BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Label korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi pegawai negeri, TNI, Polri, pegawai BUMN/BUMD ataupun anggota parlemen pusat dan daerah, namun juga dapat ditempelkan pada semua anggota masyarakat dengan pekerjaan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kepentingan publik.Lima puluh tujuh tahun silam, gejala ini sebenarnya telah dicurigai sebagai penyakit yang mulai berjangkit dan harus segera ditangkal dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 1957. Empat belas tahun kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi justru sama sekali tidak menghambat penularan penyakit masyarakat itu, bahkan sebaliknya semakin berkembang luas dan parah. Jadi, sebenarnya telah terjadi proses pembiaran perluasan penularan penyakit korupsi selama lima puluh tujuh tahun. Korupsi membebani masyarakat Indonesia terutama masyarakat miskin, oleh karena
itu
korupsi
harus
diberantas,
karena
dampak
negatif
yang
ditimbulkannya.Dalam berbagai diskusi ilmiah, dampak nyata tindakkorupsi bukan hanya menimbulkan high cost economy yang berakibat padapenurunan daya saing terhadap pasar global, tetapi juga merugikan Negara.Dalam jangka panjang, korupsi dapat menimbulkan kerusakan moral individu,keluarga, warga masyarakat dan
1
2
Bangsa
Indonesia.Korupsi
juga
menciptakan
tinggi,membahayakan kestabilan keuangan,
risiko
ekonomi-makro
yang
mengkompromikan keamanan dan
hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. 1Padahal kekayaan negara yang dikorup jumlahnya sangat besar. Kwik Kian Gie pernah memberikan gambaran betapa besar kekayaan negara yang dikorup (per tahun), yang disebutkan melebihi APBN. 2 Tindak pidana korupsi tumbuh dan berkembang dengan subur di negeri ini merupakan fakta yang sungguh tidak terbantahkan. Masyarakat di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional semua mafhum tentang maraknya tindak korupsi dalam berbagai bidang, modus dan bentuk yang menguras kekayaan negara dan menyengsarakan
rakyat.
Pada
saat
bersamaan,
tekanan
tentang
perlunya
penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan norma good governance dan clean government dan penyelengaaran sektor swasta yang sejalan dengan prinsip good corporate governance dilontarkan semakin gencar dan meluas serta berkelanjutan oleh kalangan mahasiswa, pengusaha, profesional, akademisi serta masyarakat luas yang merindukan tegaknya keadilan. Semua kalangan juga sepakat bahwa salah satu cara yang sangat penting dalam upaya pemberantasan tipikor adalah sistem hukum dan proses peradilan yang obyektif, transparan dan konsisten.
1
Kompas, Fokus, “Memerangi Korupsi, Hanya Sata Kata: Lawan”, 25 Oktober 2003 Menurut Kwik Kian Gie: “Ikan, pasir dan kayu yang dicuri senilai 90 triliun rupiah, pajak yang dibayarkan oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negara 240 trilyun rupiah, subsidi kepada perbankan yang tak pernah akan sehat 40 trilyun rupiah, kebocoran dalam APBN 20% dari 370 trilyun rupiah yaitu 74 trilyun rupiah. Dengan demikian jumlah yang dikorup kurang lebih 444 trilyun rupiah, lebih besar dari keseluruhan APBN tahun 2003”. Periksa: Kompas, ibid. 2
3
Korupsi
memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai
persoalan hukum dan menyangkut jenis kejahatan yang rumit, karena korupsi mengandung banyak aspek baikterkait dengan aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya. Berbagai upaya pemberantasan korupsi sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal ini menurut Bintoro Tjokroamidjojo dan Ninik Mariyanti disebabkan oleh: a. persoalan korupsi memang merupakan persoalan yang rumit; b. sulitnya menemukan bukti ; c. adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu.
Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara,
kejahatan
korupsi juga menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi penegak hukum. Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan
bahwa
Lembaga-Lembaga
vertikal(Polisi,
Peradilan,
Pajak,
Imigrasi, Bea Cukai, Militer, dll) masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi
4
(78%) dan Pajak (76%).3 Hal ini disebabkan telah mengakarnya praktek korupsi di masyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya, pemberantasan korupsi harus komprehensif dengan melibatkan semua komponen aparat penegak hukum dan masyarakat. Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta penyelenggaraan proses peradilan untuk kasus dugaan korupsi oleh pengadilan tindak pidana korupsi, merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan dan mencuatkan harapan besar serta keyakinan kuat di kalangan masyarakat luas bahwa pemberantasan korupsi melalui upaya hukum dan proses peradilan akan berjalan secara cepat, komprehensif, tuntas dan konsisten. Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi dengan Keputusan Presiden No. 11
Tahun
2005
ini
bertujuan
untuk
lebih
mempercepat
pemberantasan
korupsi.Dengan demikian pemerintah c.q Presiden menilai bahwa pemberantasan korupsi yang berlangsung selama ini masih lamban atau kurang cepat. Penilaian Presiden bukan saja ditujukan kepada kinerja lembaga pemerintahan yang dipimpinnya yang merupakan sub sistem dalam sistem peradilan pidana yaitu Kejaksaan dan Kepolisian, tetapi juga ditujukan kepada KPK. Terhadap KPK yang merupakan lembaga negara independen yang bertanggung jawab kepada publik sudah
3
Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www . journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, hal. 2, diakses pada hari Kamistanggal 15 April 2009 pukul 11.25 WIB
5
tentu Presiden tidak dapat menjangkaunya, oleh karena itu jalan pintas yang bisa ditempuh oleh Presiden adalah memberdayakan lembaga pemerintahan yang berada di dalam kewenangan dan kendalinya dengan mengkoordinasikannya dalam suatu wadah yaitu Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor), sehingga terbentuk sinergi yang bulat. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya bukan lembaga baru dengan status, tugas, dan wewenang yang khusus seperti KPK, tetapi hanya merupakan wadah koordinasi dimana semua unsur di dalamnya yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan BPKP melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dalam koordinasi agar lebih berdaya guna dan berhasil guna. Tidak ada atau lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, kita lihat dan kita rasakan dengan nyata seolah-olah lembaga itu berjalan sendiri-sendiri, sehingga potensipotensi yang ada tidak menghasilkan sesuatu yang optimal.Hal ini rupanya juga dilihat dan disadari oleh pemerintah c.q. Presiden, sehingga dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi. 4 Menurut pemberitaan media massa, Tim Tastipikor menerima sembilan belas laporan kasus korupsi langsung dari Presiden. Laporan tersebut berasal dari segala sumber termasuk dari masyarakat luas. Untuk menindaklanjuti laporan yang diterima itu Presiden bisa menyerahkan kepada Kejaksaan atau kepada Kepolisian, tetapi dalam hubungan ini Presiden menempuh kebijaksanaan yang arif, yaitu menyerahkan 4
Demikian disampaikan anggota KHN, Suhadibroto saat menjadi narasumber pada talkshow program reformasi hukum nasional yang diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan Radio 68 H Jakarta, dan disiarkan langsung melalui satelit 89,20 FM, pukul 09.00 – 09.30, Senin, 30 Mei 2005.
6
laporan kasus korupsi itu kepada Kejaksaan dan Kepolisian bersama-sama yang dibantu oleh BPKP dalam wadah Tim Tastipikor untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Dalam wadah Tim Tastipikor penyelesaian suatu kasus korupsi juga diharapkan bisa lebih cepat, karena tidak lagi terjadi berkas perkara mondar mandir atau bolak balik antara penyidik dan penuntut umum (seperti terjadi dalam kasus-kasus pidana umum.Dengan adanya Tim Tastipikor nuansapersaingan yang terjadi antara Kejaksaan dan Kepolisian khususnya tentang kewenangan penyidikan yang berdampak negatif dalam penegakan hukum bisa dinetralisasi, dan tumpang tindih kewenangan penyidikan kasus korupsi yang terjadi selama ini justru bisa diatasi dan timbullah sinergi. Dalam Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Tastipikor dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Tim Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi bekerja sama dan/atau berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Ombudsman Nasional, dan instansi lain. Dalam hubungannya dengan KPK, kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan Tim Tastipikor tidak perlu ada, mengingat status KPK sebagai “super body” dengan tugas dan wewenangnya yang khusus. Sebagaimana tersebut di atas, KPK mempunyai kewenangan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, termasuk Kejaksaan maupun Kepolisian di dalam wadah Tim Tastipikor. KPK berwenang meminta laporan dari Tim Tastipikor bahkan berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan
7
perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian yang tergabung dalam Tim Tastipikor maupun di luarnya. Mengingat korupsi yang semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya, tidak mungkin semua kasus korupsi yang terungkap mampu ditangani oleh KPK. Sesuai dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK membatasi diri hanya akan menangani kasus korupsi tertentu, yaitu kasus yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, kasus yang menarik perhatian serta meresahkan masyarakat, atau kasus yang merugikan keuangan negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00,-. Sehingga kasuskasus korupsi lain tentunya harus ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian yang saat ini terwadahi dalam Tim Tastipikor. Menjadi pertanyaan adalah apakah di daerah juga akan dibentuk Tim Tastipikor, mengingat kasus-kasus korupsi juga banyak diungkap dan ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian dengan bantuan BPKP di daerah? Demi mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal dalam pemberantasan korupsi, Tim Tastipikor juga perlu dibentuk di daerah dengan format yang lebih kecil dan mempunyai hubungan vertikal dengan Tim Tastipikor di pusat. Bila Tim Tastipikor ini berhasil melaksanakan tugasnya, perlu dipertimbangkan untuk memperpanjang masa tugasnya yang hanya dua tahun itu, sehingga koordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian serta BPKP menjadi pola yang baku dan tetap, sehingga terciptalah sistem yang terintegrasi yang berjalan secara otomatis khususnya dalam pemberantasan korupsi.
8
Realitas di lapangan menyadarkan betapa tantangan dan hambatan yang dihadapi tim pemberantasan dan pengadilan tindak pidana korupsi sangat besar, berat dan kuat. Kuatnya jalinan kepentingan politik, kekuasaan dan finansial antara aktor intelektual dan operator pelaku tindak pidana korupsi memiliki daya tolak yang sangat kuat tehadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Jejaring yang terbentuk dalam berbagai modus operandi tindak pidana korupsi mempersulit pilihan strategi dan taktik pemberantasan tindak pidana korupsi secara menyeluruh, cepat dan tuntas sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas. Sedangkan strategi dan taktik pemberantasan tindak pidana korupsi secara bertahap berdasarkan skala prioritas menimbulkan kesan kuat bahwa upaya pemberantasan korupsi lebih bersifat kejar tayang dan tebang pilih ketimbang upaya serius dan konsisten untuk menegakkan keadilan. 5 Dihadapkan pada situasi sulit tersebut, tim pemberantasan (KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan BPKP) dan pengadilan tindak pidana korupsi perlu mendapatkan penguatan eksternal dan internal. Penguatan eksternal bersumber dari terciptanya konsensus nasional tentang strategi dan pendekatan penanganan tindak pidana korupsi yang optimal dan dapat diterima masyarakat luas. Pada aspek penguatan internal, KPK bersama tim pemberantasan dan pengadilan tindak pidana korupsi
5
Sudarwan, Konsensus Nasional Penanganan Tindak Pidana Korupsi : Penegakan Keadilan atau Kejar Tanyang dan Tebang Pilih, diakses dari situs : http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=145:konsesusnasional-penanganan-tindak-pidana-korupsi-penegakan-keadilan-atau-kejar-tayang-dan-tebang pilih&catid=57:artikel&Itemid=80 , diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 18.15 WIB.
9
perlu menindaklanjuti konsesus nasional dengan rencana tindakan yang meliputi penyiapan dan pengembangan kebijakan, perangkat, proses dan teknis penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dapat meyakinkan masyarakat luas bahwa semua itu dilakukan secara serius, berkualitas, konsisten dan sistematis. Jalan kearah terciptanya konsesus nasional mengenai penanganan tindak pidana korupsi memang sangat terjal. Perdebatan publik tak akan pernah habis dan sulit menghasilkan kesepakatan tentang dua hal pokok dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu penanganan terhadap tersangka pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dan penyelamatan kekayaan negara. Setiap koruptor yang mencuri kekayaan negara tanpa pandang bulu harus diproses ke pangadilan, dibuktikan bersalah, divonis kurungan badan dan disita asetnya untuk mengganti kerugian negara akibat dari tindakan koruptor tersebut. Namun dalam realisasinya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.Dalam kenyataannya masalah pengembalian kekayaan negara sangat sulit dilakukan. Hal ini bermula dari susahnya persoalan dalam menentukan unsur kerugian negara sampai pada rumitnya masalah pembuktian adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Khusus mengenai masalah pembuktian mengenai adanya kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi, BPKP sebagai bagian dari tim pemberantasan tindak pidana korupsi memiliki wewenang untuk itu. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
10
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Presiden Republik Indonesia, yang mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Landasan dasar tugas Pokok dan Fungsi BPKP secara resmi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31 Tahun 1983, yang kemudian diperbaharui dengan Keppres nomor 166 Tahun 2000 dan Keppres Nomor 62 Tahun 2001. Tugas pokok BPKP antara lain mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan, menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan dan menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Sedangkan fungsi yang dilakukan diantaranya melakukan audit investigasi terhadap kasus-kasus yang diindikasikan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan pemerintah. Menjadi sebuah kewajiban bagi BPKP sebagai salah satu Aparat Pengawas Intern Pemerintah dalam bidang keuangan dan pembangun, untuk memberikan penilaian tersendiri. Penilaian yang mendasarkan pada hasil-hasil pelaksanaan tugasnya selama ini.Penilaian mengenai korupsi dapat meliputi pengungkapan fakta korupsi, sebabsebab yang mendasarinya, serta faktor-faktor lainnya berupa memotivasi Auditor yang melakukan audit investigasi agar bekerja sepenuh hati, sehingga memberikan nilai kepuasan kerja tersendiri. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung menunjang pelaksanaan kegiatan BPKP dalam rangka menanggulangi kasus-kasus Tindak Pidan Khusus(TPK), salah satunya kasus korupsi.
11
Dalam Blue Print BPKP yang telah disosioalisasikan pada tahun 1999, ada 3(tiga) Key Performance Factors Kantor perwakilan BPKP di daerah dan merupakan parameter keberhasilan suatu Kantor Perwakilan BPKP, yaitu: a. Membantu pemeirntah dalam percepatan pemberantasan KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) b. Optimalisasi Penerimaan Negara dan Optimalisasi Penerimaan Daerah (OPN/OPD), dan c. Asistensi dan evaluasi AKIP(Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) serta asistensi penyusunan standard an SAKD(Sistem Akuntansi Keuangan Dareah) Sebagai lembaga internal audit pemerintah yang menghasilkan berbagai produk pengawasan seperti Audit Umum, Audit Operasional, dan Audit Investigasi/Khusus serta mempunyai sumber daya manusia yang berstatus sebagai tenaga fungsional auditor lebih dari 4.000 personil.Audit investigatif adalah merupakan bagian dari pengawasan intern pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pada dasarnya semangat audit investigatif oleh BPKP berdasarkan perspektif undang-undang di atas bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan (bukan pemeriksaan) internal pemerintahan yang bersifat preventif, yaitu berupa laporan
pertanggungjawaban
kepada
presiden.
Artinya
BPKP
memperoleh
12
kewenangannya melalui delegasi Presiden sebagai sistem internal pengendali pemerintah.BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Sehingga seharusnya BPKP kalaupun sampai pada tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium), setelah melalui proses tuntutan ganti rugi ataupun proses administratif
internal
lainnya. 6 Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Hukum Kewenangan Auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan(BPKP) Mengitung Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 64/PDT.G/2009/PN YK)”. Penelitian ini dianggap menarik karena penulis ingin melihat bagaimana sebenarnya kewenangan Auditor BPKP dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara untuk kasus tindak pidana korupsi. Karena beberapa kasus memberikan fakta akan adanya tuntutan kepada Auditor BPKP atas kewenangannya menghitung kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi. BPKP merupakan bagian Tim Pemberantasan Korupsi selain KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. BPKP dalam melaksanakan perannya bersinergi dengan penegak hukum yang lain seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. BPKP ini fungsinya tidak bisa melakukan penangkapan seperti kejaksaan, tapi membantu penyidik untuk bisa melakukan penangkapan, jadi BPKP fungsinya membantu penyidik dalam rangka 6
Duke Arie, Kewenangan Audit Investigatif BPKP dan Korupsi, diakses dari situs : http://gorontalomaju.com/opini/artikel-lainnya/kewenangan-audit-investigatif-bpkp-dan-korupsi.html , diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 16.20 WIB.
13
audit investigatif yaitu audit terhadap kegiatan-kegiatan yang diduga mengandung penyimpangan-penyimpangan dan berindikasi Tindak Pidana Korupsi. Kemudian membuat laporan audit investigasiapabila terpenuhi unsur tindak pidana korupsi dan diserahkan kepada penyidik untuk diproses lebih lanjut. Dalam kasus tuntutan terhadap Auditor BPKP dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 64/PDT.G/2009/PN YK, Drs. Muhdori Masuko Haryono Bin Wiji Suharno(Penggugat) yang telah melakukan perjanjian kerja tentang Pengadaan Buku Teks Wajib SD, SMP dan SMA Nomor:425.2/886 tanggal 10 Mei 2004 Jo. Perubahan Perjanjian Kerja Nomor : 425.2/2813 tanggal 08 Oktober 2004 di Sleman dengan PT. Balai Pustaka(Persero), telah dilaporkan ke Polda DIY sebagaimana dalam Laporan Polisi No:LP/52/IV/2005/Dit. Reskrim tanggal 08 April 2005, karena diduga telah melakukan tindak Pidana Korupsi sebagaimana diaturdalam UUNo. 318No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001. Proses Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polda DIY telah meminta bantuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan(BPKP) Perwakilan Propinsi DIY (Tergugat II) untuk menghitung kerugian negara Proyek Pengadaan Buku teks Wajib SD, SMP dan SMA. Kemudian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi DIY menugaskan M. Hasan Riyadi, SE(Auditor Ahli Madya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan(BPKP) Perwakilan Propinsi DIY) selaku Tergugat I melakukan Audit Investigatif untuk melakukan penghitungan kerugian negara atas Proyek Pengadaan Buku teks Wajib SD, SMP dan SMA
14
Kabupaten Sleman. Tergugat I menerbitkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Negara atas Pengadaan Buku SD, SMP, SMA pada Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman Tahun 2004 dan 2005. Laporan Tergugat I kepada Kepala BPKP Perwakilan DIY telah dikirim Ke Polda DIY dengan surat No. S-87/PW12/5/2006 tanggal 19 Juni 2006. Menurut Penggugat, Audit Investigatif atau setidak-tidaknya perhitungan kerugian keuangan negara tersebut oleh Para Tergugat dilakukan dengan tidak mengindahkan
standar/prinsip–prinsip
audit/Pedoman
Pengelolaan
Bidang
Investigasi BPKP tahun 2005 sebagaimana mestinya(dengan cara-cara melawan hukum, tidak patut, tidak profesional dan tidak mengindahkan norma-norma itikad baik).
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting sebagai pedoman dari masalah yang akan diteliti sehingga mempermudah penulisdalam membahas permasalahan serta dapat mencapai sasaran sesuai denganapa yang diharapkan sehingga tidak terlalu luas dan akan menjadi lebihterarah. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut maka dapatdikemukakan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kewenangan Auditor BPKP menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi ditinjau dari peraturan yang berlaku?
15
2. Bagaimana tinjauan secara aspek hukum kewenangan Auditor BPKP menghitung kerugian keuangan dalam Putusan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 64/PDT.G/2009/PN YK)?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui kewenangan Auditor BPKP menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi ditinjau dari peraturan yang berlaku.
2.
Untuk mengetahui tinjauan secara aspek hukum kewenangan Auditor BPKP menghitung kerugian keuangan dalam Putusan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 64/PDT.G/2009/PN YK).
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu : 1. Secara Teoritis Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat gencar dilakukan oleh Pemerintah dengan memaksimalkan peran, fungsi dan wewenang
16
BPKP sebagai bagian dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani suatu perkara tindak pidana korupsi. 2. Secara Praktis a. Bagi Pemerintah Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah agar segera merumuskan peraturan perundang-undangan yang untuk selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing lembaga khususnya
BPKP dalam
rangka memaksimalkan peran, fungsi dan wewenang lembaga tersebut dalam rangka mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan karena munculnya tuntutan atas kewenangan BPKP dan Auditor BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara. Karena terkadang hasil audit investigasi BPKP tidak dapat dijadikan alat bukti karena hasil audit investigasi BPKP bukan merupakan audit yang hasilnya dapat
dijadikan dasar untuk
mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan (bukan pemeriksaan) yang bersifat preventif, yaitu merupakan laporan pertanggungjawaban kepada presiden. BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Namun untuk beberapa kasus, hasil audit BPKP dianggap sebagai satu-satunya alat bukti dalam kasus tindak pidana korupsi. b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum anti korupsi dan kesadaran hukum untuk berperan memberantas korupsi.
17
c. Bagi Masyarakat Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya terhadap political will pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Gadjah Mada diketahui bahwa penelitian tentang “Analisis Hukum Kewenangan Auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan(BPKP) Mengitung Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi(Analisis Putusan
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
Nomor
64/PDT.G/2009/PN
YK)”
sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan dalam masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana korupsi tapi dengan perspektif yang berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.Penelitian ini juga terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan.