BAB I PENDAHULUAN
Dalam Bab 1 ini, peneliti menjabarkan latar belakang, rumusan permasalahan, hipotesis, tujuan dan manfaat penelitian, definisi terminologis dan juga cakupan dan batasan yang akan digunakan dalam melakukan penelitian ini.
1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Berbagai resiko berbahaya dihadapi oleh pemadam kebakaran dalam melaksanakan tugasnya. Mulai dari resiko kesehatan pernafasan, hingga kematian. Sebagai contoh dua petugas Dinas Pemadam Kebakaran (PMK) Kota Tangerang, Banten, pingsan saat memadamkan api di dalam kios pakaian olah raga di Pasar Anyar, Kota Tangerang, Sabtu (20 September 2008) malam. Diduga mereka pingsan karena kehabisan oksigen saat sedang memadamkan api. Keduanya kemudian ditolong rekan-rekannya untuk mendapatkan oksigen (Metro TV News, 2008). Lebih tragis lagi pengalaman seorang petugas pemadam kebakaran yang melakukan pemadaman di Palembang, Sumatera Selatan. Ia nyaris diamuk karena dituduh mencuri. Beruntung polisi cepat datang. Amuk warga pun bisa diredam. Kebakaran sendiri berasal dari ledakan sebuah mobil sedan yang di parkir di depan rumah seorang warga. Percikan api menyambar tangki bensin mobil. Kebakaran akhirnya tak terhindarkan (Metro TV News, 2009). Pada peristiwa lain puluhan pemadam kebakaran bertarung nyawa menghadapi si jago merah yang membakar empat puluh toko di Pasar Ciputat
1
Blok Satu, Ciputat, Tangerang pada Sabtu (16 Agustus 2008) dini hari. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Namun kerugian ditaksir mencapai Rp 1,2 miliar. Titik api diduga berasal dari sebuah toko kopi akibat hubungan arus pendek listrik. Api dengan cepat menyebar satu jam kemudian dan membakar puluhan toko di sekitarnya (Metro TV News, 2008). Guna mendalami sikap di balik perilaku berani dan rela berkorban para pemadam kebakaran peneliti mewawancarai Bapak Tauhid (35 tahun) pada 14 Februari 2011 lalu. Menurut Bapak Tauhid, salah seorang petugas pemadam kebakaran
wilayah
Kabupaten
Tangerang,
profesi
pemadam
kebakaran
mempunyai resiko kerja yang sangat tinggi. “Kami sadar bahwa kematian adalah risiko yang harus kami hadapi apalagi harus menyelamatkan orang-orang yang terancam api,” jawabnya saat ditanya tentang risiko profesi mereka. Namun, ia dan para anggota pemadam kebakaran lain siap menghadapi risiko itu karena melalui ceramah-ceramah keagamaan yang diberikan saat pelatihan di akademi pemadam kebakaran mereka telah didoktrin untuk menjadi orang yang ikhlas. Sikap yang ikhlas meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab para petugas saat menjalankan tugas. Sikap itu membuat mereka rela menolong orang lain walaupun resiko terbesar yang harus dihadapi adalah kehilangan nyawa. Rasa tanggung jawab yang besar juga menjadi motivasi para petugas pemadam kebakaran untuk tetap berjuang hingga api benar-benar padam walaupun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka mengesampingkan urusan pribadi demi menolong korban kebakaran.
2
Selain keyakinan agama yang sangat berperan dalam menjalankan tugastugas mereka, para petugas pemadam kebakaran tersebut juga berani menjalankan tugas yang penuh resiko itu karena mereka memiliki standar keselamatan diri yang sudah terjamin dan sudah terlatih dalam menjalankan tugas, sehingga dapat meminimalisir resiko. Bapak Tauhid juga menambahkan, bagi beliau menolong orang lain merupakan suatu nilai ibadah yang mendatangkan kepuasan batin atau reward psikologis. Saat para petugas pemadam kebakaran berhasil menolong korban kebakaran, mereka akan merasakan kebanggaan yang luar biasa. Sebaliknya, jika mereka tidak berhasil menolong, mereka akan merasa gagal dan sedih. Kepuasan batin tersebut dinilai oleh Bapak Tauhid sebagai kepuasan yang lebih besar nilainya daripada reward berupa materi. Pertolongan yang diberikan oleh tim pemadam kebakaran yang heroik dan rela menolong orang lain tanpa memikirkan keadaan, bahkan keselamatan diri sendiri dapat dikatakan sebagai suatu bentuk altruisme (Geen, 1995). Hal ini dapat dilihat dari bagaimana para petugas pemadam kebakaran rela menerobos masuk ke dalam bangunan yang sedang terbakar untuk menyelamatkan dan mengevakuasi orang-orang yang berada di dalam bangunan tersebut. Mereka pun tetap melakukan pertolongan walaupun tahu apa saja resikonya, seperti gangguan pernafasan, luka bakar, dan meninggal dunia. Altruisme seringkali dikaitkan dengan agama. Salah satu penjelasan yang paling sederhana mengenai hubungan keduanya adalah bahwa ajaran dasar dalam agama apapun mengajarkan umatnya untuk menjadi orang yang baik dan suka menolong (Monroe, 1998).
3
Agama, di Indonesia sebagai satu negara yang religius, atau menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan (Assyaukaine, 2009) seharusnya dapat menjadi salah satu faktor yang banyak berkontribusi pada altruisme masyarakat, terutama petugas pemadam kebakaran yang dalam kesehariannya banyak menolong orang lain dalam situasi yang berbahaya. Namun demikian, peneliti tidak ingin menyoroti ajaran-ajaran agamaagama tentang altruisme. Peneliti membatasi diri pada tingkat orientasi religius para penganut agama. Asumsi ini mengandaikan bahwa para petugas pemadam kebakaran yang bersikap altruistik itu memeluk agama tertentu sebagai keyakinan imannya. Agama selanjutnya menimbulkan orientasi religius petugas pemadam kebakaran. Orientasi religius, adalah cara seseorang menjadikan agama sebagai dasar penentu arah dalam kehidupan atau sebagai tujuan dari sikap religiusnya (Suryandari dalam Limanto, Sukamto & Setiawan, 2007), dan Allport membaginya menjadi dua orientasi yaitu orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik. Orang yang memiliki orientasi religius intrinsik mendapatkan motivasi hidupnya dari menjalani agamanya. Individu tersebut mengutamakan nilai-nilai keagamaan, bertindak dan bertingkahlaku sesuai dengan imannya (Rakhmat, 2005).
Sedangkan
orang
yang
memiliki
orientasi
religius
esktrinsik
“menggunakan” imannya untuk mendapatkan rasa aman, nyaman, status dan dukungan sosial bagi dirinya. Iman atau agamanya tidak dijadikan landasan akan tingkah lakunya, tetapi berperan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Pargament, 2001).
4
Menurut Batson, terdapat dua motif yang bertolak belakang dibalik perilaku menolong (Myers, 2008), yaitu empati dan personal distress. Dalam pertolongan yang didasari oleh empati, penolong mau membantu korban karena adanya kemampuan individu untuk bersimpati dan mengerti kesedihan yang dialami oleh orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Mereka juga akan merasa kasihan, tidak tega terhadap korban tersebut sehingga muncul keinginan untuk menolong orang tersebut agar penderitaan korban bisa berkurang (Myers, 2008). Personal distress merupakan motif seseorang untuk menolong, namun bukan karena kasihan tetapi demi meredakan stress-nya sendiri. Stress tersebut timbul dari situasi-situasi darurat membuat seseorang merasa tidak nyaman (Pennington, Gillen, & Hill, 1999). Stress yang dimaksud berupa rasa takut, gelisah, cemas, dan khawatir jika orang tersebut tidak menolong orang yang sedang kesusahan. Ia juga merasa terganggu dengan keadaan korban yang mungkin kurang menyenangkan untuk dilihat. Maka orang yang menolong dengan motif personal distress cepat-cepat menolong korban agar ia dapat meredakan stressnya sendiri (Flescher, 2003). Jika dilihat dari berbagai perspektif resiko bahaya dan pelatihan serta ceramah-ceramah yang telah diberikan, pekerjaan memadam kebakaran mengharuskan mereka untuk menolong demi orang lain, atau dapat disebut dengan menolong secara altruistik. Banyak peristiwa kebakaran dan keberanian para anggota pemadam kebakaran melaksanakan tugas membuat peneliti tertarik untuk mengetahui alas an mereka mengambil risiko tersebut. Kendati menyadari tindakan kurang baik
5
sejumlah anggota seperti meminta uang jasa, terlambat melaksanakan tugas, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor internal psikologis yang melatarbelakangi perilaku altruistik para anggota pemadam kebakaran.
1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN Dari latar belakang di atas yang membahas mengenai perilaku altruistik pada petugas pemadam kebakaran, dilihat dari orientasi religiusnya, maka rumusan masalah dari penelitian ini, adalah apakah orientasi religius memiliki hubungan yang siginifikan dengan perilaku altruistik pada petugas pemadam kebakaran?
1.3 HIPOTESIS Berdasarkan rumusan masalah, peneliti merumuskan hipotesis-hipotesis berikut ini: Hipotesis 1 H0: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi religius ekstrinsik dengan perilaku altruistik pada petugas pemadam kebakaran H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi religius ekstrinsik dengan perilaku altruistik petugas pemadam kebakaran
6
Hipotesis 2 H0: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi religius intrinsik dengan perilaku altruistik pada petugas pemadam kebakaran H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi religius intrinsik dengan perilaku altruistik petugas pemadam kebakaran
1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara orientasi religius dengan perilaku altruistik para petugas pemadam kebakaran.
1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 MANFAAT TEORITIS Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangsih ilmiah bagi psikologi, khususnya dalam Psikologi Sosial dan Psikologi Agama. Manfaat lain adalah untuk memperluas pengetahuan tentang sikap religius dan perilaku altruistik para petugas pemadam kebakaran.
1.5.2 MANFAAT PRAKTIS Memberikan sumbangsih bagi pembaca maupun pihak pemadam kebakaran mengenai orientasi religius para petugasnya sejalan dengan pengembangan perilaku altruistik. Juga, memberikan saran-saran yang membangun bagi perkembangan penelitian yang berhubungan dengan penelitian orientasi religius dan altruisme.
7
1.6 DEFINISI TERMINOLOGI Dalam penelitianini, ada istilah penting yang akan digunakan, di antaranya: 1. Orientasi religius: motivasi seseorang dalam menghayati ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana seseorang menempatkan agama dalam hidupnya (Allport & Ross dalam Wicaksono & Meiyanto, 2003; Paloutzian, 1996). Menurut Allport, terdapat dua dimensi orientasi religius, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. 2. Perilaku prososial: sebuah istilah untuk mengkategorikan perilaku-perilaku yang dinilai positif oleh masyarakat, yang biasanya berkontribusi dalam membuat keadaan fisik maupun psikologis orang lain menjadi lebih baik (Wispé dalam Hogg & Vauhgan, 2005). 3. Altruisme: salah satu nilai yang menjadi motif perilaku prososial di mana seseorang rela melakukan sesuatu, bahkan mengorbankan dirinya sendiri, agar keadaan orang lain dapat berubah menjadi lebih baik (Myers, 2008). 4. Perilaku altruistik: sebuah bentuk perilaku prososial di mana altruisme menjadi dasar perilaku seseorang sehingga perilaku menolong yang diberikan kepada orang lain bersifat sukarela dan tidak mengharapkan imbalan (Jeffries, 2009).
8
1.7 CAKUPAN DAN BATASAN Penelitian ini membahas perilaku altruistik, yaitu perilaku prososial yang didasari oleh nilai altruisme petugas pemadam kebakaran, dilihat dari orientasi religius mereka. Penelitian ini tidak dibatasi pada agama tertentu, karena semangat altruistik diajarkan dalam semua agama. Teori perilaku altruistik yang digunakan adalah teori perilaku altruistik yang dicetuskan Daniel Batson. Sedangkan, teori orientasi religius yang digunakan adalah cetusan Allport, yang membaginya menjadi dua tipe, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah petugas pemadam kebakaran wilayah Kabupaten Tangerang yang bertugas dalam bidang fungsional.
9