Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai1 Kusnaka Adimihardja (Universitas Padjadjaran) Abstract The presence of the Baduy people in Mount Kendeng in southern Banten was, in keeping with the order of Pajajaran Kingdom, to manage the continuity of the flow of the river from the upper course to the lower. At that time, the river-stream played an important role in agriculture, besides being a means of trading and transportation at the lower-course region of Banten. The Baduy had the role of guarding the equilibrium at the upper course region, and maintain the economic development of the Pajajaran Kingdom. The Baduy who live around the upper course of the river are not allowed, traditionally, ‘teu wasa’, to disturb the ecosystem, such as to exploit the rice fields or to dig the soil for agricultural activities. They use the expression: …gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak , mountains are not to be destroyed, valleys are not to be destructed, if it is disobeyed there will be great disaster upon human life. In carrying out the kingdom’s orders, they are supported by a certain hierarchic and complex political system, even though they are egalitarian and keep a firm social solidarity. The stratified system of defense was bound by the tangtu tilu ‘the three core of leadership’. It is also called ka-puun-an ideology systems which are located at three villages: Cikeusik, Cibeo, and Cikertawana under the guidance of moral, ethics, and rules which are stated in the values of Sunda Wiwitan religion.
Pengantar Anggapan yang menjelaskan keberadaan orang Baduy di sekitar Gunung Kendeng (lihat Peta 1)—yang biasanya mengacu pada pandangan para ahli Belanda (Pleyte 1907; Penning 1902; Yacobs dan Meijer 1891)— sesungguhnya bertentangan dengan pandangan orang Baduy itu sendiri. Pleyte, Yacob dan Meijer, maupun Penning beranggapan bahwa orang Baduy itu bermukim 1
Naskah ini merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam Sesi ‘Lingkungan Hidup dan Pelestarian Budaya’ dalam Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
di kawasan Gunung Kendeng, karena desakan kekuatan Islam dari Banten. Hanya saja, para ahli Belanda tersebut berbeda cara dalam mengemukakan asal-usulnya. Pleyte mengemukakan bahwa orang Baduy itu berasal dari daerah Bogor yang merupakan pusat Kerajaan Pajajaran. Mereka melarikan diri ke perbukitan di sekitar Gunung Pangrango arah barat daya dari kota Bogor sekarang. Pendapat tersebut didasarkan pada keberadaan Arca Domas yang terletak di sekitar hutan di wilayah Baduy Dalam di hulu Sungai Ciujung. Istilah yang benar seharusnya ditulis Baduy Daleum, maknanya sama dengan kata dalem yang berarti ksatria dalam bahasa Sunda lama. 47
Peta 1 Sumber: Diolah dari Garna 1987: 112; Azul 1988:36 48
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Yacob dan Meijer berpendapat bahwa orang Baduy berasal dari daerah Banten Utara dan Penning mengatakan orang Baduy sebagai penduduk asli Banten. Pandangan yang umum berlaku di kalangan orang Baduy adalah bahwasanya mereka menempati wilayah Desa Kanekes sejak pertama kali nenek moyang mereka turun ke bumi (Garna 1988:62-63). Mereka beranggapan bahwa Kanekes merupakan pusat bumi, tempat asal mula manusia dilahirkan. Karenanya, mereka selalu menyebut diri urang kanekes atau urang tangtu untuk seluruh orang Baduy. Kata tangtu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti cikal-bakal atau silsilah, sedang urang rawayan merupakan sebutan bagi mereka yang bermukim di sekitar Sungai Cirawayan. Mana yang benar di antara pendapat tersebut sulit untuk dibuktikan, karena informasi yang sangat terbatas. Kepercayaan dan legenda yang cenderung merahasiakan keberadaan mereka menyebabkan sulitnya untuk memperoleh bukti-bukti sejarah tentang alasan keberadaan mereka bermukim di sekitar kawasan Gunung Kendeng itu. Yang tersebar di kalangan masyarakat saat ini adalah kebiasaan orang Baduy menabukan atau teu wasa untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan yang berdampak merusak ekosistem wilayah hutan bagi siapa pun, termasuk mereka sendiri. Berdasarkan fenomena sosial tersebut tampaknya kehadiran mereka di sekitar kawasan hutan berfungsi untuk menjaga agar kondisi hutan yang sangat penting bagi pertanian dan sarana transportasi perdagangan di daerah hilir dapat dipertahankan kelestariannya. Dengan demikian, bagi orang Baduy, menjaga kelestarian hutan itu bukan karena aturan tabu (pikukuh), yang saat ini, sudah banyak di antaranya yang ditinggalkan. Misalnya, mereka sudah mulai mengenal dan menggunakan uang ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sebagai alat tukar, berbelanja di kampung terdekat di luar kampung Baduy, bercocok tanam, memiliki dan menyimpan barang-barang tertentu yang menurut aturan adat mereka bersifat tabu, dan lain-lain (lihat Van Zanten 1995:521). Agaknya, sepanjang sejarah hidupnya, orang Baduy terus-menerus bergulat mepertahankan eksistensi lingkungan alam dan identitasnya dalam menghadapi berbagai tekanan perubahan dari luar.
Relung Orang Baduy Desa Kanekes yang luasnya sekitar 5.102 ha merupakan wilayah yang berbukit-bukit, berlembah curam, yang terletak pada ketinggian antara 500-1.200 m. Kampung-kampung Baduy berada pada ketinggian antara 800-1.200 m. Suhu udaranya sekitar 20°-22° C, keadaan tanahnya selalu basah, lembab, dan berlumut. Sungai-sungai berbatu membelah hutan dan bukit serta melintasi beberapa wilayah pemukiman—di antaranya Sungai Ciujung, Ciparahiyang, Cirawayan, Cikanekes, Cisimeut, Cibarani, Cimedang, Cibaduy—yang mempersulit pejalan kaki untuk mencapai kampungkampung tertentu dalam waktu singkat (lihat Peta 2). Komunikasi antarkampung dihubungkan dengan jalan setapak yang naik-turun bukit dan sangat licin pada musim hujan. Batas-batas daerah Kanekes pada masa lalu hanya merupakan batas alam saja, berupa sungai, bukit, hutan. Akan tetapi, dengan terjadinya ‘penyerobotan’ lahan yang terus menerus di wilayah Kanekes, orang Baduy menerima gagasan pemerintah (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup) untuk memasang batasbatas berupa patok-patok semen beton yang dilaksanakan pada sekitar 1980-an. Kampung Kaduketug yang merupakan kampung Baduy pertama di wilayah Baduy Luar (panamping) adalah pintu gerbang menuju 49
Peta 2 Sumber: Diolah dari Geise 1952; Garna 1987:113
50
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
A = dipandang secara vertikal, B = dipandang secara horozontal. I = zonasi pertama, daerah pemukiman dan dukuh lembur II= zonasi kedua, daerah pertanian intensif III= zonasi ketiga, daerah hutan tua, di puncak bukit. Gambar 1 Klasifikasi Hutan di Kalangan Orang Baduy Sumber: Iskandar 1992:32 wilayah Baduy Daleum. Di kiri-kanan jalan setapak ke arah Baduy Daleum sejak dari kampung tersebut terhampar pahumaan (perladangan) penduduk atau lahan bekas perladangan yang dipenuhi alang-alang pada saat bera dan semak belukar yang ditinggalkan penduduk untuk sementara. Hutan-hutan yang masih lebat di daerah Baduy Daleum dan sekitarnya terpelihara dengan baik dalam ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
pengawasan puun (pimpinan utama adat). Bagi orang Baduy hutan-hutan tersebut adalah hutan larangan yang dianggap suci dan tabu untuk dieksploitasi manusia (lihat Gambar 1). Pada masa kini, di beberapa bagian hutan larangan itu sudah banyak yang rusak, terutama di daerah-daerah yang berbatasan dengan permukiman penduduk di luar Baduy. Penduduk dari luar wilayah Kanekes itu menebang hutan 51
untuk dijadikan perkebunan kopi atau karet. Pada masa lalu, ada kampung-kampung kecil yang terletak di luar Desa Kanekes yang merupakan kantong-kantong penyangga tanah larangan yang disebut kampung dangka. Berdasarkan identifikasi, semula ada sembilan kampung dangka. Selanjutnya, menyusut hingga tujuh kampung, yaitu Kampung Kompol, Cibengkung, Kamancing, Cihandam yang terletak di luar Desa Kanekes; dan Kampung Nungkulan, Garehong, dan Panyaweuyan yang berada di Desa Kanekes. Pada sekitar 1985 tercatat tinggal tiga kampung dangka saja yang masih dapat dipertahankan, yaitu Kampung Garehong, Nungkulan, dan Cibengkung (Adimihardja 1976). Namun kemudian, hanya tinggal dua kampung yang masih dihuni oleh orang Baduy, yaitu Kampung Kompol dan Cibengkung (Danasasmita 1986:14). Penduduk kampung dangka itu bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan sebagai hutan cadangan perladangan orang Baduy di luar Desa Kanekes, selain merupakan kampung penangkal masuknya pengaruh luar ke wilayah desa tersebut. Saat ini, luas hutan larangan itu semakin lama semakin sempit, karena ‘penyerobotan’ yang dilakukan berlangsung hingga sekarang. Namun, sesungguhnya, penggundulan dan penjarahan hutan larangan itu telah berlangsung sejak zaman Belanda untuk dijadikan perkebunan karet. Agaknya, kampung dangka sebagai kampung penangkal pengaruh luar tidak mampu lagi melaksanakan fungsinya, karena tekanan dari luar yang begitu kuat. Karena itu, sebagian besar orang Baduy yang tinggal di kampung dangka itu ditarik kembali ke daerah Baduy Daleum. Yang masih bertahan hingga sekarang hanya tinggal dua kampung dangka saja. Dari segi fisik—menurut catatan Sargeant (1973)—orang Baduy sangat tampan, berwajah halus. Demikian pula tangan dan kaki, panjang 52
serta halus pula, sedangkan kulitnya pucat dan penampilan mereka menyenang-kan . Sikap mereka alamiah, tidak memperlihatkan emosi dan keingintahuan yang berlebihan pada saat menerima tamu dari luar. Mereka adalah orangorang yang lembut, tetapi tidak penakut. Orang Baduy sangat jujur. Ini tampak dari cara berjalan beriring satu per satu, tidak menggunakan kendaraan, patuh kepada pimpinan adat. Pencurian di kampung dapat dikatakan tidak ada, terbukti dari pintu rumah mereka yang tidak pernah dikunci. Jumlah anggota keluarga orang Baduy sekitar empat orang. Mereka hidup dari berladang dan tabu bersawah. Keseimbangan dengan alam dalam memelihara ketenteraman hidup selalu dipertahankan dengan baik. Dengan demikian, sejak 500 tahun yang lalu hingga kini, mereka masih relatif dapat tetap bertahan dengan cara-cara berdasarkan petunjuk nenek moyangnya. Musik Baduy—yaitu angklung dan bentuk kesenian lain, seperti pantun—lebih bersifat musik ritual, yang dimainkan setahun sekali ketika musim panen. Orang Baduy membedakan apa yang disebut seni ritual dengan seni pertunjukan. Seni ritual, dalam pengertian mereka, melambangkan perjalanan hidup manusia. Mereka cenderung menolak keberadaan seni pertunjukan di wilayah tanah Baduy. Mereka beranggapan seni pertunjukan itu hanya main-main, menghibur diri, dan merupakan pelarian dari tantangan dalam menghadapi kenyataan hidup. Seni ritual melambangkan perjalanan hidup manusia yang sepenuhnya menuju ke alam kehidupan yang sesungguhnya, yaitu alam roh. Dalam perwujudannya, seni ritual berhubungan langsung dengan fenomena alam jagad raya, yang dimanifestasikan dalam tahaptahap kegiatan ngahuma atau berladang dengan seluruh kompleks upacaranya, yaitu dalam cara memelihara padi yang merupakan ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
perwujudan dari dewi padi, Dewi Sri. Di kalangan orang Baduy ada seni angklung yang melahirkan nuansa bunyi yang harmonis dengan tatanan alam sekelilingnya dan secara simbolik menggambarkan lalakon perjalanan hidup manusia. Demikian pula untaian tutur kata yang dibawakan seorang juru pantun di tanah Baduy, walaupun sesungguhnya seni pantun tersebut bukanlah karya seni pertunjukan, melainkan diperuntukkan bagi memperoleh berkah leluhur (lihat Halim nd:6). Dengan demikian, mereka mencipta angklung, tutunggulan, atau gandek (bunyi alu pada saat menumbuk padi), seruling bambu, karinding, kecapi yang biasa mengiringi pembawa cerita pantun, lebih untuk memenuhi s u a t u t u j u a n d a r i p a d a pernyataan suatu emosi betapa pun emosionalnya tujuan itu.
Orang Baduy: manusia air
Gambar 2 Transportasi Dagang Era Kerajaan Padjajaran ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Wilayah Banten yang merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran (1513-1957) yang berpusat di Bogor, dikembangkan menjadi pelabuhan dagang yang setara dengan Malaka dan Sumatera. Sebagai pusat perdagangan, B a n t e n m e n j a d i t e m p a t berlabuhnya kapal-kapal dari Sumatera dan daerah lain untuk membeli lada, beras, dan berbagai bahan makanan lainnya, untuk kemudian diangkut sampai ke Eropa melalui pelabuhan Teluk Banten, 53
Pontang, Cikande, Tanggerang, Sunda Kalapa, Karawang, dan Cimanuk. Pada saat itu Banten terletak pada sebuah teluk dekat Selat Sunda, tempat mengalirnya Sungai Cibanten yang merupakan alat transportasi utama yang membelah kota menjadi dua bagian. Sungai Cibanten dapat dilayari jenis perahu jung dan galen. Sungai tersebut hingga saat ini masih ramai digunakan para nelayan yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman ke wilayah pesisir Banten (lihat Gambar 2). Dalam usaha memelihara kelancaran lalu lintas barang, maka kelestarian aliran sungai perlu dipertahankan. Kehadiran orang Baduy di sekitar kawasan Gunung Kendeng itu agaknya merupakan upaya Pangeran Pucuk Umun—seorang penguasa wilayah Banten yang memerintahkan sekelompok tentara yang sangat terlatih—untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan lebat serta berbukit-bukit tersebut sebagai urat nadi lalu lintas perdagangan dan pertanian pada saat itu. Salah satu sungai yang hingga sekarang dirasakan sangat penting oleh masyarakat adalah Sungai Ciujung yang merupakan sungai terlebar dan terpanjang kedua di Jawa Barat. Sungai tersebut merupakan salah satu sarana transportasi, yang hulunya berasal dari Kampung Cibeo, salah satu kampung suci di daerah Baduy Daleum. Sungai tersebut mengalir melintasi dan membelah Kabupaten Lebak atau Rangkasbitung dan Kota Madya Tangerang yang bermuara di Laut Jawa. Pontang yang terletak di muara sungai tersebut merupakan salah satu pelabuhan dagang yang sangat penting pada era Kerajaan Pajajaran. Di daerah hulu Sungai Ciujung itu terdapat banyak anak sungai, di antaranya Sungai Ciparahiyang, Cirawayan, Cikanekes, Cisimeut, Cibarani, Cimedang, dan Cibaduy, yang kesemuanya menyatu dengan Sungai Ciujung di sekitar daerah Kabupaten Lebak atau Rangkasbitung. Sehubungan dengan peranan yang sangat 54
penting dari keberadaan sungai-sungai tersebut dalam menunjang perdagangan pada saat itu, maka kehadiran orang Baduy di tengahtengah hutan lebat di sekitar Gunung Kendeng itu bukan semata-mata karena tekanan Islam, melainkan ‘tugas’ yang dibebankan negara untuk menyelamatkan keberlanjutan aliran sungai-sungai yang berasal dari sekitar Gunung Kendeng. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Berthe (1965:216-218) dalam Wim van Zanten (1995:517), yang mengemukakan ‘…the Baduy consider themselves to be the guardian of the forest, irrigation sources, and the soil, and at the same time they hold themselves responsible for the destiny of the world.’ Agar ekuilibrium ekosistem wilayah hulu tidak terganggu, mereka yang bermukim di daerah itu dilarang, teu wasa ‘tabu’, mengolah lahan untuk dijadikan petak-petak sawah, atau mengubah ekosistem kawasan tersebut dengan mencangkul dan menanami dengan tanaman tertentu. Bagi mereka, tanah tidak boleh dibajak, digaru dan diinjak-injak kerbau. Karenanya, sistem pertanian ladang berpindah, huma , merupakan sistem pertanian yang paling sesuai dalam memanfaatkan sumber daya alam di kalangan orang Baduy. Menurut anggapan mereka, mengubah cara-cara bertani merupakan suatu tindakan yang bersifat tabu yang diungkapkan dengan kata-kata ‘…gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak…’ (gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak). Apabila pantangan itu dilanggar oleh siapa pun, maka akibatnya ‘cita-cita menjadi ratu tidak akan tercapai, menurunkan derajat dan wibawa negara, kalah dalam peperangan, dan seluruh negeri menderita’. Ungkapan tersebut merupakan suatu kearifan orang Baduy yang perlu kita renungkan saat ini dalam upaya memelihara dan menjaga kelestarian alam agar keberlangsungan hidup umat manusia, kejayaan negara, dan kesejahteraan rakyat ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
terwujud, baik secara lokal, regional, maupun global. Kedua, pemeliharaan sungai itu dipertahankan melalui fenomena sosiokultural yang masih berlangsung hingga saat ini, yaitu adanya kebiasaan yang disebut Seba Puun. Seba tersebut dilakukan oleh utusan puun, pimpinan adat tertinggi, yang melakukan semacam sowan atau berkunjung ke pusat kekuasaan negara untuk menyampaikan laporan perkembangan di daerah hulu. Pada masa lalu laporan tersebut disampaikan kepada penguasa Kerajaan Pajajaran di wilayah Banten. Sekarang laporan tersebut disampaikan oleh utusan khusus puun kepada Bupati Lebak, yang mereka sebut Bapak Gede. Seba ini dilakukan setahun sekali sambil menyerahkan hasil usaha tani dari kawasan hulu. Kebiasaan Seba Puun tersebut dapat dipahami sebagai ungkapan kesetiaan mereka kepada raja dan kini kepada negara. Fenomena ini memperkuat dugaan bahwa keberadaan orang Baduy di sekitar Gunung Kendeng memenuhi tugas perintah raja untuk mempertahankan kejayaan negara pertanian dan perdagangan melalui penyelamatan ekosistem wilayah hulu agar kelangsungan aktivitas ekenomi dan pemerintahaan di wilayah hilir terjamin. Menurut catatan Djoewisno (1988:92-93), utusan khusus puun tersebut didampingi oleh jaro adat, dengan keseluruhan rombongan seba itu terdiri atas kelompok tokoh adat, kelompok kaum sesepuh, dan kelompok para remaja, yang masing-masing memiliki tanggung jawab sebagai pengemban amanat pusaka nenek moyang. Kelompok sesepuh mengawasi jalannya upacara, agar tidak berbasa-basi dalam mengungkapkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi di daerah hulu. Ungkapan tersebut disampaikan dengan kata-kata tegas, terbuka, jujur, tepat, dan jelas tentang permasalahan daerahnya selama setahun. Mereka tidak menutup-nutupi yang buruk dan ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
memamerkan yang baik, mengemukakan apa adanya. Kelompok adat mengatur yang berhubungan dengan tata cara, keharusan, larangan, dan pantangan. Kelompok remaja bertugas mencatat dalam ingatan mereka sebagai generasi penerus tradisi kaum tua. Ketiga, adanya pengetahuan di kalangan orang Baduy yang terwujud dalam ungkapan sebagai berikut: • Ngaraksakeun sasaka pusaka buana (memelihara sasaka pusaka buana); • Ngaraksakeun Parahyang (memelihara tempat leluhur); • Ngasuh ratu ngajaga menak (mengasuh ratu dan menjaga menak); • Ngamertapakeun nusa telung puluh telu, bagawan sawidak lima , pancer salawe (menyelamatkan seluruh isi alam jagad raya). Ungkapan tersebut mengandung makna tentang keberadaan mereka di wilayah Gunung Kendeng itu untuk melaksanakan tugas menjaga kelestarian lingkungan alam melalui penyelamatan wilayah hulu. Dalam pandangan mereka, wilayah tersebut adalah wilayah yang suci (Parahyang) yang merupakan wilayah penyangga utama dalam mempertahankan kejayaan raja dan keturunannya, serta negara dan masyarakat seluruhnya. Dalam upaya mempertahankan kelestarian lingkungan alam di sekitar Gunung Kendeng itu, orang Baduy dibimbing oleh suatu sistem politik yang kompleks (lihat Gambar 3). Sistem itu dimanifestasikan dengan sistem pertahanan berlapis dalam klasifikasi tiga: dangk a atau kampung penyangga di luar Kanekespanamping (Baduy Luar) dan -pajeroan (Baduy Daleum), diikat oleh sistem politik yang hierarkis, namun bersifat egaliter dalam mempertahankan solidaritas sosial dan kebersamaan dengan bimbingan moral, etika, dan aturan yang tertuang dalam nilai-nilai agama Sunda Wiwitan. 55
Gambar 3 Sistem Politik dan Pertahanan Baduy Sumber: Diolah dari Garna 1987:90 dan Djoewisno 1988:22 56
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Dalam sistem politik yang berlaku di kalangan orang Baduy, puun merupakan jabatan tertinggi, berkedudukan di wilayah Baduy Dalam (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda), dan lama jabatannya tidak ditentukan. Tingkat jabatan kedua adalah girang seurat, kecuali Cikertawana yang tidak memilikinya. Girang seurat ini bertugas memelihara huma serang (ladang bersama) dan menjadi penghubung dan pembantu utama puun. Setiap orang yang ingin bertemu dengan puun harus melalui girang seurat. Selanjutnya, ada pranata yang disebut bareusan, semacam badan perwakilan yang bertanggung jawab dalam bidang ketertiban dan keamanan. Ada 11 orang di Cikeusik, 5 orang di Cikertawana, dan 9 orang di Cibeo. Setiap kampung (tangtu) dipimpin oleh seorang pimpinan (tanggu) yang disebut jaro tangtu dan bertugas melaksanakan pemerintahan kapuunan sehari-hari. Jaro dangka adalah pimpinan adat yang bermukim di luar Desa Kanekes, bertugas melindungi dan menyelesaikan konflik antara orang-orang Baduy dengan warga non-Baduy dari kampung terdekat, dan menjaga lahan perladangan mereka di luar wilayahnya. Dari sebelas kampung dangka yang pernah ada, yang masih tersisa sekarang hanya tinggal dua kampung saja, yaitu Kompol dan Cibengkung. Sejak zaman kolonial hingga sekarang, wilayah dangka tersebut tidak pernah terbebas dari penjarahan orang-orang dari luar wilayah Baduy. Jaro Warenga yang semula dirangkap oleh salah seorang jaro dangka, bertugas sebagai penghubung antara Desa Kanekes dan pemerintah nasional sebelum dibentuknya jaro pemerintah. Jaro dangka bertugas pula memimpin seba menghadap raja atau, sekarang, Bapak Gede di pusat pemerintahan. Tanggungan jaro duawelas, yang biasa disebut tanggungan saja, bertugas ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
mengoordinasikan semua jaro, yang meliputi tangtu, panamping, dan dangka di Desa Kanekes. Parawari (semacam panitia tetap) bertugas membantu puun dalam urusan upacara dan masalah-masalah gaib, yang beranggotakan tujuh orang kokolot (tetua kampung). Panengen (Cikeusik) atau dukun pangasuh (Cikertawana) atau tangkesan (Cibeo) bertugas sebagai penasihat dan ‘dokter’ pribadi puun. Selain itu, mereka juga mengenal apa yang disebut parekan, yang bertugas sebagai pembantu pribadi urusan rumah tangga puun. Jaro pemerintah adalah perantara antara pemerintah dan puun dalam urusan pemerintahan nasional. Namun, dalam urusan adat mereka tetap tunduk kepada ketiga puun tersebut. Dalam melakukan tugasnya seharihari, mereka dibantu oleh seorang petugas yang disebut panggiwa dan seorang carik (Danasasmita 1986:19-23). Dasar moral agama Sunda Wiwitan itu tercermin pada pandangan orang Baduy dalam memelihara keseimbangan hubungan antara manusia dan sesamanya, manusia dan lingkungan alam, serta manusia dan Tuhannya, yang dalam konsep Sunda Wiwitan disebut Sanghyang Tunggal (Yang Maha Tunggal). Hal ini tampak dari pemahaman mereka tentang hidup dan mati yang bersumber dari alam dan kembali ke alam. Kata wiwitan dalam Bahasa Sunda berarti permulaan. Namun, di kalangan orang Baduy kata wiwitan tersebut dipahami berasal dari kata wit-wit-an yang berarti pepohonan. Mereka beranggapan bahwa unsur-unsur tubuh manusia berasal dari pehomanan atau tanaman. Dari sari-sari pepohonan atau tanaman itu terjadi buah jabang bayi, yang kemudian pohon itu tumbuh menjadi besar (dewasa). Mereka juga mengemukakan bahwa tulang sumsum manusia juga berasal dari unsur-unsur kayu. Apabila manusia mati akan kembali ke tanah (dikubur) dan selanjutnya di sekitar kuburan itu akan 57
tumbuh pehohonan. Dalam tujuh hari seluruh anasir unsur-unsur tubuh manusia itu sudah kembali ke asalnya, yaitu ke tanah. Karena itu, pada setiap makam orang Baduy tidak pernah ada batu nisan, apalagi bangunan cungkup, karena pandangan mereka tentang mati tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat fisik atau materi (Halim nd:7). Sesungguhnya, di kalangan orang Baduy ada anggapan bahwa Sunda Wiwitan itu bukan agama, melainkan asal-mula segala agama atau pangkal dari segala agama. Semua agama yang ada akan mencerminkan nilai-nilai dasar ajaran wiwitan atau katitipan wiwitan, menurut istilah mereka. Selanjutnya, menurut keyakinan mereka, hanya orang Baduy yang mendapat tugas untuk mempertapakan, mempertahankan, menjaga, dan menegakkan wiwitan sebagai sumber agama tadi. Karenanya, mereka beranggapan bahwa wiwitan itu milik semua orang, bukan milik orang Baduy saja. Semua orang, menurut anggapan mereka, harus sayang, melindungi, dan memperteguh wiwitan, karena apabila terjadi perubahan pada dasar-dasar pemahaman wiwitan tersebut tentu akan terjadi perubahan pula pada seluruh kehidupan. Perubahan tersebut dapat terjadi karena, antara lain, bencana alam, kekacauan negara, dan sebagainya (Halim nd:8). Masing-masing klasifikasi kampung, sebagaimana dijelaskan tadi memiliki fungsi mengatur dan melindungi warganya, dan secara berlapis menyaring pengaruh negatif dan menyampaikan arahan puun dari dalam sebagai wakil Sanghyang Tunggal di dunia. Arahan tersebut disampaikan dari dalam inti kampung mereka—Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik— ke wilayah Baduy Luar dan dangka. Agaknya, ketahanan sosial-budaya yang telah teruji kehandalannya itu—yang didukung oleh sistem politik yang kompleks yang berlandaskan pada sistem ideologi yang tertuang dalam agama Sunda Wiwitan— 58
membuktikan keunggulan mereka dalam mempertahankan ekosistem wilayah hulu yang berdampak positif terhadap wilayah hilir. Namun, keadaan tersebut kini sulit untuk dipertahankan lagi sehubungan dengan gempuran modernisasi atau pembangunan, yang pada kenyataannya justru menjadi marjinalisasi atas seluruh dinamika kehidupan orang Baduy. Sekarang, kualitas lingkungan alam dan sosial semakin menurun Misalnya, terjadinya dehumanisasi di kalangan orang Baduy melalui program pemukiman di Gunung Halu, yang menyebabkan terjadinya disintegrasi antara para peserta program pemukiman tersebut dengan kesatuan adat serta agamanya. Penyerobotan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dari luar Baduy mengakibatkan semakin sempitnya lahan perladangan orang Baduy. Bersamaan dengan itu, penggundulan hutan yang terus-menerus menimbulkan kegersangan pada musim kemarau dan erosi pada musim hujan yang berdampak negatif pada lingkungan permukiman dan kualitas kesehatan orang Baduy itu sendiri. Hal itu mengakibatkan terjadinya pula gangguan terhadap keberlanjutan persediaan air di daerah hilir. Semua itu terjadi karena ulah orang-orang luar yang tidak bertanggung jawab yang dengan gencar mengguncang ketenangan dan ketenteraman orang Baduy sebagai komunitas pengelola sumber air di sekitar wilayah pedalaman Gunung Kendeng di Banten Selatan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Kepustakaan Adimihardja, K. 1976 ‘Masyarakat baduy di Banten Selatan’, Buletin YAPERNA. Berita Ilmu-Ilmu SOsial dan Kebudayaan 3(11). Danasasmita, S. 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djoewisno. M.S. 1988 Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Jakarta: Khas Studia. Garna, J. 1988 Tangtu Tilu Jaro Tujuh. Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat. Indonesia. Tesis Ph.D. tidak diterbitkan. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Halim, A. nd Badui: Masyarakat ‘Bertapa’ yang Harus Diteguhkan. Manuskrip tidak diterbitkan. Pennings. A.A. 1902 ‘De Badoewi’s in Verband met Enkele Oudheden in de Residentie Bantam’ TBG. Deel 45:370-380. Pleyte, C.M. 1907 ‘Raden Moeding Laja Di Koesoema; Een Oude Soendasche Ridderroman met eene inleiding over den toekang pantoen’ TBG. 49: 1-159. Sargeant, P.M. 1973 ‘Traditional Sundanese Badui-Area. Banten. West Java’, Bangunan 28(1). Van Zanten, Wim 1995 ‘Aspects of Baduy Music in its Sociocultural Context, with Special Reference to Singing and Angklung’ Bijdragen. Tot De Taal Land En Volkenkunde. Deel. 151: 16-539. 4e Aflevering (Journal of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology). Yacob, J. dan J.J. Meijer 1891 De Badoej’s . S. Grevenhage: Martinus Nijhoff.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
59