BAB I. PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG MASALAH
1.
Latar Belakang Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia sangat rentan terhadap
munculnya berbagai jenis penyakit infeksi. Temperatur yang lembab dan udara yang
berdebu
juga
mendukung
tumbuh
suburnya
berbagai
macam
mikroorganisme. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau parasit. Mikroorganisme tersebut dapat menjangkiti manusia secara langsung ataupun tidak langsung. Penyakit infeksi yang tidak segera ditangani dapat terus berkembang dari waktu ke waktu serta berakibat fatal dan menyebabkan kematian (Ishak, 2012). Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumber daya alam yang sangat tinggi dan beranekaragam. Saat ini sebagian besar penelitian hanya menggali dan meneliti bahan baku obat-obatan yang berasal dari darat saja. Padahal laut merupakan sumber kekayaan alam yang tidak terbatas dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Potensi sumber daya kelautan tersebut dapat terus digali guna meningkatkan kesejahteraan manusia khususnya dalam bidang kesehatan (Nofiani, 2008). Organisme laut merupakan sumber daya yang sangat potensial dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif sebagai bahan baku obat-obatan. Spons
1
2
merupakan biota laut invertebrata yang memiliki komponen bioaktif beragam dan belum banyak dimanfaatkan. Spons mengandung senyawa bioaktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa bioaktif yang dihasilkan
oleh
tumbuhan
darat
(Muniarsih
dan
Rachmaniar,
1999).
Mikroorganisme yang berasosiasi dengan spons atau mikroba simbion spons diketahui dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang memiliki aktivitas sebagai antikanker, antibakteri, antifungi, dan antiinflamasi (Jensen dan Fenical, 2000). Penelitian ini dilakukan untuk mencari senyawa aktif sebagai antibakteri dari mikroba simbion pada spons kode 44B yang berasal dari Pulau Menjangan, Bali. Produksi metabolit dari mikroba simbion spons dilakukan dengan fermentasi dan ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat. Etil asetat dipilih sebagai pelarut untuk ekstraksi karena etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi polar sehingga mempunyai dua sifat kelarutan, yaitu hidrofilik dan lipofilik (Sarker et al., 2006). Suatu senyawa antimikroba dengan nilai HLB (Hydrophilic Lipophilic Balance) yang lebih tinggi akan memiliki aktivitas antimikroba yang lebih besar karena adanya interaksi antara sel mikroba dan senyawa antimikroba (Vieira dan Ribeiro, 2006). Ekstrak etil asetat mikroba simbion spons diuji aktivitas antibakterinya terhadap
bakteri Escherichia
coli
dan
Staphylococcus
aureus.
Alasan
menggunakan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus adalah bahwa menurut Jawetz et al., (2001) kedua bakteri tersebut paling sering berhubungan dengan aktivitas manusia. Pada penelitian ini juga dilakukan karakterisasi
3
golongan senyawa aktif sebagai antibakteri dengan uji KLT kualitatif dan uji bioautografi. Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan senyawa antibakteri baru yang poten dan memiliki toksisitas rendah. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: a.
Bagaimana potensi antibakteri ekstrak etil asetat mikroba simbion spons kode 44BC1 terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus?
b.
Senyawa golongan apakah yang bertanggung jawab sebagai antibakteri pada ekstrak etil asetat mikroba simbion spons kode 44BC1?
3.
Tujuan Penelitian
a.
Mengetahui potensi antibakteri ekstrak etil asetat mikroba simbion spons kode 44BC1 terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
b.
Mengetahui golongan senyawa yang bertanggung
jawab sebagai
antibakteri pada ekstrak etil asetat mikroba simbion spons kode 44BC1.
B.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Mikroba Simbion Spons Spons merupakan hewan metazoa multiseluler primitif yang termasuk
dalam golongan filum porifera yang berarti memiliki pori-pori dan saluran. Spons bersifat filter feeder yaitu menyaring dan mengisap air melalui pori-pori untuk
4
kemudian dialirkan ke seluruh tubuhnya melalui saluran dan dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Mikroorganisme yang ditemukan berasosiasi dengan spons sering disebut sebagai mikroba simbion spons. Hubungan antara spons dan mikroba simbionnya dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu sebagai mutualisme obligat (simbion hanya dapat hidup pada inangnya sedangkan di luar inang tidak dapat hidup), mutualisme fakultatif (mikroba simbion bersifat parasit jika menemukan inang yang sesuai dan bersifat saprofit jika tidak menemukan inang yang sesuai), dan komensalisme (adanya mikroba simbion tidak memberikan keuntungan maupun kerugian bagi spons) (Taylor et al., 2007). Spons dapat berasosiasi dengan mikroorganisme heterotropik (fungi, protista, eubacteria, dan archea) dan fototropik (Cyanobacteria, alga) yang dapat ditemukan di dalam jaringan spons (Osinga et al., 2001). Mikroorganisme heterotropik dan fototropik tersebut bersimbiosis dengan spons di bagian luar tubuh spons (eksosimbiosis ekstraseluler), di sisi dalam tubuh spons (endosimbiosis ekstraseluler), di dalam sitoplasma spons (simbiosis intraseluler), dan di dalam inti sel spons (simbiosis intranukleus) (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh spons melalui pori-porinya dan bersimbiosis dengan spons karena spons menyediakan habitat yang nyaman serta nutrisi bagi mikroorganisme simbion. Di sisi lain, mikroba simbion juga membantu metabolisme dan nutrisi di dalam tubuh spons dengan berbagai proses
5
seperti fiksasi nitrogen, fotosintesis, dan nitrifikasi (Taylor et al., 2007). Selain menghasilkan senyawa bioaktif, mikroba simbion spons juga berperan sebagai pertahanan diri terhadap predator (Lee et al., 2001), penghasil enzim antioksidan dan pelindung dari radiasi sinar ultraviolet (Steindler et al., 2002), meningkatkan kemampuan spons untuk bersaing dengan organisme lain, serta menghambat mikroba patogen (Faulkner et al., 1994). 2.
Produk Metabolit Sekunder Mikroba Simbion Spons Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa mikroba
simbion spons dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang memiliki berbagai macam aktivitas. Mikroba genus Prorocentrum yang bersimbiosis dengan spons Halichondria okadai dan H. melanodocia menghasilkan senyawa asam okadaat sebagai metabolit yang berguna untuk diet (Faulkner et al., 2000).
Gambar 1. Struktur Molekul Asam Okadaat (Faulkner et al., 2000)
6
Selain itu, sianobakteri Oscillatoria spongelliae yang bersimbiosis dengan spons Dysidea herbacea
mengandung senyawa seskuiterpen
spirodisin,
herbadisidolid, dan 13-dimetilsodisidenin. Setelah dilakukan pemisahan pada sel sianobakteri, diketahui bahwa metabolit terbanyak yang dihasilkan adalah 13dimetilsodisidenin (Faulkner et al., 2000).
(a)
(b)
(c) Gambar 2. Struktur Molekul seskuiterpen spirodisin (a), herbadisidolid (b), dan 13dimetilsodisidenin (c) (Faulkner et al., 2000)
7
Sianobakteri simbion Aphanocapsa feldmanni yang terdapat pada spons Theonella swinhoei juga diketahui menghasilkan senyawa theonegramid, theopalauamid, dan swinholid A. Senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas sebagai antifungi dan bersifat sitotoksik (Faulkner et al., 2000).
(a) R1 = β-D-arabinose (b) R1 = β-D-galaktose
8
(c) Gambar 3. Struktur Molekul theonegramid (a), theopalauamid (b), dan swinholid A (c) (Faulkner et al., 2000)
Aktinomicetes
yang
terdapat
pada
spons
Chainia
sp
diketahui
menghasilkan senyawa bioaktif hidroksikuinon SS-228Y yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri Gram positif dengan rentang nilai KHM (Kadar Hambat Minimum) 1-2 µg/ml. Senyawa hidroksikuinon SS-228Y juga memiliki aktivitas terhadap murine Ehrlich carcinoma dan dopamin-β-hidroksilase (Jensen dan Fenical, 2000). Selain itu, Pseudomonas yang ditemukan terdapat pada Alga menghasilkan senyawa Massetolid A yang bersifat antibakteri terhadap Mycobacterium tuberculosis (Jensen dan Fenical, 2000).
9
Gambar 4. Struktur Senyawa hidroksikuinon SS-228Y (Jensen dan Fenical, 2000)
Gambar 5. Struktur Senyawa Massetolid A (Jensen dan Fenical, 2000)
3.
Identifikasi Mikroorganisme Identifikasi mikroorganisme dapat dilakukan dengan cara pengamatan
mikroskopis, pengamatan morfologi (makroskopis), metode molekuler, dan metode biokimiawi.
10
a.
Pengamatan Mikroskopis Pengamatan mikroskopis umumnya dilakukan dengan menggunakan
mikroskop. Untuk memudahkan pengamatan maka dilakukan prosedur pewarnaan dengan berbagai metode, antara lain pewarnaan sederhana (simple stain), pewarnaan diferensial (differential stain), dan pewarnaan khusus (special stain) (Pratiwi, 2008). Pada pewarnaan sederhana hanya digunakan satu macam pewarna seperti safranin atau carbol fuchsin. Pewarnaan khusus digunakan untuk mewarnai bagian-bagian spesifik dari mikroba, seperti flagela, endospora, dan kapsul. Pewarnaan yang umum digunakan untuk identifikasi mikroorganisme adalah pewarnaan diferensial yang menggunakan lebih dari satu macam pewarna dengan pereaksi Gram. Pereaksi Gram ini dapat membedakan dua kelompok bakteri, yaitu Gram positif dan Gram negatif. Prosedur pewarnaan Gram diawali dengan fiksasi bakteri serta pemberian pewarna basa, yaitu crystal violet yang akan menyebabkan seluruh sel berwarna ungu. Selanjutnya ditambahkan iodin sebagai mordant (penajam) dan dilakukan pencucian. Sel kemudian ditambah alkohol sebagai decolorizing agent (peluntur warna), dimana sel Gram positif tetap berwarna ungu karena mengikat crystal violet dan sel Gram negatif warnanya akan hilang. Langkah terakhir adalah pewarnaan kembali dengan safranin yang akan mewarnai sel Gram negatif sehingga berwarna merah sedangkan sel Gram positif tetap berwarna ungu (Pratiwi, 2008).
11
Dasar pewarnaan Gram adalah adanya pebedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram postif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal dan kokoh sehingga crystal violet yang masuk ke dalam sel tidak dapat tercuci oleh alkohol. Sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif hanya memiliki satu lapis peptidoglikan yang dikelilingi membran yang mengandung lipopolisakarida sehingga crystal violet yang masuk ke sel dapat tercuci oleh alkohol dan sel akan berwarna merah dengan adanya safranin (Goldman dan Green, 2009). b.
Pengamatan Morfologi (Makroskopis) Pengamatan morfologi dilakukan dengan mengamati bentuk dan warna
koloni mikroorganisme menggunakan mikroskop (Aditiwati dan Kusnadi, 2003). c.
Metode Molekuler Pengamatan mikroorganisme dengan metode molekuler dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti PCR (Polymerase Chain Reaction), hibridisasi asam nukleat, sidik jari DNA, penentuan komposisi DNA, dan sekuensing ribosomal RNA (Tortora et al., 2001). d.
Metode Biokimiawi Pengamatan mikroorganisme dengan metode biokimiawi dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti menumbuhkan mikroorganisme pada media diferensial antara lain yaitu media MSA (Mannitol Salt Agar), media fenilalanin deaminase, dan media starch Agar serta dengan melakukan uji diferensial seperti
12
uji reduksi nitrat, uji asam amino dekarboksilase, dan uji oksidatif-fermentatif (Reynolds, 2010). 4.
Produksi Metabolit Produksi metabolit pada penelitian ini dilakukan dengan teknik fermentasi
dan ekstraksi. Fermentasi berasal dari bahasa latin fervere yang memiliki arti mendidih. Dilihat dari segi mikrobiologi industri, fermentasi merupakan proses pengembangbiakkan mikroorganisme dalam skala besar, produk yang diperoleh adalah metabolit sekunder dari mikroorganisme, seperti antibiotik penisilin. Sedangkan dilihat dari segi biokimia, fermentasi merupakan proses pembentukan energi melalui katabolisme senyawa organik yang berfungsi sebagai pemberi dan penerima elektron (Stanbury et al., 1994). Pada penelitian ini fermentasi yang dimaksud adalah fermentasi mikrobiologi industri, dimana dilakukan perbanyakan mikroorganisme untuk diambil metabolit sekundernya. Terdapat tiga teknik fermentasi menurut Harada et al., (1997); Patrick dan Finn (2008), yaitu batch culture, fed batch culture, dan continuous culture. a.
Batch Culture Batch culture merupakan teknik fermentasi yang paling sederhana dan
sering digunakan pada skala laboratorium. Sistem yang digunakan adalah sistem tertutup dimana semua nutrisi yang dibutuhkan sel untuk pertumbuhan serta produk yang dihasilkan berada dalam satu tempat. Kelebihan teknik ini adalah mudah dibuat dan hanya dibutuhkan sedikit alat, sedangkan kekurangannya
13
adalah adanya variasi antar batch serta dapat terjadi produk toksik yang membatasi pertumbuhan sel dan produk yang diinginkan. b.
Fed Batch Culture Pada sistem fed batch culture, terjadi pergantian medium, nutrisi, serta
produk sehingga tidak terjadi kejenuhan media dengan produk yang dihasilkan. Selain itu, pada sistem ini juga dihasilkan produk dengan jumlah yang lebih banyak. Namun, proses fed batch culture lebih lama dibandingkan dengan batch culture. c.
Continuous Culture Teknik fermentasi continuous culture umumnya digunakan untuk skala
industri. Teknik ini merupakan perpanjangan dari fase eksponensial pada batch culture. Proses pergantian nutrisi,
media,
serta produk terjadi secara
berkesinambungan pada waktu yang sama. Pertumbuhan mikroorganisme dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu fase lag, fase log (fase eksponensial), fase stasioner, dan fase kematian. Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme dengan lingkungan baru yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan jumlah sel, namun yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Fase selanjutnya adalah fase log atau fase eksponensial dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada kondisi pertumbuhan, sifat media, dan genetika mikroorganisme. Fase ketiga adalah fase stasioner, pada fase ini pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah
14
sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Fase terakhir adalah fase kematian
dimana
terjadi
peningkatan
jumlah
sel
yang
mati
akibat
ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008). Sedangkan menurut Waites et al., (2001), terdapat enam fase pertumbuhan mikroorganisme, yaitu lag, acceleration, exponential growth, deceleration, stationary, dan death phase. Fase acceleration merupakan fase awal pembelahan sel setelah fase adaptasi dan fase deceleration merupakan fase awal terjadinya peningkatan metabolit dan penurunan nutrisi.
Gambar 6. Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme dengan Metode Fermentasi Batch Culture (Waites et al., 2001)
Pertumbuhan mikroorganisme dapat diukur dengan dua cara, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran pertumbuhan mikroorganisme secara langsung dapat dilakukan dengan pengukuran menggunakan bilik hitung
15
(counting chamber), electronic counter, platting technique, dan teknik filtrasi membran (membrane filtration technique). Sedangkan pengukuran pertumbuhan mikroorganisme secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pengukuran kekeruhan (turbidity) menggunakan spektrofotometer, pengukuran aktivitas metabolik, dan pengukuran berat sel kering (BSK) (Pratiwi, 2008). Ekstraksi atau penyarian merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair yang sesuai. Cairan penyari dalam proses ekstraksi adalah cairan yang optimal untuk senyawa aktif sehingga senyawa aktif tersebut dapat terpisah dari bahan dan senyawa lainnya. Pada proses ekstraksi metabolit mikroba, diperlukan pemisahan sel-sel mikroba dari medium cair sebelum dilakukan proses ekstraksi. Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain dengan sentrifugasi, presipitasi, atau filtrasi, tergantung ukuran dan morfologi sel mikroba serta konsistensi media cair (Seidel, 2006). Dalam penelitian ini, metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Maserasi merupakan metode yang sederhana dan paling sering digunakan. Keuntungan proses maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang sederhana serta mudah dilakukan. Sedangkan kerugian proses maserasi adalah volume penyari yang dibutuhkan besar, waktu pengerjaannya lama, serta proses penyarian yang kurang sempurna pada beberapa senyawa yang kurang larut pada suhu kamar. Maserasi dapat dilakukan dengan cara merendam sampel di dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan melarutkan zat aktif yang
16
terdapat di dalam sel. Peristiwa ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi cairan di dalam dan di luar sel, sehingga cairan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar sel. Proses tersebut terjadi secara berulang-ulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi cairan di dalam dan di luar sel (Voight, 1994). 5.
Uji Aktivitas Antimikroba Metode yang digunakan untuk melakukan uji aktivitas antimikroba ada
dua macam, yaitu metode difusi dan metode dilusi. a.
Metode Difusi Metode difusi didasarkan pada kemampuan difusi senyawa antimikroba
pada media Agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji. Menurut Pratiwi (2008), terdapat beberapa macam metode difusi, yaitu: 1.1
Disc Diffusion (tes Kirby Bauer) Pada metode ini agen antimikroba yang berada di dalam piringan
diletakkan pada media Agar yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme. Antimikroba akan berdifusi pada media Agar dan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme ditunjukkan dengan area jernih di sekitar piringan. 1.2
E-test Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen
antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi. Strip plastik diletakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami mikroorganisme. Area jernih yang ditimbulkan
menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme.
kadar
agen
antimikroba
yang
menghambat
17
1.3
Ditch-plate Technique Pada metode ini agen antimikroba diletakkan pada parit yang dibuat
dengan cara memotong media Agar pada bagian tengah secara membujur. Mikroba uji digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba. 1.4
Cup-plate Technique Pada metode ini dibuat sumuran pada media Agar yang telah ditanami
dengan mikroorganisme, selanjutnya agen antimikroba yang akan diuji dimasukkan ke dalam sumuran tersebut. 1.5
Gradient-plate Technique Pada metode ini digunakan agen antimikroba dengan konsentrasi di media
Agar bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar kemudian dicairkan dan agen antimikroba ditambahkan. Campuran tersebut dituang ke dalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring. Cawan petri diinkubasi selama 24 jam agar agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. b.
Metode Dilusi Metode dilusi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dilusi cair (broth
dilution) dan dilusi padat (solid dilution). Pada dilusi cair dan dilusi padat digunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan diinkubasi pada suhu 37℃ selama 24 jam. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang tampak jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM (Kadar Hambat Minimum).
18
Larutan uji yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun senyawa antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Kadar Bunuh Minimum) (Pratiwi, 2008). Agen Antimikroba
0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml
0,1 ml
9,9 ml media pertumbuhan
Tidak Terdapat Pertumbuhan Mikroba
Terdapat Pertumbuhan Mikroba
KHM Gambar 7. Metode Dilusi Cair (Hogg, 2005)
Uji aktivitas antimikroba dengan metode dilusi cair umumnya dilakukan menggunakan tabung reaksi, namun karena kurang praktis dan jarang dipakai, maka saat ini dapat digunakan cara yang lebih sederhana, yaitu menggunakan microdilution plate. Keuntungan metode mikrodilusi cair ini adalah dapat memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan
19
untuk menghambat viabilitas bakteri (Jawetz et al., 2005). Pada metode mikrodilusi cair ini dapat digunakan pereaksi warna sebagai agen pendeteksi. Salah
satunya
adalah
dengan
MTT
(3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-
diphenyltetrazolium bromide). Uji dilakukan dengan mengukur reduksi warna kuning pada MTT oleh enzim mitokondrial reduktase pada mitokondria sel hidup, dimana terdapat aktivitas metabolik di dalamnya. Enzim mitokondrial reduktase akan memotong cincin tetrazolium pada MTT sehingga terbentuk kristal formazan berwarna ungu yang tidak larut dalam aqueous. Perubahan warna dari kuning menjadi ungu mengindikasikan adanya pertumbuhan mikroba. Sebaliknya, jika tidak tampak perubahan warna dari kuning menjadi ungu berarti mengindikasikan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Anonim, 2007). 6.
Karakterisasi Golongan Senyawa Aktif
a.
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis merupakan suatu metode pemisahan dimana fase
gerak bergerak terhadap fase diam yang berupa lapisan seragam pada permukaan bidang datar. Fase gerak atau yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara ascending (menaik), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara descending (menurun). Kromatografi lapis tipis memiliki beberapa keuntungan antara lain, peralatannya sederhana dan murah, banyak digunakan untuk tujuan analisis, dapat digunakan pereaksi warna untuk identifikasi pemisahan komponen, elusi dapat dilakukan secara menaik, menurun, atau 2 dimensi serta ketepatan
20
penentuan kadar lebih baik karena komponen yang ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase diam yang digunakan dalam sistem kromatografi lapis tipis merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel berkisar antara 1030 µm. Semakin kecil ukuran partikel fase diam, maka semakin baik efisiensi serta resolusinya. Bahan yang sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa dengan bahan pengikat yaitu kalsium sulfat. Fase diam tersebut dapat dimodifikasi untuk tujuan tertentu. Sistem fase gerak yang paling sederhana adalah campuran 2 macam pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah diatur sehingga didapatkan pemisahan yang optimal. Mekanisme pemisahan pada KLT adalah adsorpsi dan partisi (Gandjar dan Rohman, 2007). Pemisahan kromatografi lapis tipis yang optimal dapat diperoleh apabila sampel yang ditotolkan sekecil mungkin. Volume sampel yang ditotolkan paling sedikit adalah 0,5 µl untuk memperoleh reprodusibilitas. Pengembangan dilakukan dalam suatu bejana yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Rf merupakan perbandingan jarak yang ditempuh bercak dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Bercak yang umumnya tidak berwarna pada KLT dapat dideteksi secara kimia, fisika, dan biologi. Secara kimia dapat dilakukan dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi sehingga
21
bercak menjadi jelas. Sedangkan secara fisika dapat dilakukan pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2007). b.
Bioautografi Bioautografi adalah metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada
kromatogram hasil KLT yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, dan antivirus, sehingga mendekatkan metode pemisahan dengan uji biologis. Metode bioautografi bersifat efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks (Pratiwi, 2008). Pada bioautografi, lempeng KLT diletakkan pada media padat yang telah diinokulasi dengan mikroba selama 10-15 menit. Selanjutnya media padat tersebut diinkubasi pada suhu 37℃ selama 15-20 jam. Adanya zona jernih menunjukkan senyawa aktif mampu menghambat aktivitas dari mikroba uji. Bioautografi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif dengan cara mengukur diameter zona hambatan dengan mikrofilm yang dihubungkan dengan konsentrasi senyawa antimikroba uji pada zona tersebut (Zweig dan Whitaker, 1971). Bioautografi dapat dibagi menjadi 3 metode, yaitu: 1.1
Bioautografi langsung Bioautografi langsung dilakukan dengan menyemprot lempeng KLT
menggunakan suspensi mikroorganisme atau menyentuhkan lempeng KLT pada permukaan media Agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme. Kemudian lempeng KLT diinkubasi pada waktu tertentu sehingga didapatkan letak senyawa
22
aktif yang tampak sebagai zona jernih dengan latar belakang keruh (Pratiwi, 2008). 1.2
Bioautografi overlay Bioautografi overlay dilakukan dengan menuangkan media Agar yang
telah dicampur dengan mikroorganisme di atas permukaan lempeng KLT kemudian media ditunggu hingga padat dan diinkubasi. Zona hambatan dapat diamati dengan penyemprotan menggunakan tetrazolium klorida. Senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antimikroba akan tampak sebagai zona jernih dengan latar belakang berwarna ungu (Pratiwi, 2008). 1.3
Bioautografi kontak Bioautografi kontak dilakukan dengan memindahkan senyawa antimikroba
yang terdapat pada lempeng KLT ke medium Agar yang telah diinokulasi mikroba uji sehingga dapat terjadi kontak langsung. Senyawa antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng KLT ke media Agar akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Senyawa antimikroba akan membentuk zona jernih di permukaan (Djide et al., 2005). Selain menggunakan sinar tampak dan sinar UV, identifikasi bercak dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi semprot. Terdapat beberapa pereaksi semprot yang biasa digunakan, antara lain: a.
Dragendorff, untuk mendeteksi senyawa alkaloid dan senyawa yang mengandung komponen nitrogen. Warna yang ditimbulkan adalah oranye
23
coklat
dengan
latar
belakang
kuning
untuk
senyawa
alkaloid
(Spangenberg, 2008); b.
Ferri klorida, untuk mendeteksi adanya senyawa fenol, flavonoid, tanin, asam hidroksamat, zat pahit, dan hiperisin. Warna yang ditimbulkan adalah merah untuk senyawa golongan fenolik (Spangenberg, 2008);
c.
Anisaldehid asam sulfat, untuk mendeteksi adanya senyawa terpenoid, propilpropanoid, saponin, zat pahit, zat pedas, gula, dan steroid. Intensitas warna maksimum akan timbul setelah dilakukan pemanasan pada suhu 100-105℃ selama 5-10 menit (Spangenberg, 2008);
d.
Dinitrofenilhidrazin (2,4-DNPH), untuk mendeteksi adanya senyawa dengan ikatan rangkap karbonil seperti gugus aldehid dan keton. Warna yang timbul adalah kuning-merah setelah dipanaskan 100℃ selama 5-10 menit (Spangenberg, 2008);
e.
KOH etanolik 5%, untuk mendeteksi senyawa antrakuinon dan kumarin. Bercak yang positif mengandung antrakuinon akan berwarna merah pada sinar tampak, gugus antron akan berwarna kuning pada UV 366 nm, dan senyawa kumarin akan berwarna biru pada UV 366 nm (Sutrisno, 1986).
C.
KETERANGAN EMPIRIS Dari penelitian ini ingin diketahui potensi ekstrak etil asetat hasil
fermentasi mikroba simbion spons kode 44BC1 dari Pulau Menjangan Bali sebagai antibakteri terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus serta karakterisasi senyawa aktifnya.