BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pergeseran dan pemertahanan bahasa merupakan dua sisi mata uang
(Sumarsono, 2011). Fenomena tersebut merupakan fenomena yang dapat terjadi secara bersamaan. Pemertahanan bahasa berkaitan dengan sikap penutur suatu bahasa dalam penggunaannya di tengah adanya bahasa baru dalam masyarakat multibahasa. Dalam pemertahanan bahasa guyub tutur secara kolektif menentukan untuk melanjutkan menggunakan bahasa yang sudah biasa dipakai (Sumarsono, 2012:231). Pemertahanan bahasa merupakan sikap berbahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Suatu bahasa dapat bertahan apabila suatu komunitas tutur adalah monolingual dan tidak memperoleh bahasa lain (Komariyah dan Ruriana, 2010:54).
Dalam
mempertahankan
suatu
bahasa
terdapat
fenomena
ketidakberdayaan penduduk minoritas mempertahankan bahasanya dalam persaingan dengan bahasa penduduk mayoritas. Ketidakberdayaan suatu bahasa minoritas untuk tetap bertahan pada awalnya disebabkan oleh adanya kontak guyub minoritas dengan bahasa kedua sehingga masyarakat setempat mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan yang akhirnya mengalami persaingan dalam penggunaannya dan menyebabkan pergeseran bahasa pertama. Kedwibahasaan adalah praktik penggunaan dua
1
bahasa secara bergantian. Di samping itu, penggunaan dua dialek dalam satu bahasa juga merupakan kedwibahasaan, Weinreich (1968:1). Di samping istilah kedwibahasaan terdapat pula istilah keanekabahasaan, yaitu kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa oleh seorang penutur dalam interaksinya dengan orang lain dan dilakukan secara bergantian. Kedwibahasaan dan keanekabahasaan dapat terjadi karena latar belakang budaya masyarakat yang majemuk dan menyebabkan bahasa ibu dalam masyarakat setempat bergeser. Kemajemukan latar belakang budaya masyarakat merupakan faktor pendorong bagi seseorang untuk menguasai lebih dari satu bahasa, seperti dijelaskan oleh Fasold (1984: 213) dalam bukunya The Sociolinguistics of Society bahwa di dalam masyarakat aneka bahasa sangat mungkin terjadi situasi diglosik. Dalam situasi seperti itu, kemungkinan besar beberapa bahasa terlibat pada situasi diglosik dan ada kemungkinan setiap warga menjadi dwibahasawan, baik secara aktif maupun pasif. Dalam situasi diglosia yang baik, tiap-tiap bahasa mempunyai ranah penggunaan bahasa, akan tetapi jika bahasa yang satu merambah ke ranah penggunaan bahasa lainnya, dapat menyebabkan bahasa tersebut terdesak atau tergeser sehingga terjadi pergeseran bahasa. Jika terjadi pergeseran bahasa secara terus-menerus akan menyebabkan kepunahan bahasa tersebut. Pergeseran bahasa dapat terjadi di suatu wilayah. Di samping pergeseran ada pula pemertahanan bahasa yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini terjadi di Kecamatan Kintamani, yaitu terdapat beberapa desa yang masih mempertahankan bahasa ibunya, dan beberapa desa menanggalkan bahasa ibunya. Kecamatan Kintamani merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di
2
Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Kecamatan Kintamani terdiri atas 48 desa (Bps Bangli, 2009), akan tetapi dalam penelitian ini hanya di pilih empat desa yang dijadikan sebagai obyek penelitian yaitu Desa Catur Banjar Catur, Desa Belantih Banjar Tangguhan, Desa Daup, dan Desa Terunyan Banjar Terunyan. Keempat desa tersebut memiliki perbedaan letak, yaitu Desa Catur, Desa Belantih, dan Desa Daup terletak di daerah yang tidak terisolasi, sedangkan Desa Terunyan terletak di daerah yang terisolasi. Pada awalnya, bahasa ibu masyarakat setempat adalah bahasa Bali dialek Bali Aga (selanjutnya disingkat dengan BBA) dan digunakan oleh semua lapisan masyarakat. BBA digunakan dalam segala aktivitas masyarakat setempat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itu, penggunaan BBA dalam kehidupan masyarakat setempat terjadi secara intensif. Penggunaan BBA sebagai alat komunikasi dalam ranah kehidupan masyarakat Kintamani, Bali tidak bersifat monolingual, tetapi multilingual pada era globalisasi arus perkembangan teknologi semakin pesat. Hal itu menyebabkan ketergantungan masyarakat setempat terhadap teknologi, sehingga munculnya beberapa varietas bahasa yang dapat membentuk interaksi berupa alih kode dan campur kode (Gumperz, 1971:101). Hal ini dapat terjadi karena masyarakat penutur bersifat multilingual yang menyebabkan peran bahasa daerah seperti BBA tidak menjadi prioritas utama dalam komunikasi sehari-hari. Komunikasi sehari-hari banyak dipengaruhi oleh perkembangan alat komunikasi modern seperti telepon genggam dan media massa yang tidak hanya terjadi di masyarakat perkotaan, tetapi juga terjadi di masyarakat pedesaan yang
3
beralih ke teknologi modern. Hal yang sama terjadi pada masyarakat di daerah Bali yang cepat terpengaruh oleh alat komunikasi modern. Hal tersebut tidak hanya ditemukan pada anak sekolah, tetapi ditemukan juga baik pada orang dewasa maupun lansia (lanjut usia). Berkembangnya alat komunikasi modern mendorong seseorang untuk menguasai bahasa asing selain bahasa daerah dan nasional. Perkembangan alat komunikasi tersebut menyebabkan arus globalisasi yang melanda kehidupan sosial masyarakat pada saat ini khususnya masyarakat Bali sulit dikendalikan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa ibu khususnya BBA. Fenomena pergeseran bahasa daerah khususnya BBA tidak dapat dihindari karena kemampuan generasi muda dalam menggunakan BBA dirasakan menurun. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satu faktor pergeseran bahasa adalah faktor pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari maupun pada saat proses pembelajaran adalah bahasa nasional. Oleh karena itu, intensitas penggunaan bahasa ibu (BBA) dalam pendidikan di Kintamani berkurang dan BBA dapat mengalami pergeseran karena siswa dan tenaga pengajar beralih menggunakan bahasa lain dan meninggalkan BBA sebagai alat komunikasinya. BBA tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai salah satu identitas budaya yang keberadaannya mulai dilupakan dan ditinggalkan. Hal ini terlihat dalam fenomena kurangnya penggunaan BBA dalam komunikasi masyarakat Bali khususnya masyarakat pegunungan yang pada zaman dahulu bahasa ibunya adalah BBA, akan tetapi pada saat ini masyarakat cenderung
4
mengikuti gaya hidup impor dan lebih suka menggunakan bahasa Bali dialek Bali Dataran (BBD), bahasa Indonesia (BI), bahkan bahasa asing daripada BBA (Suarjana, 2008:8). Hal ini terlihat dalam pergaulan masyarakat, baik di lingkungan kerja, keluarga, ketetanggaan, maupun di lingkungan sekolah dominan menggunakan BI. Bahkan, terkadang menggunakan bahasa campuran yaitu BI dengan BBD, atau BI dengan bahasa asing daripada menggunakan BBA sebagai bahasa sehari-hari. BBA sebagai bahasa sehari-hari tidak digunakan oleh anak-anak dalam pergaulannya dan dalam ranah keluarga yang merupakan tempat orang tua dalam mengajarkan bahasa pertama kepada sang anak cederung menggunakan bahasa Bali dialek Bali Dataran (BBD) atau bahasa Indonesia (BI). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa orang tua mempunyai kebanggaan tersendiri apabila anaknya fasih berbahasa Indonesia atau bahasa asing sejak usia dini. Di lingkungan pendidikan, dari tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, sampai dengan tingkat perguruan tinggi anak-anak lebih dominan belajar bahasa asing (Inggris) daripada BI, BBD, dan terlebih lagi BBA yang hanya digunakan oleh masyarakat tertentu. Hal ini disebabkan karena masyarakat setempat telah menguasai lebih dari dua bahasa dan dapat dikatakan sebagai keanekabahasaan, dan keanekabahasaan tersebut merupakan salah satu faktor penyebab pergeseran suatu bahasa. Wardhaugh (1988: 187) mengatakan bahwa pergeseran bahasa sangat sulit diobservasi. Meskipun demikian, pergesaran dapat dilihat dari bentuk-bentuk tuturan. Pergeseran dan pemertahanan bahasa dapat terjadi secara bersamaan
5
dalam suatu wilayah. Kebertahanan dan kebergeseran BBA terjadi di Kecamatan Kintamani di empat desa, yakni Desa Catur Banjar Catur, Desa Belantih Banjar Belantih, Desa Daup, dan Desa Terunyan Banjar Terunyan. Pada zaman dahulu empat desa tersebut menggunakan BBA sebagai alat komunikasinya. Namun, seiring dengan perkembangan globalisasi yang semakin pesat menyebabkan prestise
BBA
semakin
menurun
dan
masyarakat
setempat
cenderung
menggunakan BBD, BI, dan bahkan bahasa asing. Di samping perkembangan alat komunikasi yang semakin pesat, penggunaan BBA yang semakin berkurang yang disebabkan karena adanya masyarakat yang keluar dari daerah tersebut.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah-masalah yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah penggunaan BBA dalam ranah kehidupan masyarakat Kintamani, Bali?
2.
Bagaimanakah kebertahanan dan kebergeseran BBA dalam ranah kehidupan masyarakat Kintamani, Bali?
3.
Faktor-faktor apakah yang memengaruhi kebergeseran dan kebertahanan BBA dalam Masyarakat Kintamani, Bali?
6
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan yang dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.3.1
Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengkaji penggunaan BBA dalam ranah kehidupan masyarakat di Kecamatan Kintamani sebagai perwujudan dari pemertahanan BBA dan dalam pemertahanan bahasa terdapat pergeseran suatu bahasa di dalamnya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pergeseran bahasa dan faktor penyebab suatu bahasa dapat bergeser. Faktor penyebab pergeseran suatu bahasa terdiri atas migrasi, pendidikan, mobilitas, agama, dan ekonomi. Hal ini dikaji melalui pendekatan kualitatif yang berpayung pada teori-teori sosiolinguistik.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut. 1.
Untuk mengidentifikasi penggunaan BBA dalam ranah kehidupan masyarakat seperti pada ranah keluarga, ranah ketetanggaan, ranah pendidikan, dan ranah agama, yang dilakukan berdasarkan tuturan-tuturan yang dituturkan oleh masyarakat Kintamani, Bali.
2.
Untuk menemukan fakta pemertahanan dan pergeseran BBA dalam ranah kehidupan masyarakat Kintamani, Bali melalui tuturan-tuturan pada ranah
7
keluarga, ranah ketetanggaan, ranah pendidikan, dan ranah agama yang dilihat berdasarkan leksikon-leksikon dalam beberapa kategori seperti kategori nomina, verba, adjektiva dan lain-lain, sehingga dapat diketahui BBA mengalami pemertahanan atau pergeseran. 3.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kebergeseran dan kebertahanan BBA pada masyarakat Kintamani, Bali sehingga kedepannya masyarakat setempat dapat menentukan usaha yang harus dilakukan untuk mempertahankan bahasa ibunya.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian pemertahanan BBA dalam masyarakat Bali di Kintamani ini
diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut seperti di bawah ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini merupakan suatu kajian sosiolinguistik yang terkait dengan perilaku linguistik masyarakat Bali dalam memilih bahasa pada era globalisasi ini. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan bagi pengembangan khazanah informasi kelinguistikan khususnya sosiolinguistik dalam bidang pemertahanan dan pergeseran bahasa. Di samping itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan aspek linguistik perilaku berbahasa masyarakat setempat. Pemertahanan akan memberikan sumbangsih secara teoretis dalam mempertahankan bahasa minoritas di daerah mayoritas. Penelitian ini
8
diharapkan mampu menumbuhkan minat kalangan akademisi dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang BBA.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat seperti berikut. 1. Kelompok masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi bahwa pergeseran suatu bahasa dapat terjadi akibat berkembangnya alat komunikasi modern, pendidikan, dan perpindahan penduduk. Di samping itu, masyarakat pendukung tetap bersikap positif dalam menggunakan BBA sebagai penada dan penguat identitas kelompok penutur. 2. Pemerintah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran lembaga pemerintahan untuk mengkaji bahwa bahasa ibu sangat penting sebagai identitas suatu kelompok penutur budaya. 3. Lembaga pendidikan formal dan informal tetap memberikan kesempatan BBA untuk digunakan dalam kehidupan keluarga dan ketetanggaan 4. Tenaga pengajar diharapkan dapat menggunakan BBA dalam proses belajar mengajar di sekolah terlebih lagi bahasa ibu dapat digunakan dalam proses mengajar di kelas sampai siswa menginjak kelas tiga di sekolah dasar. Dengan demikian, siswa dapat menerapkan penggunaan BBA di lingkungan sekolah dan memberikan pendidikan kepada anak didik tentang pentingnya mempertahankan bahasa ibu untuk identitas budaya.
9