BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pelabuhan laut dan udara merupakan pintu gerbang lalu lintas orang, barang
dan alat angkut baik dari luar negeri maupun interinsulir. Dengan meningkatnya perkembangan teknologi alat angkut yang semakin cepat membuat jarak antar negara seolah semakin dekat, karena waktu tempuh yang semakin cepat, sehingga mobilitas orang dan barang semakin cepat melebihi masa inkubasi penyakit menular. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap penularan penyakit secara global. Ada 3 (tiga) bentuk ancaman penyakit secara global yang kita hadapi yaitu : (1) Penyakit yang ada di negara lain dan berpotensi masuk ke Indonesia (New Emerging Infectious Diseases) seperti Hanta Fever, Ebola, SARS dan Avian Influenza, (2) Penyakit yang masih merupakan masalah dan kemudian berkembang (Emerging Diseases) dengan munculnya strain mikroba baru sebagai akibat resistensi antibiotika serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung pola hidup sehat seperti Dengue Haemoragic Fever, Malaria, Filaria, Chikunguya, Cholera, Typoid dan Salmonellosis, (3) Penyakit yang bukan dianggap masalah lagi, namun berpotensi untuk muncul kembali (ReEmerging Diseases) diantaranya Pes, TBC, Scrub-Typus (Depkes, 2007). Melihat ancaman global penyakit di atas, World Health Organization (WHO) melakukan revisi terhadap IHR (International Health regulation) 1998 menjadi IHR 2005 Revisi yang telah berlaku sejak tahun 2007 bertujuan mencegah, melindungi
Universitas Sumatera Utara
dan menanggulangi terhadap penyebaran penyakit antar negara tanpa pembatasan perjalanan dan perdagangan yang tidak perlu. Dengan diberlakukannya IHR 2005 Revisi maka UU No. 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UU No 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara yang mulanya fokus pada pencegahan 6 (enam) penyakit menjadi 3 (tiga) penyakit yaitu; Pes, Yellow Fever dan Cholera, sehingga diperlukan penyesuaian baik dari segi penatalaksanaan maupun penegakan sanksi terhadap pelanggarannya (Depkes, 2007). Guna mengantisipasi ancaman penyakit global, penyakit karantina dan penyakit menular potensial wabah, atau permasalahan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian dunia, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dituntut untuk mampu menangkal risiko kesehatan yang dapat masuk melalui orang, alat angkut, barang termasuk kontainer dari negara lain. Upaya pencegahannya dengan melakukan tindakan-tindakan tanpa menghambat perjalanan dan perdagangan. Kegiatan pengendalian vektor yang menjadi salah satu tugas pokok KKP, bertujuan membuat wilayah pelabuhan dan alat angkut tidak menjadi sumber penularan ataupun habitat yang subur bagi perkembangbiakan vektor, hal ini mengingat banyaknya penyakit karantina dan potensial wabah yang salah satu aspek penularannya melalui vektor. Masalah vektor di Indonesia ditandai masih tingginya tingkat kesakitan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti DBD, jumlah kasus DBD selama tahun 2009 sebanyak 137.600 kasus dengan 1.170 kematian. Sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2008 sebanyak 126.600 kasus dengan 1.084 kematian. Malaria untuk tahun 2007 terdapat sebanyak 19.379 kasus dan tahun 2008 terdapat
Universitas Sumatera Utara
15.543 kasus. Di samping itu dapat juga dilihat dari rendahnya pencapaian indikator kinerja di bidang pengendalian vektor, untuk tahun 2009 dari 48 KKP yang ada di Indonesia, 26 KKP belum mampu memenuhi syarat mencapai House Indeks < 0% di perimeter area. Sebanyak 20 KKP belum melakukan kegiatan pengendalian lalat dan 24 KKP belum melaksanakan pengendalian kecoa (Depkes RI, 2009). Kinerja petugas pengendalian vektor KKP Kelas I Medan, dinilai masih bermasalah. Hasil survei pendahuluan pada Februari 2010, ditemukan masih belum tercapainya indikator-indikator kinerja pengendalian vektor, seperti pada tahun 2009, pencapaian House Indeks (HI) Perimeter baru terealisasi 0,5% dari target yang ditetapkan KKP Medan sebesar 0,2% dimana menurut WHO seharusnya HI perimeter= 0. Untuk tahun 2007 HI perimeter tertinggi terjadi bulan april mencapai 3,7%, sedang tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan juli mencapai 1,7%. Sementara kepadatan lalat juga masih sangat tinggi rata-rata 18,83 dibanding target yang ditetapkan KKP Medan rata-rata 5 dan rata-rata yang di tetapkan Depkes < 6 (Profil KKP Medan, 2009). Selain itu dari wawancara dengan petugas pengendalian vektor, menunjukan masih adanya masalah seperti belum sesuainya langkah-langkah kegiatan dengan SOP, masalah dalam pemakaian APD (Alat Pelindung Diri) pada saat peracikan insektisida serta masalah kebersihan peralatan saat penyimpanan. Melihat banyaknya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh vektor dan pentingnya optimalisasi kinerja dalam pengendalian vektor, tentu dibutuhkan upaya penanganan yang tepat. Untuk mencapai hasil yang optimal dibutuhkan kegiatankegiatan pengendalian yang tepat, aman dan terarah. Selain itu dituntut pula
Universitas Sumatera Utara
penguasaan metode dan langkah-langkah pengendalian vektor dengan baik (Depkes RI, 2009). Menurut Mangkunegara (2005) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Supardi (1989) menyebutkan bahwa kinerja adalah kegiatan dan hasil yang dapat dicapai atau ditunjukkan oleh seseorang di dalam pelaksanaan tugasnya. As’ad (1981) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan tersebut. Kinerja seorang pegawai sangat dipengaruhi oleh bagaimana komunikasi antarpribadi dan semangat kerja yang terjadi dalam organisasi tempat orang tersebut bekerja. Kinerja yang tinggi menandakan produktivitas yang tinggi pada sebuah organisasi. Tuntutan kinerja yang tinggi juga sangat dibutuhkan oleh organisasi seperti KKP. Sebagai organisasi KKP adalah sebuah sistem sosial yang kompleksitasnya jelas terlihat melalui jenis, peringkat, bentuk dan jumlah interaksi yang berlaku. Proses dalam organisasi adalah salah satu faktor penentu dalam mencapai organisasi yang efektif. Salah satu proses yang akan selalu terjadi dalam organisasi apapun adalah proses komunikasi. Melalui komunikasi terjadi pertukaran informasi, gagasan dan pengalaman. Mengingat perannya yang penting dalam menunjang kelancaran berorganisasi, maka perhatian yang cukup perlu dicurahkan untuk mengelola komunikasi dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi membantu memberikan penjelasan kepada para pegawai tentang apa yang harus dilakukan, seberapa baik mereka mengerjakannya dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja jika sedang berada di bawah standar. Aktivitas komunikasi di perkantoran senantiasa disertai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Kohler komunikasi yang efektif adalah penting dalam meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan bagi semua organisasi. Oleh karena itu, para pimpinan organisasi dan para komunikator dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka (Muhammad, 2009). Gibson et.al (1997) juga menyatakan komunikasi antarpribadi yang efektif sangat penting untuk dapat mencapai kinerja yang efektif. Sedangkan menurut Stoner (1992) komunikasi yang efektif penting bagi manejer karena dua alasan. Pertama adalah proses dengan mana fungsi-fungsi manajemen, merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi Kedua, komunikasi adalah kegiatan dimana manajer mencurahkan sebagian besar waktunya. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan Mitzberg yang menguraikan peran komunikasi antarpribadi dalam manejerial memperlihatkan hasil bahwa 45% dari waktu manejerial dipergunakan untuk berkomunikasi dengan bawahannya, 45% dari waktu manejerial dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang diluar unitnya dan hanya 10% dipergunakan untuk berkomunikasi dengan atasan. Mintzberg juga menekankan bahwa para manejer cendrung menggunakan komunikasi antarpribadi karena dapat mengetahui masalah ataupun peluang pada saat itu, seperti penelitiannya
Universitas Sumatera Utara
yang menyatakan 66% - 80% dari waktu kerja manajer dipergunakan untuk berkomunikasi antarpribadi (Stoner, 1992). Menurut Devito yang dikutip oleh Thoha (2007) menyatakan suatu komunikasi antarpribadi bisa efektif
dapat diketahui dari 5 (lima) hal yaitu;
(1)keterbukaan, (2)empati, (3)dukungan, (4)kepositifan dan (5)kesamaan. Nitisemito (1992) menyatakan semangat kerja mempunyai peran yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan organisasi, karena mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap produktivitas kerja karyawan. Darmawan (2007) menyatakan semangat kerja jauh lebih besar peranan dan pengaruhnya terhadap kinerja para pekerja. Semangat kerja yang amat rendah yang dialami suatu organisasi dapat merupakan salah satu pertanda atau indikator terpenting yang menunjukan bahwa hubungan manusia di dalam organisasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Banyak akibat-akibat yang tidak menguntungkan organisasi disebabkan oleh rendahnya semangat kerja. Akibat-akibat itu umpamanya terjelma dalam berbagai bentuk tindakan dan perbuatan yang merugikan seperti pemogokan, perlambatan pekerjaan atau pelalaian pekerjaan, ketidakhadiran pada jam-jam kerja dan sebagainya. Dalam bidang kepegawaian banyak dialami keluhan-keluhan, keresahan dan persoalan ketidakpuasan kerja (Nitisemito, 1992). Hasil penelitian Herzberg (Gellerman, 1984) memperlihatkan bahwa 54% semangat kerja yang baik/tinggi berkaitan dengan kinerja yang tinggi, 35% lainnya menunjukan bahwa semangat kerja tidak berhubungan dengan kinerja dan 11% lainnya menunjukan semangat kerja berhubungan dengan kinerja yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
Dari pendapat Hasley (1988) dan Andyani (2008),dapat disimpulkan bahwa karakteristik semangat kerja karyawan dapat diketahui dari 4 (empat) indikator, yaitu; (1)disiplin, (2)kerjasama, (3)kepuasan kerja dan (4)tanggung jawab. Beberapa penelitian lainnya yang menunjukan adanya pengaruh komunikasi antarpribadi dan semangat kerja terhadap kinerja adalah, penelitian Wulan (2007) pada karyawan PT. Indo Raya Primatex Jakarta mengemukakan bahwa antara komunikasi dan semangat kerja mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja karyawan. Dari setiap penambahan point masing-masing variabelnya dapat meningkatkan point dari kinerja. Penelitian Rahardja (2002) menunjukan bahwa peningkatan efektifitas komunikasi antarpribadi dapat meningkatkan kinerja guru di SMUK BPK Penabur Jakarta. Sementara penelitian Wahyuni (2005) menunjukan bahwa peningkatan semangat kerja memerlukan peningkatan kerjasama, disiplin dan tanggung jawab. Dengan melihat fenomena-fenomena diatas, perlu dilakukan studi tentang pengaruh komunikasi antarpribadi (keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, kesetaraan) dan semangat kerja (kerjasama, kepuasan kerja, kedisiplinan, tanggung jawab) terhadap kinerja petugas pengendalian vektor, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam meningkatkan upaya pengendalian vektor di seluruh wilayah kerja KKP Kelas I Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.2.
Permasalahan “Bagaimana pengaruh komunikasi antarpribadi
(keterbukaan, empati,
dukungan, kepositifan, kesetaraan) dan semangat kerja (kerjasama, kepuasan kerja, kedisiplinan, tanggung jawab)
terhadap kinerja petugas pengendalian vektor di
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan tahun 2010.” 1.3.
Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh komunikasi antarpribadi
(keterbukaan, empati,
dukungan, kepositifan, kesetaraan) dan semangat kerja (kerjasama, kepuasan kerja, kedisiplinan, tanggung jawab)
terhadap kinerja petugas pengendalian vektor di
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan tahun 2010. 1.4.
Hipotesis Ada pengaruh komunikasi antarpribadi
(keterbukaan, empati, dukungan,
kepositifan, kesetaraan) dan semangat kerja (kerjasama, kepuasan kerja, kedisiplinan, tanggung jawab) terhadap kinerja petugas pengendalian vektor di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan tahun 2010. 1.5.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis : Memperkaya konsep dalam bidang manajemen sumber daya manusia khususnya tentang komunikasi antarpribadi, semangat kerja dan kinerja serta menambah bahan acuan bagi penelitian berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan masukan bagi : 1. Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan, sebagai bahan masukan pihak manajerial untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antarpribadi dan meningkatkan semangat kerja dalam mengoptimalkan kinerja organisasi 2. Tenaga kesehatan dalam organisasi, sebagai bahan masukan dalam meningkatkan efektifitas komunikasi antarpribadi dalam berorganisasi dan meningkatkan semangat kerja untuk pengoptimalkan kinerja individu. 3. Bagi penulis, sebagai pengembangan ilmu yang didapat di perkuliahan dengan kondisi di KKP Kelas I Medan.
Universitas Sumatera Utara