BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini membahas aspek-aspek humor yang digunakan pada tayangan “Tiga Semprul Mengejar Surga” (TSMS). TSMS merupakan tayangan komedi berbentuk sinetron yang di dalamnya terdapat unsur kedaerahan yang diperlihatkan melalui dialog para pemainnya. Berbeda dengan beberapa tayangan komedi yang mendapatkan teguran dari KPI seperti “Extravaganza”, “Yuk Keep Smile”, dan “Pesbukers”, TSMS dapat digolongkan sebagai tayangan yang baik karena tidak pernah mendapatkan teguran dari KPI (http://www.sctv.co.id/). Selain itu, tayangan TSMS mendapatkan rating yang tinggi, yaitu 4 dari 5 yang diperoleh dari 439 suara1. Tokoh-tokoh TSMS memiliki kekhasan dalam berhumor, salah satunya memanfaatkan dialek beberapa daerah. Hal ini secara tidak langsung dapat menghilangkan konflik antardaerah yang dilatarbelakangi perbedaan budaya. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk membuktikan bahwa adanya perbedaan dialek dalam bahasa Indonesia yang dilatarbelakangi perbedaan budaya kedaerahan tidak perlu dijadikan alasan perpecahan yang dapat menyebabkan konflik dan mengancam nasionalisme Indonesia. Menurut Wijana (2006:61), dalam masyarakat umum suatu bahasa atau dialek dipandang lebih rendah dibandingkan varian standarnya, oleh sebab itulah suatu kelompok masyarakat menganggap ragam bahasa daerahnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan ragam bahasa daerah lain. Misalkan, 1
2
masyarakat berbahasa Jawa yang menganggap masyarakat berbahasa Bali lebih rendah kedudukannya karena tidak dapat mengucapkan [batuk] dan [bațUɁ]. Melalui TSMS dipaparkan aspek-aspek humor dari dialog antartokoh yang menggunakan beberapa ragam bahasa daerah. Penggunaan ragam bahasa daerah ini menyejajarkan kedudukan bahasa-bahasa di Indonesia dan dapat mengubah cara berpikir seseorang bahwa semua bahasa memiliki kedudukan yang sama. Menurut Wijana (2004:5—6), penelitian-penelitian mengenai humor selama ini menggunakan teori psikologi yang mengacu pada konsep ketidaksejajaran (igcongruity), pertentangan (conflict), dan pembebasan (relief). Akan tetapi, dari segi linguistis hal-hal yang dianggap tidak sejajar dan bertentangan dapat itu dapat diterangkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat humor-humor TSMS dari sudut pandang linguistik. Dari perspektif linguistik, ketidaksejajaran dan pertentangan itu terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip pragmatik baik secara tekstual maupun interpersonal. Secara tekstual pelanggaran dilakukan dengan menyimpangkan prinsip kerja sama (cooperative principle), dan secara interpersonal dilakukan dengan menyimpangkan prinsip kesopanan (politeness principle) dan parameter pragmatik. Sebelum menguraikan unsur eksternal wacana humor, terlebih dahulu diuraikan analisis unsur internalnya. Unsur tersebut meliputi struktur adegan dan topik TSMS. Struktur adegan TSMS penting untuk diteliti karena unik. Keunikan tersebut terjadi karena TSMS tidak memiliki struktur yang sama. Terdapat dua struktur dengan letak kelucuan yang berbeda.
3
Dalam menciptakan humor, TSMS memanfaatkan penyimpangan aspekaspek pragmatik yang meliputi prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik. Selain itu, aspek-aspek kebahasaan juga dimanfaatkan dalam tayangan ini. Beberapa aspek kebahasaan tersebut meliputi aspek fonologi, plesetan, ketaksaan, gaya bahasa, nama, penggunaan dialek, praanggapan, dan analogi. Aspek fonologi meliputi permainan bunyi dan permutasi bunyi. Plesetan berupa penambahan silabe, dan pengubahan leksem. Homofoni terbagi menjadi dua, yaitu homofoni kata biasa dan homofoni akronim. Pada gaya bahasa terdapat pemanfaatan metafora dan hiperbola. Sampai sejauh ini belum ada penelitian wacana humor dengan objek sinetron sebagai bahan kajiannya. Penelitian terkait tayangan humor terbatas pada tayangan yang bersegmen atau memiliki struktur yang sama. Hal-hal terkait struktur dan topik wacana, pemanfaatan aspek kebahasaan, dan penyimpangan aspek-aspek pragmatik TSMS itulah yang mendorong peneliti untuk meneliti lebih jauh mengenai tayangan humor.
I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut. I.2.1 Bagaimanakah struktur adegan dan topik TSMS? I.2.2 Aspek internal kebahasaan apa sajakah yang digunakan sebagai pencipta humor dalam TSMS? I.2.3 Penyimpangan prinsip kerja sama, kesopanan, dan parameter pragmatik apa sajakah yang dimanfaatkan sebagai sarana pencipta humor dalam TSMS?
4
I.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini yaitu: I.3.1 memaparkan struktur adegan dan topik TSMS, I.3.2 mendeskripsikan aspek internal kebahasaan yang dimanfaatkan sebagai pencipta kelucuan dalam TSMS, I.3.3 memaparkan bentuk-bentuk penyimpangan prinsip kerja sama, kesopanan, dan parameter pragmatik sebagai sarana pencipta humor dalam TSMS.
I.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan baik secara praktis maupun teoretis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengguna bahasa mengenai aspek-aspek linguistik yang dimanfaatkan dalam menciptakan humor pada media televisi. Secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan ilmu linguistik terutama yang berkaitan dengan penelitian wacana humor melalui media informasi televisi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya, terutama bagi penelitian wacana humor.
I.5 Tinjauan Pustaka Penelitian terkait wacana humor telah banyak dilakukan, baik jenjang strata 1, strata 2, maupun strata 3. Dalam jenjang strata 1, di Fakultas Ilmu Budaya UGM sedikitnya ada 7 skripsi yang mengambil topik penelitian wacana humor. Pada jenjang strata 2 ditemukan 3 tesis yang mengkaji wacana humor, sedangkan pada
5
strata 3 ditemukan 1 disertasi yang mengambil topik penelitian wacana humor. Pada perguruan tinggi lain ditemukan sedikitnya 1 hasil penelitian mahasiswa dengan topik yang sama. Berikut beberapa hasil penelitiannya. Munazharoh (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Humor Politik: Kajian Wacana Pragmatik pada Tayangan Sentilan Sentilun” menguraikan (1) struktur wacana dalam tayangan “Sentilan Sentilun”, (2) penyimpangan aspek-aspek pragmatik untuk membentuk humor, dan (3) pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan. Dalam penelitian tersebut bahan yang diambil Munazharoh merupakan tayangan komedi yang bersegmen. Setiap kali tayang, “Sentilan Sentilun” menyajikan judul dan topik yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kesamaan objek dan bahasan antara penelitian Munazharoh dengan penelitian ini. Baik Munazharoh maupun peneliti sama-sama mengambil objek penelitian yang sama, yaitu humor dalam tayangan komedi, tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Perbedaan itu ada pada bahan penelitian keduanya. Bahan penelitian Munazharoh adalah tayangan komedi yang memiliki struktur yang sama, sedangkan bahan penelitian ini berupa tayangan komedi bersambung dan tidak memiliki struktur yang sama. Santhi (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Wacana Humor: Studi kasus Tawa Sutra di ANTV” menguraikan deskripsi wacana humor “Tawa Sutra” di ANTV, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan untuk membentuk humor dalam “Tawa Sutra”, dan penyimpangan aspek-aspek pragmatik. Dalam penelitian tersebut bahan yang diambil Santhi berupa tayangan humor yang bersegmen. Setiap kali tayang “Tawa Sutra” menghadirkan judul dan topik yang berbeda-beda. Sama seperti tayangan “Sentilan Sentilun” dalam penelitian Munazharoh, “Tawa Sutra”
6
memiliki struktur tayangan yang sama. hal ini menjadi pembeda antara penelitian Santhi dengan penelitian ini. Purwanti (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Wacana Humor dalam Komedi Extravaganza: Kajian Sosiopragmatik” menguraikan penyimpangan aspek-aspek pragmatik, penggunaan aspek-aspek kebahasaan, dan faktor sosiolinguistik yang melatarbelakangi terjadinya humor. Purwanti berusaha mengungkapkan karakteristik khas dari tayangan humor “Extravaganza” yang ditinjau dari aspek sosiolinguistik. Terdapat persamaan pemilihan objek dalam penelitian Purwanti maupun penelitian ini. Baik Purwanti maupun peneliti mengambil objek kajian beruppa tayangan humor, hanya saja “Extravaganza” merupakan tayangan humor yang bersegmen. Dalam sekali tayang, “Extravaganza” mengangkat topik dan judul berbeda dari tiap-tiap segmennya. Sementara itu, TSMS merupakan tayangan humor yang tidak bersegmen dan setiap kali tayang tidak menggunakan judul maupun tema yang berbeda, tetapi melanjutkan kisah pada episode sebelumnya. Ekawati (2002) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Humor Politik” menguraikan prinsip-prinsip pragmatik dalam wacana humor politik, macammacam gaya bahasa yang terdapat dalam wacana humor politik, dan fungsi wacana humor politik sebagai penyampai pesan dalam kritik terhadap pemerintahan. Penelitian ini juga mendeskripsikan aspek kebahasaan dan aspek pragmatik dalam humor, tetapi bahan kajian yang digunakan berbeda. Bahan kajian yang diambil Ekawati berupa wacana dalam media cetak, sedangkan bahan kajian yang diambil peneliti berupa wacana dalam media audiovisual.
7
Hendriadi (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Humor Benuansa Pornografi dalam Bahasa Indonesia” mendeskripsikan pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan sebagai sarana penciptaan humor dalam wacana bernuansa pornografi, dan penyimpangan prinsip-prinsip pragmatik. Perbedaan antara penelitian Hendriadi dengan penelitian ini terletak bahan penelitiannya. Hendriadi mengambil bahan penelitian wacana tertulis dari beberapa buku humor, sedangkan peneliti mngambil bahan penelitian berbentuk tayangan. Selain itu, Hendriadi hanya menganalisis pemanfaatan aspek humor dari segi pragmatik dan semantik saja. Pravitasari (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Rayuan Gombal Salah Satu Bentuk Humor” mendeskripsikan macam-macam topik yang digunakan dalam wacana rayuan gombal, relasi makna dan gaya bahasa yang digunakan untuk membentuk humor, dan penyimpangan aspek-aspek pragmatik dalam wacana tersebut. Terdapat kesamaan antara pembahasan penelitian Pravitasari dengan pembahasan penelitian ini, yakni pada pendeskripsian topik wacana, penggunaan gaya bahasa atau aspek kebahasaannya, dan penyimpangan aspek pragmatik. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada topik penelitian yang digunakan. Pravitasari menggunakan media tulis atau cetak dan media sosial, internet, sebagai objek penelitiannya, sedangkan peneliti mengambil data melalui tayangan komedi yang berbentuk sinetron. Susanti (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Marmut Merah Jambu Karya Raditya Dika: Analisis Semantik-Pragmatik” mendeskripsikan ragam bahasa, pemanfaatan aspek semantik, dan penyimpangan aspek pragmatik untuk
8
membentuk humor yang digunakan dalam wacana tersebut. Bahan yang digunakan oleh Susanti merupakan media tulis berbentuk novel, sedangkan peneliti mengambil bahan berupa tayangan. Hal ini menjadi pembeda antara penelitian Susanti dengan penelitian ini. Wijana (1995) dalam disertasinya yang berjudul “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia” juga mengkaji wacana humor melalui media cetak. Dalam disertasi ini Wijana memaparkan aspek-aspek humor dalam suatu wacana, sehingga disebut wacana humor. Aspek tersebut meliputi (1) penyimpangan aspek pragmatik, (2) pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, dan (3) tipe-tipe wacana kartun dalam kaitannya dengan penyajian humor agar unsur humor dalam wacana kartun dapat tersampaikan. Perbedaan penelitian Wijana dengan penelitian ini juga terletak pada bahan penelitiannya. Wijana mengambil bahan penelitian dari media cetak, sedangkan peneliti mengambil bahan penelitian dari media audiovisual. Sehingga, humor audiovisual yang memanfaatkan aspek bunyi dan visual akan lebih terasa kelucuannya dibandingkan dengan humor dari media cetak. Ariyanto (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Wacana Humor Rons Imawan” mengemukakan penyimpangan-penyimpangan pragmatik, aspek kebahasaan, dan fungsi wacana humor Rons Imawan. Aspek kebahasaan yang diuraikan oleh Arianto meliputi aspek ortografis, aspek fonologis, substitusi bunyi, permutasi bunyi, penambahan bunyi, pelesapan bunyi, ketaksaan, hiponimi, homonimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, deiksis, pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intraklausa, konstruksi aktif pasif, pertalian antarklausa, dan pertalian antarproposisi. Aspek-aspek kebahasaan di atas diuraikan oleh Ariyanto
9
sebagai hal-hal yang berpengaruh dalam penciptaan humor Rons Imawan. Perbedaan antara penelitian Ariyanto dengan penelitian ini terletak pada bahan penelitiannya. Bahan penelitian yang diambil Ariyanto merupakan wacana humor dalam media sosial twitter yang berbentuk teks, sedangkan bahan yang diambil peneliti merupakan wacana humor berbentuk tayangan. Sama seperti Wijana, pada penelitian Aryanto, humor yang terbentuk tidak lebih bervariatif, terutama humor yang memanfaatkan aspek bunyi dan visual. Humor yang terbentuk dari bunyi akan lebih terasa kelucuannya. Kelucuan yang terbentuk tidak lebih maksimal dibandingkan
TSMS
yang
memanfaatkan
audiovisual
sebagai
media
penyampaiannya. Melalui media lain, Giyatmi (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Wacana Humor pada Radio Expose di Radio JPI FM Solo” memaparkan penelitiannya terkait wacana humor di radio. Data penelitian tersebut diperoleh Giyatmi melalui media audio
yang ditranskripsikan.
Giyatmi
menganalisis
karakteristik,
pemanfaatan aspek pragmatik, dan pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana humor Radio Expose di Radio JPI FM Solo. Selain itu, Giyatmi juga memaparkan penggunaan konteks dalam wacana humor tersebut untuk menimbulkan kesan humor bagi pendengar. Karena data merupakan hasil olahan dari media audio, penggunaan konteks dalam percakapan menjadi hal yang penting untuk membantu pendengar memahami isi cerita yang disajikan. Walaupun data yang diperoleh Giyatmi dan peneliti merupakan hasil transkripsi, bahan yang digunakan keduanya berbeda. Bahan penelitian Giyatmi berupa audio, sedangkan bahan penelitian ini berupa audiovisual.
10
Dalam pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Wijana (2003) melakukan penelitian terkait wacana humor yang berjudul “Wacana Dagadu, Permainan Bahasa, dan Ilmu Bahasa”. Melalui penelitian tersebut Wijana menguraikan bahwa dalam plesetan Dagadu terdapat permainan kata, permainan kata antarbahasa, malapropisme, silap lidah, slang, wacana indah, dan kreasi dan translasi wacana. Bahan yang diambil merupakan tulisan dalam produk-produk Dagadu. Dagadu merupakan nama produk cendera mata khas Yogyakarta dengan tulisan-tulisan yang unik. Tulisan-tulisan inilah yang digunakan sebagai objek penelitian. Kurniawati (2005) dalam skripsinya berjudul “Wacana Short Message Service (SMS) Humor” memaparkan deskripsi Wacana SMS Humor (WSH), jenisjenis WSH, dan aspek kebahasaan pencipta humor. Terdapat kesamaan antara penelitian Kurniawati dengan penelitian ini, yaitu bahan penelitian berupa wacana humor. Baik Kurniawati maupun penulis mengambil bahan penelitian berupa wacana, tetapi wacana TSMS lebih kompleks dibandingkan WSH. Karena media humor WSH berupa pesan sms dengan karakter yang terbatas, tentu humor yang disajikan tidak sama dengan TSMS yang penyampaiannya melalui media televisi. Banyak aspek kebahasaan maupun aspek visual yang dapat disampaikan TSMS tetapi tidak dapat disampaikan dalam WSH. Firmansyah (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Penyimpangan Prinsip Kerja sama dan Prinsip Kesopanan dalam Wacana Humor Verbal Tulis pada Buku Mangkunteng” hanya memaparkan penggunaan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan untuk membentuk humor. Terdapat perbedaan antara penelitian
11
Firmansyah dengan penelitian ini, yakni pada pemilihan bahan penelitian. Bahan penelitian yang diambil Firmansyah berupa wacana tertulis buku humor Mangunteng, sedangakan bahan penelitian yang diambil peneliti berupa wacana humor dalam tayangan TSMS. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan topik wacana humor telah banyak dilakukan. Tayangan TSMS diteliti karena dalam humor TSMS memanfaatkan dialek antardaerah yang secara tidak langsung dapat menghindarkan konflik yang dilatarbelakangi perbedaan budaya. Hal ini sekaligus dapat menyejajarkan kedudukan bahasabahasa di Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena sepengetahuan penulis belum pernah ada penelitian wacana humor berbentuk sinetron dengan bahan penelitian tayangan TSMS. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan berbeda. Perbedaan antara penelitian satu dengan penelitian lain rata-rata terletak pada bahan penelitian dan data yang diperoleh. Dalam penelitian ini objek yang dipilih oleh peneliti merupakan tayangan humor berbentuk sinetron. Pada penelitian lain yang mengambil objek tayangan humor, tayangan tersebut merupakan tayangan bersegmen dan setiap kali tayang mengangkat topik bahasan yang berbeda. Selain objek penelitian, perbedaan lain terletak pada data yang diperoleh. Dalam penelitian ini data merupakan dialog tokoh-tokoh TSMS yang mengandung humor, sedangkan pada penelitian lain data dapat berupa dialog, frasa, maupun kalimat yang mengandung humor. Untuk menjawab rumusan masalah di atas, digunakan beberapa teori sebagai dasar analisis data.
12
I.6 Landasan Teori TSMS termasuk dalam kategori tayangan komedi sehingga teori humor mutlak diperlukan dalam kajian ini. Pembahasan mengenai humor dapat dimasukkan dalam ranah kajian pragmatik pada Bab IV karena penciptaan humor TSMS memanfaatkan penyimpangan prinsip-prinsip pragmatik. Selain itu, mengingat tayangan ini bermediumkan bahasa, aspek-aspek kebahasaan diperlukan untuk mendeskripsikannya. Tayangan komedi ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu wacana karena data diperoleh sebagai suatu tuturan, sedangkan tuturan merupakan wacana lisan. Oleh karena itu, teori wacana digunakan sebagai jembatan untuk menganalisis humor TSMS (selanjutnya disebut WTSMS). Berikut uraian selengkapnya.
I.6.1 Wacana Mulyana (2005:3) mengartikan wacana sebagai perkataan atau tuturan karena istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak yang memiliki arti ‘berkata’, ‘berucap’. Sementara itu, Tarigan (1987:27) mengemukakan wacana sebagai satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis. Mulyana (2005:5) menjelaskan unsur pembeda antara bentuk wacana dengan bentuk bukan wacana adalah pada ada dan tidaknya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya.
13
Berdasarkan
media
penyampaiannya,
Mulyana
(2005:52—53)
mengklasifikasikan wacana menjadi dua, wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan (spoken discourse) merupakan wacana yang disampaikan secara lisan atau langgung menggunakan bahasa verbal. Jenis wacana ini disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Pada dasarnya bahasa pertama kali muncul melalui ujaran atau lisan. Oleh karena itu wacana yang utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Dalam posisi ini wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata. Oleh karena itu, penelitian dengan topik humor dalam bentuk tayangan ini tergolong sebagai sebuah wacana dan akan dianalisis menggunakan analisis wacana. Mengingat data penelitian berupa dialog yang diambil dari setiap adegan yang mengandung humor, teori ini sekaligus digunakan sebagai dasar penelitian dan menjawab rumusan masalah yang pertama terkait struktur adegan WTSMS. Karenakan objek penelitian merupakan tayangan humor, penelitian ini memiliki kaitan dengan bidang humor.
I.6.2 Humor Humor diartikan sebagai sesuatu yang lucu atau keadaan yang menggelikan hati, kejenakaan, kelucuan (KBBI, 2008:512). Selain itu, Jusuf (1984:5) mengungkapkan bahwa humor merupakan cairan di dalam tubuh yang akan menentukan tempramen seseorang. Humor memang dapat difungsikan sebagai sarana komunikasi, seperti menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, dan simpati (Soedjatmiko, 1992:69). Dalam beberapa hal, humor digunakan
untuk
mencairkan
suasana,
menghilangkan
ketegangan,
dan
14
mendekatkan penutur dengan lawan tutur. Seperti dalam suatu ceramah dan bisnis, humor sering kali digunakan oleh penutur untuk menghilangkan ketegangan dan kejenuhan agar lawan tutur atau audience tetap tertarik untuk mendengarkan ujaranujaran penutur. Teori humor digunakan peneliti sebagai dasar dalam menganalisis WTSMS. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa WTSMS merupakan wacana dengan genre humor. Oleh karena itu digunakan teori humor untuk menganalisisnya. Seodjatmiko (1992:72) mengemukakan bahwa teori humor dapat dianalisis menggunakan teori semantik humor dan pragmatik humor. Teori semantik humor memanfaatkan keambuiguan dengan mempertentangkan makna pertama dengan makna kedua. Unsur humor akan muncul ketika seseorang memaknai kata, kalimat atau wacana dengan makna yang lain. Semantik humor memanfaatkan keambiguan pada tataran kata, kalimat, dan wacana. Pada tingkat wacana, humor memanfaatkan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan (Giyatmi:2008). Oleh karena itu, teori humor ini memiliki kaitan dengan bidang pragmatik.
I.6.3 Pragmatik Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Studi ini tidak hanya membahas mengenai makna suatu hal, tetapi juga maksud yang dikandung di dalamnya. Seorang penutur tidak hanya terfokus pada pesan yang diterima oleh lawan tutur, tetapi juga mempertimbangkan cara agar maksud yang dikirim oleh penutur sesuai dan dapat dipahami dengan baik oleh lawan tutur.
15
Menurut Wijana (2009:3—4) pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam berkomunikasi. Dalam penelitian humor, pragmatik digunakan sebagai landasan teori untuk menjelaskan secara linguistis apa yang dianggap tidak sejajar dan bertentangan dalam teori psikologi yang secara umum digunakan untuk menganalisis humor. Dari segi linguistik ketidaksejajaran dan pertentangan itu terjadi karena dilanggarnya norma-norma pragmatik bahasa baik secara tekstual maupun interpersonal. Pada penelitian ini teori kesantunan dalam pragmatik digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang pertama megenai aspek-aspek pragmatik yang dilanggar atau disimpangkan untuk membentuk kelucuan. Aspek-aspek tersebut antara lain prinsip kerjasama (cooperationtive principle), prinsip kesopanan (politeness principle), dan prameter pragmatik. Di samping aspek pragmatik, aspek kebahasaan menjadi salah satu faktor pemicu humor WTSMS. Oleh karena itu, teori ini memiliki kaitan dengan bidang semantik yang di dalamnya menguraikan aspekaspek kebahasaan.
I.6.4 Aspek Kebahasaan Semantik dan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah maknamakna satuan lingual, tetapi semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal (Wijana, 2009:4). Di dalam semantik suatu satuan kebahasaan dapat memiliki hubungan bentuk dan makna dengan satuan kebahasaan yang lain. Satuan kebahasaan itu sendiri dapat
16
berasal dari tataran terendah hingga tataran tertinggi seperti morfem, fonem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, maupun wacana. Satuan-satuan kebahasaan inilah yang sering dimanfaatkan untuk menciptakan humor. Hal ini dikarenakan wacana humor sering memanfaatkan aspek-aspek kebahasaan dalam menciptakan kelucuan. Seperti dalam aspek fonologi, peserta tutur berkreasi dengan bunyi-bunyi dalam suatu kata maupun frasa. Bentuk kreativitas tersebut dapat berupa penambahan maupun pengurangan bunyi. Pada penelitian ini teori terkait aspek kebahasaan digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang kedua mengenai penggunaan aspek-aspek kebahasaan dalam WTSMS. Aspek tersebut meliputi aspek fonologis dan semantis. Selain itu, ragam bahasa informal juga dapat memengaruhi aspek humor suatu wacana. Penggunaan ragam bahasa informal dalam TSMS berkaitan dengan pemakaian dialek-dialek bahasa yang lain. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang diglosik. Wardaugh menyatakan bahwa masyarakat diglosik merupakan masyarakat yang memiliki dua varietas bahasa, yakni varietas tinggi (high) dan varietas rendah (low) (Wardough, 1986:87 via Wijana, 2004:121). Varietas tinggi digunakan dalam situasi formal seperti rapat, berpidato, dan ceramah. Sementara itu, varietas rendah digunakan dalam situasi nonformal seperti bercakap-cakap, bergurau, dan tawar-menawar di pasar. Masyarakat Indonesia, yang dikenal sebagai masyarakat bilingual karena penuturnya menguasai dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah, memperlakukan bahasa Indonesia sebagai varietas tinggi (high) dan bahasa daerah sebagai varietas rendah (low). Di dalam masyarakat diglosik, ada kecenderungan menggunakan varietas
17
rendah untuk berhumor. Hal ini dikarenakan bahasa daerah sebagai varietas rendah lebih santai dan tidak kaku. Tidak seperti varietas tinggi yang biasanya digunakan dalam situasi formal, humor biasanya hadir dalam situasi yang santai dan tidak ada batasan dari segi usia maupun latar belakang sosial.
I.7 Metode Penelitian Penelitian ini disusun melalui tiga tahapan, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan menggunakan teknik lanjutan simak bebas cakap dan dilanjutkan dengan teknik catat. Berkaitan dengan topik penelitian yang menggunakan media audio visual, teknik yang sesuai diterapkan dengan media tersebut adalah teknik simak bebas libat cakap, yakni kegiatan menyadap dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak. Peneliti tidak terlibat dalam dialog. Tidak bertindak sebagai pembicara yang berhadapan dengan lawan bicara atau sebagai lawan bicara yang perlu memperhatikan apa yang dikatakan pembicara. Peneliti hanya sebagai pemerhati dengan penuh minat tekun mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang berdialog. Berikut uraian tahapan-tahapan penelitian ini.
I.7.1 Pengumpulan Data Bahan penelitian ini berupa tayangan TSMS dari episode 1 sampai 20. Data yang diperoleh dalam episode tersebut dianggap telah mewakili keseluruhan data yang ada. Pengambilan bahan penelitian dilakukan dari bulan November 2014
18
hingga bulan Maret 2015. Setelah bahan penelitian terkumpul, peneliti mencari data berupa dialog-dialog yang mengandung humor dan mentranskripsikannya. Dialog tersebut diambil dari tiap adegan yang mengandung humor. Setelah data diperoleh dan ditranskripsikan, data dinomori berdasarkan episode tayangan TSMS. Penomoran adalah tahap terakhir dalam tahap pengumpulan data yang dilanjutkan dengan klasifikasi data berdasarkan tipe humornya.
I.7.2 Analisis Data Data yang telah dinomori diklasifikasikan berdasarkan jenis humornya, yaitu penggunaan aspek kebahasaan, atau penyimpangan aspek-aspek pragmatik. Setelah diklasifikasikan data dianalisis menggunakan teori-teori di atas. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk deskriptif.
I.7.3 Penyajian Data Tahap penyajian data merupakan tahap terakhir dalam penelitian ini. Data yang telah diklasifikasikan dan dianalisis tersebut disajikan dalam bentuk deskripsi pada suatu laporan tertulis. Adapun urutan penyajiannya dapat dilihat pada sub-sub bab sistematika berikut ini.
I.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
19
penyajian. Bab II membahas rumusan masalah yang pertama mengenai struktur wacana dan topik dalam WTSMS. Bab III menjawab rumusan masalah yang kedua mengenai aspek-aspek kebahasaan WTSMS. Dalam bab ini diuraikan aspek-aspek kebahasaan yang digunakan WTSMS untuk menciptakan humor. Bab IV membahas rumusan masalah yang ketiga mengenai penyimpangan aspek-aspek pragmatik yang digunakan dalam WTSMS untuk menimbulkan humor. Selain itu, juga disinggung mengenai penyampaian pesan kepada masyarakat agar isi tayangan tersebut dapat tersampaikan kepada masyarakat dan dapat diterima sebagai suatu humor. Bab V adalah penutup yang berisi simpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.
1
http://www.sctv.co.id/ -- diakses pada 18 April 2015 pukul 20:20 WIB