1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pertanian organik merupakan jawaban atas revolusi hijau yang digalakkan
pada tahun 1960-an yang menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang tidak terkendali. Sistem pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang holistik dimana
manajemen
produksinya
bertujuan
meningkatkan
kesehatan
agroekosistem termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah untuk mengoptimalkan produksi tanaman (Budiasa, 2014). Pertanian organik didasarkan pada penggunaan bahan input eksternal secara minimal serta tidak menggunakan input pupuk dan pestisida sintetis. Praktek pertanian organik tidak dapat menjamin bahwa produk yang dihasilkan sepenuhnya bebas dari residu karena adanya polusi lingkungan secara umum seperti cemaran udara, tanah, dan air, namun beberapa cara dapat digunakan untuk mengurangi polusi lingkungan. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2013), organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar sistem pertanian organik dan disertifikasi oleh lembaga sertifikasi organik yang telah terakreditasi. Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang telah ditetapkan oleh badan standarisasi (IFOAM, 2008). Menjaga integritas produk pertanian organik, operator, pengolah, dan pedagang pengecer produk pertanian organik harus mengacu pada standarisasi organik. 1
2
Menurut Herawati, dkk (2014), kembalinya sistem pertanian organik dapat memberi solusi terhadap masalah penurunan produktivitas lahan pertanian di Indonesia. Menurut berbagai praktisi di bidang organic farming, dalam jangka panjang produktivitas lahan pertanian organik lebih tinggi atau setidaknya sama dengan produktivitas lahan pertanian konvensional. Namun, barriers to entry untuk memasuki usaha ini cukup besar, antara lain dalam hal biaya konversi lahan yang memakan waktu sekitar dua tahun, biaya sertifikasi yang cukup mahal serta sistem multikultur dan pencegahan hama yang membuat komponen labor cost menjadi tinggi dibandingkan dengan sistem konvensional. Di Indonesia, penerapan metode bertani secara organik mulai dikenal pada pertengahan tahun 1980-an yang sebagian besar dipelopori oleh perseorangan dan lembaga non pemerintah (Sulaeman, 2006). Perkembangan luas areal pertanian organik di Indonesia dari tahun 2007-2011 disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Perkembangan Luas Areal Pertanian Organik di Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Luas (ha) 40.970 208.535 214.985 238.872 225.063
Sumber: SPOI, 2011
Pada Tabel 1.1, terlihat bahwa luas areal pertanian organik di Indonesia tahun 2007 sebesar 40.970 ha, pada tahun 2008 meningkat sebesar 80% menjadi 208.535 ha. Pertumbuhan luas areal pertanian organik di Indonesia dari tahun 2008 hingga 2009 tidak terlalu signifikan yaitu hanya 3%. Luas areal pertanian organik di Indonesia tahun 2010 seluas 238.872 ha meningkat 10% dari tahun
3
sebelumnya. Namun pada tahun 2011 menurun sebesar 6,1% dari tahun sebelumnya menjadi 225.063 ha. Lebih lanjut, menurut SPOI (2011) luas area pertanian organik dalam proses sertifikasi di Indonesia tahun 2011 seluas 90.135,3 ha. Area tanpa sertifikasi seluas 134.717,7 ha dan area dalam proses sertifikasi seluas 3,8 ha. Area pertanian organik dengan sertifikasi PAMOR seluas 5,89 ha. PAMOR adalah Penjaminan Mutu Organis Indonesia, sebuah penjaminan partisipatif yang dikembangkan oleh Aliansi Organis Indonesia. Tren keamanan pangan (food safety) menjadi isu sensitif dalam industri pangan. Berbagai kasus keracunan pangan yang terjadi berasal dari kontaminasi bahan kimia dan mikrobiologi. Adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang kini lebih memperhatikan kesehatan dengan mengkonsumsi produk-produk hasil pertanian organik maka permintaan akan produk-produk pangan organik mengalami peningkatan. Pola hidup sehat telah menjadi gaya hidup baru dan telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan (eco-labeling attributes) (Badan Litbang Pertanian, 2002). Biocert, 2007 (Nafis, 2011) yang merupakan salah satu lembaga sertifikasi organik di Indonesia menyebutkan bahwa peluang usaha budidaya beras organik masih terbuka lebar yaitu dengan adanya potensi ekspor beras organik mencapai 100.000 ton dengan tujuan ekspor negara-negara ASEAN dan Timur Tengah. Pada kenyataannya jumlah ini belum mencapai 10% dari kebutuhan pasar global. Disamping itu potensi pasar domestik pun sangat tinggi. Oleh karena itu, peluang
4
yang didapat dalam pembudidayaan beras organik ini sangat besar dan menguntungkan. Posisi beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia menjadikan komoditas ini menjadi komoditas pertanian organik yang paling berkembang di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh FiBL (Forschungsinstitut for Biologischen Lanbau) dalam data statistik dan tren pertanian organik dunia tahun 2012 memperlihatkan luas areal tanam padi organik di Indonesia disajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Luas Areal Tanam Padi Organik di Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Luas Areal Tanam (ha) 54.509,41 59.141,43 83.630,09 74.034,10 88.247,30
Sumber: FiBL-IFOAM, 2012
Pada Tabel 1.2 terlihat bahwa luas areal tanam padi organik di Indonesia berfluktuasi, namun cenderung mengalami peningkatan luas area seluas 13,16% periode 2008 sampai dengan periode 2012. Sistem pertanian organik merupakan salah satu sasaran pembangunan pertanian Provinsi Bali melalui program Bali Organik serta Bali Clean and Green yang merupakan visi pemerintah Provinsi Bali. Perkembangan pertanian organik di Bali saat ini telah mengalami perkembangan yang positif, walaupun pasarnya masih terkonsentrasi pada beberapa tempat saja. Produk pangan organik terutama dalam bentuk segar dan olahan minimal telah dipasarkan di kawasan wisata yang
5
ada di Bali, ritel-ritel modern, restaurant dan toko khusus yang menjual produk pangan organik. Perkembangan pariwisata Bali yang mengalami peningkatan tiap tahunnya sebesar 7,1% (BPS, 2014) dan kesadaran konsumen tentang pentingnya kesehatan merupakan peluang pasar bagi produsen produk pangan organik. Meningkatnya minat konsumen terhadap pangan organik berdampak terhadap meningkatnya minat produsen untuk memproduksi bahan pangan organik. Salah satu subak di Bali yang memproduksi bahan pangan organik dan sudah tersertifikasi oleh LeSos adalah Subak Wongayabetan dengan komoditi utama yaitu beras merah organik. Subak Wongayabetan merupakan kawasan Warisan Budaya Dunia yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2012. Keberadaan subak di Bali memiliki peranan penting sebagai wahana pemberdayaan masyarakat petani karena sangat sesuai dengan pendekatan pembangunan yang mengarah pada community centre oriented (Windia, 2005). Beras merah organik yang diproduksi oleh Subak Wongayabetan memiliki nilai ekonomi dan kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras putih organik. Beras merah organik Subak Wongayabetan adalah beras tumbuk (pecah kulit) yang dipisahkan bagian sekamnya sehingga kandungan nutrisi beras tetap utuh. Menurut Purwasasmita dan Sutakiat (2008), segelas beras merah organik tumbuk mengandung 216,45 kalori, 88% kecukupan harian (daily valueDV) mineral mangan, 27% DV selenium, 21% DV magnesium, 18,8% DV asam amino triptofan, 3,5 gram serat (beras putih mengandung kurang dari 1 gram), dan
6
proteinnya 2-5% lebih tinggi dari beras putih. Beras merah mengandung asam lemak alfa-linolenat, zat besi, vitamin B kompleks, dan vitamin A. Peluang meningkatnya permintaan konsumen terhadap pangan organik khususnya beras merah organik belum bisa dimanfaatkan secara maksimal karena produksi beras merah organik di Subak Wongayabetan cenderung tetap dan luas lahan yang tersertifikasi organik belum maksimal. Data produksi dan jumlah permintaan beras merah organik Subak Wongayabetan disajikan pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Produksi dan Jumlah Permintaan Beras Merah Organik di Subak Wongayabetan No.
Tahun
Produksi (ton)
Jumlah Permintaan (ton)
1. 2. 3. 4. 5.
2009 2010 2011 2012 2013
43,77 43,79 43,84 43,89 43,95
50 57 68 75 82
Sumber: Kelompok Tani Padi Organik Somya Pertiwi
Pada Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa produksi beras merah organik di Subak Wongayabetan tahun 2009-2013 mengalami peningkatan sebesar 0,07% sedangkan
jumlah
permintaan
terhadap
beras
merah
organik
Subak
Wongayabetan meningkat sebesar 9,25% tiap tahun. Peningkatan jumlah permintaan ini disebabkan oleh semakin meningkatnya minat konsumen terhadap beras merah organik dan adanya outlet-outlet baru yang ingin membeli beras merah organik produksi Subak Wongayabetan. Besarnya permintaan beras merah organik saat ini belum dapat terpenuhi seluruhnya mengingat produksi beras meras organik yang cenderung tetap.
7
Peningkatan jumlah permintaan beras merah organik Subak Wongayabetan mempengaruhi minat petani untuk memproduksi beras merah organik. Namun dalam pelaksanaannya petani organik di Subak Wongayabetan menghadapi beberapa kendala seperti pengelolaan usahatani yang masih sederhana, lahan sawah di Subak Wongayabetan belum seluruhnya tersertifikasi organik, dan banyaknya produk pangan yang mengklaim sudah organik namun belum tersertifikasi organik yang beredar di pasaran. Tingginya minat konsumen terhadap pangan organik dapat dijadikan peluang usaha bagi Subak Wongayabetan. Upaya meraih peluang tersebut dengan memaksimalkan kekuatan dan meminimalisir kelemahan yang dimiliki, maka Subak Wongayabetan perlu berstrategi dalam mengembangkan agribisnis beras merah
organik
untuk
mencapai
tujuan
Subak
Wongayabetan
yaitu
mensejahterakan anggota subak dengan menerapkan sistem pertanian organik.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diungkapkan di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut. 1. Apa strategi alternatif yang dapat dijalankan oleh Subak Wongayabetan dalam pengembangan agribisnis beras merah organik? 2. Apa strategi prioritas yang tepat dijalankan oleh Subak Wongayabetan dalam pengembangan agribisnis beras merah organik?
8
1.3
Tujuan Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu tujuan penelitian umum
dan tujuan penelitian khusus. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis secara jelas mengenai strategi-strategi apa saja yang tepat untuk dijalankan oleh Subak Wongayabetan dalam mengembangkan agribisnis beras merah organik.
1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut. 1. Strategi alternatif yang dapat dijalankan oleh Subak Wongayabetan dalam pengembangan agribisnis beras merah organik. 2. Strategi prioritas yang tepat dijalankan oleh Subak Wongayabetan
dalam
pengembangan agribisnis beras merah organik.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademik,
manfaat praktis, manfaat kebijakan sebagai berikut. 1. Manfaat akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan secara akademik bagi khasanah pengembangan ilmu pengetahuan khususnya untuk permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan strategi pengembangan usaha dari berbagai dimensi ilmu. Melengkapi penelitian-penelitian terdahulu khususnya yang berkaitan dengan strategi
9
pengembangan usaha produk-produk pertanian organik. Bagi kalangan peneliti agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, sumber informasi, dan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan penelitian strategi pengembangan agribisnis beras merah organik. 2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan praktis kepada pihak-pihak terkait seperti pelaku bisnis dalam bidang pertanian dalam hal ini khususnya Subak Wongayabetan agar mampu memilih dan melaksanakan strategi yang tepat dalam pengembangan agribisnis beras merah organik. 3. Manfaat kebijakan, penelitian ini juga diharapkan berguna bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan dan bahan evaluasi dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat khususnya petani.