton Yogyakarta. Secara maknawi penyelenggaraan tarian bedhaya
ini
merupakan
upaya
untuk
mengaktualisasi
harmoni
antara
mikrokosmos dan makrokosmos. Tari bedhaya dalam Keraton dianggap sebagai pusaka yang amat penting dan dipercaya daya tuahnya. Bahwa pusaka dan nenek moyang merupakan kultus yang sentral dalam pandangan masyarakat Jawa, hal ini bisa dilihat dari pandangan para penulis babad yang selalu memitoskan tokoh-tokoh sejarah yang ditulis sebagai pemilik pusaka (Kartodirdjo, 1987:150). Dilansir oleh Sudarsono bahwa menurut Pangeran Suryobrongto tari BedhayaSemang adalah tarian sakral. Ia dipercaya sebagai satu pusaka Sultan Yogyakarta yang diwariskan oleh raja terbesar dinasti Mataram. Penempatan sakral ditampakkan melalui tempat pagelaran, yaitu Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta, salah satu tempat yang memiliki previlege tertinggi karena disitulah tempat raja bertahta (Soedarsono, 1981:76). Sebagai pusaka Sultan, penampilan BedhayaSemang diawali keluarnya sembilanBedhaya dari dalam Bangsal Prabayaksa, tempat penyimpanan pusaka Sultan, kemudian menuju teras Bangsal Kencana untuk selanjutnya dengan iringan musik gamelan menuju tengah Bangsal Kencana. Perilaku pensakralan diberikan baik pada naskah, tarian, penari, busana maupun prasarana yang menyertai kehadiran bedhaya seperti sesaji dan ritus-ritus yang tidak biasa diadakan bagi bedhaya-bedhaya yang lain. Seperti halnya ritual
10
pengorbanan di Pantai Parang Kusumo dan Gunung Merapi yang harus diikuti oleh seluruh personil yang menjadi bagian dari pagelaran. Alasan harus ‘bersih’ ketika menjalankan tugas sebagai bedhaya sempat menghantarkan beksan Bedhaya (bukan saja BedhayaSemang) untuk ditarikan oleh penari laki-laki (transvesty). Di mana kemudian memunculkan istilah abdi dalem Bedhaya kakung untuk menyebut kelompok penari laki-laki muda usia yang bertugas menarikan tari Bedhaya. Sedangkan kelompok penari bedhaya putri tetap ada, tetapi mereka hanya tinggal di Keputren melayani raja dan pembawa pusaka raja dalam upacara kerajaan (Soedarsono, 1981). Hal tersebut berlangsung dari masa HB V sampai dengan masa HB VII. Dengan demikian sakralitas bedhaya sebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia berlangsung terus. Hal ini terkait dengan usaha untuk memperkokoh Keraton dalam bidang spiritual dan politik kebudayaan. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam penulisan tentang kegiatan tari. Dalam penelitian-penelitian tari sejenis sebelumnya lebih banyak mengungkap makna artistik, filosofi dan fungsi tentang tari bagi masyarakat pemilik produk yang bersangkutan, walaupun tidak lepas kemungkinan telah banyak peneliti yang melihat keberadaan sebuah tari secara “mengkonteks”. Maka dari itu di sini penulis ingin menambah koleksi penelitian terhadap keberadaan sebuah tari melalui proses dinamikanya.
11
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan dengan maksud agar diketahui tentang deskripsi dan analisis yang telah dilakukan oleh pengkaji sebelumnya. Penelitian tentang tarian Bedhaya sebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia disadari belumlah banyak. Maka dari itu penulis menyusun dari berbagai pustaka tentang bedhaya agar dapat memberi gambaran tentang bedhaya tersebut baik secara tekstual maupun secara konteksnya baik yang secara langsung mengenai bedhaya tersebut maupun kehidupan disekitarnya. Dari disertasi R.M. Soedarsono (1981) yang berjudul Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta banyak diperoleh data tentang kedudukan, keadaan dan gambaran deskriptif tentang tari-tarian di Keraton Yogyakarta. Sejarah yang diungkapkan oleh R.M. Soedarsono dalam bukunya tersebut memberi gambaran bagaimana perjalanan Bedhaya (secara umum) dari jaman sultan-sultan tertentu. Menurut babad nitik bahwa BedhayaSemang diciptakan bersama oleh Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa tarian BedhayaSemang diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul sedang nama Semang diberikan oleh Sultan Agung, kemudian disimpulkan bahwa BedhayaSemang sebagai tarian yang paling sakral dan memang jarang dipagelarkan. Data-data yang dicatat dapat disinyalir bahwa BedhayaSemang beberapa kali dipagelarkan ketika negara dalam keadaan sulit, seperti halnya pada zaman Sultan HB IV, HB VII. Dengan alasan menjaga kesucian dan kebersihan (ritual) bedhaya pada umumnya dan BedhayaSemang pernah ditarikan oleh penari laki-laki. “Penari Wanita Keraton: Dulu dan Kini” tulisan Theresia Suharti sudah jelas memberikan
12
gambaran bagaimana kehidupan para penari wanita Keraton. Khususnya Keraton Yogyakarta, pada masa-masa yang telah lalu. Dikatakan bahwa para penari wanita mulai memasuki Keraton untuk dididik sebagai penari sejak mereka berusia 10 tahun. Mereka kemudian ditempatkan di Keputren dan tidak mengikuti pendidikan sekolah umum seperti yang diterima para gadis lain di luar Keputren. Pendidikan yang diterima tidak saja dalam hal tari tetapi juga perilaku dan budi pekerti sehingga gadis-gadis ini memiliki kualifikasi sebagai perempuan bangsawan Keraton. Dalam tulisannya juga disinggung tentang kedudukan sosial para gadis tersebut yang kemudian tergabung dalam abdi dalem bedhaya, bagaimana mereka memperoleh status sebagai abdi dalem bangsawan yang lebih tinggi dari pada abdi dalem lainnya tetapi juga tetap berbeda dengan para bangsawan putri yang memperoleh gelar karena keturunan.Disadari bahwa sampai saat ini penulis belum pernah menemukan literatur yang dapat memberikan gambaran yang holistik tentang BedhayaSemang. Manuskrip tentang tarian tersebutpun sangat sulit diperoleh, baru menjelang latihan bedhaya tersebut penulis memperoleh gambaran. Tesis yang berjudul Bedhaya di Pura Paku Alaman Pembentukan dan Perkembangannya 1909-1987, hasil penelitian dari A.M. Hermien Kusmayanti banyak memberikan gambaran tentang sejarah perjalanan jenis tarian yang sama di Pura Paku Alaman. Dalam tesisnya tersebut A.M. Hermien Kusmayanti merunut latar belakang diciptakannya tarian Bedhaya di Pura Paku Alaman, yaitu
13
dalam periode penguasaan Sri Paku Alam VII. Kemudian ia mengulas perjalanannya hingga masa Paku Alam VIII. Munculnya bedhaya di Pura Paku Alaman dianggap sebagai reward yang diterima dari Kasunanan Surakarta. Bedhaya di pura tersebut dihadirkan sebagai dukungan politik pada masa Paku Alam VII yang mengalami kemerosotan. Sunan Paku Buwono X memberikan dukungan dengan isyarat melalui bedhaya yang disertakan dalam upacara Jangan Menir di Pura Paku Alaman ketika menikahkan putrinya yaitu B.R.A. Retna Puwasa dengan Paku Alam VII. Bedhaya tersebut disebut Tejanata yang berarti sinar raja. Sementara itu, keberadaan lembaga penarinya abdi dalem bedhaya, dipandang tidak perlu dan kurang menguntungkan untuk dibentuk, maka Paku Alam pun memerintahkan putri-putrinya yang telah berangkat remaja untuk berlatih tari Bedhaya. Mengenai fungsinya, tarian Bedhaya mengalami perkembangan. Di samping tampil untuk kepentingan acara ritual seperti peringatan penobatan Sri Paku Alam, bedhaya juga ditampilkan untuk acara kenegaraan bersama dengan tari-tarian yang lainnya. Pada kesempatan tersebut Hermien Kusmayanti menyebutnya sebagai fungsi bedhaya mengarah pada seni sekuler. Masukan pustaka selanjutnya Djajang Purwa Sedjati yang berjudul BedhayaKetawang: Ragam Hias dan Makna Simbolisnya. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat memperoleh derajat Sarjana S-2 dalam ilmu-ilmu Humaniora program studi Kajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada tahun 2004. Dalam penelitiannya tersebut ia menguraikan tentang makna simbolis
14
dan fungsi dari ragam hias busana tari BedhayaKetawang. Diketahui bahwa BedhayaKetawang merupakan satu nomor bedhaya yang dianggap paling sakral di
Kasunanan
Surakarta.
Dalam
tulisannya
dikatakan
bahwa
BedhayaKetawangberfungsi sebagai ritual, meditasi, penobatan raja dan ulang tahun penobatan raja jugasebagai sarana kesuburan. Ia juga menceritakan sinopsis bedhaya tersebut yang bertutur tentang hubungan mistis antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Sasi atau Kanjeng Ratu Kidul. Wujud busana tari BedhayaKetawang berupa dodot ageng bagun tulak alas-alasan, tapih dalam model samparan cinde cakar, sonder cinde sekar, paes ageng dandang gendhis, tatanan rambut gelung bokor me ngk ure p dan perhiasan yang disebut raja Keputren. Dalam kajiannya diuraikan tentang maknamakna filosofis yang terkandung dan juga relasinya terhadap acara yang melatar belakangi pagelaran tarian tersebut. Pada kesimpulannya ia berpendapat bahwa ragam hias pada busana tari, jenis tata rias dan perhiasan memiliki makna simbolis yang memperlihatkan tujuan dipagelarkannya tarian BedhayaKetawang tersebut sebagaimana fungsinya sebagai legitimasi keberadaan raja. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, tulisan Darsiti Suratmanyang diterbitkan oleh Yayasan Untuk Indonesia memberikan stimulan dan gambaran paradigma kehidupan di dalam areal fisik simbol keberadaan pemerintahan feodal/tradisi, yaitu Keraton. Dalam pandangan Darsiti Suratman bahwa sebagai bangunan fisik Keraton tidak hanya berkedudukan sebagai pusat politik dan kebudayaan, melainkan juga sebagai pusat magis kerajaan. Raja menurutkonsepsi pemikiran Jawa berkewajiban membuat kehidupan dan kegiatan
15
dalam mikrokosmos selaras dengan makrokosmos. Oleh rakyatnya raja dianggap sakral, magis, demikian pula dengan benda-benda yang dimilikinya (Suratman, 2000:7). Tulisan Darsiti Suratman lebih menekankan pada arti Keraton sebagai entitas sosial berupa masyarakat yang didalamnya terjadi interaksi sosial baik individu maupun kolektif. Sebagai suatu komunitas Keraton mengadakan komunikasi dengan komunitas lain di luar dunia Keraton. Hubungan sosial ini dilakukan makin banyak setelah Sunan yang berkuasa bersikap menerima pendudukan Barat (Suratman, 2000).Hubungan dengan dunia Barat tersebut menghantar Keraton pada situasi yang kritis sehingga terjadilah barokisasi peradaban, merupakan upaya penguasa tradisional menonjolkan upacara ritual sebagai simbol kekuasaan raja sebagai pelarian atas hilangnya kedaulatan atas politik, ekonomi dan yuridiksi. Dalam masa tersebut kegiatan seni budaya dan upacara ritual berkembang dan mengalami kejayaan baik secara artistik maupun pembiayaan. Di Keraton Surakarta hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan Paku Buwono X yang berkuasa pada tahun 1897-1939. Keadaan yang sama juga terjadi di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan VIII yang berkuasa pada interval waktu dalam era yang sama. Pengkajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memahami proses pemaknaan dari sebuah tari. Dimana dipahami bahwa suatu bentuk seni tradisi merupakan suatu wujud kebudayaan yang terikat ruang dan waktu dengan masyarakat pemiliknya. Ketika melewati masa ia dipahami melalui proses yang pemaknaannya tidak pernah seragam. Penghayatan makna, teknik
16
artistik, kandungan nilai moral, dan makna sosial berkorelasi secara dinamis dengan konteks masa di mana seni tersebut hadir. Man and The Sacred, tulisan Roger Caillois banyak menjelaskan tentang pengertian sakral dan profane yang tidak saja memiliki hubungan timbal balik, tetapi keduanya juga memiliki yang sama (sejajar), bahkan hubungan keduanya bersifat berlawanan atau dikotomis. Persoalan sakral erat terkait dengan mitos. Mitos dipahami sebagai dogma yang didalamnya memuat isi-isi mantra, ucapanucapan atau doa. Sedangkan proses ritual yang dilakukan akan mencerminkan kualitas suatu mitos. Dilanjutkan dengan pandangan Caillois yang memandang bahwa sakral dan profane memiliki kekuatan arti yang ambigu.Keduanya tidak mengandung arti antagonis, melainkan cenderung berlawanan dengan religi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan secara komprehensif mengenai keberadaan sebuah tarian sakral di bekas pemerintahan feodal tradisional. Secara umum akan memberikan wawasan bagi masyarakat bagaimana perjalanan sebuah tarian yang disebut sakral dan bagaimana para pendukung kegiatan tersebut memahami dan menjalankannya. Kajian tentang pemaknaan pada sebuah pagelaran tari Bedhaya ini ditujukan pada konteks sosial budayanya. Pagelaran tari Bedhaya Semang 2002 adalah sebuah bentuk pagelaran yang dilaksanakan sebagai bagian dari peringatan penobatan Sultan HB X sebagai raja di Keraton Yogyakarta atau yang biasa disebut dengan jumenengan. Jumenengan dilakukan setiap tahun sekali dalam hitungan tahun Jawa. Perlu diutarakan juga bahwa peringatan jumenengan dewasa ini belum tentu setahun sekali diadakan, sampai saat ini alasan yang penulis ketahui adalah faktor
17
keterbatasan dana dan waktu, mengingat dewasa ini kepengurusan Keraton sebagai struktur tradisional terpisah dengan kepengurusan kelembagaan sultan sebagai pejabat publik. Pagelaran yang diadakan dengan persiapan panjang ini memiliki makna tersendiri bagi para pelakunya, terutama bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam pagelaran dan jumenengan tersebut. Makna yang terbentuk ternyata mampu menggerakkan dan mempengaruhi sebagian masyarakat yang terlibat. Masyarakat tidak hanya memberikan sumbangan berupa tenaga dan materi saja bahkan upaya-upaya yang membutuhkan pengorbanan bagi pelaksanaan pagelaran tersebut. Memahami bedhaya, mendefinisikan makna sakral, suci dan keramat serta bagaimana mematuhi persyaratan-persyaratan yang ketat bagi orang-orang yang terlibat dalam bedhaya, sama halnya memahami dan mendefinisikan kehidupan dalam konteks ruang yang berjalan mengikuti sejarah. Mendefinisikan fenomenafenomena di atas merupakan definisi dengan paradigma yang berpentas dalam konteks ruang dengan pengaruh perjalanan budaya manusia. Menarik dalam hal ini adalah bagaimana sesuatu yang dalam benak masyarakat merupakan hal yang sakral muncul kembali dalam ruang, waktu dan pelaku sekarang. Tradisi selalu hilang dan ditemukan (Lindsay, 1991:7). Tidak berlebihan apabila Sumardjo (2006:25) telah mengungkapkan adanya arti penting seni dan filsafat Indonesia yang dikaitkan dengan konsep estetika. Sedangkan Caillois dalam bukunya yang berjudul Man and the Sacred (2001:19) telah menjelaskan secara umum tentang hubungan antara sesuatu yang sakral dengan sesuatu yang profan.
18
Hal ini mengingat bahwa ruang dan waktu tidak hanya berjalan menuruti angka dalam kalender penanggalan tetapi juga melintas saat dan keadaan yang dipengaruhi dinamika sosial budaya. Ruang dan waktu bukan hanya lingkungan (environment) atau tempat berlangsungnya praktik sosial dan sebagai salah satu faktor tidak tetap, tetapi ruang dan waktu secara integral turut membentuk kegiatan. Berdasarkan catatan dari kepustakaan di atas, dapat dinyatakan bahwa studi atas bedhaya sebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia masih memerlukan telaah lebih lanjut. Pendalaman secara antropologis terhadap bedhaya akan diperoleh pemahaman yang terbuka dan toleran tentang fenomena kebudayaan yang majemuk.
F. Metode Penelitian Dari permasalahan dan paparan ruang lingkup yang hendak dikaji, pada dasarnya studi ini bersifat kualitatif. Dalam sebuah studi kualitatif, pendekatan emic yang mengutamakan pengetahuan terhadap subjek yang diteliti mendapat perhatian yang besar. Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya keterlibatan aktif penulis sebagai penari dapat dipandang sebagai segi yang menguntungkan dalam penelitian ini. Posisi tersebut memberi kemudahan bagi penulis untuk melakukan observasi-partisipasi maupun wawancara mendalam tentang subjek penelitian. Metode penelitian sangat terkait dengan permasalahan atau perspektif penelitian (Simatupang, 2013:23). Terkait dengan hal tersebut, metode penelitian terhadap bedhaya sebagai tarian perempuanini metode interpretasi.Metode ini dilakukan dengan segala macam penelitian akan berhadapan dengan kenyataan.
19
Kenyataan berbentuk gejala, yaitu sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa (Bakker dan Zubair, 1994:41-54). Seluruh hasil penelitian harus diuraikan dengan bahasa. Ada kesatuan mutlak antara bahasa dan pikiran. Hanya dengan dieksplisitasikan, suatu pengalaman yang tidak sadar dapat mulai berfungsi dalam pemahaman. Mengucapkan suatu pengertian biasa melahirkan pemahaman baru. Pemahaman tokoh hanya mungkin dilakukan dengan melihat hubungan tidak hanya di antara ide, melainkan juga dengan manusia lain serta dengan alam sekitarnya. Hubungan dalam hidup manusia terutama bersifat vital dan komunikatif, yang satu mempengaruhi yang lain. Memahami sesuatu itu terjadi, sebab
peneliti
mengerti
relasi-relasi
dan
fungsi-fungsinya
terhadap
lingkungannya. Namun demikian, walaupun tidak ada hubungan vital dengan banyak hal atau orang di sekitarnya, toh hanya dengan usaha membuat komparasi saja sudah dapat membantu untuk lebih memahami objek penelitian (Bakker dan Zubair, 1994:50). Makna etik antropologis dalam bedhayasebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan yang berasal dari sumber-sumber lain tentang hal yang sama, terutama dalam hal ide-ide pokok. Metode
hermeneutik
menjelaskan
penafsiran
terhadap
fenomena
antropologis yang dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya sendiri di tengah-tengah sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran, serta cara mengerti sebuah teks yang turut dihasilkan tradisi. Selain itu sebuah pemahaman juga ditentukan oleh individualitas dan masyarakatnya.
20
Penafsiran terjadi sambil meleburkan cakrawala masa silam dan masa kini. Penafsir harus memahami teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasinya sendiri (Luxemburg, 1986:62-63). Metode selanjutnya yang diterapkan dalam penelitian bedhayasebagai tarian perempuan dalam pertunjukan regalia ini adalah metode sintesis, sehingga diperoleh suatu pemahaman yang utuh. Keterpaduan dalam menerapkan metode penelitian ini diharapkan dapat mencapai hasil yang sistematis, terarah, rasional, dan maksimal. Penelitian dilakukan dengan melihat proses perjalanan dan keberadaan bedhaya secara umum. Hal ini dilaksanakan di tempat-tempat pementasan tari tersebut baik di dalam maupun di luar Keraton.Sedangkan untuk mengamati proses pagelaran bedhaya yang dianggap sakral,tentunya pengamatan utamanya dilaksanakan di Keraton Yogyakarta. Bagi masalah yang penulis kemukakan Keraton Yogyakarta merupakan tempat di mana sebagian besar proses produksi bedhaya tersebut berlangsung. Di lokasi ini pengamatan dipusatkan di tempat-tempat seperti sekitar Bangsal Srimanganti sebagai lokasi latihan bedhaya berlangsung. Kemudian di sekitar tempat yang disebut Sekar Kedaton yaitu tempat persiapan para penari sebelum menari di Bangsal Kencana. Banyak data yang penulis dapatkan di tempat-tempat diadakannya ritual sebelum mulai proses latihan seperti Pantai Parang Kusumo, Imogiri, Kotagede, dan Gurung Merapi, maka dari itu di tempat-tempat ini layak penulis ajukan sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian difokuskan sebelum pagelaran yaitu masa persiapan, ketika pelaksanaan kegiatan pagelaran dan setelah pagelaran tersebut (untuk
21
memperoleh data kesinambungan atas proses yang mereka jalani). Sementara pengamatan terarah telah penulis lakukan sejak mulainya produksi sebuah bedhayayang dianggap sakral yaitu tahun 2001, kegiatan latihan, saat pagelaran, hingga saat ini (untuk memperoleh data dampak lanjut dari kegiatan yang dilakukan pada saat sebelumnya). Dalam melaksanakan penelitian penulis akan dan telah menempuh beberapa metode antara lain partisipasi observasi, wawancara mendalam, life history, dan studi pustaka. 1. Partisipasi Observasi Langkah partisipasi observasi telah penulis lakukan sejak mulainya latihan yaitu tahun 2001, di sini penulis memperoleh catatan penting untuk mendukung penelitian selanjutnya. Tak kalah porsinya juga, penulis mengamati dan menggali ingatan atas pentas-pentas bedhaya di luar Keraton yang penulis ikuti. Penulis telah mengamati pola-pola perilaku mereka, komentar dan rasanan, mencatat aktifitas dalam persiapan pagelaran. Penulis juga mencatat konsentrasi yang dipersiapkan para pendukung pagelaran. Dari sini penulis berharap memperoleh data apa saja yang dilakukan para pendukung untuk mempersiapkan diri baik teknik maupun mental sehingga dapat dilihat skala prioritas mereka pada pagelaran tersebut. 2. Wawancara Selain
menggunakan
metode
partisipasi
observasi,
penulis
juga
menggunakan metode wawancara. Secara khusus penulis telah mewawancarai orang-orang yang terlibat secara langsung, namun demikian penulis juga melakukan wawancara pada orang yang tidak terlihat dalam pagelaran yaitu
22
para pemerhati tari untuk mengetahui pandangan mereka pada proses dan pagelaran tersebut. Wawancara kepada para pendukung pagelaran selain dilakukan di tempattempat tersebut di atas juga di sanggar-sanggar seni tempat para penari berasal. Wawancara dilakukan secara bebas tetapi terarah dengan mengacu pada pertanyaan yang telah tersusun sebelumnya. Wawancara dilakukan pada mantan penari bedhaya, para pendukung pagelaran baik penari, guru tari, pengrawit, para abdi dalem yang mempersiapkan upacara ritual maupun pihak pengambil keputusan. 3. Life History Life-History dari para mantan abdi dalemBedhaya yang sekarang masih hidup. Data ini penulis harapkan agar dapat melihat apa yang mempengaruhi para wanita ini untuk menjadi bedhaya, bagaimana kehidupanmereka sebagai bedhaya sehingga penulis bisa membuat sebuah perbandingan pola-pola kehidupan para penari bedhaya dulu dengan sekarang dan bagaimana mereka memandang dan menjalankan kehidupan dan aktivitas mereka tersebut. Tak kalah pentingnya adalah dengan mewancarai penghuni Keputren. Karena Keputren merupakan tempat di mana bedhaya di masa lalu berada. Dari sini penulis berharap dapat melihat bagaimana mereka memaknai keterlibatan mereka sebagai bedhaya sehingga proses perjalanan bedhaya itu sendiri akan tampak. Dari sini diharap dapat diperoleh sebuah wacana tentang fakta kehidupan bedhaya di masa kini. Diharapkan juga dapat dilihat bagaimana para bedhaya tersebut mensiasati keterlibatan mereka sebagai bedhaya.
23
4. Studi Pustaka Studi pustaka menjadi hal yang berpengaruh besar khususnya yang menyangkut sejarah tari Bedhaya dan Keraton Yogyakarta. Dari studi pustaka diharapkan dapat diperoleh manuskrip-manuskrip yang menyuratkan hubungan antara tari dengan kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Keraton. Mengingat bahwa dalam tulisan-tulisan tentang tari gaya Yogyakartadikatakan bahwa filosofi tari merupakan "way of life" sehingga dapat memberikan gambaran tentang bagaimana makna teknik artistik dan ajaran moral tari pada kehidupan sekarang. Dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana tertera di atas diharapkan penelitian ini akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang sistematis, integral dan komprehensif.
24