1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, adalah: Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.1 Penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan perjanjian cumacuma dalam bahasa Belanda Omniet. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan di waktu hidupnya si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.2 Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk
1
Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum http://hukumzone.blogspot.com/2011/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-hukum.html, tanggal 3 November 2013. 2 Ibid.
Perdata”, Diakses
1
Universitas Sumatera Utara
2
Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah.3 Dari rumusan tersebut di atas, dapat diketahui unsur–unsur hibah sebagai berikut: 1.
Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma–cuma, artinya tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.
2.
Dalam hibah selalu diisyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.
3.
Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta milik penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang penghibah.
4.
Hibah tidak dapat ditarik kembali.
7.
Hibah harus dilakukan dengan akta notaris. Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUH Perdata, dan merupakan tindakan
persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Akta hibah berdasarkan, Pasal 1682 KUH Perdata harus dibuat di muka Notaris.4 Suatu hibah harus dibuat dengan akta notaris karena Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana 3
Ibid. Dunia Anggara, “Hibah”, http://anggara.org/2007/09/18/tentang-hibah/, Diakses tanggal 12 Desember 2013. 4
Universitas Sumatera Utara
3
dimaksud dalam undang-undang. Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk Akta. Yang disebut dengan Akta Notaris dalam pasal 1 angka 7 UndangUndang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pengertian tentang Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan seseorang. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Notaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditandatangani, akta terlebih dahulu dibacakan kepada penghadap dan saksisaksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan serta bunyi akta yang memberatkan atau merugikan pihak
Universitas Sumatera Utara
4
lain.5 Berkaitan dengan persoalan hibah tersebut, Asaf A.A. Fayzee memberikan rumusan hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan.6 Di dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam titel X Buku III yang dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Mengenai hal tersebut, Anisitus Amanat, dalam bukunya yang berjudul Membagi Warisan Berdasarkan Pasal–Pasal Hukum Perdata menjelaskan bahwa pemberi hibah menyerahkan hak miliknya atas sebagian atau seluruh harta kekayaannya kepada pihak lain tanpa imbalan apa-apa dari penerima hibah. Barangkali karena tidak adanya kontra prestasi dalam hibah semacam itu, maka pembentuk undang–undang membuat aturan yang mewajibkan penerima hibah untuk memasukkan kembali semua harta yang telah diterimanya itu ke dalam harta warisan pemberi hibah guna diperhitungkan kembali.7 Sebenarnya hibah tidak termasuk materi hukum waris melainkan termasuk hukum perikatan yang diatur di dalam Buku Ketiga Bab kesepuluh Kitab Undang– Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu salah satu syarat dalam hukum waris untuk proses pewarisan adalah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah, seseorang pemberi hibah itu masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian hibah.
5
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 201. Asaf A.A. Fayzee, Pokok-Pokok Hukum Islam II, (Jakarta: Tintamas, 1961), hal. 2. 7 Anisitus Amanat. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal–Pasal Hukum Perdata BW. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001), hal. 70. 6
Universitas Sumatera Utara
5
Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUH Perdata, dan merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Undang-undang mengakui hibah yang terjadi diantara orang-orang yang masih hidup. Akta hibah berdasarkan Pasal 1682 KUH Perdata harus dibuat di muka Notaris. Pasal 1667 KUH Perdata, menyebutkan penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada. Selanjutnya Pasal 1668 KUH Perdata, menyatakan penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu; penghibahan demikian, sekedar mengenai barang itu, dipandang sebagai tidak sah. Namun demikian menurut Pasal 1669 KUH Perdata, penghibah boleh memperjanjikan, bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak yang dihibahkan, atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain; dalam hal demikian, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua KUH Perdata. Bagi perjanjian yang digolongkan dalam perjanjian formil termasuk didalamnya perjanjian hibah, mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu akta notaris atau akta otentik, sehingga disini berfungsi sebagai salah satu unsur perjanjian yaitu syarat mutlak
Universitas Sumatera Utara
6
untuk adanya perjanjian tersebut.8 Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam undangundang diakui oleh hukum, sebaiknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak yang bersangkutan. Ketika para pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, perjanjian itu berlaku diantara mereka, dan apabila suatu ketika para pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim dapat membatalkan perjanjian itu atau perjanjian itu menjadi batal melalui proses pembuktian di persidangan. Terkait dengan akta hibah, adapun syarat yang harus di penuhi dalam perjanjian hibah adalah syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan terdapat pasal yang secara spesifik mengatur tentang syarat-syarat perjanjian hibah sebagai pelengkap dari ketentuan perjanjian secara umum yang telah disebutkan diatas, yaitu sebagai berikut: a. Hibah dilakukan terhadap barang yang sudah ada pada saat penghibahan. Dalam Pasal 1667 KUH Perdata telah dijelaskan bahwa suatu hibah hanya boleh dilakukan
terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahann itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada. b. Hibah diberikan secara cuma-cuma. Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu hak atas barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang
8
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
Universitas Sumatera Utara
7
menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahanpenghibahan antara orang-orang yang masih hidup. Dalam hal hibah ini kata cuma-cuma berarti tanpa kontraprestasi, tanpa mengaharapkan balasan, dan tanpa pamrih. Maksudnya, pemberi hibah harus murah hati.9 Oleh sebab itu bila dalam suatu hibah ditetapkan syarat-syarat tertentu, seperti pembatasan penggunaan barang hibah, maka syarat-syarat yang demikian adalah syarat yang tidak sah. Syarat yang demikian mengakibatkan hibah itu adalah hibah yang cacat (tidak sah). Karena itu kesahan hibah itu ditangguhkan sampai ada kejernihan syarat-syarat tersebut. Terkait dengan hal ini telah dijelaskaan pula dalam pasal 1670 KUH Perdata bahwa suatu penghibahan adalah batal jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain disamping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar lampiran. c. Hibah dilakukan dengan akta Notaris Salah satu syarat pemberian hibah adalah dibuat dengan akta notaris. Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 1682 KUH Perdata: Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam pasal 1687 KUH Perdata dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minute (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah secara autentik. Meskipun demikian terhadap Pasal 1678 KUH Perdata
Citra Aditya, 2008), hal. 375. 9 Tan Thong Kie, Op.Cit, hal. 579.
Universitas Sumatera Utara
8
menjelaskan, Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah, bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah. (KUHPerd. 613, 1354 dst., 1682, 1792). Sehingga dengan demikian terhadap objek tertentu tidak dibutuhkan penghibahan dengan akta notaris.10 d. Pemberian hibah dilakukan antara orang-orang yang masih hidup. Sudah tentu suatu persetujuan seperti suatu hibah harus dibuat sewaktu hidup. Kata-kata ”di waktu hidupnya” adalah untuk menekankan dan membedakan antara Hibah dan Hibah Wasiat. Bahwa hibah adalah suatu persetujuan yang dibuat atau dilakukan sewaktu hidup, sedangkan hibah wasiat adalah suatu ketentuan yang berlaku sesudah orang yang membuatnya meninggal dunia. Penerima hibah harus ”ada” saat menerima hibah. Dalam pasal 1679 KUH Perdata dikatakan bahwa suatu hibah tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal atau kepada anak-anak yang belum lahir. Hibah kepada seseorang dalam kandungan diperbolehkan, namun dilihat apakah anak yang berkenaan benar-benar ada didalam kandungan dapat dilihat dari kelahirannya kemudian, yang harus terjadi kurang lebih 9 bulan setelah tanggal hibah.11 e. Penghibahan harus diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah.
10 11
Dunia Anggara, Op.Cit. Tan Thong Kie, Op.Cit., hal. 584.
Universitas Sumatera Utara
9
Terkait dengan penerimaan hibah ini telah dijelaskan pula dalam Pasal 1683 KUH Perdata, yang berbunyi “tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya itu. Jika penerimaan itu tidak dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu dapat dilakukan dengan suatu akta autentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup; dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya dan penerima hibah menerimanya.” Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah diatur dalam Bab VI Pasal 210 sampai dengan Pasal 214. Dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pasal 214 Kompilasi Hukum Islam juga menerangkan selain itu bagi warga negara Indonesia yang berada di negara asing juga dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
10
setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam KHI tersebut. Dalam hal hibah yang akan dibuat di luar negeri ternyata negara tersebut tidak ada hubungan diplomatik dengan negara Indonesia, maka si penghibah harus ke negara tetangga tempat domisili yang ada konsulat jenderal atau kedutaan Indonesia. Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam menentukan hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan dan juga hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya. Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut. Misalnya saja, barang tersebut sedang dijadikan jaminan hutang, maka harus segera dilunasi oleh penerima hibah sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.12 Kemudian juga dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan ahliwaris, penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak para ahli waris.13 Pembahasan persoalan hibah semakin menarik tatkala hibah tersebut dilakukan oleh seseorang yang dalam keadaan sakit. Suatu hal yang terbit dari pelaksanaan hibah dalam keadaan sakit adalah ditemukannya hal-hal yang memberikan kondisi pada kelemahan fisik dan psikis di pemberi hibah. Sehingga dikhawatirkan hal-hal yang lahir dari perbuatan seseorang yang lemah fisik dan psikisnya seperti pasien dalam keadaan sakit memberikan pengaruh terhadap perbuatan hukum termasuk dalam pelaksanaan pemberian hibah. Sakit bukan hanya keadaan di mana terjadi suatu proses penyakit. Tetapi sakit 12
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Rafika Aditama, 2005), hal. 95. 13 Ibid., hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
11
adalah suatu keadaan di mana fungsi fisik, emosional, intelektual, sosial perkembangan, atau spiritual seseorang berkurang atau terganggu bila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. 14 Kanker merupakan sebuah proses penyakit, tetapi seseorang dengan penyakit leukimia yang sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya, sedangkan seseorang lainnya dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri untuk menjalani operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain selain dimensi fisik.15 Seseorang yang sedang sakit pada umumnya mempunyai perilaku yang menurut istilah sosiologi kedokteran disebut perilaku sakit. Perilaku sakit mencakup cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterprestasikan gejala yang dialaminya, melakukan upaya penyembuhan dan menggunakan sistem pelayanan kesehatan. 16 Sakit berdasarkan uraian di atas dengan berbagai penyebabnya memberikan suatu keadaan lemahnya tubuhnya seseorang, dimana lemahnya tubuh seseorang tersebut akan berakibat pula kepada tingkat kesadarannya. Tetapi yang perlu diketahui pada kapasitas ini seseorang tersebut mengetahui bahwa kelemahannya yang dialami tersebut disebabkan ia sedang menjadi sakit. Pada suatu kondisi seseorang yang sedang sakit ini dapat pula dimasukkan ke ruang intensif care unit
14
Patricia A. Potter dan Anne Griffin Perry, Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik, Terjemahan Yasmin Asih dkk, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC), hal. 18 15 Ibid. 16 Ibid., hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
12
(ICU). Seseorang yang dalam keadaan sakit dalam kaitannya dengan suatu perbuatan hukum tentunya amat sangat dihubungkan dengan tingkat kesadarannya. Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga/tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal/mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.17 Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami apapun jenis dan status orang yang dalam keadaan sakit maka hal tersebut berhubungan dengan tingkat kesadarannya. Sehingga apabila seseorang yang sedang sakit dan kemudian ingin membuat pernyataan yang berhubungan dengan hukum seperti pemberian hibah, maka kondisi yang pertama yang akan menjadi pertanyaan adalah tingkat kesadarannya. Apabila menurut dokter si sakit mempunyai tingkat kesadaran yang baik dalam membuat keputusan maka biarpun seseorang dalam suatu perawatan yang intensif di rumah sakit, pernyataan tetap saja dapat diterima dimata hukum. Suatu hal yang menjadi suatu permasalahan mendasar dalam penelitian ini adalah bahwa ditemukan adanya pertentangan antara syarat sah membuat/melakukan suatu hibah (yang harus dengan akta) pada keadaan si penghibah yang berada dalam keadaan sakit. Keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari suatu penyakit khususnya
17
Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, (Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1996),
hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
13
pesakitan tentunya memberikan akibat kepada kondisi fisik dan kejiwaan yang lemah dari si pemberi hibah sehingga secara rasional dapat ditafsirkan si pemberi hibah dapat melakukan kesalahan dalam membuat akta hibah. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang “Keabsahan Akta Hibah Yang ditanda Tangani Dalam Keadaan Sakit Menurut Hukum Perdata”. B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana keabsahan atas hibah yang ditandatangani oleh penghibah dalam keadaan sakit?
2.
Bagaimana kedudukan ahli waris lain dari hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit?
3.
Bagaimana pembatalan akta hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui keabsahan atas hibah yang ditandatangani oleh penghibah dalam keadaan sakit.
2.
Untuk mengetahui kedudukan ahli waris lain dari hibah yang diberikan ketika
Universitas Sumatera Utara
14
pemberi hibah dalam keadaan sakit. 3.
Untuk mengetahui pembatalan akta hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu: 1.
Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya ketentuan hukum atas keabsahan penghibahan dimana penghibah dalam keadaan sakit.
2.
Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam melakukan penghibahan yang dilakukan di rumah sakit.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, penelitian dengan judul “Keabsahan Akta Hibah Yang Ditandatangani Dalam Keadaan Sakit Menurut Hukum Perdata”, belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian tentang hibah yang dilakukan: 1.
Lila Triana, Nomor Induk: 027011035, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2004 dengan judul “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi di Kota
Universitas Sumatera Utara
15
Medan)”, dengan permasalahan yang dibahas: a. Apa yang menjadi motif terjadinya pengangkatan anak secara adat yang dapat diakui oleh Islam? b. Bagaimana pelaksanaan hibah terhadap anak angkat pada Pengadilan Agama Medan? c. Apakah suatu hibah yang telah diberikan dapat dibatalkan menurut hukum Islam dan hukum adat? 2.
Agustina
Darmawati,
Nomor
Induk:
077011003,
mahasiswa
Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2009 dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 691/Pdt.G/2007/PA.Medan”, dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak? b. Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gonogini tersebut? c. Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris? Jika diperhadapkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
Universitas Sumatera Utara
16
spesifik atau proses tertentu terjadi.18 Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.19 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.20 Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum. Penelitian ini sendiri menggunakan teori tujuan hukum untuk menganalisis permasalahan yang akan dibahas nantinya. Dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang merupakan fondasi penting, yaitu: moral, hukum, kebenaran, dan keadilan. Akan tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato, “Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.”21 Membicarakan tujuan dari pada hukum maka akan sangat banyak defenisi yang didapati, karena setiap ahli hukum akan memberikan defenisinya sendiri, sesuai situasi dan kondisi zamannya serta kepentingan-kepentingan saat itu. Namun demikian tidak berarti bahwa tidak mempunyai pegangan dalam menelusuri hutan rimba dari pada hukum. Sama seperti halnya orang berpakaian, walaupun ada banyak jenis-jenis pakaian dengan berbagai model, tapi orang harus memakai salah satu
18
JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203. 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 20 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 35. 21 Roscoe Pound, Justice According To the Law, (New Haven USA: Yale University Press, 1952), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
17
pakaian yang dianggap cocok atau sesuai dengan tubuhnya. Walaupun banyak pendapat para ahli hukum tentang tujuan hukum, namun hanya akan menggunakan beberapa pendapat tentang teori tujuan dari hukum, sesuai dengan tujuan penelitian ini dan sebagai landasan bagi penulisan selanjutnya. Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam pergaulan hidup manusia, kepentingankepentingan manusia bisa senantiasa bertentangan satu dengan yang lain, maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu.22 Kepentingan-kepentingan manusia itu bermacam-macam, seperti kepentingan untuk menikmati apa yang menjadi haknya, kepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum, kepentingan untuk mendapatkan kebahagian hidup lahir dan batin, dan sebagainya. Menurut Muchsin sebenarnya hukum bukanlah sebagai tujuan tetapi dia hanyalah sebagai alat, yang mempunyai tujuan adalah manusia, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan itu.23 Secara umum, Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Maksudnya hukum menghendaki perdamaian, yang semuanya bermuara kepada suasana damai. Rudolf Von Jhering mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan. Aristoteles mengatakan tujuan hukum itu ialah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat sebanyak-banyaknya, sedangkan Roscoe Pound mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat untuk membangun masyarakat (law is tool of social engineering). 24 Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul di atas adalah teori yang
berkenaan dengan kepastian hukum. Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta teori “kemanfaatan hukum”, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam 22
Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983),
23
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), hal. 11 Ibid, hal. 11.
hal. 11. 24
Universitas Sumatera Utara
18
kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde). Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.25 Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan kemasyarakatan. Terjadi kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam pengertian “kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang
25
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal. 158.
Universitas Sumatera Utara
19
tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-lainan.26 Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya “Ilmu Hukum” mengatakan bahwa: teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan hukum).27 Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan kemanfaatan atau kegunaan hukum ialah untuk terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde). 2.
Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.28 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.29 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut: a.
Keabsahan adalah kekuatan mengikat menurut hukum.
b.
Akta hibah adalah akta yang dibuat oleh seseorang yang bertujuan memberikan kepada orang lain sebagian atau seluruhnya harta kekayaannya melalui hibah
26
M. Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU Medan, 2007, hal. 43 27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, Cet. ke-3, 1991), hal.13 28 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 10.
29
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35.
Universitas Sumatera Utara
20
baik dibuat di bawah tangan maupun dengan akta notaris. c.
Keadaan sakit adalah suatu keadaan dimana seseorang yang menurut detail diagnosa doktor menderita penyakit yang membuat yang bersangkutan tidak mampu menggunakan fikiran atau akal sehatnya.
G. Metode Penelitian Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya. 30 Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi,31 selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.32 1.
Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang 30
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1991), hal. 37. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 35. 32 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 38. 31
Universitas Sumatera Utara
21
disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).33 Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.34 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.35 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan caracara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai akibat hukum terhadap keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit. 2.
Sumber Data Materi dalam tesis ini diambil dari data sekunder, yaitu:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
33
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 118. 34 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 3. 35 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
22
mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit. 3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit. 3.
Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundangundangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:36 a.
Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b.
Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundangundangan. 36
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 6
Universitas Sumatera Utara
23
c.
Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d.
Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4.
Teknik Analisis Data Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.37 Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan
yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan
secara deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006),
hal. 247.
Universitas Sumatera Utara