9
BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang Indonesia yang telah menjadi anggota organisasi penerbangan sipil internasional sejak 20 April 1950 telah menyempurnakan Undang-undang Nomor. 19 tahun 1992 dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2009, Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 disusun dengan mengacu pada Konvensi Chicago 1944 dan memperhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesi, pelanggaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran, dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanaan didalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi, investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggaraan pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai sepuluh pesawat udara, lima dimiliki dan lima dikuasai, perhitungan tarif transportasi udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan bahan dan atau barang berbahaya (dangerous
Universitas Sumatera Utara
10
goods) ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, komponen tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut
terhadap
pihak
ketiga
(thrid
parties
liability),
tatanan
kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi sumber daya manusia baik dibidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbanga, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan berbagai ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional. Udara merupakan salah satu sumber daya alam dan unsur lingkungan. 1 Udara selain mengandung sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan untuk kemakmuran rakyat, udara juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain misalnya kepentingan politik. Karakteristik sumber daya alam di udara terdiri dari: sumber daya energi (surya dan angin), sumber daya gas, sumber daya ruang. Kekhasan wilayah udara Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di antara Benua Asia-Australia, serta di dua Samudera Pasifik-Hindia menyebabkan wilayah udara Indonesia menjadi penggerak sirkulasi udara global dan pembentukan iklim dunia yang merupakan keunggulan strategis wilayah
1
Philip Kristanto, Ekologi Industri,Andi, Yagyakarta, 2002, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
11
udara Indonesia.
2
Tiga aspek yang harus diperhatikan dalam rangka
mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Aspek keamanan dan keselamatan, 2. Aspek pertahanan negara, dan 3. Aspek lingkungan hidup. Pertahanan dan keamanan negara adalah segala upaya untuk mempertahankan kadaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.3 Wilayah udara Indonesia yang luas, dengan banyaknya kegiatan penerbangan berpotensi mengundang kerawanan terjadi kecelakaan udara dan ancaman pelanggaran wilayah udara Indonesia. Ancaman pelanggaran wilayah udara nasional, selain mengganggu keamanan nasional yang berkaitan dengan kegiatan penerbangan, juga berpengaruh terhadap kedaulatan wilayah apabila ditinjau dari aspek pertahanan negara. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada saat penerbangan antara lain; pesawat tidak teridentifikasi terdiri atas pesawat yang dianggap menyimpang dari jalurnya atau pesawat yang dilaporkan beroperasi di daerah tertentu tetapi tidak memberikan identitasnya kepada ATS (otoritas pelayanan lalu lintas udara). 4
2
Undang-Undang tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional Pasal 1 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara 4 Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) Bagian 170 Peraturan Lalu Lintas Udara, 170.024. 3
Universitas Sumatera Utara
12
Beberapa kasus pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawatpesawat komersil dan militer asing, misalnya:
5
terjadi ketegangan antara
Indonesia-Australia terkait banyaknya penerbangan gelap (black flight) dan penerbangan tanpa izin. Pesawat-pesawat F-5 Tiger TNI AU mengusir pesawat jet F-18 Hornet milik angkatan udara Australia yang dinilai telah memasuki wilayah udara Indonesia di atas pulau Roti tanpa izin. Tahun 2003, lima pesawat F-18 Hornet AS nyaris menembak pesawat F-16 TNI AU yang sedang melakukan identifikasi atas penerbangan yang di lakukan di barat laut Pulau Bawean, ketika pesawat F-16 TNI AU mengontak pesawat F-18, kedua peswat tersebut tidak ada jawaban, mereka mengunci (lock on) dan bersiap untuk menembak pesawat F-16 TNI AU. Di Gunung Salak pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat Sukhoi Superjet 100 merupakan pesawat penumpang Rusia, menghilang dalam penerbangan demonstrasi yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Salah satu peran yang dipertanyakan dalam kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet ini adalah peran ATS atau Air Traffic Control Services karena memberi izin pesawat untuk turun dari 10.000 ft ke ketinggian 6000 ft. Tanggal 15 Maret 2014, penerbangan MH370 milik Malaysia dinyatakan hilang, banyak media asing yang menyatakan bahwa pesawat tersebut melewati wilayah Indonesia, namun hal ini dibantah oleh Menteri Pertahanan Indonesia[12] Menurut Direktur Teknologi PT Dirgantara Indonesia, pesawat tersebut tidak
5
Mufti Makaarim A, Strategi Pengelolaan dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia: Tantngan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, Disampaikan Dalam Seminar Perumusan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan, Dep. Pertahanan RI, Jakarta, 2008, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
13
terdeteksi radar sipil Indonesia karena zona menengah yang menjadi wilayah terbang penerbangan sipil memiliki lalu lintas udara sangat padat sehingga tidak teridentifikasi saat berpindah jalur, dan radar militer lebih sulit untuk mengidentifikasi pesawat sipil karena data yang ditampilkan sangat banyak.6 Pesawat udara Indonesia yang terbang di atas teritorial Indonesia diwajibkan melapor ke menara pengontrol lalu lintas udara yang dikendalikan FIR Singapura sehingga dirasa kurang nyaman bagi pesawat udara Indonesia. 7 Pendelegasian pengaturan lalu lintas udara di wilayah Batam, Provinsi Kepulauan Riau, kepada otoritas Singapura sejak tahun 1946 hingga sekarang. Penerbang Indonesia yang hendak melintas wilayah udara di Batam harus meminta izin dahulu ke Singapura.8 Pengendalian lalu lintas udara, mengoperasikan dua wilayah FIR (flight Information Region), yakni FIR Jakarta dan FIR Makassar, dan masih dibantu FIR Singapura untuk sektor a, b dan c (wilayah di atas Batam, Matak dan Natuna). 9 Terkait dengan pengendalian lalu lintas udara di Indonesia, dalam seminar Internasional Air Power 2014 Klub Eksekutif Persada Purnawira, Kamis 17 April 2014 membahas khusus mengenai pentingnya FIR di kendalikan dan dikontrol oleh Indonesia.10 Pada tahun 2008, Kosekhanudnas mencatat militer
6
Ibid. Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia Guna Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan NKRI http://www.lemhannas.go.id/portal/images/stories/humas/jurnal/edisi16/jurnal%20ed isi%2016_materi%208.pdf (diakses tanggal 1 Maret 2016). 8 Chappy Hakim, Wilayah Udara dikelola negara lain diam, apalagi Penyadapan, melalui :http://politik.rmol.co/read/2013/11/12/132983 (diakses tanggal 1 Maret 2016). 9 TNI AU Akan Kembalikan Kadaulatan Udara Dari Negara Asing, posted oleh Efran Syah, 17 April 2004, melalui : http://www.artileri.org/2014/04/(diakses tanggal 1 Maret 2016). 10 Ibid. 7
Universitas Sumatera Utara
14
Singapura 18 kali melanggar batas wilayah Indonesia, pelatihan militer negara Singapura di wilayah udara Indonesia khususnya di atas wilayah udara kepulauan Riau tanpa izin negara Indonesia karena FIR di atas wilayah tersebut berada pada kontrol negara Singapura. Pengendalian wilayah udara Indonesia oleh negara lain tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tentang Penerbangan, Pasal 6 dan Pasal 5 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara salah satunya untuk kepentingan pertahanan negara. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, ancaman, yang dihadapi Indonesia dapat berupa ancaman militer maupun ancaman non militer, sehingga kekuatan pertahanan diperlukan untuk menghadapi kedua jenis ancaman tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Agar pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, diupayakan keterpaduan yang sinergis antara unsur militer dengan unsur militer lainnya, maupun antara kekuatan militer dengan kekuatan nir militer. Keterpaduan antara unsur militer diwujudkan dalam keterpaduan Tri-Matra, yakni keterpaduan antar kekuatan darat, kekuatan laut, dan kekuatan udara. Kedaulatan merupakan salah satu prinsip dasar bagi terciptanyahubungan internasional yang damai. Kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang
Universitas Sumatera Utara
15
dimiliki suatu negara untuk melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telahmenjadi bagian dari kekuasaannya.11 Bagi suatu negara, wilayahnya terdiri dari wilayah darat,wilayah laut dan wilayah udara. Seperti halnya wilayah darat dan laut,wilayah udara pun mempunyai arti yang penting. Ruang udara penting untuk:
12
menjamin
keselamatan penerbangan, salah satu sumber pendapatan negara, melindungi warga negara dari serangan negara lain, sarana nilai tawar dalam perjanjian internasional. Sebelum Konvensi Paris Tahun 1919 dan Konvensi Chicago Tahun 1944, mengenai ruang udara yang berada di atas wilayah suatu negara yang berdaulat, belum ada suatu aturan yang menetapkan bahwa ruang udara tersebut tunduk pada kedaulatan negara tersebut.Kemudian setelah ditetapkannya Konvensi Paris Tahun 1919 dankemudian diikuti dengan Konvensi Chicago Tahun 1944 maka diakui bahwa ruang udara yang berada di atas wilyah suatu negara, tunduk padakedaulatan negara tersebut.Dalam Pasal 1 konvensi Chicago Tahun 1944 Tentang Penerbangan Sipil Internasional dikatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Oleh karena itu maka Negara lain harus menghormatikedaulatan suatu negara atas ruang udara yang dikuasainya. Sikap hormatitu dapat ditunjukan misalnya dengan meminta izin dari negara yang bersangkutan sebelum melintas melalui wilayah udaranya. Kedaulatannegara atas ruang udara ini juga dicantumkan dalam 11
Thontowi. J. dan Iskandar. P, Hukum Internasional Kontemporer , Jakarta, 2006, hal.
169. 12
Martono. H. K, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Edisi Pertama, Jakarta,2007, hal. 281.
Universitas Sumatera Utara
16
konvensi Hukum LautTahun 1982 Pasal 2 dan khusus mengenai kedaulatan atas ruang udara diatas perairan kepulauan dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2). Selanjutnya dalam Pasal 3 butir d ditegaskan bahwa penerbangan pesawat udara Negara tidak boleh mengganggu keamanan navigasi penerbangan pesawat sipil. Hal ini sangat erat kaitannya dengan keselamatan penerbangan. Sampai batas mana kedaulatan negara di ruang udara sebenarnya dapat dilihat secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal negara memiliki kedaulatan atas ruang udara di atas daratan dan perairan sampai laut teritorialnya. Ruang udara di atas zona tambahan, ZEE sudah bukan di bawah kedaulatan negara kolong. Apalagi ruang udara di atas laut lepas, milik seluruh umat manusia. Adapun batas kedaulatan negara atas ruang udara secara vertikal sampai saat ini belumlah jelas. Hal ini dikarenakan belum adanya kesepakatan sampai dimana ketinggian ruang udara dan mulai ketinggian berapa ruang angkasa dimulai. Kedaulatan yang penuh dan eksklusif yang dimilikinya, negara berhak melakukan pengaturan terhadap penerbangan di ruang udaranya. Pengaturan ini diperlukan agar penyelenggaraan penerbangan berlangsung engan aman dan efisien dan teratur.13 Namun pada tanggal 3 juli 2003, empat pesawatF-18 Hornet milik angkatan Laut Amerika Serikat telah melakukan penerbangan tanpa izin di atas laut Jawa, sebelah barat Pulau Bawean.Pesawat F-18 Hornet yang merupakan
13
Yasidi Hambali, “Aspek-Aspek Hukum dari Penataan dan pengawasan Wilayah Udara Nasional”, makalah pada penataran hukum udara dan ruang angkasa, FH Universitas Padjadjaran, Bandung 5-17 September 1994, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
17
pesawat udara negara ini, bahkan sempat melakukan manuver dalam jalur penerbangan sipil Green 63 dekat Pulau Bawean atau 66 mil laut dari Surabaya. Manuver merekamengganggu lalu lintas penerbangan sipil yang menggunakan jalur tersebut dan terlihat visual oleh awak kokpit pesawat boeing 737 –200 Bouraq yang tengah menuju Surabaya.Apa yang telah dilakukan oleh Pesawat F18 Hornet tersebut jelas telah melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi ChicagoTahun 1944.14 Konvensi Chicago 1944 dilengkapi dengan Air Transport Agreement. Pasal 1 perjanjian ini mengatur mengenai the five freedom of the air yang terdiri dari hak untuk terbang melewati wilayah teritorial negara lain tanpa mendarat, hak untuk mendarat di negara lain untuk non traffic purposes seperti hanya untuk refuelling, hak untuk menurunkan penumpang, surat dan kargo yang berangkat dari negara dimana pesawat tersebut terdaftar, hak untuk mengambil penumpang, surat dan kargo untuk dibawa ke negaranya dan hak untuk mengambil penumpang, suratdan kargo untuk tujuan negara lain dan menurunkannya di setiap negara tujuan. Berdasarkan uraian di atas merasa tertarik memilih judul Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944.
14
Gerald Aditya Bunga. Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Di Wilayah Kedaulatan Indonesia (Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944 dan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982) http://www.academia.edu/3691216/(diakses tanggal 1 Desember 2015).
Universitas Sumatera Utara
18
I. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana kedaulatan negara di ruang udara berdasarkan Konvensi Chicago 1944? 2. Bagaimana pelanggaran kedaulatan wilayah yang telah dilakukan oleh pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat? 3. Bagaimana akibat hukum pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia ditinjau dari Konvensi Chicago Tahun 1944?
J. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kedaulatan negara di ruang udara berdasarkan Konvensi Chicago 1944. 2. Untuk mengetahui pelanggaran kedaulatan wilayah yang telah dilakukan oleh Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat 3. Untuk mengetahui akibat hukum pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia ditinjau dari Konvensi Chicago Tahun 1944. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat setidaknya dalam dua hal, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
19
1. Manfaat teoritis Penulis berharap skripsi ini semakin menambah wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya yang berhubungan dengan Akibat Hukum Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944. 2. Manfaat praktis Skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya para pihak yang terkait Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia.
K. Keaslian Penulisan Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Akibat Hukum Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944, belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Adapun judul-judul yang ada di perpustakaan USU antara lain : Yan Jefri Barus (2014), dengan judul penelitian Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara dalam Perspektif Hukum Internasional. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan wilayah udara suatu negara menurut hukum internasional. 2. Bagaimana yurisdiks wilayah udara negara diterapkan.
Universitas Sumatera Utara
20
3. Bagaimana hak dan kewajiban negara diatas wilayah negara asing. Rizky Ridwan Matondang (2014), Pelanggaran Hukum Atas Wilayah Udara dengan masuknya pesawat asing dalam perspektif Hukum internasional, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan hukum dalam wilayah Indonesia. 2. Bagaimana pengaturan hukum atas wilayah udara dalam persepktif hukum internasional 3. Bagaimana pelanggaran hukum atas wilayah udara dengan masuknya pesawat asing dalam perspektif hukum internasional. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
L. Tinjauan Kepustakaan 1. Wilayah udara Wilayah udara Indonesia terdiri dari wilayah atas daratan, laut teritorialsejauh 12 mil, atas perairan kepulauan yaitu laut antar pulau Indonesia dan atas perairan pedalaman. Kemudian Indonesia juga mempunyai wilayah yurisdiksi yaitu zona tambahan maksimal 24 mil laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial, zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil dan landas kontinen yang tidak melebihi 350 mil laut. Khususnya wilayah udara di atas zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen adalah wilayah udara bebas namun
Universitas Sumatera Utara
21
Indonesia dari aspek wilayah udara tetap berkepentingan terutama dalam aspek ekonomi. Adapun wilayah tersebut dengan status hukumnya adalah :15 a. Ruang udara di atas wilayah daratan. Indonesia mempunyai perbatasan daratan dengan negara Malaysia dan Papua Nugini serta Timor Leste. Sebagai negara kepulauan, wilayah daratan dan perairan serta laut teritorial Indonesia merupakan satu kesatuan geografis dalam dimensi horizontal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Indonesia mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh terhadap ruang udara di wilayah kedaulatannya. Kedaulatan yang penuh dan utuh terhadap ruang di atas daratan mempunyai sifat mutlak dan tidak mengenal perkecualian. b. Ruang udara di atas perairan kepulauan. Perairan Indonesia adalah laut yang berada di sebelah dalam garis pangkal kepulauan negara Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai. Indonesia mempunyai kedaulatan terhadap ruang udara di atas perairan kepulauan. Namun, sebagai negara kepulauan harus menyediakan alur laut kepulauan lintas kapal dan pesawat udara asing yang syarat-syaratnya telah ditentukan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982). Berdasarkan Konvensi ini, Kedaulatan Indonesia ini mengandung perkecualian, yaitu terdapat rezim ruang udara di atas alur laut kepulauan yang memberikan hak lintas bagi pesawat udara asing (hak lintas damai/innocent passage). Indonesia dapat menangguhkan untuk
15 Evi Zuraida,” Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan pada Flight Information Region (FIR) Singapura di Atas Wilayah Udara Indonesia berdasarkan Perjanjian antara Indonesia Singapura Tahun 1995”(Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hal 71
Universitas Sumatera Utara
22
sementara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian-bagian tertentu dari perairan kepulauan, apabila dianggap perlu untuk kepentingan keamanan dan pertahanan. c. Ruang udara di atas perairan pedalaman. Perairan pedalaman (internal waters) atau disebut juga perairan darat (inland waters) meliputi sungai, muara terusan, anak laut, danau, terus-terusan, perairan diantara gugusan pulau-pulau dan perairan pada sisi dalam garis dasar atau pangkal kepulauan. Kapal-kapal asing tidak mempunyai hak untuk melakukan lintas damai didalam perairan pedalaman wilayah Indonesia. Sebagai negara kepulauan dapat melakukan penutupan sebagai batas perairan pedalaman di lingkungan perairan kepulauan (archipelagic waters). Didalam UNCLOS 1982 tidak secara jelas menentukan status ruang udara di atasnya, namun dapat dikatakan bahwa karena letaknya merupakan bagian dari perairan kepulauan yang dibatasi oleh garis lurus yang menghubungkan kedua tepinya diukur pada waktu air rendah, dan apabila tidak merupakan bagian dari alur laut kepulauan maka ruang udara di atas perairan pedalaman sama dengan perairan kepulauan. d. Ruang Udara di Atas Laut Teritorial. Batas terluar laut teritorial Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 adalah 12 mil laut ditarik dari garis dasar kepulauan yaitu suatu garis lurus yang menghubungkan titk-titik terluar dari bagian-bagian pulau-pulau terluar. Indonesia mempunyai kedaulatan atas laut teritorial dan ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pada laut
Universitas Sumatera Utara
23
teritorial berlaku hak lintas damai bagi kapal asing, tetapi tidak berlaku hak lintas damai bagi pesawat udara asing. e. Ruang Udara di Atas Selat Untuk Pelayaran Internasional. Dalam selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas dengan lainnya, kapal dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas transit (right of transit passage). Selat Malaka merupakan selat yang dipergunalan untuk pelayaran dan penerbangan internasional. Hak lintas transit bagi kapal dan pesawat udara asing berlaku di Selat Malaka termasuk pada bagian yang merupakan laut teritorial Indonesia.
2. Prinsip Kedaulatan Di Ruang Udara Prinsip pokok kedaulatan negara di wilayah udara telah diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (Convention On International Civil Aviation, signed at Chicago on December 7, 1944) yang berbunyi "the contracting states recognizing that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above is territory". Ketentuan ini mengatur salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang atau wilayah udara (airspace).16 Prinsip pokok kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tersebut dinyatakan dalam Pasal 5 UndangUndang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa Negara
16
http://baiqsetiani.blogspot.co.id/2014/06/ruang-udara-dan-wilayah-udara-nasional.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)
Universitas Sumatera Utara
24
Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Pada penjelasan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menugaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia.17 Sifat kedaulatan yang utuh dan eksklusif dari negara di wilayah udara nasional tersebut berbeda misalnya dengan sifat kedaulatan Negara di laut wilayah. Karena sifatnya yang demikian, maka di ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas damai (innocent passage) pihak asing seperti terdapat di laut teritorial suatu negara. Ruang udara nasional suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat udara asing, baik sipil maupun militer. Hanya dengan izin negara kolong terlebih dahulu, baik melalui perjanjian multilateral ataupun bilateral, maka ruang udara nasional dapat dilalui oleh pesawat udara asing. Sifat tertutup yang demikian itu dapat dipahami mengingat ruang udara sebagai media gerak sangatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan keamanan negara kolong. Karena serangan-serangan dengan menggunakan pesawat udara banyak memiliki keuntungan dan kemudahan, seperti sifatnya yang cepat (speed), jangkauan (range) yang luas, pendadakan (surprise), penyusupan (penetration)
17
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
25
yang dapat dilakukan dengan optimal. Hal inilah yang mendorong setiap negara mengenakan standar penjagaan ruang udara nasionalnya secara ketat dan kaku. Dari prinsip kedaulatan negara di wilayah udara sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 di atas, ada dua hal yang penting untuk dilakukan pembahasan dan pemahaman, yaitu: (1) Complete and exclusive (penuh dan utuh), dan (2) Airspace (ruang udara/wilayah udara). Namun kekuasaan tersebut tidaklah begitu absolut sehingga tidak dapat begitu saja mengesampingkan kepentingan negara-negara lain. Oleh karena itu, kedaulatan yang penuh dan utuh tersebut juga harus menghormati ketentuanketentuan yang telah diatur dalam hukum internasional sebagai kesepakatan bangsa-bangsa.
Dalam hal ini harus memperhatikan ketentuan hukum
internasional, khususnya Attachment dari Annex 2 Rule of the Air. Dalam hal ini dikenal pula adanya asas pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary considerations of humanity), dimana secara tegas telah dinyatakan sebagai asas yang selalu harus melandasi tindakan-tindakan negara dalam menghadapi pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat udara sipil asing. Sebagaimana telah diketahui bahwa pelanggaran wilayah udara (aerial instrusion) adalah suatu keadaan dimana pesawat udara lain tanpa izin sebelumnya dari negara yang wilayahnya dimasuki pesawat udara asing tersebut.
M. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Penelitian dilakukan untuk memeriksa pemberlakuan peraturan
Universitas Sumatera Utara
26
perundang-undangan
nasional
yang
mengatur
mengenai
akibat
hukum
pelanggaran Pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia ditinjau dari konvensi Chicago tahun 1944. Dalam penelitian hukum normatif diperlukan bahan-bahan primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer terutama peraturan perundang-undangan, sumber bahan hukum sekunder diperoleh melalui literatur, karya-karya ilmiah hukum, laporan penelitian akademis dan informasi dari instansi terkait yang relevan dengan perlindungan konsumen. Bahan hukum tersier diperoleh dari sumber-sumber seperti kamus hukum dan sejenisnya.18 2. Sumber data Didalam, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bukanhanya bahan hukum saja akan tetapi di tambah dengan pendapat para ahli. Data sekunder, yaitu data yang di ambil dari bahan pustaka yang terdiri dari tiga sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer,sekunder dan tersier. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut: a. Bahan hukum primer 1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Hak dan Kewajiban Kapal Dan Pesawat Udara Asing Dalam
18
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
27
Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan. b. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh. c. Bahan hukum tersier. Bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu berupa kamus hukum 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian Pustaka (library research), yakni data yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran literatur hukum serta menganalisis data sekunder yang tujuannya untuk memperoleh data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan yang berlaku guna mendapatkan kepastian hukum. 4. Analisis data Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara
Universitas Sumatera Utara
28
berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus.
N. Sistematika Penulisan Guna memudahkan pemahaman atas isi dari skripsi ini, penulis membuat sistematika pembahasan secara teratur yang semuanya mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain. Dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dan sejumlah sub bab. Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
KEDAULATAN NEGARA DIRUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 Berisikan mengenai pengertian ruang udara dan wilayah udara Indonesia, batas kedaulatan negara di wilayah udara dan pengaturan hukum terhadap kedaulatan negara berdasarkan di ruang udara konvensi.
BAB III PELANGGARAN KEDAULATAN WILAYAH YANG TELAH DILAKUKAN OLEH PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT Berisikan Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia dan Pelanggaran Kedaulatan Negara, Pelanggaran Pesawat Udara Militer Asing menurut
Universitas Sumatera Utara
29
Hukum Nasional dan Pelanggaran Pesawat Udara Militer Asing menurut Hukum Internasional. BAB IV AKIBAT HUKUM PELANGGARAN PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT DIWILAYAH KEDAULATAN INDONESIA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944
Berisikan hak dan kewajiban pesawat asing di Indonesia, pengaturan mengenai pesawat udara militer menurut hukum udara nasional dan internasional, akibat hukum pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia dalam hukum nasional dan internasional BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran yang menjadi pokok-pokok pikiran penulis berdasarkan atas uraian-uraian yang telah di kemukakan.
Universitas Sumatera Utara