BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Wacana Indonesia Lawak Klub (selanjutnya disebut WILK) menarik untuk diteliti karena berbeda dengan acara komedi lainnya. WILK merupakan bentuk parodi Indonesia Lawyer Club (ILC). Sama halnya dengan ILC, WILK dikemas dalam bentuk diskusi yang melibatkan lebih dari tiga panelis setiap episodenya sehingga penyampaian humor lebih bervariatif. WILK merupakan wacana lisan yang disampaikan lewat dialog antarpanelis. Berbeda dengan wacana humor pada umumnya, pengemasan dalam bentuk diskusi membuat WILK memiliki struktur wacana yang membedakan dengan wacana humor yang lain. Hal itu menarik penulis untuk mengetahui struktur wacana terlebih dahulu. Setiap episode dibatasi oleh durasi waktu ±1jam sehingga diperlukan cara yang efisien untuk menciptakan kelucuan agar semua panelis memiliki kesempatan berbicara. Oleh sebab itu, kelucuan para panelis banyak dimunculkan lewat kata-kata yang bebas konteks sehingga penggunaan aspek kebahasaan sebagai sarana pencipta kelucuan dalam WILK menarik untuk diteliti. Selain itu, tuturan antarpanelis dalam WILK yang bersifat spontan dan tidak terduga membutuhkan kerja sama antarpanelis agar dapat menciptakan kelucuan. Dengan demikian, kehadiran aspek pragmatik dalam WILK menarik untuk diteliti.
1
2
1.2 Ruang Lingkup Penelitian Bahan
penelitian
ini
menggunakan
bahasa
yang
digunakan
dalam ”Indonesia Lawak Klub” yang tayang di Trans 7. Penelitian WILK berada dalam lingkup pragmatik, khususnya kajian wacana. Pembahasan dalam penelitian ini terbatas pada identifikasi struktur dan jenis wacana dalam WILK, penggunaan aspek kebahasaan dalam WILK, dan aspek pragmatik dalam WILK.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan ruang lingkup yang telah disampaikan, rumusan masalah penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1.3.1
Apa unsur pembentuk struktur dan jenis WILK?
1.3.2
Bagaimana aspek kebahasaan yang digunakan dalam WILK?
1.3.3
Mengapa aspek pragmatik digunakan dalam WILK?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan, tujuan penelitian ini yaitu: 1.4.1
mendeskripsikan unsur pembentuk struktur dan jenis WILK,
1.4.2
memaparkan penggunaan aspek kebahasaan yang digunakan dalam WILK,
1.4.3
menguraikan efek penggunaan aspek pragmatik dalam WILK.
3
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian WILK diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini mampu melengkapi kajian linguistik tentang humor, terutama yang disajikan melalui media audio visual serta dapat menambah referensi penggunaan humor. Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada pembaca (khususnya penonton ”Indonesia Lawak Klub”) bahwa bahasa dapat dikreasikan sedemikian rupa untuk menciptakan kelucuan dalam sebuah acara komedi.
1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai analisis wacana, khususnya humor sudah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian tersebut antara lain, Wijana (2004), Kurniawati (2005), Ariyanto (2011), Giyatmi (2008), Munazharoh (2011), dan Santhi (2007). Kajian tentang humor ditinjau dari segi linguistik dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Wijana (2004) dalam bukunya yang berjudul Kartun: Studi Tentang Permainan Bahasa. Buku ini memaparkan penggunaan aspek pragmatik dalam wacana kartun yang mencakup pamanfaatan dan pelanggaran prinsip kerja sama, prinsip kesopanan beserta dengan submaksimnya, dan parameter pragmatik. Dalam wacana kartun ditemukan penyimpangan aspek kebahasaan yang meliputi aspek ortografis, fonologis, ketaksaan, metonimi, hiponimi, sinonimi, antonimi,
4
eufemisme, nama, deiksis, kata ulang, dan pertalian bentuk. Selain itu, Wijana juga memaparkan tipe wacana kartun berdasarkan jumlah penuturnya. Tesis Ariyanto (2011) yang berjudul “Analisis Wacana Humor Rons Imawan” mendeskripsikan humor yang ditimbulkan oleh pemanfaatan aspek pragmatik dan aspek-aspek kebahasaan, tipe-tipe wacana humor, dan fungsi wacana humor Rons Imawan. Pemanfaaan aspek pragmatik dalam wacana humor Rons Imawan ini meliputi penyimpangan prinsip kerja sama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik. Sementara itu, aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan oleh Rons Imawan dalam mengkreasikan wacana humor, antara lain, aspek ortografis, aspek fonologis, aspek ketaksaan, hiponimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, nama, deiksis, pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intra klausa, kontruksi aktif-pasif, pertalian antarklausa, dan pertalian
antarproposisi.
Wacana
humor
Rons
Imawan
dikelompokkan
berdasarkan jumlah penuturnya dan tema yang digunakan dalam berhumor. Berdasarkan jumlahnya penuturnya dibedakan menjadi wacana monolog dan wacana dialog, sedangkan berdasarkan temanya dikelompokkan menjadi wacana humor politik, pendidikan, budaya, sosial, ekonomi, hukum dan kriminalitas, serta olahraga. Selain itu, wacana humor Rons Imawan memiliki fungsi antara lain sebagai sarana mengkritik pemerintah, wujud romantisme terhadap pasangan, untuk menanggapi fenomena yang terjadi di masyarakat, mengubah kelemahan dan kekurangan pada diri sendiri menjadi tawa, sebagai nasihat dan motivasi pada penikmat humor.
5
Kurniawati (2005) menulis skripsi berjudul “Wacana SMS Humor” dalam lingkup pragmatik. Penulis mendeskripsikan WSH, menguraikan jenis-jenis WSH, dan memaparkan aspek kebahasaan yang digunakan sebagai sarana pencipta humor dalam WSH. Deskripsi WSH didasarkan pada cara penyampaian wacana, kehadiran tokoh dalam wacana, bentuk penyampaian, dan bahasa yang digunakan dalam WSH. Selain itu, penulis juga memaparkan aspek kebahasaan yang ada dalam WSH meliputi; aspek ortografis, aspek fonologis, hiponimi, sinonimi, antonimi, kata ulang, sinestesia, onomatope, nama, deiksis, kesamaan bunyi suku kata, pola pesajakan, gaya bahasa, ketaksaan, pertalian kata dalam frasa, konstruksi aktif pasif, pertalian antarklausa, pertalian antarproposisi, pemanfaatan jenis kalimat, pemakaian bahasa asing, penggunaan susunan bunyi mirip mantra, pemanfaatan koteks. Ketiga penelitian di atas merupakan penelitian yang berhubungan dengan penggunaan aspek kebahasaan dan aspek pragmatik dalam menciptakan humor dalam wacana tulis. Penelitian aspek kebahasaan dan aspek pragmatik dalam wacana lisan juga sudah pernah dilakukan sebagai berikut. Giyatmi (2008) “Wacana Humor pada Radio Expose di radio JPI FM Solo” mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaaan, pemanfaatan aspek pragmatik, pemanfaatan konteks, dan fungsi humor. Penelitian ini menggunakan data humor verbal dalam radio. Oleh sebab itu, selain aspek kebahasaan dan penyimpangan aspek pragmatik, penelitian ini juga membahas konteks yang mempengaruhi penciptaan humor radio. Pemanfaatan aspek pragmatik meliputi penyimpangan prinsip kerjasama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan pemanfaatan prinsip
6
ironi. Konteks yang mempengaruhi penciptaan humor radio adalah peserta tutur, penamaan peserta tutur, hubungan peserta tutur, hubungan radio dengan pendengar, setting, tujuan, dan topik wacana. Konteks-konteks inilah yang mempengaruhi penggunaan ragam bahasa informal dan penggunaan bahasa Jawa tingkat tutur ngoko ataupun karma sebagai bentuk penghormatan. Munazharoh (2011) menulis skripsi berjudul “Humor Politik: Kajian Wacana Pragmatik pada Tayangan Sentilan Sentilun”. Objek kajian skripsi ini menggunakan bahasa informal (tidak baku) dengan disertai dialek Jakarta, dialek Yogyakarta, dan dialek Banyumas. Dalam skripsi ini, penulis mengidentifikasi struktur wacana humor politik sentilan sentilun, pemanfaatan prinsip-prinsip bertutur untuk menciptakan humor, dan pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam humor. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan, antara lain, humor sentilan sentilun berisi kritik politik dengan memanfaatkan pelanggaran prinsip-prinsip bertutur sehingga komunikasi berlangsung secara tidak wajar, pelanggaran pada prinsip kerja sama, khususnya maksim kuantitas. Santhi (2007) menulis skripsi berjudul ”Analisis Wacana Humor Studi Kasus ”Tawa Sutra” di ANTV”. Penulis mendeskripsikan Wacana Humor Tawa Sutra, menganalisis manfaat aspek kebahasaan sebagai sarana penciptaan humor, dan menganalisis penyimpangan aspek-aspek pragmatik. Penulis mendeskripsikan pemanfaatan humor verbal untuk menciptakan efek lucu. Selanjutnya, aspek kebahasaan sebagai sarana penciptaan humor, antara lain, aspek fonologis, antonimi, hiponimi, ketaksaan, pertalian kata dalam frasa, deiksis, nama, eufemisme, onomatope, penerjemahan, dan ketidakparalelan makna bentuk pasif.
7
Penyimpangan aspek-aspek pragmatik meliputi penyimpangan prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik. Penelitian mengenai analisis wacana pada media visual sudah banyak dilakukan sebelumnya, tetapi belum ada penelitian yang menggunakan WILK sebagai objek kajian sehingga bahan ini merupakan bahan baru yang digunakan dalam penelitian. Selain itu, kelucuan dalam WILK banyak diciptakan dengan pemanfaatan aspek kebahasaan dan penggunaan prinsip pragmatik sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini menggunakan analisis wacana untuk mengetahui strukturnya dan kajian pragmatik untuk menganalisis penggunaan aspek-aspek pragmatik yang ada dalam WILK.
1.7 Landasan Teori Untuk mengetahui struktur wacana, penulis menggunakan teori analisis wacana van Dijk. Selain itu, WILK merupakan wacana humor sehingga dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori linguistik humor. Berikut pemaparannya.
1.7.1
Analisis Wacana Wacana adalah satuan lingual yang menempati hierarki tertinggi dalam
gramatika. Satuan ini dapat berwujud kata, klausa, kalimat, paragraf, atau teks karangan yang utuh. Satuan-satuan ini memiliki fungsi komunikatif yang utuh (Wijana,
2004:xxi).
Analisis
wacana
pada
dasarnya
membahas
dan
menginterpretasi pesan atau makna yang dimaksud pesapa dan penyapa (Wijana, 2004:72). Menurut Kridalaksana (2009:259) wacana dalam pragmatik merupakan
8
seluruh peristiwa bahasa yang membawa ujaran dari pembicara sampai ke pendengar, termasuk ujaran dan konteksnya. Menurut Tarigan (2009) ada 5 tipe wacana yakni narasi, konversasi, eksposisi, deklamasi, dan puisi. Klasifikasi wacana menurut Tarigan dibagi berdasarkan tertulis tidaknya wacana, langsung tidaknya makna, cara menuturkan, dan bentuk wacana. Menurut Mulyana (2005:47—54) klasifikasi atau pembagian wacana sangat bergantung pada aspek dan sudut pandang yang digunakan. Dalam hal ini, wacana setidaknya dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu: (1) bentuk, (2) media, (3) jumlah penutur dan (4) sifat. Berdasarkan bentuknya, wacana dibagi menjadi wacana naratif, wacana prosedural, wacana ekspositori, wacana hortatori, wacana dramatik, wacana epistoleri, dan wacana seremonial. Berdasarkan media penyampaiannya, wacana dapat dipilah menjadi dua yakni wacana tulis dan lisan. Berdasarkan jumlah penutur, wacana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wacana monolog dan dialog. Berdasarkan sifatnya, wacana dapat digolongkan menjadi dua, yaitu wacana fiksi dan nonfiksi. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya pada analisis atas teks semata karena teks hanya hasil dari suatu praktik yang harus juga diamati. Di sini harus di lihat juga bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu (Eriyanto, 2008:221). Wacana oleh van Dijk diklasifikasikan menjadi tiga dimensi, yakni teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Teks meneliti struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema. Kognisi sosial mempelajari bagaimana teks tersebut diproduksi, sedangkan konteks sosial melibatkan
9
pandangan masyarakat. Berdasarkan klasifikasi van Dijk, penelitian ini menggunakan
sudut
pandang
teks,
yakni
dengan
melihat
struktur
berkesinambungan yang membangun sebuah wacana. Tingkatan struktur dalam teks dibagi lagi menjadi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro menganalisis makna wacana dengan melihat topik/tema secara umum. Superstruktur berhubungan dengan kerangka suatu wacana. Struktur mikro diamati dengan melihat bagian-bagian dari sebuah teks seperti kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrasa, dan gambar. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Secara sederhana analisis wacana menurut van Dijk dapat dilihat pada tabel berikut. Struktur Wacana Struktur Makro
Super Struktur
Struktur Mikro
Hal yang Diamati Tematik Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita. Skematik Bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh. Semantik Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Sintaksis Bagaimana kalimat penyusun yang dipilih. Stilistik Pilihan kata yang dipakai dalam suatu berita. Retoris Bagaimana cara penekanan dilakukan.
Elemen Tema
Skema Latar, detil,maksud, praanggapan, nominalisasi Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti Leksikon Grafis, metafora, ekspresi
10
1.7.2
Teori Linguistik Humor Wijana (2004:xx) menyatakan bahwa humor merupakan rangsangan
verbal dan atau visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. Teori humor yang paling banyak menganalisis humor adalah teori psikologi seperti teori pembebasan, teori konflik, dan teori ketidakselarasan. Teori pembebasan merupakan penjelasan dari sudut pandang emosional. Lelucon tidak lain sebagai tipu daya emosional seseorang yang terlihat mengancam, tetapi akhirnya tidak terbukti apa-apa. Teori konflik memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor, yaitu konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan. Teori ketidakselarasan merujuk pada penjelasan kognitif, yaitu dua makna atau interpretasi yang tidak sama yang digabungkan dalam satu makna gabungan yang kompleks (Wilson dalam Soedjatmiko, 1992:70—71). Victor Raskin (dalam Soedjatmiko, 1992:71) yang meneliti humor dari segi linguistik, juga memiliki konsep seperti Wilson dengan istilah yang sedikit berbeda, yaitu perpektifkognitif, perilaku sosial, dan psikoanalitis. Humor mencapai kelucuannya melalui ketidakselarasan, tetapi tidak semua ketidakselaran menimbulkan kelucuan. Secara linguistik, humor dapat didekati dengan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Humor dengan pendekatan semantik berpusat pada ambiguitas yang mempertentangkan makna pertama (M1) yang berbeda dengan makna yang kedua (M2). Pendekatan pragmatik humor pada hakikatnya adalah penyimpangan dua jenis implikatur, yakni konvensional dan tindak ujar (Soedjatmiko, 1992:73—76).
11
1.7.3.1 Pendekatan Pragmatik Kajian pragmatik digunakan untuk menganalisis aspek-aspek pragmatik yang digunakan dalam penelitian WILK. Purwo (1990:14) menyatakan bahwa yang menjadi pijakan utama dalam analisis pragmatik adalah konteks. Yang dimaksud dengan konteks termasuk dalam hal siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan yang mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan kalimat tersebut. Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam studi pragmatik, antara lain, penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagi bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai tindak verbal (Wijana, 2010:15). Aspek penutur dan lawan tutur berkaitan dengan usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban dan sebagainya. Selanjutnya, konteks dalam studi pragmatik adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. Bentuk
tuturan
yang
diungkapkan
oleh
penutur
kepada
lawan
tutur
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan yang berbeda-beda di dalam setiap situasi. Berkaitan dengan beberapa aspek yang telah diuraikan sebelumnya dapat dipahami bahwa studi pragmatik menangani bahasa dalam tingkatan yang lebih konkret dibandingkan dengan tata bahasa. Di samping tuturan yang digunakan dalam pragmatik sebagai bentuk dari tindak tutur, tuturan yang dihasilkan juga merupakan bentuk dari tindak verbal. Dalam menciptakan pertuturan yang wajar, Grice (via Wijana, 2011:44) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap
12
penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan, yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Selain prinsip kerja sama, prinsip kesopanan juga penting dalam menciptakan pertuturan yang wajar. Prinsip kesopanan meliputi 6 maksim yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (symphaty maxim) (Wijana, 2011:53). Perbedaan wacana humor dan nonhumor berkaitan dengan tiga hal, yakni kepatuhan terhadap maksim percakapan, maksim kesopanan, dan parameter pragmatik yang terjabar ke dalam berbagai submaksimnya (Wijana, 2004:33) sehingga dalam menyampaikan humor, pelanggaran terhadap aspek pragmatik yang telah disebutkan sebelumnya diperlukan untuk menciptakan kelucuan bagi pembaca atau pendengarnya.
1.7.3.2 Pendekatan Semantik Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang, sedangkan kata kerjanya adalah semaino yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’). Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya (Chaer, 2013:2). Dengan kata lain, semantik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti makna atau arti. Menurut Wijana
13
(2010:4) semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari bagaimana makna disusun dan diungkapkan di dalam bahasa. Unsur-unsur pembeda makna tidak hanya terbatas pada unsur-unsur yang bersifat segmental (yang dapat dipecah-pecah), tetapi unsur-unsur suprasegmental pun memiliki peranan di dalam membentuk makna kebahasaan. Teori semantik humor yang digunakan untuk menganalisis aspek-aspek kebahasaan dalam WILK tidak hanya terbatas pada pemanfaatan keambiguan makna satuan lingual, tetapi juga memanfaatkan aspek lain seperti sinonimi, antonimi, dan onomatope. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan kajian lain dalam ilmu linguistik untuk menganalisis aspek kebahasaan, yakni bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fonologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa (Chaer, 2004:102). Penggunaan aspek kebahasaan dalam WILK dapat diteliti dari bunyi-bunyi bahasa yang dapat menghasilkan makna berbeda sebagai sarana pencipta kelucuan. Morfologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari morfem
dan
kombinasi-kombinasinya
(Kridalaksana,
2011:159).
Kajian
morfologi dalam WILK mencakup pembentukan kata dalam ketaksaan untuk menciptakan kelucuan. Sementara itu, sintaksis merupakan bidang linguitik yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran (Chaer, 2004:206). Kajian sintaksis yang digunakan dalam WILK mencakup frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan dalam menciptakan kelucuan.
14
1.8 Data dan Metode Penelitian Populasi penelitian ini merupakan keseluruhan episode acara “Indonesia Lawak Klub” di stasiun televisi Trans 7 dalam rentang waktu Oktober 2013— April 2014 berjumlah 84 episode. Sampel merupakan sebelas episode tayangan “Indonesia Lawak Klub” yang diambil secara acak berdasarkan klasifikasi topik dalam rentang waktu Oktober 2013—April 2014. Kesebelas episode tersebut antara lain episode “Bahasa Vickinisasi”, “Hubungan Istimewa di Kalangan Pesohor”, “Hak Asasi Monyet”, “Pamer Paha”, “Cabe-Cabean”, “Korupsi”, “Size Does (Not) Matter”, “Gila Merek Demi Gaya”, “Penyadapan”, “Janji Manis Pemilu”, dan “Unas Perlukah” yang dianggap cukup merepresentasikan. Data yang digunakan dalam penelitian berjumlah 142 percakapan. Penelitian WILK dibagi ke dalam tiga tahapan, yakni tahap pemerolehan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Tahap pemerolehan data dilakukan dengan mengunduh tayangan “Indonesia Lawak Klub” dari situs youtube kemudian memilih episode yang dianggap merepresentasikan episode yang lain berdasarkan klasifikasi topik dan mentrankripsikan percakapan pada setiap episode yang sudah ditentukan. Tuturan yang sudah ditranskripsikan kemudian dipilih dan diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian. Selanjutnya, data penelitian diambil secara acak karena adanya kesamaan data pada sumber yang berbeda dan dianggap cukup merepresentasikan data yang lain. Setelah ditentukan data yang akan menjadi bagian dari penelitian ini, tahap selanjutnya adalah tahap analisis data. Sudaryanto (1993:13—15) membagi tahap analisis data menjadi dua, yakni metode padan dan metode agih. Data penelitian
15
ini berupa tuturan dalam WILK yang menimbulkan reaksi atau efek pada mitra wicaranya. Mitra wicara menjadi alat penentu pada penelitian ini sehingga penulis menggunakan metode padan pragmatis untuk menganalisis aspek kebahasaan dan aspek pragmatik dalam WILK. Setelah data selesai dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap ini, penulis menggunakan metode penyajian hasil analisis data secara informal dan formal. Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data dengan mendeskripsikan menggunakan kata-kata biasa rumusannya—walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145).
1.9 Sistematika Penyajian Laporan
penelitian ini disajikan ke dalam lima bab. Bab I berupa
pendahuluan yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan perumusan masalah, ruang lingkup penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi klasifikasi struktur dan jenis wacana dalam WILK. Bab III berisi deskripsi aspek kebahasaan dari tataran terendah sampai tertinggi dalam WILK. Bab IV berisi pemaparan penggunaan aspek pragmatik yang ada dalam WILK. Selanjutnya, Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian. Penomoran data dilakukan dengan memberikan nomor baru pada setiap bab. Jika ditemukan data yang sama pada bab selanjutnya, digunakan
16
penomoran berbeda sebab kajian yang digunakan berbeda. Penyajian data disajikan secara otentik sesuai dengan data asli dalam WILK.