BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Sebelum era reformasi 1, penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek maladministrasi, antara lain terjadnyai korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif, jujur, bersih, terbuka, bebas dan adil terkendali. Praktik Korupsi Kolusi Nepotisme sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga hal ini menyebabkan masyarakat semakin sukar untuk memperoleh pelayanan sesuai dengan haknya sebagai seorang warganegara. Bentuk dari kekecewaan tersebut mendorong masyarakat, khususnya mahasiswa dan kaum terpelajar, untuk melakukan gerakan reformasi pada tahun 1998 yang terjadi hampir diseluruh plosok daerah di Indonesia 2. Salah satu alasan dari diadakannya reformasi adalah diharapkan adanya perubahan mental dan kultur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keinginan ini kemudian menjadi dorongan
berbagai kalangan
masyarakat untuk mendirikan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengawasi kinerja pemerintahan, seperti Indonesian Corruption Watch. Sistem Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh berbagai LSM, mahasiswa dan
1
Era reformasi di Indonesia dimulai pada 21 Mei 1998 ketika jabatan Kepresidenan Soeharto lengser atas tuntutan mahasiswa,dan hampir seluruh anggota masyarakat di Indonesia.Lihat Abdul Ghoffar,perbandingan kekuasaan Presiden Indonesia setelah perubahan UUD 1945 dengan delapan Negara maju,Kencana Prenada,Jakarta,2009,Hal.9 2 http:// alumnisejarah.ucoz.com
komponen demokrasi lainnya memiliki fungsi terbatas sebagai lembaga yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap struktur birokrasi dan kekuasaan. Pada saat yang sama, lembaga pemerintahan yang bertugas untuk melakukan pengawasan internal juga tidak bekerja secara maksimal, bahkan bertindak tidak lebih sebagai alat justifikasi dan pelindung pejabat publik yang malah melakukan penyimpangan 3. Dalam kondisi seperti ini,rasa keadilan masyarakat menjadi berkurang, Di saat yang sama masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi kehidupan perekonomian yang sangat sulit,Keadaan tersebut merupakan awal mula terbentuknya pandangan negatif terhadap pemerintah dan institusi kenegaraan lainnya sehingga menimbulkan dampak yang menuju pada keadaan anti sosial yang tidak percaya kepada pemerintahan. Dengan dimulainya era reformasi, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif menjadi harapan setiap warga negara.Hal inilah yang menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak mereka kurang mendapat perhatian dan pengakuan secara layak, padahal pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,keadilan,kepastian hukum dan kedamain 4. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 yang
3
Antonius Sujata,Peranan Ombudsman dalam Pemberantasan dan Pencagahan Korupsi serta Pelakasanaan Pemerintahan yang Baik,Komisi Ombudsman Indonesia,2006 4 Yusril Ihza Mahendra,Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia,Departemen Kehakiman dan Departemen HAM RI
berbunyi Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan keadilan itulah,maka badan-badan kenegaraan yang ada diharapkan dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara optimal dengan harapan pemerinthan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi badanbadan pengawasan tersebut masih diragukan keterbukaannyadalam melakukan tugas-tugasnya. Kurang optimalnya fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan oleh badan pengawasan eksternal yang independen dan bebas dari campur tangan kepentingan pihak manapun dan mempunyai akses pengawasan yang berpengaruh terhadap
struktur
lainnya.Lembaga
birokrasi
pemerintahan
maupun
lembaga
kenegaraan
tersebut
diharapkan
memiliki
satu
kepentingan
yaitumuwujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Melihat begitu kompleksnya masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa ini sehubungan dengan sulitnya mendapatkan rasa keadilan maka muncullah
gagasan untuk membentuk Ombudsman sebagai sebuah institusi resmi untuk mengawasi jalannya pemerintahan,ide awal mula Ombudsman dilahirkan, dengan harapan dapat memberikan keadilan yang diperlukan sebagai hak dari masyarakat yang merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang berdaulat. Lembaga Ombudsman tersebut diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagaimana yang diamanatkan oleh banyak pihak, terutama masyarakat biasa, yang sangat menginginkan keadilan menjadi milik mereka juga. Lahirnya Ombudsman di Indonesia berawal pada masa Pemerintahan Presiden Abdul Rahman Wahid akibat adanya tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas korupsi kolusi dan nepotisme.Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan penyelenggara negara maupun pemerintah,Termasuk memiliki kewenangan dalam mengawasi pelayanan publik yang diselenggarakan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan hukum milik negara, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ombudsman bersifat independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang mengandung azas kebenaran, keadilan, non diskriminasi, tidak memihak, transparansi, keseimbangan dan kerahasiaan. 5
5
Ombudsman Indonesia : Masa Lalu,Sekarang dan Masa Mendatang, Komisi Ombudsman Nasional,2002
Ombudsman sebagai lembaga independen yang bersifat mengawasi diharapkan tetap pada komitmen awal pembentukannya yaitu memberi dorongan agar pekerja publik mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Bagaimanapun Ombudsman sebagai institusi pengawasan tetap berjalan di tempatnya agar penyelenggara negara yang memperoleh dorongan Ombudsman segera berjalan cepat menuju ke arah pemerintahan yang lebih baik (good government). 6 Namun seiring dengan berjalannya waktu yang sudah hampir sebelas tahun sejak Ombudsman didirikan sejak pertama kali, masyarakat tidak begitu memahami Ombudsman itu sendiri.sehinga Komisi Ombudsman terkesan berjalan di tempat. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis merasa tertarik dengan Komisi Ombudsman yang telah ada namun tidak banyak yang mengetahuinya dan akan mengangkatnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul ”Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di Indonesia”. Penulis sangat mengingginkan agar penulisan skripsi ini dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memberikan saran demi kemajuan penulis sendiri khususnya.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penulisan skripsi dengan judul “Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di Indonesia” antara lain :
6
Budhi Masturi,Ombudsman Dalam Transisi Demokrasi di Indonesia,Google (diakses tanggal 17 Maret 2013) http : // perpustakaan bphn.go.id
1.
Bagaimanakah kedudukan dan Peranan Ombudsman dalam pembagian kekuasaan menurut Hukum Tata Negara?
2.
Bagaimanakah kedudukan dan peranan Ombudsmaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia ?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan dari penulisan ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan peranan Ombudsman dalam pembagian kekuasaan menurut Hukum Tata Negara
2.
Untuk mengetahui kedudukan dan peranan Ombudsman Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia.
Selain untuk mencapai tujuan, penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara umum yaitu bagi perkembangan kemajuan hukum di Indonesia khususnya Hukum Tata Negara. Penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis Hasil penelitian yang akan dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya ilmu hukum Tata Negara. 2. Secara praktis Penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi para pelaksana Ombudsman di Indonesia, ahli Hukum Tata Negara, aparatur pemerintahan khususnya dalam hal
birokrasi dan administrasi, sehingga dapat memperbaiki kinerja kerja para aparatur pemerintahan tersebut demi mewujudkan Indonesia yang bersih dari berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
D. Keaslian Penulisan Untuk mengetahui orisinalitas penulisan,sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat
tertanggal 18 Februari 2012 (terlampir) menyatakan tidak ada judul yang memiliki kesamaan. Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Bapak Armansyah,S.H,M.Hum (Ketua Departemen Hukum Tata Negara)untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis,karena belum pernah ada judul skripsi yang bersamaan dengan judul yang saya ajukan. Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet,dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan,belum ada penulis yang mengangkat topik tersebut Sekalipun ada,hal itu diluar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ininadalah murni hasil pemikiran Penulis yang
didasarkan pada pegertian-pengertian,teori-teori,dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik.Oleh karena itu,Penulis menyatakan
bahwa
skripsi
ini
adalah
karya
asli
penulis
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakan Penulisan skripsi ini berkaitan dengan Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI Dalam Penegakan Hukum di Indonesia.Adapun Tinjauan Kepustakaan tentang skripsi ini,adalah sebagai berikut : 1. Lembaga Negara Kelembagaan Negara berkaitan dengan “teori perjanjian masyarakat” yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana terkenal yaitu : A.Montesque Menurut pendapat Montesque,kekuasaan Negara dibagi atau dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri,yaitu: a.1.Kekuasaan Perundang-Undangan (Legislatif) a.2.Kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif) a.3.Kekuasaan kehakiman (judikatif) Ajaran ini kemudian terkenal dengan ajaran Trias Politika,dengan adanya ajaran ini Montesque berpendapat bahwa,apabila kekuasaan Negara itu dipisahkan secara
tegas
menjadi,yaitu:kekuasaan
perundang-undangan,kekuasaan
melaksanakan pemerintahan,dan kekuasaan kehakiman,dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri,ini akan
menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa,atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme 7. John Locke menyatakan keadaan alamiah adalah suatu keadaan di mana manusia hidup bebas dan sederajat,keadaan disini sudah bersifat sosial,karenaa manusia hidup rukun dan tentram sesuai dengan hukum akal (law of reason) yang mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik dari sesamanya 8. Dalam bukunya yang berjudul “ two Treatises on Civil Government “ (1690) John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap Negara dalam 9 : b.1.Kekuasaan legislatif,yaitu kekuasaan untuk membuat Undang-Undang; b.2.Kekuasaan eksekutif,yaitu kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang b.3.Kekuasaan federatif,yaitu kekuasaan mengadakan perserikatan dan alliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar negeri. Van Vollenhoven menganjurkan teori Catur Praja (Quarto Politica) yang terdiri atas penyelenggara pemerintahan (bestuur), kepolisian, peradilan, dan legislatif. Menyelenggarakan pemerintahan mangandung makna proaktif, dan van Vollenhoven memperkenalkan prinsip vrijbestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu kewajiban dan hak yang melekat pada diri pejabat publik begitu diangkat 10.
7
Soehini,S.H.Ilmu Negara,1986,hal117 Samidjo,S.H.Ilmu Negara,2002,hal 89 9 Ibid,hal 92. 10 Ibid,hal 102. 8
Kewajibannya menganut stelsel residual theory, yaitu melaksanakan tugas apa saja meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, selain tugas-tugas kepolisian, peradilan, dan legislatif. Untuk melaksanakan kewajiban ini pemerintah memiliki diskresi atau kebebasan bertindak dengan prinsip freies ermessen demi menjaga kepentingan rakyat. Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu: 1) Fungsi memerintah (bestuur) Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksaan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik. 2) Fungsi polisi (politie) Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yaikni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara. 3) Fungsi mengadili (justitie) Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.
4) Fungsi mengatur (regelaar) Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara. 2.Sejarah Ombudsman di dunia Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan (seperti) Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol adalah ketika pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan sebagai “perantara” bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada Kaisar. Menurut Dean M Gottehrer[1] pada dasarnya Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam
sistem ketatanegaraan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada masa Khalifah Umar (634-644 SM) yang saat itu memposisikan diri sebagai Muhtasib, yaitu orang yang menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan (antara masyarakat dengan pejabat pemerintah). Tugas sebagai Muhtasib dijalankan Khalifah Umar dengan cara melakukan “penyamaran”, mengunjungi berbagai wilayah secara diam-diam guna mendengar sendiri keluhan langsung dari rakyat terhadap pemerintah . Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah . Dalam literatur-literatur tentang Ombudsman umumnya disebutkan bahwa ide pembentukan Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII (1697-1718) di Swedia setelah pada tahun 1709 melarikan diri ke Turki karena kalah perang dengan Rusia dalam The Great Northern War (1700-1721). Sepulang dari pengasingan tersebut, pada tahun 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles XII membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman terpengaruh dengan konsep pengawasan dalam sistem Turkish Office of Chief Justice. Pada sistem ketatanegaraan Turki saat itu, Office of Chief Justice sangat berperan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna menjamin bahwa hukum Islam harus diikuti dan diterapkan oleh seluruh penyelenggara negara, termasuk Sultan sebagai pimpinan . Bila dilihat dari mandat yang diberikan, kewenangan Chief Justice sangat mirip dengan Qadi Al Quadat pada
masa Khalifah Umar (634-644 SM) yang bertugas melidungi hak-hak rakyat dari perlakuan tidak adil serta tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Saat itu keberadaan Chief Justice sangat berpengaruh dalam penegakkan hukum terhadap penyelenggara negara di Turki. Masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil atau semena-mena oleh penyelenggara negara dapat menyampaikan keluhan kepada Chief Justice guna memperoleh tindak lanjut. Mekanisme check and balance seperti ini kemudian mengilhami Raja Charles XII membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Sebagai seorang raja, mungkin Charles XII menyadari apabila tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan Raja dan Pejabat Kerajaan saat itu berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan (tirani) yang justru akan sangat merugikan posisinya sebagai seorang raja yang sempat terlupakan akibat lama di pengasingan. Demikian selanjutnya sistem pengawasan Ombudsman di Swedia terus mengalami perkembangan hingga secara resmi The King’s Highest Ombudsman yang pada awalnya merupakan executive Ombudsman berkembang menjadi parlianmentary
Ombudsman
dengan
dimasukkannya
Ombudsman
dalam
Konstitusi Swedia Tahun 1809. Sebelum resmi diatur dalam konstitusi, Parlemen Swedia juga sempat membentuk lembaga yang fungsinya hampir sama dengan The King’s Highest Ombudsman bernama Chancellor of Justice. Sebagai institusi pengawasan yang dibentuk Parlemen, Ombudsman Swedia secara independen menjalankan tugas menerima dan menyelidiki keluhan masyarakat terhadap
penyelenggara negara. Selama satu setengah abad berlalu, institusi Ombudsman hanya dikenal di Swedia, dan baru setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke berbagai penjuru dunia
11
.
Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang dan saat ini telah ada lebih dari seratus negara yang memiliki Ombudsman. Kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi 12. Di Indonesia sendiri wacana pembentukan Ombudsman telah berkembang lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan baru menjadi kenyataan pada tahun 2000. Belum banyak buku yang menceritakan sejarah terbentuknya Ombudsman di Indonesia. Satu-satunya rekaman yang dapat kita kutip adalah dari buku yang ditulis Antonius Sujata dkk pada tahun 2002 berjudul “Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang.” Dalam buku tersebut diceritakan bahwa pada awal November 1999 Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama sekali baru. Diskusi tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan Jampidsus pada saat Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andi Ghalib. Setelah 11 12
Sujata dan Surachman , 2002:29 Masthuri: 2004
melakukan serangkaian pembicaraan Gus Dur menyepakati sebuah konsep pengawasan untuk mendukung proses pemberantasan KKN yaitu Ombudsman. Kemudian pada tanggal 8 Desember 1999 Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman dan Antonius Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk. Hal ini dirasakan Antonius Sujata sebagai sangat lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Sehingga akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres (pengganti) nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman 13 . Pembentukan Office of The King’s Highest Ombudsman
oleh Raja
Charles XII di Swedia dapat dilihat sebagai bentuk kerendahan hati seorang penguasa. Tentu membutuhkan kebesaran jiwa dan kerendahan hati yang luar biasa bagi Raja Charles XII karena dengan segala kekuasaan yang dimilikinya 13
Sujata, et al: 2002: hal 2-4
sebagai seorang raja ia beserta jajaran orang-orang sekitar kerajaan dengan segudang previlegi yang selama ini diberikan kerajaan dengan rela hati membuka diri terhadap pengawasan yang dilakukan masyarakat melalui Office of The King’s Highest Ombudsman. Pada awalnya The King’s Highest Ombudsman adalah Ombudsman Kerajaan (executive Ombudsman) sehingga sah-sah saja apabila saat itu mungkin ada sebagian orang yang meragukan independensinya. Namun, setidaknya dalam praktek-praktek kakuasaan yang ada selama ini, umumnya jarang sekali kita menemukan seorang penguasa dengan rela hati membentuk suatu lembaga yang berwenang penuh mengawasi ia sendiri beserta jajaran di sekitarnya. Bukankah semestinya berlaku “hukum” bahwa kekuasaan memiliki kecendrungan untuk melakukan apa saja (baca: menghalalkan segala cara) dalam rangka mempertahankan diri dari segala hal yang dapat merongrongnya, termasuk upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Biasanya seorang penguasa akan segera melakukan pemberangusan terhadap upaya-upaya pengawasan dan kritik yang dilakukan masyarakat, karena hal tersebut berpotensi mengganggu kelanggengan kekuasaan. Berbeda
dengan
di
Swedia,
pembentukan
Komisi
Ombudsman
Nasional (Ombudsman) di Indonesia dilatarbelakangi suasana transisi menuju demokrasi. Dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kita patut memuji keputusan Gus Dur karena telah berani membentuk Ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan pelayanan umum lembaga peradilan. Tentu saja kita tidak dapat
mensejajarkan sejarah pembentukan Ombudsman Swedia dengan Ombudsman di Indonesia. Masing-masing memiliki nilai kesejarahannya sendiri-sendiri. Tetapi setidaknya kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hal kerendahan hati seorang pemimpin yang sedang berkuasa karena bersedia membentuk Ombudsman yang akan mengawasi dirinya sendiri. Kita percaya saat itu Gus Dur sadar betul bahwa Ombudsman yang ia bentuk tersebut nantinya dapat saja bersebrangan dengannya ketika ia membuat kebijakan ataupun keputusan baik yang bersifat administratif maupun politis. Namun hal itu tidak menjadikan Gus Dur membatalkan niatnya membentuk Ombudsman. Memang pada awalnya ada perubahan dari rencana semula, karena Kepres Nomor 155 Tahun 1999 yang semestinya dimaksudkan menjadi landasan hukum pembentukan Ombudsman justru “berbelok” menjadi pembentukan Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya tampak seperti ada keraguan dari orang-orang sekitar Gus Dur apakah dalam kondisi politik saat itu, tanpa dipersiapkan sedemikian rupa, Ombudsman dapat efektif menjalankan fungsi pengawasannya. Namun secara substansi pada dasarnya Gus Dur tidak pernah menolak pembentukan Ombudsman yang telah ia persiapkan bersama Marzuki Darusman dan Antonius Sujata, hingga akhirnya dikeluarkanlah Keppres (pengganti) Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Dalam perkembangannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden, Ombudsman memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai
Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Dalam hal ini, Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal 8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur sebagai seorang Presiden . Oleh karena itu kemudian Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat. Sejak awal Ombudsman memang memilih untuk bersikap low profile. Sikap ini didasari atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses membangun kapasitas kerja dan secara politis kedudukan Keputusan Presiden juga sangat rentan terhadap “fluktuasi” politik yang berkembang saat itu. Tindakan high profile tanpa didasari perhitungan matang justru akan menjadi kontra produktif bagi Ombudsman yang sedang membangun eksistensi.
Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan Undang-Undang, Keputusan Presiden lebih lemah kedudukannya karena dapat dan lebih mudah dicabut sewaktu-waktu. Strategi low profile tersebut membuahkan hasil bagi semakin kuatnya dukungan terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai pencantuman ombudsman dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas[2] sampai dengan diterbitkannya TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 yang memberi mandat kepada eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undang Ombudsman. Bahkan yang terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-Undang. Sampai saat ini telah terbentuk dua lembaga Lembaga Ombudsman Daerah di Indonesia. Dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih dari dua puluh daerah yang berniat membentuk Ombudsman Daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah propinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman Daerah, dan Asahan (Sumatera Utara)
adalah Kabupaten pertama yang
membentuk Ombudsman Daerah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama diperkirakan
Pangkalpinang
Ombudsman Daerah.
(Bangka
Belitung)
juga
akan
membentuk
Pembentukan Ombudsman Daerah di Yogyakarta seakan mengulang cerita
sejarah tentang kerendahan hati seorang Raja Charles XII di Swedia,
karena
berangkat
dari
keinginan
kuat
Raja
Yogyakarta
Sri
Sultan
Hamengkubuwono X membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Sebagai seorang Raja dan sekaligus seorang Gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwono X tentu memegang kekuasaan yang sangat besar, baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, prakarsa pembentukan Ombudsman Daerah di DI Yogyakarta merupakan cerminan dari sikap rendah hati seorang penguasa yang merelakan diri dan jajarannya diawasi oleh masyarakat melalui Ombudsman. Di Swedia Ombudsman lebih dahulu terbentuk sebelum negara tersebut melakukan proses demokratisasi. Swedia baru melakukan proses demokratisasi antara tahun 1890 sampai dengan tahun 1920 (Mas’oed:2003:23), sementara Parlianmentary Ombudsman sudah terbentuk pada tahun 1809. Bahkan Office of The King’s Highest Ombudsman telah dibentuk Raja Charles XII sejak tahun 1718. Dengan demikian Ombudsman di Swedia ketika itu tentunya juga menjadi bagian yang sangat penting dalam mendorong berjalannya proses demokratisasi. Selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah rezim Orde Baru, peran kekuasaan pemerintah (eksekutif) sungguh amat dominan sehingga masyarakat lebih banyak menjadi objek yang diawasi daripada sebagai subjek yang mengawasi (Sujata dan Surachman: 2002:4). Setelah kekuasaan rejim Orde Baru runtuh, proses demokratisasi mengalami masa transisi yang panjang dan berliku. Pada masa itulah Ombudsman di Indonesia lahir dan menjadi bagian penting
dalam sejarah transisi menuju demokrasi. Kondisi transisional seperti itu sebenarnya memberikan peluang bagi Ombudsman di Indonesia menjadi aktor penting yang ikut mendorong jalannya proses demokratisasi dan memperjuangkan jaminan adanya transparansi publik dari pemerintah dalam setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik 14 . 3. Praktek Maladministrasi Publik Maladministrasi adalah suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi,atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi.Selama ini banyak kalangan yang terjebak dalam memahami maladministrasi ,yaitu semata-mata hanya dianggap sebagai penyimpangan administrasi dalam arti sempit,penyimpangan yang hanya berkaitan dengan ketatabukuan dan tulis menulis.Bentuk-bentuk penyimpangan diluar hal-hal yang bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi.Padahal terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekadar penyimpangan yang bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang. Maladministrasi dimaknai secara luas sebagai bagian penting dari pengertian administrasi itu sendiri.Sampai di sini,sebelum kita menelaah lebih lanjut tentang maladministrasi, ada baiknya diuraikan tentang apa itu administrasi. Secara leksikal,administrasi mengandung empat arti,yaitu: 1) usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta cara penyelenggaraan dan pembinaan organisasi; 2) usaha dan kegiatan
yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan; 3) kegiatan yang berkaitan 14
Budhi Masturi,Ombudsman Dalam Transisi Demokrasi di Indonesia,http : // perpustakaan.bphn.go.id
dengan penyelenggaraan pemerintahan; 4)kegiatan kantor dan tata usaha 15.Prajudi Atmosudirdjo membagi pengertian administrasi dalam dua kelempok,yaitu secara sempit dan secara luas.Secara sempit administrasi memang diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan operasional terbatas pada suratmenyurat,ketik-mengetik,catat-mencatat,pembukuan ringan dan kegiatan kantor yang bersifat teknis ketatausahaan.Dalam arti yang lebih luas administrasi dimaknai sebagai suatu proses kerja sama dari kelompok manusia (orangorang)dengan cara-cara yang berdaya guna (efisien) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.Sedangkan The Liang Gie memaknai administrasi sebagai usaha manusia yang secara teratur bejerja sama dalam kelompok untuk mencapai satu tujuan tertentu,terdiri dari administrasi kenegaraan,administrasi perusahaan,dan administrasi kemasyarakatan . F. Metode Penelitian Sebelum membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode penulisan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, terlebih dahulu penulis paparkan pengertian dari penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto, “Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
15
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1994.
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan” 16. Hal-hal yang berkaitan dalam metode penelitian pada penulisan skripsi ini antara lain: 1. Jenis penelitian Dalam metode penelitian hukum dikenal ada dua jenis penelitian yaitu penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif.Penelitian hukum empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum,dan efektivitas hukum (kaidah
hukum,penegak
hukum,sarana
atau
fasilitas,kesadaran
hukum
masyarakat) dan penelitian perbandingan hukum.Sedangkan penelitian hukum normative adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum 17. Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dimana dilakukan penelitian terhadap studi kasus yang kemudian membahasnya dengan menggunakan bahan bacaan yang diperoleh dari berbagai sumber.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif,yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang berlaku berupa doktrin dan asas dalam ilmu hukum.Penelitian Normatif mencakup
18
:
a. Penelitian Terhadap Asas-asas hukum; b. Penelitian inventarisasi hukum positif; c. Penelitian terhadap sistematika hukum; 16
Soerjono Soekanto dalam Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2009),hal.18. 17 18
Ibid.hal.24. Prof.Dr..H.Zainuddin Ali,M.A,Metode Penelitian Hukum,hal 12
d. Penelitian taraf sinkronasi vertical dan horizontal; e. Penelitian hukum inconcrito; f. Penelitian hukum klinis; g. Penelitian sejarah hukum; h. Penelitian perbandingan hukum. Penelitian hukum normatif dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan membahas penelitian terhadap 19 : a. Asas-asas hukum,yaitu suatu penelitian hukum yang bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang berlaku; b. Penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis; c. Penelitian terhadap sinkronasi hukum,yang menjadi objek penelitian adalah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya. Penelitian yuridis normatif terhadap ketiga aspek tersebut diatas, namun lebih menekankan penelitian terhadap sinkronasi hukum yaitu aturan-aturan yang berkaitan dengan peran dan efektivitas dari Ombudsman di Indonesia. 2.sifat penelitian Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis,yaitu metode penelitian yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali berdasarkan teori-teori
19
Prof.Dr..H.Zainuddin Ali,M.A,Metode Penelitian Hukum,hal 22
hukum yang ada. Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan 3.Sumber Data Penelitian Data adalah bahan yang dipakai dalam suatu penelitian.Data sangat berperan penting dalam suatu penelitian demi penemuan terbaru.Sumber data dalam penelitian terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data skunder.Data primer adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama,yakni perilaku individu dan masyarakat. Sedangkan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama.data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,buku-buku,hasil penelitian, laporan, makalah, surat kabar dan lain-lain. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data Sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama secara langsung,yang meliputi bahan hukum Primer,bahkan hukum sekunder dan bahan hukum Tertier. 3.1.
Bahan Hukum Primer adalah semua Undang-Undang yang terkait dengan Ombudsman.
3.2.
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum Primer,yaitu semua dokumen yang merupakan sumber informasi dan bahan referensi yang berhasil dari media cetak dan media masa. Contohnya buku,artikel-artikel yang termuat dalam internet,koran dan majalah.
3.3.
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder,bahan hukum tertier seperti kamus,ensiklopedia dan lain sebagainya. 4. Tehnik pengumpulan data Tehnik pengumpulan data dilakukan untuk mengumpulkan data dalam menyelesaikan penelitian ini,maka dilakukanlah study pustaka (library research) atau penelitian keperpustakaan.Penelitian pustaka ini dilakukan dengan menelaah buku-buku,artikel-artikel ilmiah dan peraturan perundang-perundangan yang berkaitan dengan dengan permasalahan yang ada pada skripsi ini. 5. Analisis data Penelitian sosial umumnya mengenal dua macam analisa data yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.Analisi kualitatif sering disebut dengan analis penelitian yang mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti,dan mengkaji objek secara utuh.Sedangkan analisis kuantitatif pada dasarnya penyorotan terhadap usaha pemecahan yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada aspek pengukuran yang ketat yang dilakukan dengan memecahkan objek penelitian kedalam unsur-unsur tertentu untuk kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya. Penelitian yang kemudian dituangkan dalam skripsi ini tidak hanya mengumpulkan data,dalam penulisan skripsi ini data yang telah diperoleh kemudian di analisis.Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analisis maka analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu mengacu pada norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. G. Sistem Penulisan Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu menguraikan isi penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
Pendahuluan, bab ini berisi uraian mengenai latar belakang yang merupakan alasan mengapa penulis mengangkat masalah ini sebagai bahan penelitian untuk kemudian dituangkan dalam penulisan skripsi. Selain latar belakang, pada bab ini juga berisikan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II
Memaparkan pembagian kekuasaan di Indonesia dimulai dari teori Negara hukum, teori pembagian kekuasaan menurut pendapat ahli dan pembagian kekuasaan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
BAB III
Menguraikan
pengertian,
fungsi,
tujuan,
kewenangan,
dan
kedudukan Ombudsman Republik Indonesia menurut pembagian kekuasaan Hukum Ketatanegaraan. BAB IV
Memaparkan
kedudukan
dan
peranan
Ombudsman
dalam
Penegakan Hukum di Indonesia,meliputi koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya,angka-angka statistik mengenai
investigasi
Ombudsman
terhadap
kinerja
mutu
pelayanan
publik,serta mengenai kedudukan dan efektivitasnya dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi BAB V
Berisi kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab terakhir dalam skripsi ini. Kesimpulan yang dimuat adalah kesimpulan ats hal yang dibahas dan diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan ini merupakan hasil akhir atau jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan. Setelah meneliti dan menuangkan dalam tulisan maka penulis mengajukan saran-saran yang merupakan usulan terhadap kekurangan dikesimpulan dan pembahasan, saran ini diharapkan menjadi masukan bagi perkembangan kemajuan Hukum Tata Negara di Indonesia. Saran tersebut juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi akademisi maupun masyarakat bahkan aparatur negara, penegak hukum dan pemerintahan.