BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Semenjak awal kelahirannya, suatu negara tak lepas dari namanya sengketa, baik sengketa dalam negeri maupun luar negeri. Sengketa-sengketa tersebut dapat dipicu oleh masalah ekonomi, perbatasan, kerusakan lingkungan, politik hinggga pemberontakan. Tak jarang, jalan yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah dengan perang. Perang masih menjadi hambatan terbesar dalam terciptanya perdamaian di dunia. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah digunakan dalam praktiknya sejak lama. Bahkan perang juga telah dijadikan sebagai alat bantu kebijakan luar negeri. Contohnya, seorang Napoleon Bonaparte menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX.1 Namun perlu dicatat, dalam perang terdapat suatu prinsip pembedaan dimana ada dua golongan dalam perang yaitu golongan yang ikut berperang dan golongan yang tidak terlibat dalam perang seperti penduduk sipil, perwakilan diplomatik (baik kantor maupun utusan diplomatik), perwakilan konsuler, misi khusus dan lain-lain.
1 Mohammed Bedjaoui, 1997, International Law: Achievement and Prospects, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, h. 520. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=jrTsNTzcY7EC&dq=Mohammed+Bedjaoui,+1997,+Internati onal+Law:+Achievements+and+Prospects+ebook&hl=id&source=gbs_navlinks_s diakses pada tanggal 8 September 2015 pukul 15.40 WITA
1
2
Perwakilan diplomatik merupakan representasi dari suatu negara yang disebut dengan negara pengirim yang kemungkinan tidak ada kaitannya secara langsung dengan konflik bersenjata yang sedang terjadi di wilayah tersebut, oleh karena itu suatu perwakilan diplomatik tidak boleh tersentuh atau terkena dampak dari perang secara langsung seperti diserang, dimasuki, disandera apalagi hingga jatuh korban dari petugas diplomatik yang sedang bertugas. Hal ini juga dipertegas oleh kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik tersebut. Namun demikian, dalam praktiknya hal tersebut tak lantas membuat perwakilan diplomatik suatu negara lolos dari serangan dalam kondisi perang. Seperti yang terjadi terhadap kedutaan besar Republik Rakyat Cina (RRC) di Yugoslavia pada tahun 1999 dan kasus terbaru yaitu serangan terhadap kedubes Republik Indonesia di Yaman. Konflik bersenjata di Kosovo atau yang biasa disebut Perang Kosovo terjadi sejak 28 Pebruari 1998 hingga 11 Juni 1999. Perang terjadi antara pasukan pemerintah Yugoslavia melawan Kosovo Liberation Army (KLA). Salah satu yang memicu terjadinya perang ini adalah pengurangan hak-hak warga mayoritas orang Albania oleh pemerintah Yugoslavia (Boegrad).2 Perang ini mengakibatkan 13.517 korban yang sebagian besar tewas dan sebagian kecilnya dinyatakan hilang. Dimana dari sekian banyak korban tadi, 12.181 diantaranya adalah dari sipil. Perang Kosovo semakin memanas ketika North Atlantic Treaty Organization
2 http://www.dw.com/id/intervensi-nato-terhadap-serbia/g-17512855 diakses pada tanggal 8 September 2015 pukul 16.10 WITA
3
(NATO) ikut ambil bagian dalam melawan pasukan pemerintah Yugoslavia yang dimulai semenjak 24 Maret hingga 10 Juni 1999. Ini merupakan Operasi militer yang dilakukan oleh NATO ditengarai melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional. Serangan udara yang dilancarkan dengan tujuan untuk membantu pasukan Kosovo Liberation Army (KLA) tidak semua tepat mengenai sasaran. Bahkan serangan udara yang dilancarkan pada tanggal 7 Mei 1999 menyebabkan bom jatuh dua kali di kedubes Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Yugoslavia dan atas tindakan tersebut RRC melalui duta besarnya untuk PBB meminta diadakan sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas hal yang disebut mereka “barbarian act”.3 Menurut harian Xinhua, tiga orang tewas dan setidaknya 20 orang luka-luka akibat dari serangan tersebut.4 Presiden Amerika Serikat pada saat itu, Bill Clinton pun meminta maaf atas kejadian tersebut dan mengatakan bahwa serangan itu bukanlah hal yang disengaja walaupun dari keterangan saksi di tempat kejadian mengatakan bahwa serangan seperti memang ditargetkan ke kantor kedubes RRC dan dilancarkan secara bertubi-tubi. Menanggapi campur tangan NATO dalam perang Kosovo, PBB tidak tinggal diam. Sekretaris Jendral PBB Kofi Atta Annan meminta NATO untuk tidak ikut campur dalam perang dan membiarkan Dewan Keamanan PBB yang bertindak dalam melakukan upaya-upaya menjaga perdamaian disana. Dalam wawancaranya dengan CNN, ia berpendapat bahwa Dewan Keamananlah yang memiliki
3
http://edition.cnn.com/WORLD/europe/9905/07/kosovo.05/index.html tangal 9 September 2015 pukul 18.15 WITA 4
diakses
pada
http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/338424.stm diakses pada tanggal 9 September 2015 pukul 18.19 WITA
4
tanggung-jawab utama dalam hal perdamaian dan keamanan, dan saat diperlukan penggunaan cara kekerasan (use of force), maka mereka harus dilibatkan.5 Salah satu contoh aktual mengenai gangguan terhadap perwakilan diplomatik di wilayah konflik bersenjata adalah serangan udara dari pesawat militer koalisi negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi yang berdampak pada hancurnya kantor kedubes RI di Yaman. Serangan tersebut terjadi di kota Sanaa, Yaman pada Senin, 20 April 2015 pada pukul 10.45 waktu setempat. Menanggapi hal ini, pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengecam keras tindakan tersebut. Insiden itu melukai tiga orang dan membuat kantor KBRI rusak parah dan menghancurkan semua kendaraan di KBRI.6 Pemerintah RI langsung memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, namun belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Arab Saudi atas serangan tersebut. Dapat diketahui bahwa dalam keadaan perang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum internasional. Jatuhnya korban dari masyarakat sipil, serangan terhadap rumah sakit, dan seperti dua kasus diatas, serangan terhadap perwakilan diplomatik hanyalah sebagian dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pihak-pihak yang menjadi kombat harusnya menaati prinsip pembedaan
5
http://edition.cnn.com/WORLD/europe/9905/07/kosovo.04/ diakses pada tanggal 9 September 2015 pukul 19.00 WITA 6
http://dunia.tempo.co/read/news/2015/04/20/115659219/indonesia-kecam-seranganbom-yang-kenai-kbri-yaman diakses pada tanggal 12 September 2015 pukul 13.30 WITA
5
dimana para pihak non-kombat tidak seharusnya dijadikan sasaran dalam berperang. Fenomena dan permasalahan hukum yang telah diuraikan tersebut sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi karya tulis dengan judul “PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tadi, maka dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas menjadi 2 (dua) hal, yaitu : 1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang menurut Hukum Internasional? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang berdasarkan Hukum Internasional?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya tulis dirasa perlu ditegaskan materi yang diatur didalamnya. Tujuan dari hal ini adalah untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi yang disajikan dari pokok permasalahan yang telah
6
dirumuskan, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Ruang lingkup yang akan dikaji dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1. Akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik dalam sumber-sumbar hukum internasional, seperti perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum internasional lainnya. 2. Akan dibahas mengenai bentuk pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang berdasarkan hukum internasional. 1.4 Tujuan Penulisan Tujuan-tujuan yang diharapkan bisa dicapai dari karya tulis ini antara lain : 1.4.1. Tujuan umum. 1. Melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian. 2. Sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum 3. Sebagai sumbangan pikiran penulis bagi pengetahuan di bidang Hukum Internasional, khususnya yang berkaitan dengan Hukum Humaniter dan Hukum Diplomatik. 1.4.2. Tujuan khusus. 1. Untuk
mengetahui
bagaimana
pengaturan
hukum
terhadap
perlindungan hukum perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang menurut Hukum Internasional.
7
2. Untuk
menganalisa
bentuk-bentuk
pertanggungjawaban
hukum
terhadap pelanggaran atas perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang menurut Hukum Internasional.
1.5 Manfaat Penulisan 1.5.1. Manfaat teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang ditinjau dari Hukum Internasional. Selain itu, karya tulis ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan dalam pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di bidang Hukum Internasional mengenai perlindungan terhadap perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang. 1.5.2. Manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pihak negara-negara penerima maupun pihak yang sedang berperang di belahan dunia manapun agar senantiasa mencegah pelanggaran atas perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang. Untuk para mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan analisa yang akan membentuk pola pikir dinamis dan kritis dalam melihat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan isu hukum yang dibahas ini, sekaligus mengukur sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. Berikutnya, penelitian
8
ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran kepada para golongan kombat bahwa perwakilan diplomatik di wilayah perang memiliki kedudukan dan perlindungan yang dijamin oleh hukum internasional. Sehingga, pelanggaranpelanggaran terhadapnya yang sering dilakukan golongan kombat akan dapat diminimalisir. 1.6 Landasan Teoritis a.
Teori-teori tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik Terdapat 3 (tiga) teori mengenai dasar pemberian hak-hak istimewa dan
kekebalan diplomatik di luar negeri.7 Berikut adalah ketiga teori tersebut : 1. Teori Eksteritorialitas. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, berada di luar wilayah akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya disana. Demikian juga halnya dengan gedung perwakilan.8 2. Teori Representatif. Teori kedua ini mengajarkan pada kita bahwa baik pejabat maupun perwakilan diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya.9
7
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua, PT. Alumni, Bandung, h. 547. 8
ibid.
9 Syahmin Ak., 2008, Hukum diplomatik dalam kerangka studi analisis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 117.
9
3. Teori Kebutuhan Fungsional. Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatiknya hanya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar.10 b.
Prinsip pembedaan (Distinction principle). Salah satu bagian penting dari hukum perang adalah apa yang dikenal
dengan prinsip pembedaan. Adapun yang dimaksud prinsip pembedaan ini adalah bahwa penduduk suatu negara yang terlibat perang dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu mereka yang secara langsung ikut serta dalam pertikaian tersebut dan mereka yang tidak turut secara aktif. Golongan pertama tadi biasa disebut kombat, dan golongan kedua pada umumnya disebut penduduk sipil.11 Yang menjadi tujuan utama dari prinsip pembedaan ini adalah demi melindungi warga sipil. Selain itu, prinsip pembedaan juga bertujuan untuk membedakan objek sasaran militer, atau objek sipil. Berkaitan dengan perlindungan perwakilan diplomatik dalam suatu konflik bersenjata, prinsip pembedaan ini nantinya menjelaskan mengenai kedudukan pejabat beserta gedung-gedung perwakilan diplomatik dalam suatu konflik bersenjata yang notabene termasuk dalam golongan non-kombat yang seharusnya mendapat perlindungan.
10
Boer Mauna, op.cit, h. 548.
11
T. May Rudy, 2002, Hukum Internasional II, PT. Refika Aditama, Bandung, h.88.
10
c.
Ius in bello. Ius in bello merupakan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perang
yang diatur dalam sumber-sumber Hukum Humaniter, khususnya sumber utama yaitu : 12 1) Konvensi-konvensi den Haag 1907 (Conduct of war); 2) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Perlindungan korban perang); 3) Protokol-protokol tambahan 1977. Ius in bello tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (kapan atau dalam keadaan bagaimana negara dibenarkan untuk berperang). Yang artinya Hukum Humaniter Internasional mengikat pihak-pihak yang berkonflik tanpa melihat alasan dari perang tersebut. d.
Teori-teori Pertanggungjawaban Negara Pada dasarnya, ada dua teori mengenai pertanggungjawaban negara, yaitu
Teori Resiko dan Teori Kesalahan :13 1. Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara
12 Haryomataram, 2012, Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Haryomataram I), h. 3. 13
http://fl.unud.ac.id/blockbook/HI/course%20materials/TANGGUNG%20JAWAB%20 NEGARA.doc diakses pada tanggal 1 Pebruari 2016 pukul 12.00 WITA
11
mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. 2. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu. 1.7 Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut : 1.7.1. Jenis penelitian. Karya tulis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang mana penelitian akan dilakukan terhadap kaidah-kaidah yang terdapat dalam Hukum Internasional yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap perwakilan diplomatik di wilayah perang. Selain itu, hal ini selaras dengan yang dinyatakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa penelitian hukum normatif mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.14
12
1.7.2. Jenis pendekatan. Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni : 1) Pendekatan Kasus (The Cases Approach) 2) Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) 3) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 4) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual) 5) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) 6) Pendekatan Sejarah (Historical Approach) 7) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)15 Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundangundangan, pendekatan fakta, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Yang dimaksud dengan pendekatan perundang-undangan tersebut berupa interpretasi penulis terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang relevan digunakan dalam penulisan ini. Pendekatan fakta adalah pendekatan berdasarkan sumber-sumber dari lapangan yang telah teruji kebenarannya. Sedangkan pendekatan sejarah yang dimaksud adalah pendekatan yang pada umumnya bertujuan untuk membuat rekonstruksi secara sistematis dan objektif dari kejadian di masa lalu, dengan cara
14
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14 15
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. lxix.
13
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesikan data-data untuk menegakkan fakta dengan kesimpulan yang kuat. Adapun pendekatan kasus digunakan dalam menganalisis kasus-kasus gangguan terhadap perwakilan diplomatik seperti yang terjadi pada Kedubes RRC di Yugoslavia pada 7 Mei 1999 dan Kedubes Republik Indonesia di Yaman pada 20 April 2015. 1.7.3. Sumber bahan hukum. Penulisan karya tulis ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan demikian data yang digunakan adalah data sekunder sebagai berikut : 1. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam karya tulis ini terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam : a. Piagam PBB b. Statuta Mahkamah Internasional c. Statuta Roma 1998 d. Konvensi Jenewa 1949 (I) dan (IV) beserta Protokol Tambahan I tahun 1977 e. Konvensi den Haag 1907 (IV) tentang Hukum dan Kebiasaan Perang Darat f. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik beserta Protokol Pilihan g. Konvensi New York 1973 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang yang Secara Internasional Dilindungi termasuk Agen Diplomatik
14
h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri i. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri j. Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (Draf ILC 2001) 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang sifatnya sebagai pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dari karya tulis ini terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, kamus hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah. 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang berupa sumber non-hukum yang menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum. Dalam karya tulis ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu mengutip secara langsung dari literatureliteratus, perundang-undangan, dan konvensi-konvensi internasional disertai dengan merumuskan intisari dari bahan-bahan pustaka terkait. 1.7.5. Teknik analisis bahan hukum. Adapun teknik analisis yaitu setelah bahan hukum terkumpul lalu dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu teknik dimana penulis memaparkan bahan
15
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan dibantu bahan hukum tersier.16 Bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul tadi lalu dievaluasi, kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi dilakukan penulis untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang sepantasnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hal itu nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu-kesatuan yang berhubungan secara logis17
16
Roni Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet.II, Ghalia Indo, Jakarta, h.93.
17
Ibid