BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara terbesar yang memiliki keaneka ragaman flora dan fauna. Yang diketahui bahwa 17.000 pulau yang didalam wilayahnya terdapat berbagai macam jenis spesies yang unik dan endemik. Keunikan dari spesies – spesies inilah yang akhirnya menjadi sasaran masyarakat Indonesia untuk melakukan perdagangan bebas tanpa memikirkan lingkungan hidup binatang tersebut dan pencegahan spesies dari kelangkaan yang dimiliki negaranya sehingga menimbulkan beberapa permasalahan, seperti perdagangan ilegal hewan yang dilakukan hanya untuk mendapat keuntungan yang besar bagi sebagian orang atau individu itu sendiri karena keunikan tersebut. Spesies yang ada di Indonesia yang berpotensi atau memang sudah dalam kondisi langka dapat diketahui seperti di Paparan Sunda memiliki spesies berjumlah total 515. Dari jumlah itu, 173 di antaranya merupakan spesies endemik daerah ini. 1 Sebagian besar dari spesies-spesies ini terancam keberadaannya dan hampir punah. Dua spesies orang hutan, orang hutan Kalimantan dan orang hutan sumatra termasuk dalam daftar merah international union for conservation of nature (IUCN). Mamalia terkenal lain, seperti bekantan , badak Sumatra, dan badak jawa juga sangat terancam jumlah populasinya. Menurut Konservasi International, sebanyak 771 spesies unggas terdapat di paparan Sunda. Sebanyak 146 spesies merupakan endemik daerah ini. Pulau Jawa dan Bali memiliki paling 1. Jatna Supriatna and Susie Ellis (2004).www. biodiversityscience. Org / publications / hotspots/ Sundaland. html"Sundaland" Check|url= scheme (help). Diakses 2007-05-26.
1
2
sedikit 20 spesies endemik, termasuk Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan Cerek Jawa (Charadrius javanicus). Berdasarkan data dari Burung Indonesia, Jumlah jenis burung di Indonesia sebanyak 1598 jenis. Dengan ini membawa Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki jumlah jenis burung terbanyak se-Asia. Sejak tahun 2007, Burung Indonesia secara berkala memantau status keterancaman dari burung-burung terancam punah yang berada di Indonesia berdasarkan data dari Birdlife International. Tahun 2007-2009 terjadi penurunan status keterancaman burung secara berturut-turut mulai dari 119 jenis (2007), 118 jenis (2008), dan 117 jenis (2009). Sebanyak 449 spesies dari 125 genus reptil diperkirakan hidup di paparan Sunda. Sebanyak 249 spesies dan 24 genus di antaranya adalah endemik. Tiga famili reptil juga merupakan endemik di wilayah ini: Anomochilidae, Xenophidiidae and Lanthanotidae. 2 Famili
Lanthanotidae
diwakili
oleh kadal
coklat
(Lanthanotus
borneensis), Kalimantan yang sangat langka dan jarang ditemui. Sekitar 242 spesies amfibia dalam 41 genus hidup di daerah ini. Sebanyak 172 spesies, termasuk Caecilian dan enam genus adalah endemik. Sekitar 1000 spesies ikan diketahui hidup di dalam sungai, danau, dan rawa-rawa di paparan Sunda. Kalimantan mempunyai sekitar 430 spesies, dan sekitar 164 di antaranya diduga endemik. Sumatra memiliki 270 spesies, sebanyak 42 di antaranya endemik. Ikan arwana emas (Scleropages formosus) yang cukup terkenal merupakan contoh ikan di daerah ini. Dan binatang-binatang yang sering diperdagangkan secara ilegal seperti Gajah Sumatra, Komodo, Badak Bercula Satu, Burung Kakak Tua Jambul Kuning, Orang hutan, Tapir dan cendrawasih. Untuk Bali, kasus satwa yang menonjol adalah kasus perdagangan penyu. Meski jauh menurun dibandingkan sebelum tahun 2000, namun penyelundupan
2
Bambang Pamulardi, 1999, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 177
3
penyu ke Bali masih terjadi secara sembunyi-sembunyi. Salah satu kasus yang terungkap adalah kasus tertangkapnya nelayan yang hendak menyelundupkan 7 ekor penyu ke Bali pada tanggal 30 Mei 2009. Di Bali juga masih ada sedikitnya 6 lokasi yang memelihara penyu secara ilegal atas nama pariwisata. Lokasi tersebut adalah terpusat di Tanjung Benoa. Ini membuktikan bahwa Bali masih menjadi tujuan utama perdagangan penyu di Indonesia. Pada tahun 2009 Bali juga memunculkan isu yang kontroversial yaitu tentang pengajuan Gubernur Bali mengenai kuota 1000 ekor penyu untuk keperluan adat dan upacara agama. Pengajuan kuota pemanfaatan penyu tersebut sangat ironis sekali di tengah pencitraan Bali sebagai daerah wisata yang ramah lingkungan. Pengajuan kota itu juga menodai peraturan hukum yang telah menetapkan semua jenis penyu sebagai jenis satwa yang dilindungi. Sepanjang tahun 2009 ProFauna juga mengamati ada beberapa tempat yang rawan sebagai jalur penyelundupan satwa langka ke luar negeri. Tempattempat tersebut adalah Bandara Soekarno Hatta, Bandara Ngurah Rai Bali dan Kepulauan Talaud di Sulawesi. Pada tanggal 8 Maret 2009 tertangkap tangan 2 orang warga negara Arab yang hendak menyelundupkan puluhan ekor satwa lewat Bandara Soekarno Hatta. Sementara itu pada tanggal 2 oktober 2009 digagalkan upaya penyelundupan 16 ekor elang dan satwa lainnya ke Jepang lewat Bandara Ngurah Rai. Sedangkan Pulau Talaud patut mendapat perhatian serius karena masih menjadi jalur penyelundupan satwa ke Philipina lewat jalur laut. Terbukti dengan digagalkannya upaya penyelundupan 234 satwa lewat Talaud pada tanggal 8 Januari 2009. Perdagangan satwa dilindungi adalah melanggar UU Nomor 5
4
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelaku perdagangan satwa dilindungi dapat dijerat hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi spesies langka dari perdagangan ilegal, namun pada prakteknya perdagangan tersebut masih terjadi secara terbuka di banyak tempat di Indonesia dan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa karena kebanyakan mereka hasil tangkapan dari alam. Hal ini akan membuat hewan asli Indonesia menjadi semakin terancam punah, apalagi ditunjang dengan habitatnya yang kian menyempit dan menurun kualitasnya. 3 Jika kita simak undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ketentuan pidana Pasal 40 ayat 2 menetapkan: Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 33 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100.000.000 (seratus juta rupiah). Atas hal tersebut sanksi pelanggaran yang sangat minim seperti contoh kasus di atas membuat perdagangan terhadap spesies-spesies endemik Indonesia, yang pada umumnya berstatus langka, semakin merebak dan selama keuntungan besar masih melekat pada perdagangan hewan unik dan langka, kehidupan satwa hewan ini akan selalu kalah4. Merebaknya perdagangan ilegal yang menyebabkan kepunahan satwa di kancah internasional sejak beberapa tahun sebelumnya menarik perhatian 3
Pressrelease,2010, perdagangan_ dan_ penyelundupan_ satwa_ liar_ indonesia_ masih_ tinggi, http :// www.profauna.org/content/id/ h. 1 4 Ibid, hal. 11
5
anggota IUCN pada tahun 1963 untuk melakukan perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang yaitu terbentuknya Convention on International Trade of Endangered species (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam punah. Konvensi ini bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Selain itu, CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam. Naskah konvensi disepakati 3Maret 1973 pada pertemuan para wakil 80 negara diWashington D.C. Negara peserta diberi waktu hingga 31 Desember 1974 untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli1975. Setelah melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi, negara-negara yang menandatangani konvensi disebut para pihak (parties) atau sebagai anggota CITES. Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No.43 Tahun 1978. CITES dianggap sebagai salah satu konvensi Internasional mengenai lingkungan hidup yang paling efektif karena memuat ketentuan mengenai sanksi atas pelanggaran5. Selain itu, CITES juga memiliki sistem pengaturan mengenai Ekspor atau Impor spesies-spesies terdaftar melalui sebuah Management Authorities.
5
Patricia Birne and Alay Boyle, “International Law and the Environment”, Oxford University Press, 2002, hal. 625
6
Sejauh ini CITES telah mendata dan mendaftarkan lebih dari 30.000 species6, yang mencakup sekitar 5.000 spesies hewan dan 25.000 spesies tumbuhan. Sebagian dari jumlah species tersebut merupakan species yang hanya hidup di Indonesia. (spesies endemik). Spesies-spesies tersebut diklasifikasikan ke dalam apendiks-apendiks berdasarkan jumlah populasi dan tingkat ancaman terhadap spesies itu sendiri dari kepunahan. Appendiks tersebut digolongkan menjadi :7 1. Appendiks I mencakup: “Appendix I shall include all species threatened with extinction which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these species must be subject to particularly strict regulation in order not to endanger further their survival and must only be authorized in exceptional circumstances.” Appendiks I CITES mencakup segala jenis spesies baik flora maupun fauna yang terancam oleh kepunahan yang mungkin dipengaruhi oleh adanya perdagangan. Ketentuan perdagangan atas spesies-spesies yang tercantum di dalam apendiks I CITES harus diatur dengan ketat untuk menjaga kelangsungan hidup spesies tersebut dan hanya dapat diperdagangkan dalam kondisi-kondisi yang dikecualikan. 2. Appendiks II mencakup: “(a) all species which although not necessarily now threatened withextinction may become so unless trade in specimens of such species is
6
Muhamad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Grafika Media, Bandung, h.154 7 Convention on the International Trade of Endangered Species,1973, Pasal II
7
subject to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with their survival “ Spesies yang tercantum di dalam apendiks II CITES merupakan spesies yang
tingkat
ancaman
terhadap
kepunahannya
saat
spesies
tersebut
diklasifikasikan tidak setinggi spesies dalam apendiks I. Spesies-spesies ini dapat menjadi terancam oleh kepunahan apabila perdagangan terhadap spesies tersebut tidak diatur melalui ketentuan yang ketat. Ketentuan yang ketat tersebut ditujukan untuk menghindari pemanfaatan spesies tersebut yang tidak sesuai dengan kebutuhan spesies tersebut untuk bertahan hidup. 3. Appendiks III mencakup : “Appendix III shall include all species which any Party identifies as beingsubject to regulation within its jurisdiction for the purpose of preventing or restricting exploitation, and as needing the co-operation of other Parties in thecontrol of trade.” Spesies yang diklasifikasikan ke dalam Apendiks III CITES merupakan spesies yang diatur melalui peraturan nasional dengan tujuan untuk menghindari atau melarang terjadinya eksploitasi terhadap spesies tersebut dan mengendalikan perdagangan. CITES
dalam
pelaksanaannya
memberikan
pengaturan
larangan,
keharusan, maupun kebolehan dari negara penandatangan konvensi ini dalam dalam melakukan perdagangan-perdagangan spesies yang terdaftar di dalam apendiks CITES. Pengaturan itu berbeda pada setiap golongan spesies. Dari sebagian besar spesies tersebut, mereka yang tergolong di dalam Appendiks I
8
adalah spesies-spesies yang terancam punah dan dilarang menjadi objek di dalam segala jenis perdagangan komersial. Setiap Negara Peserta memiliki hak untuk mereservasi binatang-binatang yang telah diklasifikasikan baik yang termasuk di dalam apendiks I, II, maupun III. Melalui perdagangan, baik perdagangan komersial maupun non-komersial, lingkungan hidup dapat tetap terselamatkan dan menghasilkan keuntungan secara finansial. Namun, pembatasan-pembatasan melalui peraturan yang ada haruslah sesuai dan dijalankan dengan prinsip good governance yang baik dengan di awasi oleh pihak luar 8. Indonesia sebagaimana telah disebutkan merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat berlimpah memiliki potensi untuk mendatangkan devisa bagi negara sekaligus melindungi keanekaragaman hayati tersebut dari ancaman kerusakan yang lebih parah, atau bahkan kepunahan. Keunikan dan keanekaragaman hayati di Indonesia seringkali menyebabkan para spesies tersebut menjadi sasaran bagi perdagangan ilegal yang merugikan Negara dan hanya menguntungkan individu saja 9. Pendapatan baik secara finansial maupun ilmiah yang kemungkinan bisa diperoleh oleh Indonesia ini akan sejalan dengan konsep Sustainable Development yang digunakan dalam hukum lingkungan untuk menciptakan sebuah kemajuan bagi masyarakat dari segi finansial dan memberikan kontribusi terhadap lingkungan dengan pengaturan dan pembatasan yang menjaga lingkungan sekitar dan juga menguntungkan negara.
8
Ibid, hal. 629 TRAFFIC, “What’s Driving the Wildlife Trade? A Review of Expert Opinion on Economic and Social Drivers of the Wildlife Trade and Trade Control Efforts in Cambodia, Indonesia, LaoPDR and Vietnam”. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Discussion Papers. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Department, World Bank, Washington, DC,2008. 9
9
Berbagai ketentuan yang telah dibuat belum mampu melindungi satwa langka yang ada,oleh karena itu perlu diteliti tentang penyebab secara hukum yang mengakibatkan kelemahan fungsi hukum itu. Penelitian ini akan difokuskan pada dua masalah yang berkaitan dengan sebab-sebab normatif yang mengakibatkan kelemahan fungsi hukum dan bentuk jalan keluar secara normatif hukum yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan fungsi hukum dari pengaturan yang sudah ada. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan bahwa pokok permasalahan dari skripsi ini adalah: 1. Mengapa peraturan perundang - undangan tentang perlindungan spesies terancam punah atau langka belum berfungsi sebagaimana mestinya? 2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan yang diperlukan untuk membuat peraturan perundang-undangan tersebut dapat mewujudkan tujuannya?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dengan adanya CITES dan peraturan-peraturan lainnya yang merupakan upaya penanggulangan perdagangan ilegal hewan terancam punah yang telah ditetapkan akan ditinjau kembali apakah peraturan-peraturan tersebut dapat berfungsi dengan baik atau tidak. Apabila tidak berfungsi dengan baik dan tidak cukup mengatasi masalah yang timbul bagaimana seharusnya isi dari peraturan tersebut dan disesuaikan dengan kebutuhan kenyataan norma itu sendiri sehingga
10
sesuai antara norma yang berlaku dengan kebutuhan yang diperlukan dalam transaksi hewan langka di Indonesia.
1.4 Orisinalitas Penelitian Peneltian tentang Pengaturan Perlindungan Species Langka Dari Akibat Sindikasi Perdagangan Species Langka dilakukan untuk mengetahui: a. Mengapakah peraturan perundang- undangan tentang perlindungan spesies terancam atau langka belum berfungsi sebagaimana mestinya. b. Bagaimanakah bentuk revisi pengaturan yang diperlukan untuk membuat peraturan perundangan tersebut dapat mewujudkan tujuannya. penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan tujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul berdasarkan atas pendekatan yang bersifat yuridis. Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian tentang pelaksanaan Pengaturan Perlindungan Species Langka Dari Akibat Sindikasi Perdagangan Species Langka, belum dapat ditemukan adanya tulisan atau hasil penelitian serupa, namun ditemukan beberapa hasil atau tulisan yang hampir memiliki landasan yang sama tentang perlindungan spesies, adapun penelitian yang dimaksud antara lain: No
Peneliti dan Judul Penelitian
Rumusan Masalah
1
I Wayan Ery Yanata Utama 1. (Unud 2012) Penerapan Sanksi Pidana Penangkapan dan Peniagaan Penyu Hijau 2.
Bagaimana penerapan sanksi pidan terhadap pelanggaran penanggapan dan perniagaan penyu hijau Mengapa penyu hijau (Chelonia Mydas) perlu dilindungi 1. Tanggungjawab hukum apakah yang dapat di kenakan kepada pihak pencemar terhadap
2
I Gusti Made Ariek Dewantara (Unud 2009) Tanggung jawab Pihak Pencemar Dalam
11
No
3
Peneliti dan Judul Penelitian
Rumusan Masalah
Pencemaran Limbah Industri Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
kerusakan lingkungan yang di timbulkan akibat dari limbah industry 2. Upaya Hukum apakah yang dapat ditempuh oleh masyarakat akibat adanya pencemaran limbah industry 1. Bagaimanakah pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan di Indonesia 2. Lembagamanakah yang menetapkan dan bertugas mendokumentasikan, memelihara dan mengelola hasil pengkajian dan penelitian serta pengembangannya.
I Putu Asmara Francesco Confessa (Unud 2012) Suatu Kajian Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar ditinjau dari undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar
Dengan demikian penelitian yang dilakukan peneliti memiliki kekhususan yang menunjukkan orisinalitas.
1.5 Tujuan Penulisan a. Tujuan umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai aturan yang baik dan cukup dalam mengikat atau mengatur transaksi perdagangan terhadap hewan yang terancam punah dan frekuensi perdagangan ilegal terhadap binatang-binatang terancam punah dalam korelasi tingkat ancaman binatang tersebut dan sejauh mana Undang – undang dapat mempengaruhi atau menanggulangi perdagangan ilegal tersebut.
12
b. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui apa yang mendukung timbulnya perdagangan ilegal terhadap spesies terancam punah dan pengaruh peraturan perundang – undangan dalam melindungi spesies terancam punah ini. 2. Untuk mengetahui bagaimana perdagangan terhadap spesies yang terancam punah dilakukan menurut Hukum Internasional dan apakah peraturan yang berlaku sudah cukup melindungi atau tidak spesies terancam punah tersebut 3. Menganalisis kasus-kasus perdagangan spesies yang terancam punah dan kaitannya dengan Hukum Internasional secara umum serta CITES secara khusus dan penyebab ketentuan-ketentuan tidak berjalan dengan seharusnya.
1.6 Manfaat Penulisan Sementara manfaat dari penulisan ini sendiri adalah: 1. Secara teoritis, penulisan ini memiliki manfaat untuk mengembangkan atau memperkaya teori atau doktrin-doktrin hukum yang sudah ada, khususnya dalam bidang hukum yang menjadi focus penelitian ini yaitu tentang hewan terancam punah dan kaitannya dengan CITES selaku salah satu sumber hukum internasional yang berlaku. 2. Secara praktis, manfaat penulisan ini lebih ditujukan kepada peraturan yang cukup melindungi, mengawasi, dan melarang dalam proses perdagangan hewan langka.
13
1.7 Landasan Teoritis Sebagai bahan dalam dasar pembahasan masalah yang diangkat dalam skripsi ini, penulis menggunakan asas-asas hukum internasional dan pandangan para sarjana hukum sebagai landasan pembenaran teoritis tersebut, yaitu: 1.7.1 Teori Tujuan Hukum Seperti yang dikemukakan Gustav Radbruch seorang filosof hukum dan seorang legal scholar dari Jerman yang terkemuka yang mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum. Ketiga konsep dasar tersebut dikemukakannya pada era Perang Dunia II. Tujuan hukum yang dikemukakannya tersebut oleh berbagai pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum Adapun tiga tujuan hukum tersebut adalah kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. 10 a.
Keadilan Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai,
keadilan,moral, dan etika. Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif dan tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Hukum tidak memilki tujuan dalam dirinya sendiri. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan awalnya, hukum akan terperosok menjadi alat pembenar kesewenang wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang 10
dikuasai.
Itulah sebabnya
http:// bolmerhutasoit. wordpress. com /2011/10/07/artikel politik hukum tujuan hukum menurut-gustav-radbruch.
14
maka fungsi utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan. b.
Kepastian Kepastian hukum itu adalah kepastian undang-undang atau peraturan,
segalamacam cara, metode dan lain sebagainya harus berdasarkan undang-undang atau peraturan. Di dalam kepastian hukum terdapat hukum positif dan hukum tertu lis.Hukum tertulis ditulis oleh lembaga yang berwenang, mempunyai sanksi yang tegas,sah dengan sendirinya ditandai dengan diumumkannya di Lembaga Negara. c.
Kemanfaatan Dalam nilai kemanfaatan dapat dilihat bekerjanya hukum tersebut harus
efektif dan bermanfaat serta memberi daya guna (utility) bagi masyarakat. 1.7.2 Teori Hukum Fungsional Roscoe Pound seorang ahli hukum menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme control sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh lembaga hukum yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu.11 Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial: Hukum adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks
11
http://www.scribd.com/doc/176457298/Teori-Hukum-Roscoe-Pound-2 diakses tanggal 30 Juni 2015.
15
dan proses hukum serta administrasi. 12 Pound juga mengatakan bahwa fungsi hukum sebagai alat perekayasa social. Suatu fungsi untuk mengubah masyarakat kearah yang dicita-citakan dengan menggunakan hukum. Dengan demikian, jika ada sesuatu yang ingin dicapai dibuatlah suatu aturan hukum, untuk mengubah suatu tingkah laku/ perilaku ke arah yang dikehendaki 1.7.3 Teori Efektivitas Hukum Untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini akan dipergunakan Teori Efektivitas Pelaksanaan Hukum dari Soerjono Soekanto bahwa efektivitas hukum yang dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat yaitu (1) Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) Faktor petugas/penegak hukum; (3) Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) Faktor masyarakat atau faktor kebudayaan masyarakat.13 Berikut ini penjelasan dari Soerjono Soekanto masing-masing faktor: 1.
Faktor Hukum Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantahan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
12
http://dimensilmu. blogspot. com/2013/11/ tujuan-dan-fungsi-hukum.htm diakses tanggal 30 Juni 2015. 13 Soerjono Soekanto, 2004, Op.Cit hal. 8.
16
kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, Hal itu di ungkapan sebagai berikut. a)
Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b)
Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
c)
Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai posistif yang tertinggi14 Kalau dikaji lebih dalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah
hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab apabila tidak: (1) Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum). Berdasarkan penjelasan di atas, tampak betapa rumitnya persoalan efektifitas hukum di Indonesia. Oleh karena itu agar suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor yang telah disebutkan.
14
Ibid , hal. 11-67
17
2.
Faktor Penegak Hukum Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena
mencakup baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam hal penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto bahwa: Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum tidak hanya mencakup ”law enforcement” akan tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di bidang bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan. 15 Oleh karena itu yang di maksud penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, di antaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut. a)
Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
b) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan ? c)
Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat?
d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya. 16
15
Soerjono Soekanto IV, Ibid, hal.13 H. Abdulmanan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Pressnada Media, Jakarta, hal. 98 16
18
3.
Faktor Sarana/Fasilitas Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan
tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan. 4.
Faktor Masyarakat Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
19
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut. 1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu lintas adalah tinggi maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi, yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu-rambu lintas warna kuning menyala, para pengemudi diharapkan memperlambat laju kendaraannya. Namun bila terjadi sebaliknya, kendaraan yang di kemudikan di percepat lajunya atau tancap gas besar kemungkinan akan terjadi tabrakan. 2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang mendiami Kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud, lahir dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan berzakat bagi setiap muslim yang mempunyai penghasilan, baik penghasilan dari pekerjaan profesi sebagai pegawai negeri, pejabat structural, maupun pejabat fungsional. Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dimaksud, mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud, memerikan zakat kepada orang yang dianggap berhak menerimanya. Padahal baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam (Aquran) menghendaki agar zakat dikeluarkan melalui lembaga amil zakat. Sebab, salah satu fungsi sosial zakat adalah
20
pemenuhan hak bagi delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. 17 Berdasarkan dua contoh di atas, persoalan adalah (1) Apabila peraturan baik, tetapi warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkannya? (2) Apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundangundangan? Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum seperti agama dan adat istiadat, semakin kecil peran hukum. Seperti halnya peraturan yang mengatur tentang specis langka mempunyai peran yang sangat besar terhadap pelanggaran/perdagangan species langka. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Terkait dengan hal tersebut perlu diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) Pelembagaan yang terencana dan terarah.
17
Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Hukum Dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah, Banyumedia Publisihng, Malang, hal.162
21
5. Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatupadu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau nonmateriil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, subtansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut umpamanya, mencakup tatanan lembagalembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan seterusnya, substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk menegakkan yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor kebudayaan ini. Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum adalah sebagai berikut : 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman, 2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, 3. Nilai kelanggengan/ konservatisme dan nilai kebaruan/ inovasitisme.
22
Di dalam keadaaan sehari-hari maka nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan. Secara Psikologis keadaan tenteram ada bila seorang tidak merasa khawatir, tidak merasa diancam dari luar, dan tidak terjadi konflik bathiniah. Pasangan nilai-nilai tersebut yaitu ketertiban dan ketentraman, dimana kedua hal tersebut sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Di dalam bidang tata hukum maka bidang hukum publik (seperti misalnya hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum pidana) harus mengutamakan nilai ketertiban dan dengan sendirinya merunut nilai kepentingan umum. Akan tetapi di dalam bidang hukum perdata (misalnya hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga, dan hukum waris), maka nilai ketentraman lebih diutamakan. Hal ini berarti bahwa di dalam hukum publik nilai ketenteraman boleh diabaikan, sedangkan di dalam hukum perdata nilai ketertiban sama sekali tidak diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan nilai ketenteraman, merupakan pasangan nilai yang bersifat universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut keadaan masing-masing kebudayaan, di mana pasangan nilai tadi diterapkan.
1.8 Metode Penulisan Dalam
rangka
memperoleh,
kemudian
mengumpulkan
serta
menganalisa setiap sumber hukum, tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah mempunyai susunan yang sistematis, terarah dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut:
23
a. Jenis penelitian Dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan pendekatan yuridis normatif. Permasalahan dibahas berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku terkait dengan pengaturan perlindungan species langka dari akibat sindikasi perdagangan spesies langka. b. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitiian normatif ada beberapa macam yaitu: pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, dan perdekatan konsetual. Dalam penulisan ini akan menggunakan beberapa jenis pendekatan yaitu, pendekatan perundang-undangan berkaitan peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku mengatur perlindungan species langka dari akibat sindikasi perdagangan species langka. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual yaitu dengan beranjak dari pandanganpandangan dan dokrin-dokrin yang berkembang di dalam ilmu hukum terkait dengan perlindungan species langka dari akibat sindikasi perdagangan species langka. Dengan memperlajari pandagangan dan doktrin di dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. c. Sumber Bahan Hukum Pembahasan dalam penulisan ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.18 Dalam penulisan ini yang digunakan adalah undang-undang:
18
Amiruddin & Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 31
24
a) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, b) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, LN. No. 14 tahun 1999, TLN No.3803 c) PP nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Hewan, LN No. 15 tahun 1999, TLN No.3804. d) Keputusan Menteri Kehutanan No: 62/kpts-II/1998 tentang Tata Usaha peredaran tumbuhan dan Satwa Liar e) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.104/kpts-II/2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap satwa Liar f) fatwa No.4 tahun 2014 tentang Perlindungan Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem Bahan hukum primer yaitu bahan yang memberikan penjelesan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum, buku literatur dibidang hukum perlindungan species. Bahan hukum sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yang fungsi untuk melakukan klarifikasi dan justifikasi ilmiah. Studi kepustakaan adalah merupakan penelahaan peraturan perundangundnagan yang terkait serta buku-buku atau literatur sebagai bahan bacaan. Menurut Burhan Ashshofa, kepustakaan adalah research yang dilakukan di
25
perpustakan-perpustakaan, arsip-arsip, musiun dan lain-lain, dimana penelitiannya memiliki nilai kristisme tinggi. 19 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dilakukan dengan sistem kartu (card system), yaitu meneliti literatur dan peraturan perundang-undnagan yang masih berlaku dan ada kaitannya dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini, kemudian dicatat dalam kertas lepas dengan mencantumkan nama pengarang, tahun terbit, judul buku, nama penerbit, dan nomor halaman yang dikutif. 20 e. Teknik Pengolahan dan Analisis Sumber Hukum Dari bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan
tehnik
diskripsi,
interpretasi,
argumentasi,
evaluasi
dan
sistimatisasi. Pengertian masing-masing tehnik analisis dimaksud sebagai berikut: a. Deskripsi yaitu memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara apa adanya. b. Tehnik interprestasi adalah berupa penggunan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum, terutama penafsiran historis dan penafsiran kontekstualnya. c. Tehnik argumentasi, yaitu berupa penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
19
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hal.
103 20
Setyo Yuwono Sudikni, 1983, Pengantar Penyusunan Karya Ilmiah, Aneka Ilmu Jakarta, hal. 37
26
d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau sah terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. e. Sistematisasi artinya pemaparan terhadap hubungan hierarkis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan pada skripsi ini. Disamping itu, antara bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder tidaklah kontradiksi. 21
21
_____, 2009, Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.76
27