BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu tayangan dari media elektronik yang dapat dijadikan hiburan adalah tayangan yang mengandung humor. Salah satu tayangan yang mengandung humor adalah komedi. Komedi merupakan sebuah humor yang dilakonkan dengan gerakan dan tuturan yang lucu sehingga dapat mengundang tawa dan geli penonton. Selain sebagai hiburan, humor juga dapat menghilangkan stress dan menenangkan pikiran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008), humor adalah sesuatu yang lucu atau keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan. Kelucuan dalam humor biasanya bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia. Salah satu contoh humor adalah humor Sasak. Humor Sasak adalah sebuah sandiwara yang dilakonkan oleh orang-orang asli suku Sasak dengan cerita yang berkaitan dengan masyarakat suku Sasak itu sendiri. Terkait dengan pengertian humor yang tertera dalam KBBI, humor Sasak tidak selamanya berakhir dengan bahagia. Humor Sasak merupakan sebuah fragmen yang akhirannya belum jelas, bahkan akhir dari humor tersebut terletak pada klimaks cerita. Artinya, penonton dituntut untuk menggunakan imajinasinya dalam menentukan akhir cerita dari sebuah humor.
1
2
Humor Sasak berbeda dengan humor pada umumnya yang ada di media elektronik seperti Opera Van Java atau Pesbukers. Keduanya berlatarkan dalam sebuah studio yang dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat menarik, indah, dan tentunya sesuai dengan tema yang akan dilakonkan. Opera Van Java lebih banyak melakonkan kisah-kisah legenda atau pewayangan yang disajikan dengan modifikasi, baik itu dari properti maupun kostum yang digunakan. Sama halnya dengan Opera Van Java, acara humor Pesbukers juga disajikan dalam bentuk modern. Artinya, tema yang disajikan lebih segar karena mengikuti zaman modern baik dari latar maupun property yang digunakan. Humor Sasak sama sekali tidak menggunakan latar yang indah, baik di studio maupun di panggung serta tidak menggunakan properti dan kostum yang bagus. Latar yang digunakan dalam humor Sasak adalah lingkungan alam sekitar yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sasak. Humor Sasak berisi nasihat-nasihat yang dikemas dalam kelucuan tuturan dan tingkah laku pelakonnya. Nasihat-nasihat dalam humor Sasak dapat berupa cerminan kehidupan sehari-hari, misalnya nasihat orang tua kepada anak, nasihat guru kepada murid, nasihat dalam pergaulan, bahkan nasihat pernikahan. Nasihat-nasihat tersebut agaknya kurang dapat diterima oleh anak muda zaman sekarang, mengingat bahwa anak muda merasa lebih tahu dan berpendidikan daripada orang tua dahulu sehingga diperlukan wadah yang dapat diisi dengan hiburan dan nasihat. Untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan, humor harus mempermainkan bahasa agar tercipta suatu kelucuan. David Crystal dalam bukunya yang berjudul
3
Language Play (1998:1) menjelaskan bahwa setiap orang pasti pernah memainkan bahasa dalam hidupnya dengan
berbagai
alasan.
Mempermainkan bahasa
diungkapkan Crystal adalah sebuah manipulasi yang dapat menciptakan suatu sensasi untuk pendengar atau pembaca. Artinya, manipulasi tersebut dapat dimainkan dalam berupa kata, frase, kalimat bahkan membuat bahasa tersebut menjadi sesuatu yang tidak normal atau tidak semestinya. Hal inilah yang dilakukan seseorang untuk memperoleh sesuatu yang lucu atau humor. Pada dasarnya, setiap orang memiliki sisi humor dalam dirinya tergantung cara orang tersebut berbicara, mimik wajah, dan cara menuangkan ekspresi dalam sebuah bahasa yang dianggap lucu. Tidak semua mitra tutur dapat menangkapnya sebagai sebuah humor. Jadi, aturannya adalah bahasa yang lucu tidak dapat dianggap lucu pula dalam bahasa lain. Namun, kelucuan dapat timbul apabila penutur dapat memainkan cara komunikasi. Artinya, jika penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah komunikasi dalam konteks yang sama, maka penutur atau mitra tutur dapat memainkan konteks dengan menciptakan konteks baru sehingga dapat mengacaukan pemahaman peserta tutur. Kesalahpahaman dari implikatur tuturan merupakan konteks baru yang dimunculkan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh penutur atau mitra tutur yang dijadikan sebagai salah satu objek untuk menciptakan kelucuan. Artinya, komunikasi yang tidak berdasarkan kerja sama yang baik (penyimpangan) antara penutur dan mitra tutur dapat menyebabkan berbagai asumsi. Asumsi-asumsi inilah yang dimanfaatkan para pelakon sebagai salah satu faktor humor. Penyimpangan prinsip
4
kerja sama yang dimaksud adalah ketika penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam suatu percakapan tidak memberikan kontribusi yang baik. Artinya percakapan tersebut tidak bersifat komunikatif. Berikut adalah salah satu contoh penyimpangan prinsip kerja sama dalam humor Sasak. KONTEKS: Pada malam hari di serambi rumah, Mi’un yang sudah siap dengan baju pigon dan kain panjang yang dibentuk sedemikian rupa (khas suku Sasak untuk laki-laki) mencoba belajar ngayak di rumahnya. Namun, Mi’un terlihat bingung karena dia lupa menaruh sapuq (pengikat kepala) sebagai properti untuk dia berlatih. Tiba-tiba Bapaknya Mi’un menghampiri dirinya. (1) Amaq:”Mbe yam laik?” Mi’un: “Jak begawean. Jak begawean ne ampun yak aru latihan ne amaq. Cobak mbe tam wah engatn juluk badakq?” Amaq: “Yaok…badakq juluk lek mbe angkak tie.” Mi’un: “Angkak sapukq jak mbe lain ne?” Amaq: “Yaok…angkak lek mbe taokm begawean?” Amaq:”Kamu mau kemana?” Mi’un: “Mau kerja. Saya mau kerja makanya saya mau cepat latihan ni Pak. Coba di mana Bapak pernah lihat kasih tahu saya dulu? “ Amaq: “Yaok…Kasih tahu saya dulu di mana itu.” Mi’un: “ Makanya sapuk saya ke mana dulu?” Amaq: “Yaok…makanya di mana tempat kamu kerja?” [N2: 00: 12:09] Data (1) merupakan penyimpangan maksim kuantitas. Hal tersebut tampak pada penutur (Mi’un) yang tidak memberikan kontribusi informasi yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya (Amaq/Bapak). Penyimpangan maksim kuantitas pada tuturan di atas disebabkan oleh pemberian informasi yang berlebihan dan pemberian informasi yang kurang informatif. Penyimpangan tersebut dapat diamati pada semua tuturan Mi’un.
5
Penyimpangan prinsip kerja sama seperti maksim kuantitas di atas, dapat memanfaatkan pertanyaan yang diajukan mitra tutur sebagai cara untuk menimbulkan efek kelucuan. Selain penyimpangan prinsip kerja sama, penyimpangan prinsip kesopanan dapat dijadikan sebagai faktor humor. Penyimpangan prinsip kesopanan terjadi ketika penutur dan mitra tutur tidak bertingkah laku yang sopan atau tidak beretika yang baik dalam berinteraksi sosial pada suatu budaya khusus (Yule, 2006: 104).
Berikut adalah salah satu contoh penyimpangan prinsip kesopanan dalam
humor Sasak. KONTEKS: Mi’un yang sedang mengikuti tes menjadi pengawal caleg terlihat kebingungan dengan soal yang diujikan sehingga dia meminta ijin untuk dapat menghubungi temannya yang bisa membantu Mi’un memberikan jawaban. (2) Mi’un: “ (sambil berpikir) Sulitn. Boleh kita minta bantuan?” Odah: “ Anda boleh menghubungi teman Anda. Silakan!” Mi’un: “(Mengeluarkan hp dari kantongnya dan mencoba menghubungi temannya) woit…(Mi’un memanggil seseorang dan yang datang ternyata anak kecil) Taom kan? Jari, siapakah tokoh itu? (sebelum memberikan jawaban anak itu meminta uang kepada Mi’un). (Menghadap kamera) Taom? Siapakah tokoh itu (memperagakan ekspresi anak tersebut). Jaman nani, jaman nai mule berubah. Ckckck…apapun mut gawek yan belek yan kocek, kepeng doang. (Mengambil uang dari sakunya) Mah! (anak itu mengembalikan uang yang diberikan Mi’un karena uangnya kurang). (menghadap kamera) Ngadon dengan panas kanak nani, kepeng lima ribu ndekn kanggok. Mun nak ngutak darak bae kepeng lime ribu. Arooo wah meleq racun bae bareh . (mengambil uang di saku) Mah!” Anak: “ Sas#$%***%*&^$$ (sambil berlari keluar)” Mi’un: “ (Sambil berpikir) Sulitn. Boleh kita minta bantuan?” Odah: “ Anda boleh menghubungi teman Anda. Silakan!” Mi’un: “(Mengeluarkan hp dari kantongnya dan mencoba menghubungi temannya) woit…(Mi’un memanggil seseorang dan yang datang ternyata anak kecil) Kamu bisa kan? Jadi, siapakah tokoh itu? (sebelum
6
memberikan jawaban anak itu meminta uang kepada Mi’un). (Menghadap kamera) Kamu tahu? Siapakah tokoh itu (memperagakan ekspresi anak tersebut). Jaman sekarang, jaman sekarang memang sudah berubah. Ckckck…apapun yang kita kerjakan mau orang besar mau anak kecil maunya harus ada uang. (Mengambil uang dari sakunya) Nih! (anak itu mengembalikan uang yang diberikan Mi’un karena uangnya kurang). (menghadap kamera) Buat orang panas aja nih anak. Uang lima ribu dia gak mau. Diambil aja ya uang lima ribu ini! Arooo pengen tak racunin aja nanti. (mengambil uang di saku) Nih!” Anak: “ Sas#$%***%*&^$$ (sambil berlari keluar)” [MN: 00:25:53] Tuturan (2) tampak adanya penyimpangan kesopanan yang dilakukan seorang anak kepada orang yang lebih dewasa. Tuturan di atas menceritakan bahwa Mi’un sedang meminta bantuan kepada seorang anak. Namun, anak tidak mau membantu Mi’un tanpa sebuah imbalan. Akhirnya, Mi’un pun memberikan uang dan anak memberitahu jawabannya. Tetapi, anak memberikan jawaban sambil berlari sehingga Mi’un tidak mendengar tuturan dari si anak. Oleh karena itu, tuturan tersebut dianggap melanggar kesopanan karena sikap anak kepada orang dewasa kurang baik. Namun, itulah yang dapat menyebabkan kelucuan. Dari contoh tuturan di atas, penyimpangan kerja sama dan kesopanan dalam berkomunikasi dapat menjadi penting dalam sebuah humor. Bahasa merupakan media utama yang dimanfaatkan dalam penyimpangan tersebut sehingga aspek-aspek bahasa seringkali tidak luput dari perhatian penutur dan mitra tutur dalam menciptakan humor. Tentunya,
dalam
wacana
humor
haruslah
diperhatikan
aspek-aspek
kebahasaan yang terdapat di dalamnya. Aspek-aspek kebahasaan dalam berhumor
7
merupakan sumber kreativitas dari penutur dan mitra tutur. Melalui aspek-aspek kebahasaan, permainan bahasa diciptakan dengan berbagai bentuk dan makna. Bentuk permainan bahasa dapat dilihat dari segi bunyi, suku kata, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Berikut adalah salah satu aspek kebahasaan dari segi fonologis yang sengaja dipermainkan penutur untuk mengundang rasa tertawa. Aspek fonologis tersebut terjadi karena adanya permutasi bunyi. Dalam penggalan monolognya, penutur menututurkan kalimat sebagai berikut. KONTEKS: Pada saat Jenal sedang mencangkul, terdengar bunyi yang sangat aneh. Jenal mencoba untuk memancing bunyi pada lain tempat, tetapi bunyi tersebut hanya muncul pada satu titik saja. Jenal mencoba mencari-cari sumber bunyi tersebut, sampai Jenal menemukan sesuatu. (3) Jenal: “Kecer? Kecer atau cerek?aaah ye wah jage. Sang di sini dedarenya ini” ‘Kecer? Kecer atau cerek? Aaaah kayak gitu sudah. Apa mungkin ada gadis di sini?’. [EB: 00: 02:06] Pada data di atas, permutasi bunyi terdapat pada kata cerek menjadi kecer. Penutur mempermutasikan bunyi yaitu /k/ dan /e/ menjadi bunyi /ke/ menjadi di awal kata dan bunyi /cer/ di akhir kata, sehingga cerek menjadi kecer. Seperti yang telah dijelaskan di atas, permutasi bunyi dilakukan untuk memberikan efek humor bagi para pendengar. Menurut Wijana (2004), permutasi bunyi disebabkan oleh gejala salah ucap (slip of the tongue) baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dardjowidjojo (2008) menyebutkan slip of the tongue adalah gejala kilir lidah. Dardjowidjojo
8
membagi kilir lidah menjadi 2 yaitu kilir lidah yang munculnya disebabkan oleh seleksi yang keliru dan kekeliruan asembling. Kilir lidah yang pertama merupakan kekeliruan yang disebabkan sifat-sifat kodrati manusia sehingga kata yang diucapkan bukan kata yang diinginkan, sedangkan kekeliruan asembling merupakan kekeliruan dengan memindahkan kata atau bunyi dari suatu posisi ke posisi yang lain. Jadi, kekeliruan pada data di atas merupakan kekeliruan asembling. Terkait dengan hal di atas, OMJ adalah humor Sasak yang menggunakan bahasa campuran antara bahasa Sasak dan bahasa Indonesia. Pencampuran kedua bahasa inilah yang banyak menimbulkan kelucuan. Kelucuan yang dimaksud adalah penggunaan bahasa Indonesia yang pada dasarnya memiliki pola struktur D-M (Diterangkan-Menerangkan) kemudian dalam bahasa Sasak menjadi pola struktur MD (Menerangkan-Diterangkan). Hal tersebutlah yang disebut dengan bahasa Indonesia logat Sasak. Bahasa Sasak memiliki banyak dialek, namun dialek yang umum diketahui adalah 4 dialek. Menurut Mahsun (2006) dialek-dialek tersebut adalah dialek Bayan (a-a), dialek Pujut (a-e), dialek Aiq Bukaq (a-o), dan dialek Selaparang (e-e). Misalnya, penggunaan kata laki-laki dalam dialek Bayan (mama), dalam dialek Pujut disebut (mame), dalam dialek Selaparang disebut (meme), dan dalam dialek Aiq Bukak disebut (mamo). Mengingat banyaknya dialek yang terdapat dalam bahasa Sasak, maka penutur bahasa Sasak menggunakan bahasa dialek standar yang diambil dari banyaknya penutur dialek tersebut, yaitu antara penutur dialek Aiq Bukak dan dialek Pujut. Dialek standar inilah yang digunakan pelakon dalam humor OMJ.
9
Oleh karena itu, bentuk permainan bahasa yang terdapat dalam humor Sasak OMJ adalah campur dan alih kode yaitu dari bahasa Sasak ke bahasa Indonesia maupun dari bahasa Indonesia ke bahasa Sasak. Misalnya alih kode yang dilakukan oleh salah satu tokoh bernama Jenal. KONTEKS: Dialog ini terjadi pada saat Jenal baru tiba di sawah dan tiba-tiba mendapat telepon. (4) Jenal: “Halo, oke oke. Aok bareh juluk, kek repot ni!” ‘Halo, oke oke. Iya nanti dulu, lagi repot ni!’ [EB: 00:00:14] Pada data (4), Jenal sedang melakukan alih kode yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Sasak. Data (4) merupakan monolog sebagai adegan pembuka dari humor Sasak. Ketika Jenal sedang berjalan menuju sawah, tiba-tiba Jenal mendapat sebuah telepon. Awalnya, Jenal menggunakan bahasa Indonesia untuk menyetujui topik pembicaraan dengan mitra tutur. Namun, tiba-tiba Jenal menggunakan bahasa Sasak untuk menyatakan ketidaksetujuannya kepada mitra tutur. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan Jenal yang berbunyi Aok bareh juluk, kek repot ne ‘Iya nanti dulu, lagi repot ni’. Jenal memberitahukan kepada mitra tutur bahwa dia tidak bisa melakukan apa yang mitra tutur suruh karena Jenal sedang sibuk. Peralihan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Sasak yang digunakan Jenal menimbulkan kelucuan bagi penonton. Dari pembicaraan yang tiba-tiba serius menjadi pembicaraan yang membuat Jenal kesal. Dari kekesalan itulah, bahasa Sasak Jenal muncul sebagai suatu kelucuan bagi penonton. Humor Sasak dinikmati oleh masyarakat Sasak itu sendiri, dengan menggambarkan kehidupan masyarakat Sasak sehari-hari yang dikembangkan dengan
10
penuh kelucuan. Salah satu episode OMJ berjudul Engkah Begelut ‘Jangan Berbohong’ mengisahkan tentang anak yang berbohong kepada orang tuanya dengan kelucuan salah satu pemain yang memerankan tokoh Jin. Karena pemain dan penikmatnya adalah masyarakat Sasak itu sendiri, maka penggunaan bahasa dan latar sosial tentu selalu dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat Sasak pada umumnya. Oleh karena itu, dalam sebuah humor khususnya humor Sasak OMJ dapat memanfaatkan penggunaan bahasa dalam berinteraksi sosial. Hal tersebut digunakan sebagai salah satu faktor untuk mengetahui hubungan antara bahasa dan perilaku sosial yang memungkinkan untuk disimpangkan menjadi sebuah humor. Berikut adalah salah satu contoh komponen tutur setting untuk menimbulkan kelucuan. KONTEKS: Tuturan di bawah ini terjadi pada saat Mi’un tiba di sebuah pabrik tempe untuk melamar kerja. (5) Mi’un: “Beri salam. Beri salam. (sambil mengetuk pintu)” Mi’un pun langsung masuk dan menghampiri Jenal. Mi’un: “ Pak! Paak! ( Mi’un langsung memberikan mapnya)” Jenal: “ Mau melamar kerja? Yam pite pegawaean?“ Mi’un: “Ya (sambil mengangguk). Saya mau melamar jari tukang piyak tempe. “ Jenal: “ Mari kita tes (menghadap kamera)“ Mi’un: “Beri salam. Beri salam. (sambil mengetuk pintu)” Mi’un pun langsung masuk dan menghampiri Jenal. Mi’un: “ Pak! Paak! (Mi’un langsung memberikan mapnya)” Jenal: “ Mau melamar kerja? Mau cari pekerjaan?“ Mi’un: “Ya (sambil mengangguk). Saya mau melamar jadi tukang pembuat tempe. “ Jenal: “ Mari kita tes (menghadap kamera)“ [MN: 00: 09:46] Dalam komponen tutur, setting sangat menentukan pokok pembicaraan yang akan dikemukan. Seperti pada data (5) yang memanfaatkan setting di sebuah pabrik
11
pembuatan tempe. Pemanfaatan tempat tersebut sengaja dipilih karena sesuai dengan tema atau alur cerita pada humor OMJ. Hal tersebut dapat memengaruhi suasana tutur sebagai salah satu cara untuk menunjukkan identitas penutur, kondisi fisik, dan kondisi psikologis pada tuturan. Oleh karena itu, tuturan di atas menunjukkan adanya kondisi seseorang yang sedang mencari pekerjaan di sebuah pabrik pembuatan tempe. Kondisi tersebut dimanfaatkan pelakon untuk menciptakan efek kelucuan dengan memanfaatkan objek tempe sebagai humor. Seperti yang telah dijelaskan di atas, wacana humor OMJ memanfaatkan aspek-aspek dalam bidang pragmatik dan sosiolinguisik sehingga memunculkan berbagai fungsi pada wacana humor OMJ. Setiap wacana mempunyai fungsi masingmasing tergantung tema dari wacana tersebut. Wacana humor OMJ menyajikan fungsi-fungsi yang bermanfaat bagi penikmat humor OMJ. Humor tidak hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi dapat memberi nasihat seperti yang terdapat dalam humor OMJ sebagai berikut. KONTEKS: Mi’un yang sedang melamar kerja jadi marbot mendapat tes dari Jenal (pengelola masjid) untuk azan. Mi’un merasa tes azan adalah hal kecil baginya. Namun, azan yang dikumandangkan Mi’un tiba-tiba terhenti. (6) Mi’un: “ Allaaahu Akbar…Allaaaaaaaaahu Akbar (Mi’un pun azan dengan suara yang tersedu-sedu). Kan ye muk badakm. Ampukq kene meno. Ndekq ak lanjutan.“ Jenal: “ Yoh kembekm ndek lanjutan? Ndekman tutuk no!” Mi’un: “ Aku girang anuk… “ Jenal: “ Ape?” Mi’un: “ Girang tebengak doang lamuk girang ngebang no.“ Jenal: “ Ye kembek angkakn? ” Mi’un: “ Solah lalok suareq.“
12
Jenal: “ ne ne ke badakm! ” Mi’un: “ Ndekm erok?“ Jenal: “ Mun dengan ngebang no, selesaian tan dengan!(sambil memukul kepala Mi’un)” Mi’un: “ Allaaahu Akbar…Allaaaaaaaaahu Akbar (Mi’un pun azan dengan suara yang tersedu-sedu). Makanya saya kasih tahu kamu. Makanya saya bilang begitu. Nggak akan saya lanjutkan.” Jenal: “ Yoh kenapa kamu nggak lanjutkan? Belum selesai itu!” Mi’un: “ Aku sering anuk… “ Jenal: “ Apa?” Mi’un: “ Orang-orang sering keheranan kalau saya yang azan.” Jenal: “ Kenapa makanya? ” Mi’un: “ Suara saya terlalu indah.“ Jenal: “ Ne ne saya kasih tahu! ” Mi’un: “ Kamu nggak ikut sedih?“ Jenal: “ Kalau orang azan itu, diselesaikan caranya!(sambil memukul kepala Mi’un)” [MN: 00: 21: 18] Tuturan pada data (6) tampak bahwa penutur berupaya untuk memberikan nasihat kepada mitra tuturnya. Karena Mi’un melamar kerja sebagai mu’azin, maka Jenal meminta Mi’un untuk azan. Namun, Mi’un tidak menyelesaikan azannya karena menganggap suaranya sangat merdu sehingga Mi’un sangat sedih mendengar suaranya sendiri. Tentu saja, Jenal tidak menyetujui tindakan Mi’un sehingga Jenal memarahi dan memukuli Mi’un sebagai bentuk nasihat. Oleh karena humor diciptakan berdasarkan kreativitas peserta tutur yang disengaja atau tidak disengaja, penelitian ini akan mengamati kesalahpahaman makna dari aspek pragmatik, permainan bahasa dari aspek kebahasaan, perilaku sosial dalam berinteraksi, dan fungsi-fungsi dari humor yang diciptakan oleh pelakon OMJ.
13
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut. a. Apa sajakah aspek-aspek pragmatik dalam humor Sasak OMJ? b. Apa sajakah aspek-aspek kebahasaan dalam humor Sasak OMJ? c. Bagaimanakah penggunaan komponen tutur dalam humor Sasak OMJ? d. Bagaimanakah fungsi permainan bahasa dalam humor Sasak OMJ?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Mendeskripsikan aspek-aspek pragmatik dalam humor Sasak OMJ. b. Mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan dalam humor Sasak OMJ. c. Menjelaskan adanya faktor-faktor sosiolinguistik yang digunakan dalam komponen tutur baik yang dimanfaatkan maupun yang disimpangkan pada humor Sasak OMJ. d. Menjelaskan fungsi permainan bahasa dalam humor Sasak OMJ.
14
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi linguistik pada umumnya, terutama pada bidang sosiopragmatik. Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang analisis aspek-aspek linguistik yang dibentuk dari sebuah wacana humor audio-visual sehingga dapat memperkaya khazanah konsep tentang wacana humor yang telah ada sebelumnya. Selain itu, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penggunaan bahasa dan latar sosial masyarakat suku Sasak pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendetail mengenai permainan bahasa dalam wacana humor pada humor Sasak.
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu pengguna bahasa untuk dapat mengetahui aspek-aspek linguistik yang digunakan dalam humor Sasak sebagai faktor untuk menciptakan wacana humor. Dengan demikian, pengguna bahasa diharapkan dapat lebih memahami penggunaan bahasa Sasak dan bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Sasak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa.
15
1.5 Tinjauan Pustaka Terkait dengan judul penelitian ini, telah banyak dilakukan pula penelitian sebelumnya tentang wacana humor. Namun, perbedaan yang terdapat dari penelitian ini dengan penelitian yang lain terletak pada sumber data yaitu humor di dalam masyarakat suku Sasak. Sekurang-kurangnya ditemukan 4 buah penelitian yang berkaitan dengan wacana humor yang dilakukan oleh Maryam, Setiawan, Agustin, dan Wijana. Maryam (2014) dan Setiawan (2014) meneliti humor dengan sumber data penelitian yaitu komik. Selain itu, permasalahan yang dikemukakan keduanya hampir sama yaitu mengenai aspek-aspek kebahasaan. Namun, Maryam meneliti komik serial Mice Cartoon berbahasa Indonesia, sedangkan Setiawan meneliti strip komik berbahasa Inggris Amerika. Dari hasil penelitian tersebut, Maryam mengemukakan bahwa peserta tutur dalam Mice Cartoon tidak kooperatif karena melanggar prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik yang terjabar ke dalam berbagai maksim dan subbagiannya. Dari hasil penelitian Setiawan, komik Amerika seringkali menggabungkan gambar dengan bahasa yang menciptakan humor. Selain itu bahasa humor yang digunakan tidak terkait dengan kebudayaan amerika dan hanya berkisar mengenai hal serius seperti pidato, berita, hari kebesaran agam seperti natal, tokoh ternama, nama keluarga, dan kritik sosial. selain itu, aspek bahasa mengenai ambiguitas memperjelas konsep penggunaan bahasa ironi dalam humor Amerika.
16
Agustin (2004) juga meneliti tentang humor yang permasalahannya sama dengan Setiawan yaitu meneliti struktur dan fungsi pragmatik dalam wacana humor. Namun, Agustin meneliti wacana humor pada anak-anak. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa 3 hal yang berkaitan dengan humor pada anak-anak. Pertama, tema wacana humor anak-anak terdiri dari tema pendidikan, tema sosial, tema beritung, tema bermain dan tamasya, tema kesehatan, tema makanan, dan tema lingkungan alam. Kedua, komposisi wacana humor anak-anak dapat berupa monolog, dialog, dan campuran monolog dan dialog. Ketiga, fungsi pragmatik wacana humor anak-anak pada umumnya bersifat menghibur. Selain itu, Wijana (2004) dalam bukunya yang berjudul Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa mengkaji permainan bahasa dari segi penyimpangan aspek pragmatik, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, dan tipe-tipe wacana kartun. Penyimpangan aspek pragmatik dilihat dari adanya penyimpangan pada prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, parameter pragmatik. Pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dilihat dari adanya aspek ortografis, fonologis, ketaksaan, metonimi, dan lain sebagainya. Tipe-tipe wacana katun dilihat dari jenis wacana yang digunakan dalam wacana kartun tersebut. Wijana membagi jenis kartun menjadi 2 yaitu kartun verbal dan nonverbal. Kartun verbal adalah gambar yang disertai dengan tulisan-tulisan lucu, sedangkan kartun nonverbal adalah gambar yang tidak disertai tulisan-tulisan. Oleh karena itu, Wijana melihat humor dalam kartun sebagai sebuah ransangan verbal dan, atau visual
17
yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai wacana humor, wacana humor dalam humor Sasak belum ada yang meneliti meskipun permasalahan yang akan diteliti hampir sama yaitu dari aspek pragmatik, aspek kebahasaan, dan fungsinya bahkan komponen tutur yang digunakan masyarakat suku Sasak pada umumnya. Setiap penelitian dengan sumber data yang berbeda diharapkan dapat menemukan adanya kekhasan masing-masing. Kekhasan tersebut dapat dilihat dari beberapa
penyimpangan aspek pragmatik
yang
lebih
mengutamakan
menyampaian informasi berlebihan yang disebabkan adanya kedekatan antarpemain. Hal tersebut juga muncul pada komponen tutur sebagai salah satu wadah untuk mengetahui perilaku berbahasa dan sosial masyarakat Sasak pada umumnya. Kekhasan juga dapat ditemukan dalam aspek kebahasaan dengan memanfaatkan interjesi atau makian sebagai salah satu cara untuk memainkan bahasa. Selain itu, fungsi humor yang dikaitkan dengan ideologi
masyarakat Sasak itu sendiri
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Wacana Istilah wacana seringkali bermunculan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya wacana politik, wacana hukum, wacana pidato, dan lain sebagainya. Douglas (1976:266 melalui Mulyana 2005) menjelaskan bahwa wacana berasal dari bahasa
18
Sanskerta wac/wak/vak/, artinya ‘berkata’, ‘berucap’. Jadi, wacana dapat diartikan sebagai tuturan atau perkataan. Namun, Van Dijk (melalui Titschaer dkk. 2009: 43) mengemukakan bahwa wacana pada umumnya sebagai teks dalam konteks dan sebagai bukti yang harus diuraikan secara empiris. Oleh karena itu, wacana mempunyai unsur internal dan eksternal. Unsur internal wacana meliputi kata dan kalimat serta teks dan koteks, sedangkan unsur eksternal wacana meliputi implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks wacana (Mulyana, 2005). Dalam analisis wacana, wacana sangat mementingkan adanya unsur-unsur tersebut agar makna dan maksud dalam wacana tersampaikan dengan jelas kepada pembaca. Karena wacana sangat memperhatikan unsur-unsur di atas, maka wacana diciptakan berdasarkan kemampuan atau produktivitas seseorang dalam memanfaatkan pikiran dengan akal sehat. Pernyataan Stubbs (1983:1) yang dikutip oleh Mulyana (205: 69) mengemukakan bahwa analisis wacana mengupayakan adanya pengkajian bahasa dalam klausa atau kalimat dengan satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti pertukaran percakapan atau bahasa tulis. Oleh karena itu, analisis wacana harus memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi antarpenutur. Jadi, istilah wacana dalam tulisan ini digunakan untuk menunjuk satuan kebahasaan yang ditransmisikan secara tertulis yang terdapat dalam humor Sasak OMJ.
19
1.6.2 Teori Humor Bila dihadapkan pada humor, seseorang bisa langsung tertawa lepas atau cenderung tertawa saja, misalnya tersenyum atau merasa tergelitik di dalam batin saja. Rangsangan yang ditimbulkan haruslah rangsangan mental untuk tertawa, bukan rangsangan fisik seperti dikilik-kilik yang mendatangkan rasa geli namun bukan akibat humor. Namun, tidak selamanya humor dapat diterima sebagai humor. Artinya, penutur sebagai pencipta humor harus mengetahui beberapa pemahaman tentang humor agar pesan yang terkandung dalam humor dapat tersampaikan dengan baik kepada pendengar.
Terkait dengan hal itu, Attardo (1994) memberikan definisi
terhadap humor dengan menggunakan tiga teori yaitu essentialist theories, teleological theories, dan substantialist theoris. Teori esensial digunakan untuk membuat sesuatu menjadi sebuah fenomena. Teori teleogis untuk menjelaskan apa tujuan dari suatu fenomena dan bagaimana mekanisme yang dibentuk dan ditentukan oleh tujuannya, sedangkan teori substanlis menemukan faktor pemersatu untuk menjelaskan isi dasar dari fenomena. Dari ketiga teori di atas, Attardo mengartikan humor haruslah kontras dengan keseriusan dan tragedi atau sesuatu yang bersifat tragis sehingga humor dapat mencakup segala sesuatu di luar itu misalnya peristiwa yang memunculkan tawa, menghibur, atau dirasakan menjadi sesuatu yang lucu. Terkait dengan teori Attardo, humor tidak hanya mengontraskan sebuah keseriusan saja. Namun, berhumor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis
20
kelamin, usia, asal, budaya, kedewasaan, tingkat pendidikan, konteks, dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi bahasa, tujuan, dan fungsi dari humor yang digunakan. Artinya, jika penutur ingin menciptakan humor kepada mitra tuturnya yang di bawah umur, maka penutur harus memilih penggunaan bahasa yang sesuai dengan pemahaman mitra tutur. Namun, jika penutur di bawah umur ingin menciptakan humor kepada mitra tuturnya yang lebih dewasa, maka penutur harus mempertimbangkan adanya kesopanan, konteks, dan lain sebagainya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang tidak baik. Oleh karena itu, humor juga dapat berkaitan dengan teori superioritas, teori inkongruiti, dan teori relief. Pertama, teori superioritas terjadi apabila posisi yang menertawakan berada pada posisi super, sedangkan target yang ditertawakan berada pada posisi degradasi (dihina atau diremehkan). Menurut Plato dan Aristoteles superioritas dalam suatu humor sebagai bentuk dari ejekan atau penghinaan, dimana orang tertawa apabila ada sesuatu yang menggelikan (menyalahi aturan) atau yang diluar kebiasaan (Rahmanadji, 2013). Kedua, teori inkongruiti (keganjilan/keanehan) adalah metode yang paling berpengaruh terhadap studi tentang humor.
Schopenhauer (Setiawan, 1990)
mendeskripsikan teori inkongruiti sebagai berikut: “The cause of laughter in every case is simply the sudden perception of the incongruity between a concept and the real objects which have been thought through it in some relation, and the laugh itself is just an expression of this incongruity (Penyebab tawa dalam setiap kasus hanyalah munculnya persepsi ketidaksesuaian antara konsep dan objek-objek nyata yang
21
dipikirkan dalam beberapa relasi, dan tertawa itu sendiri hanyalah sebuah ekspresi dari ketidaksesuaian ini, p.4).” Jika sebuah candaan atau humor dilihat dari teori inkongruiti, dua hal yang berbeda dalam humor tersebut dijadikan satu konsep, di mana konsep sebenarnya tidak sesuai untuk salah satu objek, sehingga ketidaksesuaian itu menjadi sebuah humor dan membuat pendengar tertawa. Humor tidak harus selalu dalam bentuk ujaran, namun bisa suatu kondisi yang dibuat oleh si pembicara. Ketiga, teori relief mengatakan bahwa ketika sebuah humor digunakan untuk menghilangkan tekanan atau stress, maka humor dianggap sebagai pembebasan terhadap ketegangan atau tekanan. “Humor dapat muncul dari suatu kebohongan dan tipuan muslihat; dapat muncul berupa rasa simpati dan pengertian; dapat berupa ungkapan awam atau elit; dapat pula serius seperti satier dan murahan seperti humor jalanan (Rahmanadji, 2013).” Humor seperti ini berlaku bagi mereka yang menganggap bahwa tertawa itu baik bagi kesehatan. Jadi, teori ini fokus terhadap penerima humor, di mana orang-orang menggunakan humor untuk menghibur diri mereka sendiri dan untuk mengurangi tekanan atau stress. Jadi, dapat disimpulkan bahwa humor tercipta karena adanya permainanpermainan makna (baca: aspek-aspek pragmatik) yang berhubungan dengan aspekaspek kebahasaan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja oleh penutur dan mitra tutur. Pada intinya humor memiliki banyak manfaat bagi penikmat humor. Selain sebagai penghibur, humor juga dapat digunakan sebagai media-media
22
penyampaian pesan agar pesan yang disampaikan dalam humor tidak bersifat menggurui. 1.7 Pragmatik Definisi pragmatik akan selalu berkaitan dengan konteks. Konsep tentang konteks berada di luar pengejewantahannya yang jelas seperti latar fisik tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial, dan epistemis (Cummings, 2007). Yule (1996) menambahkan bahwa konteks dalam pragmatik berkaitan dengan makna-makna komunikasi yang dituturkan penutur kemudian diinterpretasikan oleh pendengar atau pembaca. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan studi yang mengkaji percakapan antara penutur dan mitra tutur dengan konteks sosial. Dalam memahami konteks dan makna, Wijana (2004) menjelaskan secara sederhana terdapat tiga aspek yang dipertimbangkan oleh penutur dan mitra tutur di dalam memproduksi wacana yang tutur. Aspek-aspek tersebut adalah prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik. Prinsip kerja sama meliputi adanya 4 maksim yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kualitas diupayakan untuk memberikan kontribusi yang benar dengan tidak mengatakan apa yang diyakini salah dan tidak mengatakan sesuatu yang buktinya tidak dimiliki secara memadai. Maksim kuantitas diupayakan dapat memberikan kontribusi berupa informasi sebagaimana yang diperlukan untuk tujuan-tujuan pertukaran percakapan yang ada dan tidak memberikan kontribusi yang lebih informatif dari yang diperlukan. Maksim relevansi
23
diupayakan dengan memberikan kontribusi yang relevan. Dan maksim cara dilakukan dengan menghindari ketidakjelasan, ketaksaan, tidak berbelit-belit, dan bersikap teratur (Cummings, 2007:15). Kesantunan merupakan salah satu variabel dalam berkomunikasi. Kesantunan berbahasa dilakukan sesuai dengan situasi tutur yang terjadi saat bertutur. Ada beberapa maksim yang harus dipertimbangkan dalam prinsip kesantunan berbahasa adalah sebagai berikut (Leech, 1993: 206-207). 1. Maksim kearifan (tact maxim) menggunakan ujaran imposif dan komisif. a. Buatlah kerugian ornag sekecil mungkin b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin 2. Maksim kedermawanan (Generosity maxim) menggunakan ujaran imposif dan komisif. a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin 3. Maksim pujian (Approbation maxim) menggunakan ujaran ekspresif dan asertif. a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin 4. Maksim kerendahan hati a. Pujilah diri sendiri sedikit mungkin b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin 5. Maksim kesepakatan a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain sedikit mungkin b. Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin
24
6. Maksim simpati a. Kurangilah rasa antipasti antara diri sendiri dan orang lain b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak mungkin antara diri sendiri dan orang lain Wijana dan Rohmadi (2009) menyebutnya dengan prinsip kesopanan yang terdiri dari maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Prinsip-prinsip tersebut sangat dibutuhkan dalam proses komunikasi. Artinya, keberhasilan suatu komunikasi dapat ditentukan dengan penggunaan prinsip-prinsip sesuai dengan tujuan masing-masing. Keberhasilan dalam bertutur juga harus memperhatikan parameter pragmatik seperti usia, kedudukan, dan status sosial sebagai pembatas dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, jika penutur cenderung tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut maka penutur dikatakan tidak berhasil dalam berkomunikasi. Namun, ketidakberhasilan dapat diartikan sebagai kesalahpahaman dalam memaknai. Kesalahpahaman makna tuturan inilah yang dapat dijadikan sebagai salah satu faktor humor. Artinya, penutur dan mitra tutur dapat dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan penyimpangan prinsip
dan
penyimpangan
parameter
pragmatik
sebagai
upaya
untuk
mempermainkan bahasa. 1.6.3 Aspek Kebahasaan Bahasa memiliki berbagai macam fungsi, salah satunya sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa tersusun oleh bentuk dan makna. Sebagai sebuah tuturan, bentuk dapat diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem,
25
kata, frasa, klausa, kalimat paragraf, wacana. Bunyi merupakan satuan kebahasaan yang terkecil, sedangkan wacana satuan kebahasaan terbesar (Wijana 2004). Wahab (1995) menyatakan bahwa setiap bentuk bahasa pasti ada makna yang terkandung di dalamnya. Makna selalu berkaitan dengan konsep. Makna kata tentunya memiliki hubungan makna yang lain dengan kata tertentu. Misalnya kata berani mempunyai hubungan makna dengan warna merah. Hubungan-hubungan makna tersebut mempunyai berbagai bentuk seperti antonimi, sinonimi, metonimi, polisemi, dan lain sebagainya. 1.6.4 Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan gabungan dua kata yaitu, sosiologi dan linguistik. Sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antaranggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti keluarga, clan (subsuku), suku, dan bangsa (Sumarsono, 2002:5), sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Oleh karena itu, menurut (Wijana dan Rohmadi, 2006: 7) sosiolinguistik sebagai cabang linguistik, memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Terkait dengan pengertian di atas, komponen tutur merupakan salah satu faktor sosiolinguistik yang berkaitan dengan pemakaian bahasa dalam masyarakat.
26
Komponen tutur adalah perangkat tutur yang dijadikan sebagai acuan dalam bertutur. Dell Hymes menyebutkan bahwa komponen tutur adalah terdiri dari delapan yang kemudian diakronimkan menjadi SPEAKING yaitu setting and scene, participants, ends, act sequence, key, intrumentalities, norm of interaction and interpretation, and genre. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung, sedangkan scene berkenaan dengan situasi tempat atau situasi psikologis pembicaraan. Setting dapat menentukan variasi bahasa yang digunakan. Misalnya, ketika dalam sebuah ruangan kelas sedang berlangsung proses belajar, maka peserta tutur tersebut akan menggunkan variasi bahasa formal. Participants berkenaan dengan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tutur, misalnya pembicara dan pendengar. Participants juga berperan dalam membedakan variasi bahasa yang digunakan. Misalnya gaya bahasa terhadap teman sebaya, guru dengan murid, anak dengan orang tua, atau atasan dengan bawahan dalam proses tuturan akan menggunakan gaya bahasa yang berbeda, sehingga dapat dibedakan dengan jelas hubungan sosial antarpenutur. Ends mengacu kepada tujuan dan maksud yang ingin dicapai dalam bertutur. Peserta tutur dapat dikatakan memiliki tujuan dan maksud yang berbeda-beda dalam bertutur. Misalnya seorang murid bertanya kepada gurunya dengan tujuan dan maksud yang berbeda yaitu murid ingin mendapat penjelasan dari soal yang ditanyakan, sedangkan guru menjawab dengan maksud agar murid tersebut dapat mengerti soal yang ditanyakan.
27
Act sequence mengacu pada isi dan bentuk ujaran. Isi dan bentuk ujaran yang dimaksud adalah kata-kata yang digunakan dalam ujaran tersebut, bagaimana penggunaannya dan apakan ujaran tersebut sesuai dengan topik pembicaraan. Misalnya bentuk ujaran dalam perkuliahan, seminar, persidangan dan lain-lain. Key mengacu pada bentuk perasaan yang ingin disampaikan penutur pada saat bertutur dengan mitra tutur. Misalnya pesan tersebut disampaikan dengan suasana hati yang senang, sedih, serius, sombong, singkat, dan lain sebagainya. selain melalui perasaan, pesan tersebut juga disampaikan dengan gerak tubuh dan isyarat. Instrumentalities mengacu kepada ragam bahasa yang digunakan yaitu ragam tulis atau ragam lisan dengan kode ujaran seperti dialek atau register. Norm of interaction
and
interpretation
mengacu
pada
norma
atau
aturan
dalam
berkomunikasi. Artinya, dalam bertanya, menjawab, memberitahu, dan lain sebagainya mempunyai aturan yang berbeda-beda kepada mitra tutur. Genre mengacu pada bentuk penyampaian seperti puisi, doa, narasi, dan lain sebagainya (melalui Chaer, Abdul dan Leonie Agustine, 2010: 48-49).
1.7
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berdasarkan pada data
penelitian yang berupa humor verbal. Berdasarkan definisi Bryman (melalui Muhammad, 2011: 31), data penelitian kualitatif berupa kata-kata, gambar-gambar, metodenya induktif, tujuannya melahirkan teori, menekankan pada interpretasi terhadap realitas sosial, dan maksudnya untuk memahami pemaknaan fenomena oleh
28
partisipan suatu latar penelitian. Penelitian ini menganalisis wacana humor dengan memperhatikan konteks di balik humor. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dari bentuk, aspek-aspek, komponen tutur, dan fungsi humor pada humor Sasak OMJ. Adapun beberapa tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1.7.1 Tahap Pengumpulan Data Pada tahap ini, sumber data harus dipaparkan secara jelas dan akurat. Sumber data yang dimaksudkan adalah asal muasal diperolehnya data yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Data yang diperoleh secara langsung dari sumber utama yakni yang menjadi objek penelitian. Humor yang digunakan dalam dalam sumber data penelitian ini adalah humor OMJ. Sumber data pelengkap lainnya terkait dengan objek penelitian meliputi wawancara, buku, artikel, internet, dan makalah. Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Memilih humor yang dianggap cenderung berpotensi menimbulkan kelucuan terkait dengan permainan bahasa yang sering muncul dalam humor OMJ yang akan digunakan sebagai data penelitian dengan responden sebanyak 20 orang asli suku Sasak yang berdomisili di Yogyakarta. Responden diminta untuk menonton dan menilai letak kelucuan humor OMJ. Humor OMJ yang ditonton kurang lebih berjumlah 6 episode (video). Setelah melalui pertimbangan, terpilihlah 3 humor yang berjudul Engkah Begelut ‘Jangan Berbohong’, Ngayak, dan Mule Nasib ‘Memang Nasib’ yang dianggap paling lucu.
29
b. Mentranskripsi ortografis humor OMJ yang menggunakan bahasa Sasak dan bahasa Indonesia, kemudian diartikan secara keseluruhan ke dalam bahasa Indonesia. c. Membaca hasil transkripsi dengan seksama kemudian memilih tuturan yang mengandung unsur kelucuan. Tentunya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang di dalamnya terdapat unsur humor. Untuk menghindari subjektivitas dalam menentukan wacana yang bermuatan humor, maka pada poin (a) peneliti meminta responden penutur bahasa Sasak menentukan mana tuturan yang mereka anggap lucu. Semua tuturan yang dianggap lucu oleh pembaca, meskipun hanya satu tuturan akan tetap digunakan sebagai data penelitian. Hal ini disebabkan karena humor sense yang dimiliki setiap orang berbeda-beda agar peneliti dapat lebih memahami situasi yang ingin ditonjolkan dalam wacana tersebut. d. Mengklasifikasikan jenis tuturan berdasarkan kesamaan ciri tertentu untuk
dianalisis (Kesuma, 2007: 44) seperti tuturan yang mengandung adanya penyimpangan aspek-aspek pragmatik, aspek-aspek kebahasaan, dan fungsi wacana humor yang terdapat dalam humor OMJ. Selain itu, penelitian ini juga meneliti komponen tutur yang berkontribusi dalam humor OMJ yang ditentukan berdasarkan SPEAKING. 1.7.2 Tahap Analisis Data Setelah data diklasifikasikan kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode pragmatis berdasarkan tuturannya. Metode pragmatis digunakan untuk
30
menunjukkan
bentuk-bentuk
penyimpangan
terhadap
prinsip
kerja
sama,
penyimpangan prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik yang menimbulkan implikatur terhadap tuturan dengan subjenis alat penentunya yaitu mitra tutur yang berhubungan dengan fungsi interpersonal bahasa. 1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.
1.8 Sistematika Penyajian Dalam sistematika penulisan ini, terdapat lima bab yang saling berurutan yaitu sebagai berikut. 1.8.1 Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, ruang lingkup masalah, perumusan masalah, tujuan dan masalah penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, serta metode dan teknik penelitian. 1.8.2 Bab II berisi tentang aspek-aspek pragmatik, parameter pragmatik beserta penyimpangan-penyimpangannya dalam humor Sasak OMJ. Aspek-aspek pragmatik yang terdiri dari prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan beserta penyimpangannya. Parameter pragmatik yang dilihat dari usia, kedudukan, dan status sosial beserta penyimpangannya.
31
1.8.3 Bab III berisi tentang aspek- aspek kebahasaan dalam humor Sasak OMJ. Aspek-aspek kebahasaan tersebut dapat meliputi aspek fonologis, aspek ortografis, ketaksaan, sinonimi, antonimi, nama, makian, dan lain-lain. 1.8.4 Bab IV berisi tentang faktor-faktor komponen tutur yang dimanfaatkan maupun disimpangkan dalam humor Sasak OMJ. Komponen tutur tersebut misalnya waktu dan tempat, penutur dan mitra tutur, maksud dan tujuan tuturan, bentuk dan isi ujaran, cara bertutur, media yang digunakan, norma atau aturan bertutur, dan bentuk penyampaian. 1.8.5 Bab V berisi tentang fungsi permainan bahasa dalam humor Sasak OMJ. Fungsi permainan bahasa dalam humor atau humor yang akan disajikan dalam bab ini misalnya berhumor untuk menarik simpati, berhumor untuk menyatakan sesuatu, berhumor untuk mengacaukan pemahaman mitra tutur, dan lain-lain. 1.8.6 Bab VI berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran.