BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Istilah berburu dan meramu yang merujuk pada perilaku manusia prasejarah, merupakan pola yang berkaitan dengan konsumsi dalam hal ini makanan. Berburu hewan dan meramu menjadi makanan yang kelak menjadi sumber tenaga bagi individu masyarakat pra-sejarah. Kenyataan sejarah tersebut kini berkembang sesuai dengan konteks ruang dan waktu, dimana berburu dan meramu telah berkembang menjadi pola konsumsi makanan yang berkaitan dengan sumber makanan atau bahan dasar, pola penyajian, dan ritual yang melingkupi pola konsumsi makanan tersebut. Pola konsumsi makanan tidak hanya sekedar bentuk pemenuhan keinginan individu manusia terhadap kebutuhan tenaga melainkan juga berkembang menjadi pola konsumsi yang mengikutsertakan aspek lainnya dalam kehidupan. Perkembangan hidup manusia yang terbagi pada beberapa fase dimulai dari zaman pra-sejarah hingga pada zaman modern saat sekarang ini, berkaitan dengan pola konsumsi dan jenis makanan. Makanan yang pada zaman pra-sejarah merupakan makanan yang tersedia di alam sekitar dan diproses secara sederhana kini telah mengalami perkembangan menjadi makanan yang memiliki nilai luas dan diproses secara kompleks.
1
Makanan bagi manusia sejatinya adalah sebentuk pemenuhan kebutuhan energi secara biologis, dimana kebutuhan atas energi tersebut terdapat dilingkungan sekitar kehidupan. Pada tahapan perkembangan pemenuhan atas kebutuhan energi tersebut, makanan yang berasal dari alam atau lingkungan hidup dimanifestasikan kedalam bentuk simbol-simbol yang berkaitan dengan kehidupan, tidak hanya sekedar sebagai tanda melainkan juga turut menyimpan beragam hal yang berkaitan dengan makanan, kehidupan dan pola konsumsi. Beberapa penelitian mengenai makanan, pola konsumsi, hingga simbol yang terdapat pada makanan telah dilakukan dalam rentang waktu yang panjang dalam lingkup kajian antropologi (Claude Levi-Strauss:1965, Sutton:2001, Counihan:2004). Hal tersebut turut memberikan gambaran mengenai pentingnya peran makanan, pola konsumsi dan simbol yang terdapat pada makanan terhadap kehidupan kebudayaan manusia. Pemahaman Strauss (1965) terhadap strukturalism juga dipengaruhi oleh aspek makanan yang kemudian memunculkan pemikiran mengenai “culinary triangle”, dimana dalam kajian tersebut Strauss (1965) membagi antara makanan mentah dan makanan masak yang merepresentasikan pemikiran manusia atas nature dan culture. Mengutip Foster dan Anderson (1978) bahwa makanan juga memiliki keterkaitan terhadap hubungan sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat dan juga sebagai cara berkomunikasi diantara mereka, sehingga makanan bukan saja sebagai proses mengkonsumsi melainkan juga sebagai proses yang menggambarkan keterkaitan antar individu dalam kehidupan pola hubungan sosial
2
yang tercipta melalui kegiatan makan. Pentingnya arti konsumsi makanan menjadi perhatian kajian antropologi, yang terbagi atas tata cara pengumpulan bahan makanan, proses pembuatan, penyajian dan ritual hingga nilai asupan nutrisi. Hal ini memberi gambaran singkat bahwa makanan berpengaruh dalam kehidupan manusia secara luas. Dalam kehidupan masyarakat Melayu di Kota Medan, pola konsumsi makanan juga memiliki rentang perjalanan sejarah dan kompleksitas dalam penyajiannya yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam bentuk penyajian pulut kuning. Penelitian ini terfokus pada aspek simbol penyajian makanan pada masyarakat Melayu di Kota Medan, dalam hal ini simbol penyajian makanan yang diberi nama pulut kuning. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa makanan pulut kuning termasuk jenis makanan yang memiliki simbol penyajian dalam kehidupan masyarakat Melayu, pulut kuning disajikan pada kesempatan waktu tertentu; seperti pada acara upah-upah (memberkati), perkawinan, dan bentuk ritus kehidupan lainnya. Selain memiliki dimensi ruang dan waktu penyajian tertentu, pulut kuning juga memiliki tekstur warna makanan yang terkait dengan kehidupan masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Melayu Deli dimana warna kuning disebut juga sebagai warna kebesaran atau sebagai representasi kemegahan, kejayaan bagi masyarakat Melayu Deli yang seiring dengan istilah yang erat dalam kehidupan mereka, yakni 'takkan surut Melayu di bumi.
3
1.2 Tinjauan Pustaka Untuk mendukung dan menjadikan penelitian ini sejalan dengan konteks antropologi, terdapat beberapa literatur dan pemikiran mengenai etnofood dan makanan, simbol pada penyajian makanan serta masyarakat Melayu Deli sebagai pendukung dari perilaku kebudayaan yang berkaitan dengan penelitian ini
1.2.1 Etnofood Etnofood atau etnografi makanan adalah suatu bentuk kajian yang berkembang dalam ranah antropologi secara luas pada saat sekarang ini, makanan tidak hanya dilihat dan dideskripsikan sebagai pola konsumsi manusia melainkan berkaitan dengan beragam aspek hidup lainnya. Berkaitan dengan penggunaan kajian etnofood dalam penelitian ini, kiranya pendapat dari Deutsch dan Miller (2009:3) dapat memberikan gambaran mengenai hal tersebut : “ . . . states that food studies is the interdisciplinary field of study of food and culture, investigating the relationships between food and the human experience from a range of humanities and social science perspectives, often times in combination.” Pendapat Deutsch dan Miller (2009:3) tersebut mendefiniskan kajian mengenai makanan merupakan sebentuk kajian interdisiplin melingkupi makanan dan kebudayaan yang mencari hubungan keterkaitan antara makanan dengan pengalaman manusia dalam rentang kemanusiaan dan perspektif ilmu sosial.
4
Lebih lanjut, Belasco (2008:6) merunutkan perkembangan mengenai kajian makanan dalam perspektif sosial dan kultural : “Food studies emerged some thirty years ago because scholarship is following wider urban middle-class culture, which, since the seventies, has become much more interested in food-related matters of taste, craft, authenticity, status and health.” Belasco (2008:6) berpendapat bahwa kajian mengenai makanan telah mulai berkembang semenjak tiga dekade yang lalu yang disebabkan oleh mengikuti budaya masyarakat urban kelas menengah, yang mana pada waktu itu memiliki ketertarikan terhadap hubungan makanan dengan citarasa, kerajinan, otentik, status dan kesehatan. Budaya makan tidak lepas dari pengaruh perilaku manusia dan kebudayaan
yang
melingkupi
kehidupan
manusia
tersebut,
Skowroński
(2007:362) mengatakan budaya makan adalah : “food culture is a set of practices, habits, norms and techniques, applied to food and eating; it encompasses food production, distribution and consumption, it also includes foodstuffs and other material artifacts.” Beragam pendapat tersebut dalam penelitian ini dipergunakan sebagai landasan berfikir dan melihat fenomena etnofood dalam tataran kehidupan masyarakat, yaitu masyarakat Melayu Deli yang direpresentasikan pada bentuk penyajian pulut kuning.
5
1.2.2 Simbol Penyajian Makanan Sutton (Counihan, 2004:25) memberikan pandangan mengenai keterkaitan antara makanan dan simbol penyajian, yang didefinisikannya sebagai berikut : “Certain foods can become emblematic 'objects of memory', symbols of the past that are no longer regularly consumed because too difficult to prepare or no longer palatable or customary.” Pendapat Sutton mengenai simbol penyajian makanan tersebut juga didukung oleh pendapat Mintz dan Du Bois (2002:107) yang menyatakan bahwa etnografer telah mendapatkan masukan mengenai kaitan kajian bagaimana manusia menghubungkan makanan yang dikonsumsi kepada bentuk ritual, simbol dan kepercayaan hidup. Secara lebih lengkap Mintz dan Du Bois (2002:107) menuliskan : “Ethnographers have found multiple entry points for the study of how humans connect food to rituals, symbols, and belief systems. Food is used to comment on the sacred and to reenact venerated stories. In consecrated contexts, food "binds" people to their faiths through "powerful links between food and memory". Sometimes the food itself is sacred through its association with supernatural beings and processes.” Selain sebagai bentuk simbol ingatan, makanan juga memiliki simbol terhadap kesehatan fisik dan mental sebagaimana yang ditunjukkan oleh pola konsumsi makanan tersebut, Counihan (2004:32) mengatakan hal tersebut : “Older Florentines did not think exclusively or primarily about the body as an aesthetic object but as a symbol of inner states—of mental and physical health. They derived this belief out of a past where hunger and infectious disease were chronic and where a thin body represented vulnerability.”
6
Wilk (1999) juga menyatakan pendapatnya mengenai simbol dalam penyajian makanan, dimana simbol penyajian makanan merupakan bentuk lain dari
ekspresi
identitas
suatu
kehidupan
masyarakat,
Wilk
(1999:244)
mengungkapkan hal tersebut sebagai : “It is an anthropological truism that food is both substance and symbol, providing physical nourishment and a key mode of communication that carries many kinds of meaning (Counihan and Van Esterik 1997). Many studies have demonstrated that food is a particularly potent symbol of personal and group identity, forming one of the foundations of both individuality and a sense of common membership in a larger, bounded group. What is much less well understood is how such a stable pillar of identity can also be so fluid and changeable, how the seemingly insur-mountable boundaries between each group's unique dietary practices and habits can be maintained, while diets, recipes, and cuisines are in a constant state of flux (Warde 1997:57-77).” Simbol yang terangkum dalam makanan (bahan baku, teknik pengolahan dan penyajian) menjadi sebentuk nilai yang melingkupi makanan tersebut sebagai bagian dari ekspresi identitas dan berkaitan pula dengan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut, seperti tatacara atau ritual dalam penyajian makanan.
1.2.3 Masyarakat Melayu Deli Masyarakat Melayu Deli dalam konteks penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki dan mempergunakan nilai budaya Melayu dalam kehidupan mereka, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kuliner pulut kuning. Penjelasan mengenai masyarakat Melayu Deli dalam hal ini berkaitan dengan identitas masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan Melayu, baik secara umum dan khusus. 7
Pemahaman dan pengertian Melayu itu selalu berbeda-beda menurut ilmuwan maupun orang awam, namun dari perbedaan itulah didapatkan makna yang luas ataupun sedikit mengikuti konsep dan defenisi yang akan dipergunakan. Menurut Hussein (1984:3-4) kata Melayu ialah kata yang bermakna luas dan agak kabur. Maksud kata yang bermakna luas itu ialah Melayu itu merangkumi suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada dahulu kala dikenal oleh orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa yang terkenal dalam bidang perniagaan. Masyarakat Melayu juga dikenal handal dan mahir dalam bidang pelayaran dan juga turut berperan dalam aktivitas pertukaran barang. Pendapat tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Melayu yang kompleks dan terdiri dari beragam suku bangsa serumpun, dimana salah satunya adalah masyarakat Melayu Deli.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, studi bahasa yang diangkat dalam penelitian ini akan dipermudah dengan perumusan masaalah yang bertujuan untuk mendapatkan fokus objek kajian dan sekaligus sebagai pembatas bagi permasalahan yang diangkat agar tidak meluas. Permasalahan yang utama dalam penelitian ini yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 2. Bagaimana bentuk penyajian pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak ? 3. Apa makna yang terkandung dalam penyajian pulut kuning pada masyarakat Melayu Hamparan Perak ?
8
4. Bentuk-bentuk upacara yang mengiringi penggunaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak ?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan manfaat penelitian diperlukan untuk dapat menjadi patokan atau tolok ukur kegiatan penelitian yang dilakukan dan sejalan dengan pemikiran awal mengenai penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah :
1.4.1. Tujuan Penelitian Sebagai penelitian yang berbentuk etnografi, secara sederhana penulisan diharapkan memenuhi tujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan secara utuh dan menyeluruh pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak, 2. Mendeskripsikan bentuk penyajian dan proses pembuatan serta makna yang terkandung dari pulut kuning ditengah-tengah masyarakat Melayu Hamparan Perak.
1.4.2. Manfaat penelitian Manfaat yang di harapkan dari penelitian ini adalah, secara akademis penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam bidang antropologi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat makanan tradisional (etnofood) dalam perkembangan saat ini, khususnya keberadaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu di Hamparan perak, dan juga sebagai
9
sebentuk gambaran kekayaan khasanah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang direpresentasikan pada bentuk makanan tradisional.
1.5 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Melayu yang berdiam di wilayah Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang dikenal sebagai basis tempat tinggal masyarakat Melayu dan memiliki basis kebudayaan Melayu yang erat kaitannya dengan keberadaan kuliner tradisional pulut kuning yang menjadi fokus perhatian penelitian. Adapun lokasi penelitian di wilayah Hamparan Perak turut mencakup beberapa wilayah sekitar lainnya untuk semakin memperkuat dan menambah keterangan deskripsi mengena pulut kuning yang bersifat holistik.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang bermaksud menggambarkan secara terperinci mengenai pulut kuning pada masyarakat Melayu di Hamparan Perak, selain melihat pulut kuning sebagai suatu jenis makanan tradisional masyarakat Melayu, juga akan melihat pulut kuning sebagai suatu keseluruhan, hal ini sejalan dengan Goodenough (1970:101) : “When I speak of describing a culture, then formulating a set of standards that will meet this critical test is what I have in mind. There are many other things, too, that we anthropologists wish to know and try to describe. We have often reffered to these other 10
things as culture, also consequently ”. “Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah tujuan dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.” Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah orientasi teoritik dalam bentuk kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, cara-cara memasak, caracara penyajian, ataupun makna yang terkandung pada pulut kuning itu justru digunakan sebagai data dalam penelitian ini.
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data Dalam hal mendeskripsikan tentang pulut kuning pada masyarakat Melayu di Hamparan Perak, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu upaya untuk memperoleh data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber kepustakaan sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, untuk memperoleh data primer tersebut, metode yang digunakan adalah metode observasi atau pengamatan dan wawancara. Data Primer Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu : Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian. Menurut penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan
11
fenomena yang terjadi, oleh karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian dan melakukan pengamatan. Pengamatan akan dilakukan pada setiap kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau berhubungan dengan tujuan penelitian. Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi) observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan, yang mana dalam observasi jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga ikut serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini dilakukan, seperti
bergabung dalam persiapan
acara
perkawinan
yang
mempergunakan pulut kuning sebagai bagian penyajian makanan upacara untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti merupakan penduduk Kota Medan sendiri, observasi diharapkan dapat berjalan dengan baik oleh karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti telah membangun rapport yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha berfikir secara objektif sehingga data yang diperoleh dilapangan adalah benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Informan disini adalah individu yang memasak dan menyajikan pulut kuning sebagai informan utama, para tokoh-tokoh adat dan masyarakat Melayu lainnya
12
sebagai informan biasa. Para individu yang memiliki kemampuan memasak dan menyajikan pulut kuning adalah mereka yang secara luas mengetahui seluk beluk tentang pulut kuning tersebut secara menyeluruh, selain para individu yang mengerti akan proses penyajian dan memasak pulut kuning tersebut tokoh-tokoh adat dan masyarakat Melayu dikategorikan sebagai informan untuk memperoleh pengetahuan masyarakat luas tentang makna pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu di Hamparan Perak. Besar kecilnya jumlah informan tergantung pada data yang diperoleh di lapangan. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi para individu yang dianggap mempunyai dan memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang sejarah, asal-usul, tata-cara penyajian hingga memasak pulut kuning. Hal ini perlu dilakukan karena pengetahuan akan sejarah, asal-usul pulut kuning tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami makna dan merupakan tema pokok penelitian yang akan dilakukan. Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit yang lebih rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting dari hasil wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk merekam proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan etnografi (field video ethnography).
13
Data Sekunder Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini adalah : Studi
kepustakaan
sebagai
teknik
pengumpul
data
selanjutnya,
dimaksudkan peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini. Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap memiliki keterkaitan sebagai suatu lokasi yang mewakili keberadaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu.
1.7 Analisis Data Penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, pengamatan dan wawancara mendalam, yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
14
Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada di dalam fokus penelitian. Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif. Peneliti juga akan menggunakan pendekatan yang sifatnya teoritis yakni pendekatan fenomenologis. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap masyarakat dalam situasisituasi tertentu. Ada berbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya “dari segi pandangan mereka”.
1.8 Pengalaman Lapangan Selasa pagi yang cerah dengan penuh semangat dan kepercayaan diri,pergi ketempat penelitian yang akan menjadi bahan skripsi saya. Dengan pengalaman saya selama mengikuti perkuliahan dan tugas - tugas di lapangan menjadi bekal saya untuk melakukan penelitian sesuai dengan metode yang saya pahami. Dengan menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam dari rumah saya, akhirnya saya pun tiba di Kecamatan Hamparan Perak. Saya memilih lokasi ini karena Kecamatan Hamparan Perak adalah kecamatan yang paling luas teritorialnya dan jumlah penduduk yang paling banyak diantara wilayah lainnya. Kondisi jalan yang buruk menjadikan mobilitas warga sekitar menjadi sulit ditambah lagi dengan banyaknya truk - truk yang
15
berukuran besar melintasi lokasi ini. Tidak berapa lama saat memasuki lokasi ini saya langsung menuju kantor Kepala Desa Slemak untuk mengutarakan apa yang menjadi tujuan saya ke desa ini. Saya berbicara langsung dengan Kepala Urusan Umum, Ibu Hayani (45 tahun). Beliau menilai keputusan yang tepat menjadikan Desa Slemak sebagai lokasi penelitian karena desa ini adalah desa dimana jumlah penduduk mayoritas suku Melayu, terbesar diantara desa-desa yang berada di Kecamatan Hamparan Perak. Menurut saya penduduk disini adalah penduduk yang ramah. Saya mendapatkan sambutan yang hangat ditempat ini. Bahkan Ibu Hayani pun berniat untuk menunjukkan dan mengantarkan saya langsung ke tempat dimana saya dapat menemukan informan yang tepat untuk saya. Niat baik beliau sangat saya apresiasi, namun saya memahami bahwa kedudukan beliau sebagai aparatur desa cukup vital peranannya. Saya pun hanya meminta beliau untuk menjelaskan lokasi rumah informan saya agar dapat saya temukan. Ibu Hayani dengan keramahtamahannya pun menjelaskan kepada saya lokasi, nama, dan karakter calon informan saya ini. Beliau juga bersedia jika saya memerlukan data apapun tentang Desa Slemak siap untuk membantu. Ibu Hayani juga mempermudah saya dengan tidak melibatkan saya ke dalam urusan birokrasi yang mengharuskan saya membawa surat penelitian dari kampus. Dari informasi dan penjelasan yang diberikan oleh Ibu Hayani, saya pun menuju alamat yang menjadi informan saya. Tidak jauh dari kantor kepala desa, saya tiba dirumah Ibu Hj. Rubiah (77 tahun). Rumah yang berbentuk rumah panggung ini menurut saya adalah rumah sederhana namun memiliki ciri khas dengan corak dan arsitektur Melayu yang
16
cukup kuat. Di rumah itu saya di sambut oleh 5 orang, diantaranya Ibu Hj. Rubiah (77 tahun), Bapak Ramlan (51 tahun) anak Ibu Rubiah, Ibu Liza (46 tahun) menantu Ibu Rubiah, Ibu Hasnah (26 tahun) cucu Ibu Rubiah, dan Rafa (1 tahun) cicit Ibu Rubiah. Rumah Ibu Rubiah ditempati juga oleh anak dan cucunya. Setelah berkenalan dengan seluruh penghuni rumah, saya pun mengutarakan maksud dan kedatangan saya kerumah ini. Seluruh penghuni rumah Ibu Hj. Rubiah menyambut dengan hangat serta menunjukkan sikap yang sangat antusias setelah saya mengutarakan maksud dan tujuan saya, terlebih lagi maksud dan tujuan saya untuk mengangkat tentang kuliner khas Melayu yang tentunya menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari yang menjalankan adat dan istiadat Melayu. Saya mulai mewawancarai Ibu Rubiah dengan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan skripsi saya. Karena pendengaran Ibu Rubiah sedikit terganggu, saya pun dibantu oleh kedua anak Ibu Rubiah untuk menjelaskan beberapa pertanyaan yang saya maksud dengan bahasa yang berlogat Melayu agar Ibu Rubiah lebih mudah untuk mengerti. Saya juga dibantu oleh anak-anak beliau menafsirkan maksud kata demi kata Ibu Rubiah. Di umur Ibu Rubiah yang tergolong lanjut usia ini, menurut saya Ibu Rubiah masih cukul baik dalam menuangkan isi pikiran beliau lewat kata-kata dan masih banyak pengalaman hidup beliau yang masih diingat meski telah terjadi pada puluhan tahun silam. Saat asik berbincang dengan Ibu Rubiah, cucu beliau menghidangkan secangkir teh hangat kepada saya sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu dan sebagai tuan rumah yang baik. Saya berterimakasih karena disambut dengan baik di rumah ini. Pertanyaan demi pertanyaan yang saya ajukan dijawab dengan
17
antusias, baik oleh Ibu Rubiah sendiri maupun anak-anak dari Ibu Rubiah. Pertanyaan demi pertanyaan berlalu, waktu pun tak terasa begitu cepat bergulir. Kertas yang menjadi catatan hasil wawancara saya sudah tertulis penuh 4 halaman. Saya merasa informasi yang saya dapatkan untuk hari pertama turun ke lapangan ini sudah cukup. Saya mengakhiri wawancara ini dengan ucapan terimakasih kepada Ibu Rubiah dan keluarga serta memohon maaf apabila ada kata-kata yang salah serta ucapan yang menyinggung perasaan mereka. Ditengah terik matahari saya pun memutuskan untuk pulang dan kembali kerumah saya. Pada kamis siang saya kembali berangkat ke Hamparan Perak untuk melakukan penelitian. Saya berniat untuk berangkat di pagi hari, namun karena saya tidur larut malam, saya pun terbangun kesiangan di keesokan harinya. Perjalanan hari kedua saya menuju Hamparan Perak kali ini saya tidak sendiri. Saya di temani oleh senior sekaligus teman dekat saya di kampus. Saya biasa memanggilnya Bang Tatak. Kami bertemu di Simpang Tiga Marelan kemudian kami bersama menuju Hamparan Perak. Rute perjalanan yang kami tempuh kali ini berbeda dengan rute kepergian saya sebelumnya. Kami melewati rute perkebunan tebu milik PTPN II. Di perjalanan ditengah luasnya hamparan kebun tebu milik PTPN II ini, kondisi jalan sangat buruk. Jalan hanya berupa pasir dan batu. Kondisi jalan sangat sepi, tidak seperti halnya jalanan seperti biasanya dimana kendaraan dari kedua arah sibuk berlalu lalang. Di pertengahan kebun terlihat beberapa pekerja sedang mengarahkan mesin penggiling tebu yang siap untuk di panen. Kondisi jalan yang buruk serta tidak adanya tiang listrik dan penerangan lampu jalan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan jalan
18
ini saat malam hari. 35 menit perjalanan akhirnya kami pun sampai di Hamparan Perak. Menurut saya rute perjalanan ini lebih hemat waktu dan jarak. Hanya saja kondisi jalan sangat buruk. Kami langsung menuju kantor kepala desa Slemak guna mengambil data tentang desa ini. Saya bertemu dengan Ibu Idharani (38 tahun) Kepala Urusan Pemerintahan. Saya mengutarakan maksud kedatangan saya dan Ibu Idharani pun memberikan kepada saya beberapa data terbaru yang saya butuhkan. Ibu Idharani menurut saya memiliki karakter yang berjiwa muda, ramah, dan cepat beradaptasi dalam memahami seseorang. Asik berbincang dengan Ibu Idharani, seorang bapak pun datang menghampiri kami dan ikut berbincang bersama kami. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan kedatangan saya di Desa Slemak ini. Ternyata beliau adalah Kepala Dusun III, Bapak Abu Yahman. Beliau menjelaskan beberapa data mengenai kondisi masyarakat yang ada di Desa Slemak ini. Beliau juga memberikan informasi kepada saya bahwa pada hari Minggu ada warga Dusun III yang akan melangsungkan upacara pernikahan. Beliau juga mengatakan bahwa pada upacara pernikahan tersebut menggunakan adat Melayu karena kedua mempelai suku Melayu. Saya berniat untuk datang ke acara pernikahan tersebut agar dapat memperhatikan dan memahami penggunaan pulut kuning pada upacara tersebut. Kami berbincang dan saya mencatat beberapa informasi yang penting. Bapak Abu Yahman dengan kebaikan hatinya menunjukkan rumah yang akan membuat pulut kuning yang akan di hidangkan pada acara pernikahan tersebut. Saya pun dengan senang hati menuju rumah yang dimaksud Bapak Abu
19
Yahman. Tidak jauh dari kantor kepala desa, saya pun tiba di rumah Ibu Aisyah (44 tahun). Ibu Aisyah dikenal sebagai orang yang sering menerima pesanan pembuatan pulut kuning untuk upacara-upacara, baik upacara pernikahan, pemberian nama anak, khitan, dan melepas anak mengaji kepada tuan guru. Ibu Aisyah juga sangat memahami cara pembuatan, bahan, makna-makna, serta fungsi yang ada di dalam pembuatan pulut kuning yang di sajikan. Saya pun melakukan wawancara kepada Ibu Aisyah. Pada saat saya melakukan wawancara, Ibu Aisyah di temani anak perempuannya yang duduk di bangku kelas II SMA. Dedek (18 tahun) yang duduk di bangku kelas II SMA ini sering membantu Ibu Aisyah dalam pembuatan pulut kuning. Pesanan cukup banyak disetiap minggunya karena selain menyediakan untuk acara-acara perkawinan, warga juga sering memesan untuk acara perwiritan. Ibu Aisyah mengakui bahwa warga lebih terbantu dengan menempah pulut kuning kepadanya karena menghemat waktu dan rasa yang enak. Ibu Aisyah juga kebanjiran orderan pulut kuning saat mendekati hari-haru besar Islam. Ibu Aisyah juga sempat menunjukkan kepada saya bahan-bahan pembuatan pulut kuning dengan beragam bentuk sajian. Saya sangat terbantu dengan keterangan yang diberikan Ibu Aisyah karena sangat padat dan jelas. Terlebih lagi penjelasan ini saya dapatkan langsung dari orang yang benar-benar memahami serta sudah lama menetap di Hamparan Perak ini. Setelah berbincang cukup lama, saya pun mengakhiri wawancara dan pamit untuk pulang. Saya berencana untuk kembali lagi di hari minggu saat upacara pernikahan di laksanakan agar dapat melihat langsung penggunaan pulut kuning di acara tersebut.
20
Minggu pagi saya sudah tiba di rumah dimana akan di langsung kan pernikahan. Saya pun meminta izin kepada tuan rumah pemilik hajatan untuk melakukan beberapa dokumentasi. Mereka pun mengizinkan saya. Bapak Sulaiman (55 tahun) sebagai perwakilan keluarga pihak laki-laki dengan antusias menjelaskan beberapa tahapan-tahapan penggunaan pulut kuning. Menurut Bapak Sulaiman, peran pulut kuning tidak dapat tergantikan sebagai bagian dari berbagai upacara-upacara pada tradisi Melayu. Bapak Sulaiman tidak dapat terlalu lama berbincang kepada saya karena peran sebagai wali keluarga pada upacara pernikahan ini. Upacara pernikahan tidak berlangsung lama. Setelah saya memperhatikan beberapa tahapan-tahapan pada upacara pernikahan saya pun pulang kerumah karena saya sudah merasa cukup dengan beberapa informasi yang telah saya dapatkan baik di hari itu, maupun di hari-hari sebelumnya. Saya sangat berterimakasih atas kerjasama dan bantuan serta kemudahan yang diberikan kepada saya saat melakukan penelitian di desa ini. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat berharga dan luar biasa menurut saya karena tulisan hasil penelitian saya ini nantinya akan menjadi skripsi sekaligus sebagai pengetahuan bagi yang membutuhkannya.
21