BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kredit Sindikasi adalah suatu Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu Kreditur/Bank (baik dari Bank di dalam negeri, maupun dari Bank dari luar negeri). Seperti yang dikatakan oleh Stanly Hurn dalam bukunya yang berjudul“Syndicated Loan”, Stanly Hurn memberikan definisi Kredit Sindikasi sebagai berikut: “A syndicated loan is a loan made by two or more lending institusions, on similar terms and condition, using commong documentations and administrered by common agent”.1 Dalam Kamus Bank Indonesia, deifnisi Sindikasi adalah sebagai berikut: “pemberian kredit oleh sekelompok bank kepada satu Debitor, yang jumlah kreditnya terlalu besar apabila diberikan oleh satu bank saja (loan syndication)”.2 Berdasarkan kedua penjelasan definisi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Kredit Sindikasi adalah suatu Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu Kreditur kepada satu Debitor dengan syarat dan ketentuan yang sama, Kreditur dalam hal ini bisa merupakan Bank, bisa juga merupakan 1 Stanly Hurn, 1990, Sydicated Loan, (A Handbook for Banker and Borrower): WoodheadFaulkner, sebagaimana dikutip kembali oleh Sutan Remy Sjahdaeni, 2010, dalam bukunya yang berjudul “Kredit Sindikasi – Proses, Teknik, dan Aspek Hukumnya”, Jakarta, hlm. 2 2 Dilihat dari situs Bank Indonesia http://www.bi.go.id/id/Kamus.aspx pada tanggal 19 Mei 2014
1
lembaga pembiayaan non-Bank. Namun pada umumnya yang berlaku krediturnya adalah Bank, baik Bank dalam negeri maupun Bank luar negeri. Daniel Ginting selaku praktisi di Indonesia memberikan definisi Kredit Sindikasi sebagai “Kredit yang diberikan oleh dua atau lebih kreditor, dengan syarat dan ketentuan yang sama, dan dikelola oleh Agen yang sama”.3 Definisi Kredit Sindikasi yang diberikan oleh Stanley Hurn menurut Adrian Sutedi (dalam bukunya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Letter Of Credit dan Kredit Sindikasi”) sudah mencakup semua unsur-unsur penting Kredit Sindikasi, diantaranya, Pertama, Kredit Sindikasi melibatkan lebih dari satu lebaga pembiayaan dalam suatu fasilitas sindikasi. Kedua, definisi tersebut menyatakan bahwa Kredit Sindikasi adalah kredit yang diberikan berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sama bagi masingmasing peserta sindikasi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hanya ada satu perjanjian kredit antara nasabah dan sebuah bank peserta sindikasi. Ketiga, definisi tersebut menegaskan bahw ahanya ada satu dokumentasi kredit, karena dokumentasi inilah yang menjadi pegangan bagi semua bank peserta sindikasi secara bersama-sama. Keempat, sindikasi tersebut diadministrasikan oleh satu agen yang sama bagi semua bank peserta Sindikasi.4 3 Daniel Ginting, 2002, dalam Procedings Kredit Sindikasi dengan judul “Prinsip-prinsip Dasar Kredit Sindikasi” Jakarta, hlm. 67 4 Adrian Sutedy, 2012, “Tinjauan Yuridis Letter Of Credit dan Kredit Sindikasi”, Alfa Beta, Bandung, hlm. 165
2
Kata Kredit sendiri berasal dari kata Romawi “Credere” yang artinya percaya. Sedangkan dalam bahasa Belanda, Kredit dikenal dengan istilah “Vertrouwen” dan dalam bahasa Inggris Kredit dikenal dengan istilah “Believe” atau “Trust or Confidence” yang artinya sama, yaitu Percaya, mengingat kepercayaan adalah unsure paling utama dalam pemberian Kredit. Untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang dapat dipercaya untuk memperoleh Kredit, pada umumnya dalam dunia Perbankan menggunakan instrument analisa yang terkenal dengan nama the fives of credit yaitu:5 1. Character 2. Capital 3. Capacity 4. Collateral 5. Condition Of Economic
Sebagai salah satu negara berkembang, kehadiran Kredit Sindikasi juga mewarnai pembangunan dan pengembangan aspek ekonomi bangsa Indonesia. Tepat pada tanggal 3 Oktober 1973, melalui Surat Edaran Bank Indonesia nomor 6/33/UPK mengenai Pembiayaan Bersama oleh Bank-bank Pemerintah (Konsorsium) dan pada Tahun 1979 dengan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/26/UPK dimana Bank Pemerintah membiayai Kredit Investasi sebesar > Rp. 500.000.000,- (limaratus juta Rupiah) dan Kredit 5
Sutarno, 2005, “Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank”, Alfabeta, Bandung, hlm. 92
3
Modal Kerja sejumlah > Rp. 750.000.000,- (tujuhratus limapuluh juta Rupiah) harus ditawarkan secara konsorsium. Era Deregulasi Kredit Sindikasi dimulai melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 61/1/UKU tertanggal 1 Juni 1983, dimana pelaksanaannya diserahkan kepada Bank Sindikasi, dan dengan kehadiran Pakto 88 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Kredit Sindikasi berkembang pesat karena sangat mampu mengatasi masalah BMPK.6 Budhiono Budoyo juga menambahkan dengan memberikan gambaran perbedaan antara Kredit Sindikasi dengan Kredit Konsorsium sebagai berikut:7
KREDIT KONSORSIUM
1. Analisis dilakukan oleh Bank Induk
KREDIT SINDIKASI
1.
Seluruh Bank peserta melakukan Analisa Kredit
2. Suku Bunga atas dasar Bank Induk
2.
Suku Bunga atas dasar negosiasi Bank Sindikasi
3. Perjanjian Kredit Induk dilakukan oleh Debitor dan Bank Induk serta
3.
Perjanjian Induk ditandatangani oleh seluruh peserta sindikasi
6
Budhiono Budoyo, 2010, dalam Procedings Kredit Sindikasi dengan judul “Aspek Bisnis Dalam Pembentukan Kredit Sindikasi dan Tanggungjawab Masing-masing Pihak” Op. Cit, hlm.11 7 Ibid.
4
dibawah tangan 4. Bank
peserta
berhubungan
tidak langsung
dapat dengan
4.
Bank Peserta dapat berhubungan dengan Debitor melalui Agen
Debitor
Menurut
Budhiono
Budiyo,
ada
beberapa
alasan
mengapa
diperlukannya Kredit Sindikasi. Alasan-alasan tersebut dibagi menjadi 2 (dua), baik bagi Kreditur maupun bagi Debitor. Bagi Debitor diantaranya adalah:8 a) Merupakan solusi untuk memperoleh fasilitas kredit dalam jumlah besar, sebab kredit yang dalam jumlah besar terlalu berat bila ditangani oleh 1 bank, ibaratnya tidak akan menaruh semua telur keadlam satu keranjang. Cara ini juga lebih efisien, karena hanya perlu menunjuk 1 arranger untuk meng-arrange Kredit Sindikasi pada Bank-bank sehingga tidak harus dating satu persatu kepada Bank-bank tersebut untuk meminta dana; b) Memupuk kerjasama atau networking dengan bank-bank lain, agar dikemudian hari Debitor dapat lebih mudah melakukan kerjasama; c) Menambah kredibilitas Debitor, terutama bila peserta sindikasi terdiri dari bank besar dan ternama;
8
Ibid., hlm. 12
5
d) Untuk kepentingan publikasi (image), terutama apabila dicantumkan dalam Tomstone atau announcement dalam majalah internasional (apabila Kredit Sindikasi melibatkan bank-bank internasional).
Bagi Bank (Kreditur), alasan diperlukannya Kredit secara Sindikasi adalah sebagai berikut: a) Dapat mengatasi masalah Batas Maksimum Pemberian Kredit; b) Risk Sharing dengan Bank lain; c) Memupuk kerjasama dengan suatu grup usaha, misalnyabank yang berusaha memupuk hubungan dengan suatu grup usaha, yang biasanya mempunyai bank pilihan sendiri; disini menjadi penting, karena untuk dapat bekerjasama dengan suatu perusahaan besar diperlukan suatu usaha tersendiri, karena biasanya perusahaan sudah mempunyai bank tersendiri demi alasan kerahasiaan. Dengan menjadi salah satu peserta Kredit Sindikasi, maka dimungkinkan kerjasma dengan perusahaan tersebut; d) Meningkatkan fee based income atau pendapatan yang didapat dari Fee; e) Learning process, terdapat beberapa bank yang tidak mempunyai pengalaman dalam Kredit Sindikasi. Dengan menjadi salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi maka bank tersebut dapat mempelajari mengenai Kredit Sindikasi; f) Agar dikenal dalam pasar Sindikasi, bagi Bank sulit untuk masuk ke dalam suatu Kredit Sindikasi terutama apabila tidak mempunyai 6
pengalaman sindikasi. Terhadap raising flag, dimana bank akan mendapat banyak penawaran untuk turut serta dalam sindikasi apabila telah dikenal dalam pasar sindikasi.
Selain dari apa yang sudah disebutkan oleh Budhiono Budiyo, ada beberapa alasan pokok mengapa pemberian kredit secara sindikasi perlu dilakukan. Alasan tersebut menurut Arif Surowidjojo adalah:9 a) Jumlah pnjaman yang teralu besar bagi kreditur individual sehingga dibutuhkan
pembagian
resiko
diantara
sejumlah
kreditur
untuk
meminimalkan resiko individual kreditur; b) Pinjaman dalam pembiayaan proyek (project finance) yang penentuan pemberiannya dan proyeksi pengembaliannya didasarkan pada hasil evaluasi kelayakan proyek dan bukan pada kecukupan asset, karena asset Debitor jauh lebih kecil daripada exposure pinjamannya, sehingga jumlah pinjaman jauh lebih besar daripada asset Debitor. Hal tersebut juga dapat terjadi misalnya pada proyek pembangunan jalan TOL, dimana asset perusahaan pembuatnya kecil tetapi kelayakan proyeknya besar; c) Dalam pemberian pinjaman dengan resiko tinggi, misalnya dalam proyek oil, gas, and minning, tidak ada keyakinan mutlak bahwa penambang memiliki cadangan hasil tambang yang cukup untuk membayar
9
Arif Surowidjojo, 2010, Op. Cit, hlm. 18
7
pinjamannya. Dalam proyek dengan resiko seperti ini diperlukan pemberian Kredit secara Sindikasi; d) Sudah tingginya exposur pendanaan para kreditur di sautu kawasan operasi; e) Atas hasil restrukturisasi, yang memerlukan suatu sindikasi baru untuk bisa meneruskan operasional perusahaan; f)
Terjadinya kelangkaan pendanaan di pasar uang dunia, terutama apabila Indonesia sudah dianggap tidak menarik lagi bagi para Investor atau Negara-negara donor asing;
g) Resiko local (country risk) yanf dianggap tinggi dan berflotalitas misalnya kondisi makro ekonomi yang penuh resiko, situasi politik yang tidak pasti, integritas pemerintah, legislative, dan yudikatif yang dipertanyakan, kondisi pelaksanaan hokum yang dianggap lemah dan diskriminatif, kerapnya perubahan kebijakan hokum dan sebagainya; h) Tingkat kerumitan dan kompleksitas yang tinggi di industry dimana Debitor melaksanakan investasinya. Terutama dalam hal investasi yang membutuhkan tekhnologi tinggi, contohnya : dalam project finance Tanjung Enim yang melakukan suatu hutan tanaman industry. Dalam proyek hutan tanaman industri tersebut, penanaman oleh perusahaan lain sedangkan lahannya milik pihak lain, sehingga harus memberikan jaminan yang pasti pada kreditur bahwa kredit yang diberikan itu layak.
8
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdaeni, juga memberikan beberapa alasan terkait manfaat dari pemberian Kredit Sindikasi. Dalam bukunya yang berjudul “Kredit Sindikasi – Proses, Teknik, dan Aspek Hukumnya”, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdaeni menjelaskan keuntungan atau manfaat Kredit Sindikasi bagi Bank (Kreditur) adalah sebagai berikut:10 a) Bagi bank yang sebelumnya tidak memiliki hubungan dengan Debitor, keikutsertaannya dalam Kredit Sindikasi memberikan kesempatan baginya untuk menjalin hubungan dengan Debitor yang bersangkutan. Bagi bank (Kreditur) hubungan baru ini sangat menguntungkan terutama apabila Debitor merupakan pengusaha besar yang memiliki reputasi sangat bagus di dunia bisnis; b) Pembentukan Kredit Sindikasi dalam pemberian kredit memungkinkan bagi suatu Bank untuk mengatasi masalah Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau Legal Lending Limit. Apabila permnintaan kredit yang diajukan oleh Kreditur Debitor Bank sedemikian besar jumlahnya sehingga tidak mungkin dibiayai seluruhnya oleh bank itu sendiri tanpa melanggar BMPK, sedangkan Bank tidak ingin kehilangan hubungan dengan Debitor tersebut, maka pembentukan Kredit Sindikasi merupakan jalan keluar. Sebelum pemberian Kredit secara Sindikasi dikenal oleh dunia perbankan, tentu saja bank tersebut terpaksa
harus melepaskan
Debitor itu untuk langsung berhubungan dengan bank lain yang lebih 10
Sutan Remy Sjahdaeni, 2010, Op. Cit, hlm. 25
9
mampu membiayai seluruh kebutuhan Debitor tersebut. Bila hal ini terjadi, sudah tentu merupakan kerugian terbesar bank tersebut, lebihlebih lagi apabila Debitor tersebut adalah adalah Debitor lama yang telah menjadi besar karena binaan bank tersebut. Bahkan tidak mustahil, bank lain yang menampung Debitor tersebut akan meminta agar kredit-kredit yang sebelumnya telah diberikan oleh banknya semula harus dilunasi dengan cara diambil aliholeh bank yang baru. Alasannya, karena bank tersebut ingin menguasai seluruh proyek milik Debitor sebagai jaminan dan demi memudahkan pelaksanaan pengawasan atas penggunaan kreditkredit yang diperoleh oleh Debitor tersebut. Karena itulah maka Kredit Sindikasi merupakan jalan keluar bagi suatu bank untuk dapat memenuhi permintaan kredit Debitornya tanpa harus kehilangan Debitor tersebut, sekalipun bank itu tidak mempunyai kemampuan untuk memikul sendiri seluruh kredit tersebut; c) Memungkinkan
bagi
bank
peserta
sindikasi
untuk
memperoleh
pembayaran fee dari Debitor disamping pembayaran bunga atas kredit tersebut. Perlu dipahami bahwa pemberian kredit biasa, bank pemberi kredit hanya akan memperoleh bunga atas pemberian kredit itu dan tidak dimungkinkan untuk menarik pembayaran fee dari Debitor. Apalagi apabila disamping menjadi peserta sindikasi, ternyata bank tersebut juga bertindak sebagai arranger, maka bank tersebut mendapatkan arranger’s fee. Bank tersebut tidak mustahil akan juga memperoleh agent’s fee 10
apabila setelah perjanjian kredit sidnikasi ditandatangani bank tersebut ditunjuk pula sebagai agent bank yang menatausahakan pemberian kredit tersebut; d) Kredit Sindikasi memungkinkan bagi suatu bank untuk berbagi resiko dengan bank-bank lain. Kredit Sindikasi adalah teknik bagi suatu bank untuk dapat menyebarkan resiko dalam pemberian kredit. Karena itu biasanya tidak cocok untuk kredit dalam jumlah kecil, dimana tidak ada alasan bagi bank tersebut untuk membiayai sendiri seluruh jumlah kredit yang kecil itu. Namun demikian, ada keadaan-keadaan dimana suatu pinjaman mencapai jumlah sedemikian besarnya sehingga dirasakan terlalu besar bagi bank tersebut untuk dapat memikulnya sendiri. Apabila bank tersebut merasa resikonya terlalu besar bagi bank tersebut bila seluruh pinjaman Debitor tertentu dipikul sendiri, seklaipun, mungkin dari segi legal lending limit, atau “batas maksimum pemberian kredit” (BMPK) dari bank tersebut belum terlampaui (sebagaimana hal itu dituangkan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998), maka bank itu akan berusahan membentuk suatu sindikasi untuk dapat membiayai Debitornnya itu. Dalam terminology bank disebut bahwa bank itu telah “melampaui obligor limitnya” bagi Debitor itu; e) Pemberian Kredit Sindikasi akan membantu bank yang terbatas likuiditasnya pada waktu permohonan kredit diajukan oleh Debitor, 11
sehingga perlu bank tersebut mengajak bank-bank lain untuk membiayai permintaan Debitornya; f)
Sekalipun bank-bank yang menjadi participant dalam sindikasi hanya memperoleh marging tetapi tidak memperoleh fees, tetapi keikut sertaanya dalam Kredit Sindikasi dimotivasi karena bank-bank tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melakukan jenis-jenis transaksi tertentu, atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan transaksi jenis-jenis tertentu, atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pembiayaan-pembiayaan di daerah-daerah geografis tertentu, atau tidak memiliki kemampuan membiayai sector-sektor industri tertentu, atau dimotovasi oleh keinginan untuk mengehemat biaya daripada apabila harus memberikan pembiayaan langsung kepada Debitor. Disamping itu, keikutsertaanya didasaarkan oleh keinginannya agar dikemudian hari dapat memperoleh kesempatan memberikan jasa-jasa yang lebih menguntungkan kepada Debitor sindikasi yang bersangkutan, misalnya berupa treasury management, corporate finance, atau advisory work).
Sedangkan manfaat bagi Debitor dalam hal Kredit Sindikasi menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdaeni adalah sebagai berikut:11 a) Debitor seringkali hanya memiliki hubungan dengan jumlah bank yang terbatas. Apabila kredit yang diperlukan oleh Debitor sangat besar 11
Ibid. hlm. 28
12
jumlahnya sehingga tidak mungkin dibiayai oleh satu atau dua bank yang telah memiliki hubungan dengan Debitornya untuk menghubungi bankbank yang tidak memiliki track record dengannya. Kredit Sindikasi merupakan pilihan yang lebih baik daripada Debitor harus menghubungi banyak bank, karena Kredit Sindikasi memungkinkan bagi Debitor untuk memperoleh kredit dalam jumlah besar tanpa harus menghubungi atau berhubungan dengan banyak bank. Debitor cukup berhubungan dengan satu bank saja yang akan bertindak sebagai arranger, untuk memperoleh Kredit Sindikasi. Seringkali Debitor sudah memiliki hubungan yang panjang selama bertahun-tahun dengan bank yang akan menjadi arranger itu. Apabila untuk memperoleh kredit dalam jumlah besar Debitor tersebut harus berhubungan dengan banyak bank secara bilateral, belum tentu Debitor tersebut berhasil memperoleh kredit yang diminatinya, mengingat Debitor itu bagi bank lain adlah Debitor baru dan biasanya bank enggan untuk memberikan kredit kepada Debitor baru dalam jumlah yang besar; b) Selama proses perolehan Kredit Sindikasi, Debitor hanya akan melakukan proses negosiasi dengan arranger mengenai sayarat-syarat dan ketentuanketentuan Kredit Sindikasi yang akan diperolehnya yang nantinya akan dituangkan dalam perjanjian Kredit Sindikasi, bukan secara terpisah melakukan negosiasi dengan masing-masing peserta sindikasi yang tidak mustahil jumlahnya dapat sangat banyak;
13
c) Proses pemberian Kredit Sindikasi berlangsung jauh lebih cepat daripada cara lain yang dapat dilakukan oleh Debitor dalam memperoleh pembiayaan, misalnya dibandingkan dengan menerbitkan obligasi (bonds) atau menjual saham di pasar modal. Namun mengingat cara kerja bankbank nasional di Indonesia pada saat ini yang lambat, kecepatan memperoleh Kredit Sindikasi yang sindikasinya diselenggarakan di dalam negeri oleh bank-bank nasional Indonesia sebagai arranger dengan peserta-peserta sindikasi adalah bank bank nasional Indonesia, biasanya prosesnya sangat memakan waktu. Apabila jumlah kredit yang dibutuhkan sangat besar dan kecepatan merupakan unsur yang penting, Debitor dapat meminta agar kredit itu dijamin (underwritten) oleh beberapa bank yang akan memberikan keseluruhan jumlah kredit dengan maksud setelah itu ditawarkan kepada pasar Kredit Sindikasi, sehingga dengan demikian partisipasi dari bank-bank yang telah memberikan jaminan itu dapat dikurangi; d) Apabila satu bank tidak bersedia untuk memberikan kredit yang terlalu besar kepada seorang Debitor, baik karena BMPK bank tersebut telah terlampaui atau menurut bank tersebut obligor limit dari Debitor lebih kecil daripada jumlah kredit yang diminta oleh Debitor, maka Kredit Sindikasi merupakan jalan keluar bagi Debitor tersebut; e) Memperoleh Kredit Sindikasi tidak terlalu menuntut debitur untuk melakukan
pengungkapan
(disclosure)
menganai
hal-hal
yang 14
menyangkut perusahaannya seperti halnya apabila debitor harus menerbitkan obigasi (bonds) atau menerbitkan saham-saham baru (equity issue) melalui pasar modal. Untuk memperoleh Kredit Sindikasi debitor tidak harus memperoleh rating dari suatu rating agency seperti halnya Moody’s atau Standard & Poor disamping untuk memperoleh rating itu memakan waktu; f) Kredit Sindikasi memungkinkan Debitor untuk memupuk track record dengan banyak bank melalui pengaturan oleh banknya sendiri yang bertindak sebagai arranger untuk Kredit Sindikasi itu. Hal ini sangat menguntungkan bagi debitor karena memberikan kesempatan bagi debitor untuk dikemudian hari berhubungan dalam memperoleh berbagai fasilitas perbankan yang diperlukannya dengan bank-bank peserta sindikasi yang sebelumnya belum dikenal oleh debitor dan belum mengenal debitor; g) Pemberian Kredit Sindikasi dipublikasikan, dengan demikian dicatat oleh kalangan perbankan, maka pemberian Kredit Sindikasi tersebut kepada Debitor sudah tentu menambah reputasi dan kredibilitas debitur tersebut di mata dunia perbankan, lebih-lebih lagi apabila para peserta sindikasi terdiri dari bank-bank besar yang ternama. Meningkatnya reputasi debitor tersebut akan sangat menguntungkan dikemudian hari apabila debitur tersebut perlu menggunakan fasilitas perbankan dari bank-bank yang pernah ikut dalam Kredit Sindikasi baginya maupun bank-bank lain yang tidak ikut dalam Kredit Sindikasi itu; 15
h) Debitur dapat memperoleh kredit dari bankyang berkeudukan di luar negeri, yaitu bank negara yang bukan menjadi tempat kedudukan debitor. Dengan kata lain, debitor tidak perlu bertempat tinggal di negara dimana kredit itu deiberikan.
Kredit Sindikasi tentu memiliki karakter yang berbeda dengan jenis Kredit yang lainnya. Menurut Arif Surowidjojo, karakteristik Kredit Sindikasi tersebut diantaranya ialah:12 a) Pinjaman
tersebut diberikan
lebih dari satu
Kreditur, dan
di
dokumentasikan dalam satu pinjaman yang berlaku sama untuk semua Kreditur dan dengan persyaratan yang sama pula; b) Adanya sautu lead bank yang melakukan proses Evaluasi Kelayakan Kredit, Uji Tuntas atau Due Diligence, pembuatan Proses Penawaran, pembetnuakn Sindikasi dan pembagian porsi pinjaman, negosiasi syarat pinjaman, penunjukan Agen, dan Closing; c) Penjaminan kepada semua Kreditur bersifat Pari-Pasu; d) Tanggungjawab Kreditur bersifat Individual; e) Semua hak dan komunikasi antara Kreditor dan Debitor dilakuka melalui Agent Facility; f)
Hak jaminan dipegang dan dilaksanakan oleh security agent (biasanya disebut agent jaminan);
12
Arif Surowidjojo, 2010, Op. Cit, hlm. 17
16
g) Cidera Janji (wanprestasi) debitor kepada salah satu kreditor merupakan cidera janji Debitor kepada seluruh Kreditor (cross default); h) Keputusan Para Kreditor Sindikasi diambil dari keputusan mayoritas dari jumlah terhutang, dan hasil keputusan tersebut disampaikan kepada Agen untuk dilaksanakan.
Karakteristik-karakteristik tersebutlah yang menjadi pembeda antara Kredit Sindikasi dengan Kredit yang lainnya. Selaku praktisi, Daniel Ginting melihat ada 6 (enam) karakteristik Kredit Sindikasi, yaitu:13 a) Lebih dari satu Kreditor; b) Kredit yang diminta dalam jumlah besar; c) Dalam jangka waktu lama; d) Suku bunga yang digunakan LIBOR atau SIBOR, mengingat ada banyak peserta sindikasi; e) Di dokumentasikan dengan di satu dokumentasi yang sama; f) Adanya pembagian jaminan
Penjelasan singkat diatas telah memberikan gambaran awal mengenai Kredit Sindikasi. Sesuai dengan sejarahnya, Kredit Sindikasi bukanlah suatu bentuk pembiayaan/pemberian kredit dengan mekanisme yang lahir dari budaya bisnis Indonesia, tetapi budaya bisnis negara Eropa dan/atau Amerika. 13
Daniel Ginting, 2002, Op. Cit, hlm. 67
17
Namun, sebagai negara dengan potensi pasar paling tinggi di Asia,14 tentu mekanisme pemberian kredit secara sindikasi sangatlah dibutuhkan oleh Indonesia. Hal ini tentu sejalan dengan kondisi perkembangan perekonomian Indonesia yang sedang tumbuh pesat. Kehadiran Kredit Sindikasi tentu juga sangat bermanfaat dalam mengawal proses perkembangan ekonomi bangsa Indonesia, dan tidak hanya perkembangan di bidang bisnis sector riil, tetapi juga di sector perbankan. Kehadiran Pemberian Kredit Sindikasi tentu akan sangat membantu industri perbankan berkembang pesat. Dalam pasar Sindikasi, ada dua pasar yang dikenal hingga saat ini, dan pasar tersebut juga berlaku di Industri atau pasar sindikasi Indonesia. Kedua pasar tersebut ialah pasar Kredit Sindikasi Primer, dan Pasar Kredit Sindikasi Sekunder atau yang biasa disebut primary market syndication dan secondary market syndication. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdaeni menjelaskan, primary market syndication adalah sindikasi yang terbentuk di pasar perdana (primary market), yaitu pasar di mana proses sindikasi berlangsung sebelum fasilitas kredit ditandatangani oleh semua bank yang menjadi peserta.15 Dengan demikian, bank –bank tersebut menjadi peserta langsung dari kredit tersebut. Suatu secondary market syndication ialah sindikasi yang terjadi di pasar sekunder, yaitu pasar dimana proses sindikasi berlangsung setelah fasilitas itu ditandatangani. Suatu secondary market syndication terjadi 14 15
Dilihat dari www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/item177 pada 24 Mei 2014 Sutan Remy Sjahdaeni, Op. Cit, hlm. 2.
18
apabila peserta langsung dari sindikasi menjual partisipasinya kepada pihak lain yang menjadi peserta baru dalam Kredit Sindikasi. Penjualan dan pembelian partisipasi dari para anggota primary market berlangsung di pasar secondary market.16 Hal yang perlu kita ingat dalam masuk dan berkembangnya Kredit Sindikasi ialah mengenai fakta hukum atau aturan hukum yang memayungi kehadiran dan perkembangan Kredit Sindikasi tersebut. Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwasanya pemberian Kredit dengan metode Sindikasi bukanlah sebuah metode pemberian kredit yang lahir di Indonesia, melainkan dari negara Amerika dan/atau Eropa yang belum tentu Indonesia sebagai negara
berkembang
memiliki
payung
hukum
atas
kehadiran
dan
perkembangan Kredit Sindikasi tersebut. Perbedaan budaya bisnis tentu akan sangat mempengaruhi budaya hukum. Hal ini tentu harus dikaji kembali lebih mendalam, mengenai apakah perangkat
hukum
Indonesia
siap
untuk
menerima
kehadiran
dan
mengakomodir perkembangan Kredit Sindikasi? Hal tersebut tentu akan kita kembalikan lagi kedalam hukum yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini kita tentu akan kembali kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengingat (kembali saya tekankan) kita belum memiliki suatu aturan pasti terkait aturan hukum pemberian Kredit secara Sindikasi.
16
Ibid.
19
Dasar hukum yang digunakan dalam rangka pelaksanaan pemberian Kredit secara Sindikasi saat ini ialah KUHPerdata, dimana KUHPerdata sendiri hadir di Indonesia kurang lebih sekitar tahun 1800-an, yang artinya sudah jauh lebih tua kehadiran KUHPerdata dibandingnya dengan kehadiran Kredit Sindikasi di Indonesia. Permasalahan yang akan penulis kaji dalam tulisan ini ialah mengenai secondary market syndication. Pada secondary market dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu : (i) Market Makers; (ii) Active Traders; (iii) Occasional Sellers/Investors. Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, faktanya hingga saat ini kita masih belum memiliki aturan yang focus/khusus mengatur mengenai pemberian Kredit secara Sindikasi. Dalam hal secondary market syndication, tentu ada beberapa hal yang menarik untuk kita kaji berdasarkan hukum Indonesia, khususnya mengenai pengalihan Piutang dan Jaminan Hak Tanggungan salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi (secondary market). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang menjadi obyek penelitian tesis ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pengalihan Piutang salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi? 2. Bagaimana Hak Kreditur Baru atas Jaminan Hak Tanggungan yang dialihkan? 20
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diarahkan untuk menjawab dan memecahkan permasalahan sebagaimana diurai dalam rumusan masalah. Oleh karenanya, penelitian ini ditujukan untuk beberapa hal sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana pengalihan Piutang dan Jaminan salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi 2. Mengetahui bagaimana Hak Kreditur Baru atas Jaminan Hak Tanggungan yang dialihkan D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Mengetahui secara mendasar (khususnya menjadi dasar bagi praktisi) bagaimana aturan hukum mengenai Pengalihan Pitang salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi; dan 2. Mengetahui hak Kreditur Baru atas Piutang dan Jaminan Hak Tanggungan yang dialihkan. E. Keaslian Penelitian Sepanjang pengamatan dan penelusuran kepustakaan penulis, belum ada penelitian yang dilakukan secara mendalam mengenai Pengalihan Piutang dan Jaminan salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi sekaligus juga tentang Perlindungan Hukum Kreditur Baru atas Piutan dan Jaminan yang dialihkan. Penulis pernah menemukan tulisan tentang pengalihan Piutang yang ditulis oleh Dr. Andrey Uzzia Sitanggang, S.H dkk dalam bukunya yang 21
berjudul “Metode Pengalihan Kredit Sindikasi”, hanya saja pengalihan tersebut hanya focus pada pembahasan metode dan jenis-jenis pengalihan Kredit Sindikasi. Selain buku tersebut (Metode Pengalihan Kredit Sindikasi), penulis juga baru menemukan catatan singkat tentang pengalihan Piutang dan Jaminan oleh Setiawan dalam Procedings Kredit Sindikasi pada Tahun 2003. Catatan singkat tersebut tidak banyak mengulas secara mendalam mengenai pengalihan Piutang dan Jaminan, melainkan hanya sebatas melempar suatu permasalahan mendasar dalam pengalihan Piutang dan Jaminan dalam suatu Kredit Sindikasi. Sutan Remy Sjahdaeni, juga dalam bukunya yang berjudul “Kredit Sindikasi – Proses, Teknik, dan Aspek Hukumnya” menjelaskan mengenai Pengalihan Kredit Sindikasi, hanya saja memang belum secara spesifik membahas berdasarkan aturan hukum Indonesia, beliau hanya menyampaikan mengenai metode dan aturan hukum pengalihan suatu piutang. Berdasarkan uraian mengenai keaslian penelitian tersebut di atas, penulis menyampaikan bahwa penulisan ini akan focus mengkaji pengalihan Piutang dan Jaminan salah satu Kreditur dalam suatu Kredit Sindikasi dan perlindungan hokum Kreditur Baru atas Piutang dan Jaminan yang dialihkan. Konteks peralihan Piutang dan Jaminan dalam suatu Kredit Sindikasi dan Perlindungan Hukum Kreditur Baru atas Puitang dan Jaminan yang dialihkan adalah concern penulis yang membedakan dengan penulisan yang pernah ada 22
sebelumnya (dalam konteks pengalihan Piutang dan Jaminan hanya oleh salah satu Kreditur saja). F. Tinjauan Pustaka 1. Hukum Pemberian Kredit Di Indonesia Pemberian suatu kredit, pada dasarnya (umumnya pasti) di dasarkan pada suatu Perjanjian/agreement sebelum Kredit tersebut diberikan. Subekti mengatakan, “Perjanjian adalah suatu periwstiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.17 Sedangkan dalam Black’s Dictionary Law mengatakan, agreement adalah “A Coming together of minds; a coming together in opinion or determination; the coming together in accord of two minds on a given proposition. The union of two or more minds in a thing done or to be done; a mutual assent to do a thing…agreement is a broader term; e.g. an agreement might lack an essential element of a contract” (sebuah persamaan atas suatu pikiran; yang datang bersama-sama dalam suatu pendapat atau kesepakatan; yang datang bersama-sama dengan kesesuaian dari dua pikiran pada proposisi yang diberikan. Penyatuan/persamaan dua atau lebih pikiran dalam hal yang dilakukan atau yang harus dilakukan; sebuah persetujuan bersama untuk melakukan sesuatu ... perjanjian adalah
17
Subekti, 1984, “Hukum Perjanjian”, Jakarta, Internusa, hlm.1
23
istilah yang lebih luas; misalnya kesepakatan mungkin salah satu elemen penting dari suatu kontrak).18 Dalam system common law, Perjanjian lebih dipahami sebagai “suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjimpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan”.19 Sedangkan dalam hukum Indonesia, suatu Kontrak atau Perjanjian memiliki arti yang sama, sebagaimana Belanda tidak membedakan antara contract dan overeenkomst. Pemberian suatu Kredit dari Kreditur kepada Debitur dalam suatu Kredit Sindikasi di Indonesia di dasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Di dalam KUHPerdata Pasal 1313 dikatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”. Sedangkan syarat sahnya suatu Perjanjian (termasuk perjanjian Kredit Sindikasi) diatur dalam Pasal 1320 ialah : 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
18 Henry Campbell Blakc’s Dictionary Law, Sixth Edition, St Paul Minn; West Publishing Co, 1990, hlm. 367 sebagaimana dikutip kembali oleh Johanes Ibrahim, 2004, dalam bukunya “Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah”, Bandung, Refika Aditama, hlm. 8 19 Budiono Kusumo H., 2001, “Panduan Merancang Kontrak”, Jakarta, Grasindo, hlm. 6.
24
4.
Suatu sebab yang halal
Selain Pasal 1313 dan Pasal 1320 KUHPerdata, Perjanjian Kredit Sindikasi juga didasarkan pada Pasal 1338 yang mengatakan “(i) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (ii) perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan keduabelah pihak, atau karena alasanalasan yang yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; (iii) Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Perjanjian Kredit Sindikasi secara garis besar dibuat berdasarkan pada Pasal 1313, Pasal 1320, dan khususnya pada Pasal 1338, karena pada
Pasal
1338
tersebutlah
dikenal
salah
satu
asas
dalam
perjanjian/kontrak, yaitu asas Kebebasan Berkontrak. Pasal ini (Pasal 1338 KUHPerdata) merupakan pasal yang paling popular dikenal dengan Pasal Kebebasan Berkontrak atau juga dikenal sebagai asas pacta sun servanda. Namun perlu juga diingat juga, Pasal 1339 KUHPerdata mengatakan “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat Perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”.
25
Berdasarkan hal tersebut, Pasal 1339 KUHPerdata menentukan bahwa dalam suatu Perjanjian, para pihak tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dinyatakan di dalam suatu Perjanjian, tetapi juga terikat pada kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Artinya dalam Perjanjian Kredit Sindikasi, selain patuh dan tunduk terhadap apa yang ditegaskan di dalam Perjanjian Kredit tersebut, Para Pihak juga harus tunduk dan patuh terhadap kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang berlaku. Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, Kredit Sindikasi adalah suatu Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu Kreditur kepada satu Debitor dengan syarat dan ketentuan yang sama, Kreditur dalam hal ini bisa merupakan Bank, bisa juga merupakan lembaga pembiayaan nonBank. Namun pada umumnya yang berlaku krediturnya adalah Bank, baik Bank dalam negeri maupun Bank luar negeri. Pemberian Kredit secara Sindikasi ini didasarkan oleh suatu Perjanjian Kredit Sindikasi yang dibuat berdasarkan/tunduk dan patuh terhadap KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang lain yang berlaku di Indonesia. Kredit sendiri berasal dari kata “credere” yang berarti percaya, atau credeo, atau creditum, yang berarti saya percaya.20 Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 20
Johanes Ibrahim, 2004, “Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah”, Bandung, Refika Aditama, hlm. 22
26
11 mengatakan, “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lai yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Pada dasarnya, pemberian suatu kredit tidak hanya semata-mata didasarkan oleh suatu Perjnajian semata, tetapi juga oleh kepercayaan (sebagaimana makna kredit itu sendiri “credere”), sehingga pemberian kredit merupakan pemberian suatu kepercayaan oleh Bank kepada Nasabah. Kepercayaan Bank sendiri juga di dasarkan pada aspek Kemampuan dan Kemauan Nasabah tersebut dalam mengembalikan serta membayarkan seluruh bunga yang disepakati oleh dan antara Bank dengan Nasabah.21 Berdasarkan penjelasan singkat di atas, maka dalam pemberian Kredit secara Sindikasi dapat kita ambil garis besar bahwa Pemberian Kredit Sindikasi oleh Bank adalah Pemberian Kepercayaan oleh Bank (atas
uang
yang
disimpan
atau
dikelola
oleh
Bank)
kepada
Nasabah/Debiturnya yang dituangkan di dalam suatu Perjanjian Kredit Sindikasi yang di dasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan juga di dasarkan atas Kemampuan dan Kemauan
21
Djumhana, 2012 “Hukum Perbankan di Indonesia”, Bandung, Citra Aditya, hlm. 333
27
calon
Nasabah/Debitur
tersebut
dalam
melakukan
prestasinya
berdasarkan Perjanjian Kredit Sindikasi.
2. HUKUM PENGALIHAN PIUTAN DAN JAMINAN DI INDONESIA Berbicara mengenai pengalihan piutang, tentu kita harus membuka kembali Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 613 yang mengatakan “Penyerahan akan piutang-piutang atasnama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberikan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiaptiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”. Metode ini dikenal dengan nama “Cessie” Kitab undang-undang Hukum Perdata sendiri mengenal 3 (tiga) macam Piutang/Tagihan, yaitu: (i) Tagihan atas nama; (ii) Tagihan atas Order; dan (iii) Tagihan atas Tunjuk (aan toonder). J. Satrio dalam bukunya yang berjudul “Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan
28
Percampuran Hutang”22 menjelaskan, Tagihan atas Order ialah “tagihan-tagihan, yang menyebutkan nama krediturnya atau orang lain yang ditunjuk oleh kreditur tersebut, yang tanpa bantuan atau kerjasama dari debitur dapat dialihkan kepada orang lain yang disebut oleh kreditur, dengan
cara
endossement”.
Sedangkan
Tagihan
atas
Tunjuk
adalah”tagihan-tagihan yang sama sekali tidak menunjuk nama kreditur dan hak tagihan tersebut dapat dilaksanakan oleh saiapa saja yang menunjukan surat tagihan tersebut”. Tagihan atas Nama adalah “tagihan yang bukan tagihan atas untuk maupun tagihan atas order”. Secara prinsip, Tagihan atas Nama menunjukan siapa krediturnya, tetapi karena Tagihan Atas Nama pada asasnya tidak harus dituangkan secara tertulis, maka pada Tagihan Atas Nama yang dibuat secara lisan sulit untuk dikatakan bahwa tagihan tersebut menyebutkan nama krediturnya. Namun demikian, para pihak tahu (berdasarkan identitasnya) siapa kreditur atas piutang tersebut, karena memang bukan Tagihan Atas Order maupun Tagihan Atas Tunjuk. Dengan demikian maka Tagihan Atas Nama adalah tagihan yang hanya dapat ditagih oleh kreditur tertentu saja.23 Tagihan-tagihan sebagaimana dimaksud di atas, baik oleh undangundang maupun oleh kesepakatan dimungkinkan untuk dilakukan 22
J. Satrio,“Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran Hutang”, Bandung, Alumni, 1999, hlm.3 23 Ibid, hlm. 4
29
peralihan/pengoperan/penyerahan pengalihan/pengoperan/penyerahan
(“Levering”). tersebut
Levering dilakukan
atau baik
berdasarkan/dikarenakan perintah undang-undang maupun kesepakatan para pihak itu sendiri. Namun harus kita ingat, pengalihan tersebut berdasarkankan Pasal 613 KUHPerdata harus diberitahukan kepada Debitur, atau disetujui secara tertulis oleh Debitur (“…melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepada Debitur, atau secara tertulis disetujui dan di akuinya”). Penyerahan
piutang
atas
nama
sebagaimana
diatur
dalam
KUHPerdata merupakan suatu yurisdischie levering atau yang biasa dikenal dengan nama “Perbuatan Hukum Pengalihan Hak Milik”, hal ini diperlukan mengingat system hukum perdata Indonesia, perjanjian Jual-Beli (termasuk jual-beli Piutang) hanya bersifat konsensual obligatoir. Artinya hanya bersifat peletakan hak dan kewajiban saja bagi penjual maupun pembeli, dan belum mengalihkan kepemilikan.24 Selain Cessie, dalam system hukum Indonesia juga dikenal adanya Subrogasi dan Novasi. Subrogasi adalah metode pengalihan piutang Debitur dengan cara dilakukan pelunasan terlebih dahulu atas utang tersebut oleh pihak lain kepada Kreditur. Pelunasan tersebut umumnya dilakukan oleh pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan Kreditur dan Debitur. Pembayaran/Pelunasan tersebut dimaksudkan untuk 24
Suharnoko, et.al, 2005, “Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie”, Jakarta, Kencana, hlm. 103
30
melakukan pengambilalihan piutang/kredit (takeover) dari Kreditur Lama oleh Kreditur Baru. Pembayaran/Pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Kreditur Baru baik secara langsung maupun tidak langsung (baik pelunasan tersebut dilakukan antara Kreditur Lama dengan Kreditur baru ataupun melalui Debitur pelunasan tersebut dilakukan). Pembarayaran adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela dan mengakibatkan hapusnya perikatan antara Kreditur dan Debitur, untuk selanjutnya Pihak Lain (Kreditur Baru) ini akan menggantikan posisi Kreditur Lama. Dalam KUHPerdata, Subrogasi diatur dalam Pasal 1400, yang mengatakan “Subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undang-undang”. Mengenai syarat atas Subrogasi diatur di dalam Pasal 1401 KUHPerdata, yang mengatakan “Penggantian ini (Subrogasi) terjadi dengan persetujuan: (i) apabila si berpiutang, dengan menerima pembayaran itu dari orang pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan
menggantikan
hak-haknya,
gugatan-gugatannya,
hak-hak
istimewanya dan hipotik-hipotik yang dipunyainya terhadap si berutang. Subrogasi ini harus dinyatakan secara tegas dan dilakukan tepat waktu. (ii) apabila si berutang menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang menjamin uang itu akan 31
menggantikan hak-hak si berpiutang maka, agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjianpinjam uangnya harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan selanjutnya surat tanda pelunsannya harus menerangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang untuk itu dipinjamkan oleh si berpiutang baru”. Sedangkan Subrogasi yang terjadi demi undang-undang, sesuai dengan Pasal 1402 KUHPerdata memiliki syarat sebagai berikut : “(i) untuk seorang yang, sedang ia sendiri orang berpiutang, melunasi seorang berpiutang lain, yang berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotik, mempunyai suatu hak yang lebih tinggi; (ii) untuk seorang pembeli sesuatu benda tak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang-orang berpiutang, kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotik; (iii) untuk seseorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang-orang lain, diwajibkan membayar suatu hutang, berkepentingan untuk melunasi utang itu; (iv) untuk seorang ahli waris yang, sedang ia menerima suatu warisan dengan hak istimewa
untuk
mengadakan
pencatatan
tentang
keadaan
harta
peninggalan, telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri”.
32
Sebagai akibat hukum atas adanya suatu subrogasi adalah beralihnya piutang Kreditur Lama kepada Pihak Ketiga (Kreditur Baru) yang melakukan pembayaran. Pembayaran tersebut dilakukan baiks ecara langsung maupun tidak langsung (melalui Debtitur atau langsung antara Kreditur Lama dan Kreditur Baru). Selain Cessie dan Subrogasi, sistem hukum Indonesia juga mengenal mekanisme pengalihan Piutang dengan cara Novasi. Dalam Subrogasi, perikatan antara Kreditur Lama dan Kreditur Baru hapus karena pembayaran dan kemudian perikatan tersebut hidup lagi antara pihak ketiga sebagai Kreditur Baru dengan Debitur. Posisi Kreditur Baru menggantikan posisi Kreditur Lama. Sedangkan dalam Novasi, pihak Kreditur Lama dan Debitur sepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan menggantinya dengan perikatan baru.25 Perbedaan yang lain dari Subrogasi dan Novasi ialah, dalam subrogasi perjanjian yang bersifat asessoir ikut beralih kepada Kreditur Baru mengikuti perjanjian pokoknya yang beralih kepada Kreditur Baru, sedangkan dalam Novasi karena perjanjian pokoknya hapus, maka perjanjian asessoirnya juga ikut hapus, kecuali para pihak secara tegas menyatakan bahwa hak-hak yang bersifat asessoir seperti hak gadai dan hipotek dalam perjanjian lama tidak ikut hapus.26 25 26
Ibid. hlm. 57 Ibid. hlm. 58
33
Novasi dalam sistem hukum Indonesia diatur di dalam Pasal 1413 KUHPerdata. Pasal tersebut mengatur mengenai cara melakukan Novasi, yaitu “(i) Apabila seorang Debitur membuat suatu perikatan utang baru bagi Kreditur untuk menggantikan perikatan yang lama yang dihapuskan karenanya (disebut “Novasi Objektif”); (ii) apabila seorang Debitur Baru ditunjuk untuk menggantikan seorang Debitur Lama yang dibebaskan dari perikatannya (disebut “Novasi Subjektif Pasif”); (iii) apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, ditunjuk seorang Kreditur Baru, untuk menggantikan seorang Debitur Lama terhadap siapa si Debitur dibebaskan dari perikatannya (disebut “Novasi Subjektif Aktif”)”. Novasi juga dikenal dengan nama Restrukturisasi Hutang. Restrukturisasi Hutang adalah penghapusan Perjanjian Kredit Lama untuk diperbaharui dengan Perjanjian Kredit Baru. Restrukturisasi Hutang termasuk dalam Novasi Objektif dalam hal ini esensi perjanjian yang lama dan perjanjian yang baru adalah sama, yaitu utang-piutang. Akan tetapi, sifat suatu Restrukturisasi bias juga berbeda antara Perjanjian Kredit Lama yang sudah dihapus. Misalnya Restrukturisasi kredit dalam bentuk debt to equity swapt (konversi obligasi ke saham). Hal tersebut bukanlah Novasi, melainkan perjumpaan hutang atau kompensasi.
34
3. PENGALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN Dalam literatur hukum Indonesia, Hukum Jaminan dikenal dengan istilah zakerheidscrechten yan gmemang bias saja diterjemahkan menjadi Hukum Jaminan.27 Pemberian jaminan di dalam suatu kredit bukanlah suatu kewajiban, yang artinya jika tidak ada jaminan bukan berarti kredit tidak akan diberikan. Namun tentu semua dilihat dari aspek bisnis yang dilaksanakan oleh Debitur. Hal tersebut dapat kita lihat apabila Debitur adalah perusahaan BUMN. Hal mana menjadi pengalaman pribadi sendiri bagi penulis yang pernah menangani pemberian Fasilitas Kredit untuk Capital Expenditur bagi PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan jumlah Fasilitas Kredit sebesar Rp. 8.000.000.000.000,- (delapan Triliun Rupiah). Atas Fasilitas Kredit tersebut diberikan secara Sindikasi oleh beberapa Bank, diantaranya PT. Bank Rakyat Indonesia, (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri, (Persero)Tbk., PT. Bank Negara Indonesia, (Persero)Tbk., dan PT. Bank Central Asia, (Persero) Tbk. Pada dasarnya, Jaminan atas suatu kredit hanyalah sebatas cara untuk memberikan kenyamanan bagi kreditur dalam memberikan kreditnya, dan bukanlah suatu kepastian dalam pemberian kredit. Dalam memberikan kredit (apalagi dalam Kredit Sindikasi), kepastian bisnislah yang
menjadi
hal
utama
yang
diperhitungkan.
Kreditur
tidak
27
J. Satrio, 2007, Hukum Jaminan Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya, Bandung, hlm. 2
35
memprioritaskan berapa besar nilai jaminan yang dijaminkan, tetapi lebih memprioritasnya seberapa besar keuntungan yang bias diambil / dihasilkan oleh bisnis tersebut. Artinya, kepastian atas keuntungan bisnislah yang diutamakan. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata sebenarnya sudah melindungi kepentingan Kreditur, dimana dikatakan bahwa “segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Katentuan Pasal 1131 tersebut tentunya sudah mengakomodir kepentingan Kreditur/ Perlindungan bagi Kreditur. Berdasarkan hal tersebut, maka hak-hak tagihan seorang kreditur dijamin dengan : a. Semua barang Debitur yang sudah ada (seluruh barang Debitur yang sudah ada pada saat perikatan hutang-piutang tersebut dibuat); b. Semua barang yang akan ada (barang-barang yang pada saat dilakukannya perikatan hutang piutang akan menjadi bagian dari jaminan kepada Kreditur dikemudian hari apabila Debitur default); c. Jaminan tersebut baik dari barang bergerak maupun barang tidak bergerak 36
Ketentuan tersebut diatas tentu sudah memberikan Jaminan bagi Kreditur dalam memberikan Fasilitas Kredit. Namun, Jaminan tersebut sifatnya adalah umum, artinya apabila ada lebih dari satu Kreditur maka tentunya atas Jaminan barang Debitur tersebut akan menjadi Jaminan milik bersama-sama (bagi para para pihak yang menjadi Kreditur). Hal mengenai hak atas Jaminan Para Kreditur diatur dalam Pasal 1132
KUHPerdata.
Dikatakan
dalam
Pasal
1132
KUHPerdata
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya (Debitur); pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang tersebut ada alasan-alasan untuk didahulukan” Pengeculaian atas Jaminan bagi Para Kreditur (didahulukan) berdasarkan
alasan-alasan
sebagaimana
dibernarkan
di
dalam
KUHPerdata ialah memberikan kedudukan prioritas bagi Kreditur yang memiliki Jaminan secara khusus (didahulukan). Kedudukan yang lebih baik diantara Para Kreditur bergantung dari hak jaminan khusus yang dimilikinya. Hak istimewa tersebut diatur di dalam Pasal 1134 KUHPerdata yang mengatakan “Hak istimewa ialah hak yang oleh undang-undang diberikan kepada berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada 37
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (preveren). Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya (separatis)”. Mengenai Jaminan Hak Tanggungan, sistem hukum Indonesia mengaturnya dalam Udnang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan adalah “hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain”. Hak Tanggungan sebenarnya adalah suatu hak kebendaan yang harus dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan serta bersifat acessoire dan memiliki kekuatan eksekutorial, yang diberikan oleh Debitur kepada Kreditur sebagai Jaminan atas pembayaran utang-utanganya yang berobjekan tanah dengan atau tanpa segala sesuatu yang ada diatas tanah tersebut, yang memeberikan hak prioritas bagi pemegangnya untuk mendapat pembayaran hutan terlebih dahulu daripada kreditur lainnya meskipun tidak harus mendapat yang pertama, yang dapat dieksekusi melalui pelelangan umum atau bawah tangan atas tagihan tagihan dari 38
kreditur pemegang hak tanggungan, dan yang mengikuti benda objek Jaminan kemanapun objek Jaminan tersebut dialihkan.28
G. METODE PENELITIAN 1. Sifat dan Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian analisis Yuridis Normatif yang menguraikan atau menggambarkan secara rinci, sistematis, menyeluruh dan mendalam tentang mekanisme peralihan piutang dan jaminan berdasarkan sistem hukum Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum/atau kaedah normatif. 2. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi pustaka. Data-data tersebut, antara lain adalah: 1. Bahan Hukum Primer, bersumber bahan hukum yang diperoleh langsung, berupa bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu: a.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
28
Munir Fuady, 2013, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, hlm. 69
39
b.
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
c.
Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
d.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tenang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
e.
Peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
2. Bahan Hukum Sekunder, berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian, yaitu: a.
Literatur-literatur
yang
berkaitan
dengan
Cessie,
Novasi, dan Subrogasi; serta b.
Makalah dan Artikel yang berkaitan dengan Cessie, Novasie, dan Subrogasi.
3. Cara dan Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research). Hal ini bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menelusuri data-data berupa:
40
1. Bahan Hukum Primer, bersumber bahan hukum yang diperoleh langsung, yaitu: a.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
b.
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
c.
Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
d.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tenang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
e.
Peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
2. Bahan Hukum Sekunder, berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian;
Cara yang digunakan dalam melaksanakan studi kepustakaan (library research) tersebut, adalah dengan melakukan kompilasi data, klasifikasi data yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun sekunder untuk selanjutnya dilakukan analisis data serta penyusunan kerangka kesimpulan. 41
4. Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara analisis deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh, baik dari bahan hukum primer maupun sekunder akan diedit (editing), kemudian diuraikan dalam bentuk uraikan yang logis dan sistematis. Data yang telah diuraikan tersebut, dianalisis secara deskriptif dengan metode deduktif untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah dan ditarik kesimpulan, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus untuk menggambarkan mengenai pengalihan piutang dan jaminan salah satu kreditur dalam suatu kredit sindikasi serta perlindungan kreditur baru atas piutang dan jaminan yang dialihkan.
5. Jalannya Penelitian Penelitian untuk penyusunan tesis ini, akan dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain: 1.
Persiapan Penelitian Pada tahap ini, diawali dengan pengajuan judul penelitiann dan penyusunan proposal penelitian, serta pengumpulan bahan-bahan penelitian (buku, jurnal, dan makalah-makalah).
2.
Pelaksanaan Penelitian a)
Pengumpulan Data
42
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) terhadap bahan penelitian primer maupun sekunder. b)
Pengelompokkan Data Data yang telah dikumpulkan, kemudian akan dikelompokkan sesuai
dengan
variabel-variabel
yang
telah
ditentukan
sebelumnya. c)
Pengolahan Data Data yang telah dikelompokkan kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan mengenai mekanisme pengalihan piutan dan jaminan berdasarkan hukum Indonesia dan perlindungan Kreditur Baru atas Piutang dan Jaminan yang dialihkan.
d)
Penyusunan Hasil Penelitian Hasil analisis data kemudian disusun secara sistematis sehingga
diperoleh
gambaran
mengenai
mekanisme
pengalihan piutan dan jaminan berdasarkan hukum Indonesia dan perlindungan Kreditur Baru atas Piutang dan Jaminan yang dialihkan.
43
6. Jadwal Penelitian Jadwal penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini, dapat dijelaskan melalui matrik berikut ini: No
Kegiatan Maret 2014
1
2
3
Waktu Pelaksanaan September November 2014 2014
Desember 2014
Persiapan Penelitian Pengajuan Judul Bimbingan Proposal Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan dan Pengelompokkan Data Pengolahan Data Penyusunan Tesis
7. Sistematika Tesis Penulisan Tesis ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Pada bab ini, Penulis akan menyampaikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II
Tinjauan Pustaka Pada bab ini, Penulis akan menyampaikan teori yang digunakan
untuk
membahas
permasalahan
yang
telah
44
dirumuskan sebelumnya. Teori-teori tersebut berupa teori mengenai cessie, novasi, dan subrogasi. Bab III
Metodologi Penelitian Pada bab ini, Penulis akan menjelaskan mengenai jenis penelitian, bahan penelitian, teknik penelitian dan analisis data.
Bab IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini akan menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan hukum mengenai mekanisme pengalihan piutan dan jaminan berdasarkan hukum Indonesia dan perlindungan Kreditur Baru atas Piutang dan Jaminan yang dialihkan.
Bab V
Penutup Bab ini akan memberikan Kesimpulan dan Saran.
45