1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dakwah adalah sebuah aktivitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan kemanusiaan, seringkali menyajikan serangkaian permasalahan yang rumit kepada pelakunya. Namun bukan berarti permasalahan itu tidak ada jalan keluarnya, bahkan dengan adanya permasalahan itu manusia diajak untuk berpikir dan menganalisis guna mencari solusi yang terbaik bagi pemecahannya. Dilihat dari definisi lain, dakwah juga mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang agar menjadi lebih baik, dilakukan secara individu maupun secara kelompok agar timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan, terhadap ajaran agama sebagai message yang disampaikan kepadanya tanpa adanya unsur-unsur paksaan.
1
Dengan demikian esensi dakwah terletak pada ajakan, dorongan
(motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah.
1
H. M. Arifin, PSIKOLOGI DAKWAH: Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1997. H. 6.
2
Dakwah memang memiliki pengertian yang luas. Tidak hanya mengajak dan menyeru umat manusia agar memeluk Islam,2 lebih dari itu dakwah juga berarti mengupayakan bagaimana membina masyarakat Islam agar menjadi masyarakat yang lebih berkualitas sehingga menjadi khairu ummah dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam. Peranan juru dakwah (da’i)3 adalah berupaya untuk menyeru dan mengajak para anggota masyarakat dengan cara menyentuh hati nuraninya terlebih dahulu sesuai dengan fitrahnya, agar kehidupannya sesuai dengan petunjuk Allah SWT.4 Untuk itu para juru dakwah dalam menyampaikan materi yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis hendaknya mampu menjabarkan dan menerapkannya dalam kehidupan keseharian bersama-sama dengan masyarakat. Menurut Quraish Shihab (1995). “Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna,
2
Islam adalah aturan Allah yang sempurna yang mencakup berbagai bidang kehidupan, juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dan alam semesta, atas dasar ketundukan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.(Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, h. 15.). 3
Keberhasilan seorang da’i dalam berdakwah dapat terjadi karena pelbagai kemungkinan yaitu:Pertama, kemungkinan pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, kemungkinan karena faktor personal da’i, yakni da’i tersebut memiliki daya tarik personal yang menyebabkan masyarakat mudah menerima pesan dakwahnya, meski kualitas dakwahnya biasa saja. Ketiga, kemungkinan karena kondisi psikologi masyarakat yang sedang haus siraman rohani. Keempat, karena kemasan dakwanya menarik. (Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h. 161-162.). 4
Hasanuddin Abu Bakar, Meningkatkan Mutu Da’wah, Jakarta: Media Da’wah,
1999, h. 5.
3
baik terhadap pribadi dan masyarakat.5 Dakwah akan memberi penjelasan dan petunjuk mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat membawa manusia pada jalan kebahagian baik dunia maupun akhirat, serta memberi peringatan kepada manusia jalan mana yang harus ditempuhnya. Berdakwah memang tugas yang berat, namun mulia di sisi Allah. Sebab para ulama adalah ahli waris dari para Nabi sebagai pembawa agama yang benar, yaitu agama Allah, agama Islam, agar umat manusia tidak terjerumus ke dalam lembah nista dan nestapa, yakni lembah kekafiran dan kemusyrikkan.6 Dakwah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam menyebarkan ajaran Islam sehingga Islam menjadi agama yang dianut dan diyakini oleh berbagai bangsa di seluruh pelosok dunia. Hal tersebut merupakan hasil dari sebuah proses dakwah yang terus menerus dilakukan oleh para juru dakwah yang berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama. Penyebaran ajaran Islam melalui kegiatan dakwah ini kemudian melahirkan wujud masyarakat Islam yang semakin luas, namun pada gilirannya masyarakat tersebut juga membutuhkan penerangan dan penjelasan mengenai ajaran dan norma hidup Islam melalui kegiatan dakwah. Medan perjuangan dakwah dalam rangka menegakkan kebenaran dan mencegah kejahatan di muka bumi ini tidak selamanya berjalan mulus, akan
5
RB. Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah Profesional, Jakarta: Penerbit Amzah, 2007 h. 25- 26. 6
Rafi’udin dan Maman, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung: Pustaka Setia. 1997, h. 13.
4
tetapi sebaliknya, di dalamnya penuh dengan onak dan duri serta aneka marabahaya, baik yang berasal dari luar maupun berasal dari dalam. Para pendakwah memerankan tugasnya begitu komplek, karena kadang pendakwah dijadikan sebagai sebuah profesi yang mengharuskan adanya manajemen dalam kelangsungan dakwahnya. Jika hal tersebut harus dilakukan maka ia berhak mendapatkan upah, selain untuk keperluan dakwah juga sebagai keperluan hidup keluarga sang da’i. Namun jika kembali kepada sejarah sejak Nabi Ibarahim hingga Nabi Muhammad SAW menyerukan kalimat yang sama yaitu “ Allah itu Maha Esa” dan tidak mengharapkan upah sepeser pun. Adapun setiap yang keluar dari seorang da’i baik berupa ucapan dan perbuatan harus semata-mata diniatkan ikhlas karena Allah dan mengharap ridha-Nya 7 sebagai sebaik-baik balasan, tanpa mengharapkan imbalan dari manusia.8 Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa da’i juga manusia yang masih membutuhkan keperluan duniawi. Namun hal tersebut tidak mengharuskan seorang da’i lantas meminta imbalan dari dakwah yang disampaikannya. Hal ini telah dicontohkan oleh para Rasul terdahulu sebagai penyeru, para Nabi tak lupa kewajibannya mencari nafkah. Nabi Isa tukang kayu, Nabi Daud dan Sulaiman seorang raja, Rasulullah Muhammad sebagai pedagang. 7
Sebagaimana yang telah termaktub dalam Al-Quran surah Al-An’am [6]: 162163. Yang artinya: “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintahkan”. Ayat ini dibaca terus menerus ketika didalam shalat. 8
Sayyid Muhammad Nuh, Dakwah Fardiyah dalam Manhaz Amal Islam, alih bahasa Ashfa Afkarina, Solo: Citra Islami Press, 1996, h. 64.
5
Pada sisi lain, profesionalisme yang pada mulanya terjadi pada sistem ekonomi kapitalisme yang telah menghegemoni sedemikian rupa, ternyata juga merasuki sistem dakwah di era modern ini. Konsekuensinya, para da’i lebih pantas disebut sebagai seorang profesional atau wiraswastawan yang menjual jasa dakwah kepada orang yang membutuhkannya. Seharusnya para da’i itu bergerak secar aktif untuk mencari komunitas yang perlu didakwahi karena tuntunan agama, bukan tuntunan profesionalitas. Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia kata professional merupakan sesuatu yang berkenaan dengan pekerjaan, berkenaan dengan keahlian, memerlukan keahlian khusus untuk melaksanakannya. 9 Suatu pekerjaan apabila dilakukan secara professional, maka pekerjaan tersebut akan terlaksana secara optimal dan maksimal. Sebagai akibat dari profesionalisasi,10 muncul para da’i yang memasang tarif tertentu dalam berdakwah. Dalam hal ini untuk mengundang seorang da’i tertentu harus ada kesepakatan kontrak di antara si da’i, pihak management atau agennya dengan komunitas yang didakwahi. Jika kesepakatan tidak diperoleh maka dakwahnya bisa batal.
9
R. Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang : KARISMA Publishing Group, 2009, h. 457. 10
Secara populer, kata professional dimaknai dengan ahli dan gaji. Suatu pekerjaan apabila dilakukan secara professional, maka pekerjaan itu terlaksana dengan optimal dan maksimal dan dibayar dengan layak. Sebaliknya, bila pekerjaan itu dilakukan seadanya dan dibayar dengan ala kadarnya, bahkan bisa jadi tidak mendapat bayaran sama sekali, itu berarti pekerjaan tersebut bukan professional. Tetapi disebut amatiran. Contoh yang paling jelas tentang hal itu adalah profesi dunia tinju. Ada tinju amatir dan ada tinju professional. Tinju amatir, hanya sekedar ekshibisi, oleh sebab itu bayarannya sekedarnya saja. Sebaliknya tinju professional dibayar dengan bayaran yang tinggi.(Muhammad Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006, h. xi).
6
Dalam konteks dakwah Islam di Indonesia, fenomena semacam ini telah berkembang, meskipun masih bersifat partikular. Hal ini mengisyaratkan adanya pergeseran etika dakwah dalam kehidupan modern bila dibandingkan dengan etika dakwah sebagaimana digambarkan dalam (Al-Quran surah AlFurqan [25]:57):
Artinya: “saya tidak meminta upah pada kalian atas dakwahku ini sebab hanya Allah SWT. Yang akan memberi dakwahku ini” Ketulusan atau keikhlasan, dalam konteks dakwah, dalam Al-Quran digambarkan sebagai sikap mental dimana seorang da’i tidak memiliki pamrih-pamrih material maupun pretensi pribadi untuk kepentingan dakwahnya.11 Sebagai seorang da’i hanya satu yang menjadi motivasi dalam berdakwah, yakni motivasi transendental hanya karena ketaatan kepada Allah SWT. Apabila seorang pendakwah telah terkontaminasi dengan pamrih dunia, maka hal tersebut dapat mereduksi makna dakwah, sebab dakwah itu bergantung dari keikhlasan sang juru dakwah (dai). Esensi dakwah yaitu menyampaikan secara mubin (jelas), sebagaimana diterangkan dalam AlQuran surah Yasin ayat 17 yaitu:
11
Safrodin Halimi, Etika Dakwah Dalam Perspektif Al-Quran Antara Idealitas dan Realitas Sosial, Semarang: Walisongo Press, 2008, h. 59.
7
Artinya: Dan kewajiban Kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (Q.S. Yasin [36] 17). Di dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.( Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5). Berdakwah adalah ibadah. jadi, bila seorang da’i orientasinya adalah uang semata, ini bisa mengurangi esensi dakwahnya. Maka, terjadilah apa yang disebut dengan komersialisasi dakwah. Mencari keberuntungan melalui kegiatan keagamaan sehingga para da’i kemudian memasang tarif. Padahal, dalam Islam yang harus dikedepankan adalah keikhlasan. Berbisnis untuk dakwah, bukan malah sebaliknya, berdakwah untuk bisnis. Kekeliruan paradigma yang telah terjadi tersebutlah, maka tugas dakwah tidak lagi inheren dalam kehidupan seorang muslim. Seorang dokter seolah tidak sesuai berdakwah karena itu wilayah ustad. Presiden, pengacara, tukang bengkel, terasa kurang pantas kalau berdakwah. Fenomena inilah, yang mengakibatkan umat tidak banyak berubah lebih baik. Belum lagi umat dibebankan dengan soal tarif ustad sekian juta sekali ceramah, membuat nasehat ustad kehilangan wibawa.
8
Dari paparan di atas memberikan indikasi bahwa tata nilai etika berdakwah dalam kehidupan moderen agaknya telah mengalami pergeseran makna maupun bentuk di kalangan sebagian umat Islam. Pergeseran tata nilai tersebut bisa terjadi disebabkan oleh tuntunan dari suatu perkembangan sistem sosial maupun distorsi interpretasi atas Al-Quran maupun hadis Nabi SAW. itu sendiri. Kitab tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab merupakan karya tafsir yang akan menjadi fokus pembahasan untuk mengungkapkan mengenai fenomena sosial sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis membuat sebuah penelitian yang termuat dalam desain proposal ini dengan tema: “KONSEP UPAH DALAM BERDAKWAH” (Kajian Surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian secara umum dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep upah dalam berdakwah yang terkandung dalam surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulisan penelitian ini adalah: Untuk menjelaskan konsep upah dalam berdakwah yang terkandung dalam surah AlFurqan ayat 57 menurut Quraish Shihab.
9
D. Kegunaan Penelitian Suatu penelitian ilmiah tentu diharapkan memberikan kontribusi tertentu, baik teoritik maupun praktis. Dalam konteks penelitian ini maka manfaat atau kegunaan yang diharapkan sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritik Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan dapat menjadi referensi tambahan sekaligus bahan pembanding bagi penelitian-penelitian sejenis lainnya terkait dengan konsep upah dalam berdakwah dalam kajian surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab. 2. Kegunaan Praktis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kritik sekaligus masukan bagi para da’i atau para juru dakwah agar senantiasa mengedepankan etika dan keikhlasan dalam menjalankan misi dakwahnya. b) Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada para pembaca, khususnya bagi peneliti sendiri tentang konsep upah dalam berdakwah dalam kajian surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab. c) Bagi para da’i menambah ilmu pengetahuan bagaimana berdakwah menurut Al-Quran yang termuat dalam surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab. d) Bagi lembaga, menambah khazanah keilmuan yang terkait dengan konsep upah dalam berdakwah dalam kajian surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab.
10
e) Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya, yang ingin meneliti berkaitan dengan penulis lakukan. E. Batasan Masalah Dalam penelitian ini agar lebih memudahkan penulis maka yang menjadi fokus kajian adalah masalah konsep upah dalam berdakwah yang terdapat dalam surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab. Adapun yang akan penulis angkat untuk dijadikan sebagai bahan penelitian adalah tafsir Al-Misbah karya besar Quraish Shihab. F. Metodologi Penelitian Dalam melacak dan memaparkan kajian ilmiah ini secara integral dan terarah, maka penulis akan menggunakan metode penelitan sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research, yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan sebagai sumber tertulis dengan cara pengumpulan data, mengadakan penelaahan terhadap referensi-referensi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini lebih menekankan pada kekuatan analisis data pada sumber-sumber data yang ada, yang didapatkan dari literatur berupa buku-buku dan tulisan-tulisan lainnya untuk kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kepustakaan dengan berdasarkan tulisan yang mengarah pada pembahasan skripsi yang sedang peneliti kerjakan.
11
Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode tahlili12 yaitu mengkaji ayat-ayat Al-Quran dari segi maknanya ayat demi ayat, dan juga mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat yang penulis teliti.13 Selain itu digunakan juga metode analitis14 yaitu dengan menerangkan makna yang terkandung dalam ayat yang diteliti. Penulis dalam hal ini akan menggunakan bentuk tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu penafsiran ayat Al-Quran dengan menggunakan ayat dengan ayat/hadis dan juga riwayat sebagai objek penafsiran ayat tersebut. Di dalam tafsir ini tetap ada analisis, tetapi sebatas adanya ayat /hadis dan riwayat tentang ayat yang ditafsirkan.15
12
Al-Farmawi membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy,muqaran dan mawdhu’iy. Namun yang paling populer dari keempat metode tersebut adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu’iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy, adalah satu metode tafsir yang “Mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.” Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama manafsirkan Al-Quran dengan menggunakan metode tahliliy itu,tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran. (M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2002, cet. XXIII, h. 86). 13
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 73. 14 Nashruddin Baidan menerangkan bahwa metode analitis ialah menafsirkan ayatayat Al-Quran dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat tersebut. (Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 68).
15
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994, h. 42.
12
2. Data dan Sumber Data Data yang dikaji dalam penelitian ini adalah data mengenai Konsep Upah dalam Berdakwah (Kajian surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab. Kajian surah Al-Furqan ayat 57 bersumber dari data primer dan data sekunder yaitu: a. Data primer yaitu data yang bersumber dari sumber asli atau pertama.16 Yaitu Tafsir AL-Misbah karangan Quraish Shihab. b. Data sekunder yaitu data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan.17 Yaitu sebagai penjelas dari bahan primer yang terdiri dari terjemah Al-Quran, tafsir-tafsir dan buku-buku yang menunjang penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan jenis penelitian ini, yakni penelitian kepustakaan maka dalam penelitian ini penulis memerlukan data yang pengumpulannya menggunakan teknik dokumentasi. Menurut Margono, teknik documenter adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsiparsip, dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil, atau hukumhukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. 18
16
Sarwono Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, h. 129. 17
Ibid,.
18
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, h.
181.
13
Disamping itu penulis juga melakukan telaah pustaka atau mengkaji berbagai literatur, yaitu dengan mendalami, mencermati dan menganalisis. Dalam penelitian ini lebih fokus kepada ayat-ayat Al-Quran, maka pendekatan utamanya adalah ilmu tafsir. Penulis menggunakan metode tahlili dan ditambah dengan tafsir bi al-Ma’tsur.19 4. Teknik Analisis Data Data yang sudah dibuat selanjutnya disajikan secara deskriptif kualitatif berupa uraian-uraian yang dapat memberikan gambaran tentang data yang ditemukan, untuk kemudian dilanjutkan dengan analisis isi. Dalam analisis data ini, menggunakan pendekatan hermeneutiks, 20 hermeneutiks merupakan pembahasan tentang kaidah atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian disampaikan sesuai dengan tingkat dan daya serap para audien.21
19
Menurut Mahmud Basuni Faudah dalam bukunya “Tafsir-tafsir Al-Quran dengan Metodologi Tafsir”, bahwa tafsir yang dinukil dari kalangan sahabat tabi’in itu adalah termasuk tafsir bi al-Ma’tsur. (lihat Tafsir-tafsir Al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Mahmud Basuni Faudah, h. 24). 20 Hermeneutiks (Hermeneutics) termasuk kosakata yang agak kuno. Secara etimologis lafal itu berasal dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’, dari sini ditarik kata benda hermeneia yang berkonotasi ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’. (Nshruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, h. 72). 21
Ibid., h. 73.
14
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN; berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian; berisikan tentang jenis penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, sistematika penulisan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS; berisikan tentang pengertian dakwah, upah, tafsir dan periodesasi tafsir di Indonesia.
BAB III
Berisikan tentang biografi Quraish Shihab, latar belakang keluarga, pendidikan Quraish Shihab, karya-karya Quraish Shihab.
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN; yang berisikan Konsep Upah Dalam Islam Kaitannya Dengan Surah Al-Furqan Ayat 57, tafsir surah Al-Furqan ayat 57, kosa kata/lafadz,dan menjelaskan kandungan ayat, munasabah surah dan ayat, hasil penelitian bersikan dakwah professional, manajemen dakwah, persiapan dakwah, prinsip-prinsip dakwah dan upah dalam berdakwah.
BAB V
PENUTUP; meliputi simpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA