BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Praktik suap menjadi salah satu fenomena dalam dunia pers Indonesia.1 Praktik suap atau yang sering dikenal sebagai fenomena wartawan amplop merujuk pada realita di lapangan ketika jurnalis menerima pemberian bisa berupa uang, barang, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, traktiran makanan, dan lainnya dari pihak nara sumbernya.2 Cara pemberiannya pun berbeda beragam ada yang berupa amplop, rekening, undian berhadiah, dan sebagainya. Tak fenomena musiman, “amplop” ini telah menjadi
sekedar
budaya dalam dunia pers
Indonesia. Dalam dunia pers Indonesia dikenal dua jenis wartawan amplop menurut modus operandinya.3 Ada wartawan yang aktif berburu amplop dan ada wartawan pasif yang menerima amplop. Ketika di lapangan, wartawan aktif yang menerima 1
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi, merupakan penjabaran dari Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang berbunyi “ Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Dalam pers Barat, pemberian dari pihak lain disebut dengan freebies. Freebies berupa tiket nonton gratis, tiket perjalan gratis, atau tiket pertunjukan yang diberikan gratis. 2 Fenomena wartawan amplop sebagai salah satu potret jurnalis Indonesia tercantum dalam Survey AJI Indonesia tahun 2005 di 17 Kota yang tercantum dalam buku “Potret Jurnalis Indonesia, Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota” ,hal 63. 3 Menurut Masduki dalam buku Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik( 2004 :84), wartawan amplop menurut modus operandinya yakni pertama adalah wartawan yang aktif berburu amplop dengan mendatangi panitia secara individu hingga membuat perkumpulan khusus wartawan amplop untuk memeras nara sumber. Kedua adalah wartawan pasif yang menerima amplop jika diberi tetapi tidak mencari acara yang ber-amplop jika tidak diundang.
1
amplop biasanya berada di sebuah institusi tertentu dan menunggu nara sumber mereka memberi uang. Mereka pun tak segan datang ke acara-acara yang memiliki lahan basah hanya untuk mendapatkan amplop. Padahal, peristiwa yang mereka liput belum tentu dimuat dalam media mereka. Sementara itu, wartawan pasif lebih pada wartawan yang menerima amplop di suatu acara namun mereka tidak mencari-cari seperti wartawan aktif. Persamaan keduanya adalah bahwa mereka belum tentu memuat berita yang mereka liput dalam media mereka. Kategori wartawan aktif dan pasif amplop melekat pada wartawan yang memiliki perusahaan media yang jelas serta wartawan
yang tidak memiliki
perusahaan media yang jelas. Biasanya wartawan yang tidak memiliki perusahaan media jelas akrab disebut dengan wartawan bodrek atau WTS atau wartawan Tanpa Suratkabar. Disebut wartawan bodrek karena wartawan ini hanya sekedar melakukan proses wawancara kesana kemari tetapi tidak pernah ada beritanya. Dengan kata lain, wartawan tersebut tidak memiliki surat kabar dan hanya bermodalkan kartu pers palsu. Praktik suap
kian membuat jurnalis ketagihan. Tak segan-segan pula
jurnalis menggunakan senjata profesinya untuk mendapatkan amplop dari nara sumber. Dengan ancaman akan memberitakan berita yang buruk, jurnalis dengan mudah meminta amplop dari nara sumbernya. Beruntungnya mereka, nara sumber yang notabenya kurang paham tentang profesi jurnalistik, dengan mudahnya memberi mereka uang.
2
Berdasarkan observasi mula peneliti yang juga menjadi bagian dalam dunia kewartawanan, praktik suap di kalangan jurnalis seolah-olah dilegalkan oleh pelaku media bahkan institusi media tersendiri. Alasan menjaga hubungan dekat dengan nara sumber atau masalah kesejahteraan jurnalis yang pas – pasan seringkali didengung-dengungkan untuk melegalkan budaya satu ini. Budaya ini makin kuat manakala nara sumber juga memberi ruang khusus. Mereka kadang tak malu untuk mengaku bahwa ada anggaran khusus untuk jurnalis yang memang sudah disiapkan per bulannya. Alasan nara sumber pun cukup rasional rasa kasian terhadap jurnalis, melaksanakan kewajiban atasan, ucapan terima kasih, takut berita miring, pencitraan, dan sebagainya. Fenomena praktik suap atau amplop berdasar Riset AJI Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa budaya ini terjadi karena seringkali ada pemahaman yang kabur mengenai amplop itu sendiri. Jurnalis yang diriset pun mengaku bahwa mereka tidak enak bila amplop tidak diterima karena akan menjadi bahan pergunjingan. Akhirnya mereka mau menerima asalkan amplop tersebut tidak memeras dan tidak mempengaruhi independensi. Hasil riset juga menunjukkan bahwa budaya amplop besar karena kebiasaan pejabat yang memberi amplop. Menurut penelitian, kalau amplop tidak diterima, dana itu akan menjadi ajang korupsi para pejabat. Temuan lain yang menarik adalah aturan media soal amplop yang kurang jelas. Artinya tidak ada aturan detail tentang definisi amplop, jumlah yang bisa diterima atau tidak, serta sanksi menerima amplop.
3
Sementara itu, berdasarkan obrolan informal yang dilakukan peneliti pada mantan Ketua AJI Yogyakarta, Bambang Muryanto, September 2012 lalu, budaya amplop
terjadi pada awal abad 21 dimana perkembangan media di
Indonesia sangat pesat. Berdasarkan catatan AJI Indonesia4, fenomena yang dilihat dari perkembangan media awal abad 21 yaitu berkembangnya media waralaba (franchise) yang mengambil brand terbitan luar negeri diadaptasi dan diberi muatan lokal kemudian dijual di Indonesia seperti Kosmopolitan, Female Indonesia, Harper Bazaar, dan F-1. Fenomena lainnya yakni masuknya perusahaan non media dalam industri media seperti Grup LIPPO, perkembangan industri multimedia, fenomena industri media yang masuk ke dalam pasar bursa seperti Tempo, serta munculnya penerbitan yang spesifik dengan ulasan dan target pembaca yang lebih terbatas. Perkembangan perusahaan pers tak lepas dari kepentingan mereka untuk mencari keuntungan. Orientasi keuntungan inilah yang membawa dampak buruk perusahaan media yakni persaingan yang tidak sehat hingga berakibat pada lemahnya profesionalisme dan independensi jurnalis. Bambang Muryanto menegaskan bahwa budaya amplop sulit dihapuskan seiring perkembangan media massa saat ini.Seiring dengan tuntutan bisnis, maka berbagai cara dilakukan perusahaan media untuk memenuhi kepentingan pasar. Kepentingan pasar ini adalah dalam rangka meraup iklan demi pemasukan kepada perusahaan. Untuk itulah, amplop menjadi sarana tersendiri untuk menjadikan berita sesuai kepentingan pasar dan kepentingan institusi tertentu.
4
Masduki.2005. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. hal.6
4
Budaya ini juga terjadi karena perusahaan media sendiri yang kurang memenuhi hak-hak dan jaminan kesejahteraan bagi jurnalis. Banyak jurnalis di daerah seperti reporter tetap (diangkat resmi oleh medianya untuk bekerja tiap hari dengan target kualitas
dan kuantitas berita tertentu), kontributor / reporter
wilayah (diangkat pengelola media untuk membantu peliputan di wilayah yang belum dapat diakses reporter tetap, dikontrak untuk jangka waktu tertentu), serta freelancer / reporter bebas ( melakukan aktivitas peliputan dan tidak terikat media tertentu, hasil liputanya berdasarkan kesepakatan yang bersifat insidental) memiliki standar gaji yang tidak seimbang dengan kerjanya. Lebih lagi kondisi liputan daerah yang memiliki kesulitan tersendiri seperti faktor geografis seringkali tidak diperhatikan oleh media itu sendiri. Kaitannya dengan upah layak jurnalis, ternyata memang betul adanya bahwa upah jurnalis di Indonesia masih sangat tidak layak. Hal ini dibuktikkan dalam lima survei dalam sepuluh tahun terakhir ini yakni survei AJI Surabaya tahun 2000, survey dari Thomas Hanitzsch dari Ilmenau University of Techonology German tahun 2001, AJI Indonesia tahun 2005, Dewan Pers tahun 2008, dan riset terakhir AJI Indonesia 2010/2011. Survei-survei tersebut memiliki kemiripan hasil upah jurnalis hingga tahun 2011 ini masih ada yang berada di bawah Rp 300.000,- per bulannya. Survei AJI, Thomas Hanitzsch, serta Dewan Pers juga menunjukkan bahwa akibat rendahnya upah ini banyak jurnalis mencari pekerjaan sampingan seperti makelar Surat Ijin Mengemudi (SIM), pengusaha wartel, pegawai negeri, wartawan spesial (konsultan tidak resmi), dan sebagainya. Survei juga 5
menyatakan bahwa rendahnya gaji ini juga menjadi pembenar mengapa budaya amplop ini masih menjadi tradisi. Survei AJI 2010/2011 menyatakan bahwa kesejahteraan jurnalis sangat berkaitan dengan profesionalitas dan
kebebasan pers. Kedua hal ini penting
karena untuk mencapai iklim pers yang sehat dan demokratis. Kendati bukan jaminan utama,
kesejahteraan yang memadai memiliki peluang besar untuk
menjadikan jurnalis profesional seperti yang tertuang dalam UU Pers No.40 Tahun 1999. Sementara itu, praktik suap merupakan salah satu masalah penerapan kode etik jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam, (1) Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap, (2) Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 yang menyebutkan bahwa jurnalis dilarang menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi objektivitas pemberitaan, (4) Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) berbunyi ”Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan dengan profesinya”. Riset mula yang dilakukan peneliti kepada Ketua Dewan Pers, Bagir Manan pada 11 Agustus 2012, praktik suap di kalangan jurnalis memang masih terjadi di Indonesia. Bagir Manan menyebut budaya ini sebagai budaya korupsi yang dilakukan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa praktik suap adalah salah satu pelanggaran kode etik dalam profesi jurnalis. Kode etik sendirinya ditegaskannya 6
berbeda dengan hukum, karena berhubungan dengan hati nurani dan berisi kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan profesionalis jurnalis. Masih adanya pelanggaran kode etik di Indonesia dipengaruhi berbagai faktor. Pertama berkaitan dengan sifat kode etik sendiri yakni berkaitan dengan moral dalam diri yang bersangkutan (jurnalis).
Kedua adalah latarbelakang
jurnalis yang berbeda-beda, artinya banyak dari jurnalis yang tidak disiapkan secara profesional (jurnalis bisa berasal dari setiap kalangan), ketiga tidak adanya sanksi sosial dari masyarakat. Keempat adalah makna kebebasan pers yang tidak bisa dipahami pelaku media sehingga tidak ada mekanisme kontrol, kelima berkaitan dengan belum adanya tradisi profesional untuk menghormati kode etik. Keenam adalah pekerjaan jurnalis masih dianggap mata pencaharian pada umumnya, dan ketujuh adalah perusahaan pers yang tidak memihak (masalah kesejahteraan yang kurang layak). Masalah kode etik ini sangat penting bagi sebuah profesi khususnya jurnalis karena mereka tidak hanya dituntut untuk mengembangkan idealisme profesinya tetapi juga efek media yang besar bagi publik. Kode etik sendiri penting dilakukan karena merupakan bagian dari profesionalitas jurnalis. Di sisi lain, sikap profesional wartawan terdiri dari dua unsur yakni hati nurani dan ketrampilan. Hati nurani merujuk pada kode etik jurnalis perlu menjaga dan memelihara kewajiban moral. Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan kemampuan teknis jurnalis sesuai dengan bidang profesinya. Bersikap profesional berarti bersikap independen. Independen artinya menjalankan tugas jurnalistik tanpa intervensi pengaruh kekuatan represif negara 7
dan pemodal yang munculnya baik disengaja maupun tidak disengaja oleh jurnalis. Secara tidak langsung, praktik suap
sangat berpengaruh pada
profesionalitas wartawan. Pemberian dari nara sumber dalam bentuk apapun tetap secara moral akan mempengaruhi jurnalis dalam kinerjanya.Hal ini sesuai dengan The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dimana salah satu standarisasi agar wartawan bisa profesional adalah melaksanan kewajiban pencarian kebenaran dan jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya. Menuju profesional tentu saja bukan hal yang mudah bagi pelaku industri media saat ini. Sejumlah persoalan seperti upah kesejahteraan, praktik suap, keterlibatan pemilik media dalam partai politik, dan lain sebagainya masih belum bisa terselesaikan. Bahkan terkait profesionalitas ini, Thomas Hanitzsch dalam penelitiannya yang berjudul “Rethinking Journalism Education in Indonesia : Nine These” menyatakan bahwa profesionalitas
jurnalis di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh pendidikan jurnalisme. Salah satu kesimpulan yang diperoleh adalah pendidikan jurnalisme kurang mengajarkan dimensi etis sehingga mempengaruhi profesionalitas jurnalis saat ini. 5
5
Dalam Penelitian Thomas Hanitzsch“Rethinking Journalism Education in Indonesia : Nine These” , pendidikan jurnalisme di Indonesia yang dikelompokkan Hanitzsch dalam empat kompetensi yakni (1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetensi teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan sebagainya. Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel. Berdasarkan tabel itu ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme dalam program komunikasi: (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3)
8
Profesionalisme dan etika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh peneliti etika dinilai menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih karena etika menjadi salah satu kontrol internal dalam media massa. Kontrol internal ini sangat berpengaruh pada bagaimana wartawan bisa memperlakukan fakta secara profesional.6 Fakta secara profesional ini akan berpengaruh pada informasi yang benar pada publik. Asumsinya, bila jurnalis memberikan fakta tidak benar, maka publik akan terbohongi. Meski etika telah dirumuskan dalam kode etik (code of ethics) dan dioperasionalisasikan dalam kode perilaku (code of conduct), namun etika ini tetap bersumber pada diri pribadi masing-masing. Artinya kesadaran pribadi masing-masinglah yang menentukan pelaksanaan etika itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam soal suap di kalangan jurnalis. Kajian secara mendalam atau merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai anatomi, peneliti melihat bahwa suap sangat berbahaya bagi profesionalisme jurnalis. Jurnalis merupakan pihak yang harus memberitakan informasi dengan benar. Ia juga menjadi pilar keempat demokrasi yang menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat
Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas Indonesia. Beberapa kesimpulan yang diperoleh oleh Hanitzsch, (1) pendidikan jurnalisme kita masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." (2)Tidak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. (3) Semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. (4) Di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Sekolah jurnalisme itupun masih kekurangan tenaga pengajar, bahkan kurikulum yang diajarkan sangat minim kepada kemampuan praktis jurnalistik. (5) Perguruan tinggi jurnalisme cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali muatan praktis dan etis. 6 Menurut Leonard dan Ron Taylor, etika jurnalistik yang perlu diperhatikan oleh wartawan adalah (1)objektif, (2) jujur,(3)tidak menerima suap, (4) tidak menyiarkan berita sensasional, (5) tidak melanggar privacy, dan (6) tidak melakukan propaganda. Diakses dari buku Etika Dalam Jurnalisme Indonesia. Ana Nadya Abrar. 2005.hal 9
9
dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Jurnalis juga melakukan kontrol sosial atas peristiwa-peristiwa yang menganggu demokrasi. Menurut peneliti, suap menjadikan jurnalis memiliki konflik kepentingan tertentu. Ketika dibiarkan dan menjadi budaya yang terus mengakar di tubuh pers, maka profesi jurnalis bukan lagi menjadi profesi yang memiliki sebuah idealisme kuat. Ia dengan mudah dapat dikendalikan oleh pihak tertentu dan informasi pun dapat dikontrol dengan mudahnya. Tentu saja hal ini berbanding terbalik dengan tujuan jurnalisme yakni membawa kebenaran di mata publiknya. Berdasarkan pengalaman peneliti yang juga menjadi bagian dalam kewartawanan, mayoritas jurnalis yang tidak berafiliasi dengan organisasi profesi dengan mudah melakukan praktik ini. Praktiknya, mereka dengan mudah disuap oleh pihak penyuap tanpa berpikir dampak ke depannya. Mereka seolah menganggap hal itu merupakan kewajaran sebagai hal untuk mempererat hubungan dengan nara sumbernya. Berdasarkan hipotesa peneliti, kewajaran suap ini tidak lagi hanya didasarkan atas faktor minimnya upah jurnalis, melainkan ada faktor-faktor lain yang berpengaruh. Oleh karenanya peneliti ingin melihat secara mendalam dan komprehensif soal suap ini dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya. Anatomi suap sendiri akan dilihat peneliti dari jenis suap dan pelakunya. Untuk pelakunya, peneliti akan membagi dalam empat kategori yakni jurnalis berdasarkan lama bekerja ( wartawan tua dan muda), gaji jurnalis ( tinggi dan rendah), status kerja (tetap dan kontributor), serta wilayah kerja ( pemerintahan dan non pemerintahan). 10
Dalam penelitian ini, peneliti memilih Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
lokasi penelitian karena provinsi ini memiliki dinamika
media yang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan merebaknya media cetak, elektronik, maupun online. Menurut Data Serikat Penerbitan Pers (SPS) dan Dewan Pers 2010 , terdapat 5 surat kabar, 3 surat kabar mingguan, 8 surat kabar bulanan, 20 stasiun radio, serta 4 statiun televisi. Yogyakarta juga belum pernah disurvei organisasi profesi seperti AJI atau PWI terkait penerapan praktik suap Survei terakhir yang dilakukan oleh AJI Indonesia tahun 2010/2011 hanya terkait soal upah layak jurnalis. Berdasarkan observasi mula yang dilakukan peneliti, praktik suap masih terjadi di Yogyakarta. Praktik diberikan oleh institusi tertentu dengan terlebih dahulu menganggarkannya dalam anggaran khusus. Tak hanya insitusi, berbagai event seringkali memberikan uang saku pada wartawannya. Sedangkan jurnalis yang diberi adalah jurnalis yang sudah tercacat dalam daftar peliput berita institusi atau event mereka. Dalam praktik suap , institusi memiliki cara tersendiri. Ada yang langsung memberi uang dengan amplop, ada pula lewat bingkisan seperti tunjangan hari raya atau souvernir, kegiatan press tour, undangan makan bersama, tiket gratis, pemberian pulsa, dan sebagainya. Di sisi lain, wartawan yang menerima pun memiliki cara-cara unik. Ada yang menunggu atau nongkrong berjam-jam di kantor nara sumber, mengikuti press tour, meliput meski beritanya bukan merupakan tanggungjawabnya, dan lain sebagainya.
11
Penelitian ini adalah penelitian komunikasi. Dalam penelitian ini, peneliti akan menunjukkan efek bias pada berita yang ditulis oleh jurnalis karena ia melakukan praktik suap. Efek bias ini menjadi hal yang tidak bisa dihindari oleh jurnalis karena mereka terlibat kepentingan dengan penyuap. Efek bias ini akan diilihat dari dimensi evaluatif pemberitaan yang terdiri dari keseimbangan berita dan netralitas berita. Dengan adanya efek bias berita ini, penelitian ini akan utuh untuk menjelaskan seperti apakah suap di kalangan jurnalis dan memang benar bisa berpengaruh pada produk berita.
1.2 RUMUSAN MASALAH Bagaimana anatomi suap dan faktor – faktor yang menyebabkannya di kalangan jurnalis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
1.3 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan anatomi suap dan memberikan pemahaman sistematis tentang jenis dan suap dan faktor – faktor penyebabnya. 2. Memberikan wawasan tentang cara penanggulangannya.
12
1.4 KERANGKA TEORI 1.4.1
Gratifikasi dan Suap Sebagai Bentuk Korupsi Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus, yang kemudian
muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia Korupsi. Pope (2002:30) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Mempertahankan jarak disini artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Semma (2008:39) mengungkapkan bahwa korupsi yang mewabah di berbagai negara didasarkan karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri. Minimnya gaji yang didukung oleh faktor kondisi struktural dan lingkungan mengakibatkan korupsi tumbuh subur. Untuk itulah, menurut Semma, korupsi dapat dipetakan melalui dua sudut pandang yakni korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri serta korupsi sebagai praktik sosial dalam sebuah sistem. Gould dalam Semma menggambarkan korupsi menurut standar kaum moralis dan sosialis. Kaum moralis memandang korupsi sebagai penyimpangan individual, kegagalan moral individu yang berwatak lemah dan tidak terlatih dengan baik. Individu melakukan korupsi karena ia sendiri tidak siap berhadapan dengan realitas di luar dirinya. Berbeda dengan kaum moralis, kaum sosialis justru memandang korupsi sebagai pengecualian atas peraturan dan gangguan sistem. Sistem sosial dalam masyarakat diciptakan dalam keadaan yang isinya 13
menjadikan korupsi bersifat determinis. Setiap orang dalam sebuah sistem telah melakukannya dengan senang hati. Pope (2007 : 41) menjelaskan bahwa korupsi tumbuh subur dalam sistem yang kaku dan penuh dengan hambatan dan sumber-sumber kekuatan monopoli dalam
pemerintahan.
Perekonomian
berencana
yang
berpusat
dengan
harga–harga banyak berada di bawah tingkat harga yang membersihkan pasar akhirnya
mendorong
orang
untuk
memberi
suap
sebagai
cara
untuk
mengalokasikan barang dan jasa yang terbatas. Hal ini dijelaskan Pope bahwa korupsi tumbuh ketika terjadi peralihan demokrasi ke ekonomi pasar. Dengan kata lain semangat kapitalis memungkinkan terjadinya korupsi. Tercapainya tingkat keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan kekuatan yang memperkokoh korupsi. Pasalnya perusahaan akan memberikan pikatan – pikatan menarik pada pihak lawan usaha. Dalam masyarakat sosialis pun, sistem produksi yang tidak mendorong suatu psikologi konsumerisme, juga mendorong terjadinya korupsi. Asumsinya, seorang yang memiliki kekuasaan di masyarakat sosialis cenderung memegang kekuasaan besar untuk memperbesar kekayaan pribadi. Dalam masyarakat sosialis tidak ada sektor swasta dan semua keputusan ekonomi dibuat oleh negara atau badan – badan dan perwakilannya. Bentuk-bentuk korupsi menurut Benviste 7dipetakan dalam empat definisi besar yakni discretionery corruption, illegal corruption, mercenery corruption,
7
Dikuti dari buku Negara dan Korupsi, Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, 2008, hal.43-44. Benviste mengungkapkan bahwa korupsi tidak selamanya membawa dampak negatif. Korupsi juga melancarkan jalannya pelayanan aturan baku struktur birokrasi. Korupsi dapat menjalin hubungan dan iktana informal antara para pejabat
14
dan ideological corruption. Discretionery corruption merupakan korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Illegal corruption adalah suatu jenis tindakan yang membongkar atau mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu. Mercenery corruption adalah jenis korupsi untuk memperoleh keuntungan individual/pribadi. Sementara ideological corruption adalah korupsi yang dilakukan karena kepentingan kelompol karena komitmen ideologis seseorang yang mulai tertanam di atasa nama kelompok tertentu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Benveniste menghubungkan korupsi sebagai tindakan individu dengan sistem sosial masyarakat. Bentuk korupsi yang dikenal masyarakat adalah gratifikasi dan suap. Kedua istilah sama-sama merujuk pada pemberian seseorang terhadap pihak lain, namun suap memiliki derajat yang lebih berat ketimbang gratifikasi. Gratifikasi dinilai sebagai suap ketika pemberian seseorang berhubungan dengan jabatan serta berlawanan dengan tugas atau kewajibannya. Ini juga yang disebut sebagai gratifikasi ilegal. Gratifikasi seperti yang dikemukakan dalam “Buku Saku Memahami Gratifikasi” (2010:3) 8 adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian
birokrasi dengan sejumlah klien, membebaskan biokrasi dari peraturan dan pengaturan ketat, serta memperkecil konflik yang terjadi dalam aktivitas organisasional. 8 Menurut “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi merupakan salah satu jenis korupsi yang tercantum dalam UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi diatur dalam pasal 12B.
15
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut diterima baik di dalam negeri maupun luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik. Gratifikasi masih dinilai sebagai bentuk kewajaran lantaran kondisi sosial masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa pemberian hadiah ini adalah untuk merekatkan hubungan antar pihak satu dan lainnya. Gratifikasi ini memiliki dampak negatif bilamana pemberian hadiah tersebut berkaitan dengan tanggungjawab seseorang. Gratifikasi yang terus menerus akan menimbulkan konflik kepentingan pada salah satu pihak. Beberapa konflik kepentingan diantaranya penerimaan gratifikasi dapat membawa kewajiban timbal balik sehingga menganggu independensi, gratifikasi dapat berpengaruh pada objektivitas dan penilaian profesional pada penyelenggaraan negara, dan penerimaan gratifikasi dapat digunakan untuk mengaburkan korupsi. (Muhardiansyah, 2010:7) Gratifikasi yang mengarah pada penyalahgunaan yang berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya seseorang dinamakan dengan suap. Kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar atau sepotong roti yang diberikan kepada pengemis. Namun, perkembangan kemudian, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya 16
dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup). 9 Pope (2007:37) membagi suap dalam empat kategori, yakni : 1. Kategori (1) yakni suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan yang langka atau menghindari biaya. Suap kategori ini mencakup keputusan birokrasi yang mengakibatkan pemberi suap mendapatkan keuntungan , sedangkan orang lain menderita rugi. Misalnya :memperoleh izin import atau ekspor, valuta asing, kontrak atau hak istimewa dari pemerintah untuk menjalankan usaha tertentu; pembelian perusahaan negara yang dijual pada pihak swasta; memperoleh layanan publik seperti perumahan murah, dan sebagainya. 2. Kategori (2) yakni suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari biaya yang tidak langka, tetapi memerlukan kebijakan yang harus diputuskan oleh pejabat publik. Contoh suap dalam kategori ini meliputi pengurangan pajak atau meminta bayaran lebih besar dalam hal jumlah pemasukan tidak ditentukan secara pasti, menghindari kontrol harga, memperoleh pelayanan publik apa saja (tunjangan), memberikan lisensi atau surat izin hanya pada mereka yang dianggap memenuhi syarat, dan lainnya. 3. Kategori (3), suap yang diberikan tidak untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari publik tetapi untuk mendapat layanan yang berkaitan dengan 9
Agustinus Edy Kristianto, http://www.harianglobal.com/index.php?option=com_content&view=-article&id =2612%3Asuap-korupsi-tanpaakhir&Itemid=91 diakses tanggal 21/1/2013
17
perolehan keuntungan atau menghindari resiko seperti layanan yang cepat atau informasi dari orang dalam. Misalnya seperti yang terjadi di Singapura ketika sebuah gabungan perusahaan dari negara pengeskpor memeri suap untuk mendapatkan informasi dari orang dalam mengenai kontrak – kontrak pemerintah, hingga akhirnya mereka masuk daftar hitan pemerintah Singapura. Saat itu mereka mendapatkan layanan cepat dalam surat menyurat, laporan audit yang menguntungkan sehingga pajak yang dibayar tidak besar, dan layanan lainnya. 4. Kategori (4) yakni suap yang diberikan untuk mencegah pihak lain mendapatkan bagian dari keuntungan atau untuk membebankan biaya pada pihak lain. Contohnya adalah pada kasus – kasus pelaku bisnis ilegal yang membayar penegak hukum untuk menyerbu pesaingnya. Pemilik usaha legal mencoba agar pada para pesaingnya diperlakukan peraturan yang ketat atau mencoba membujuk pejabat agar tidak memberikan lisensi pada pesaingnya.
Berdasarkan penjelasan dalam ranah hukum, suap adalah bentuk gratifikasi ilegal. Di bawah ini merupakan perbedaan antara gratifikasi legal dan ilegal mengutip dari “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
18
Tabel 1.1 Perbedaan Gratifikasi/ Hadiah Legal dan Gratifikasi Ilegal/Suap
Karakteristik Tujuan/Motif Pemberian
Hubungan pemberi penerima
Gratifikasi Legal
Gratifikasi Ilegal/Suap
Dilakukan untuk menjalankan hubungan baik, menghormati martabat seseorang, memenuhi tuntutan agama, dan mengembangkan berbagai bentuk perilaku simbolis (diberikan karena alasan yang dibenarkan secara sosial)
Ditujukan untuk mempengaruhi keputusan dan diberikan karena apa yang dikendalikan/dikuasai oleh penerima ( wewenang yang melekat pada jabatan, sumber daya lainnya).
antara Setara dan
Timpang
Hubungan yang Umumnya tidak ada bersifat strategis
Pasti ada
Timbulnya konflik Umumnya tidak ada kepentingan
Pasti ada
Situasi Pemberian
Bukan merupakan peristiwa kolektif meski bisa saja pemberian diberikan dalam acara sosial
Acara-acara yang sifatnya sosial yang berakar pada adat istiadat dan peristiwa kolektif
Resiprositas (Sifat Bersifat ambigu dalam Resiprokal secara alami Timbal Balik) perspektif bisa resiprokal dan kadang – kadang tidak resiprokal Kesenjangan waktu
Memungkinkan Tidak memungkinkan ada kesenjangan waktu yang kesenjangan waktu yang panjang pada saat panjang pemberian kembali 19
(membalas pemberian) Sifat Hubungan
Aliansi sosial untuk Patronase dan seringkali mencari pengakuan sosial nepotisme dan ikatan serupa ini penting untuk mencapai tujuan
Ikatan yang terbentuk Sifatnya jangka panjang Sifatnya jangka pendek dan dan emosional transaksional Kecenderungan Terjadi adanya sirkulasi barang/produk barang/produk
sirkulasi Tidak terjadi sirkulasi barang / produk.
Nilai/hargapemberian Menitikberatkan nilai intrisik sosial Metode Pemberian
pada Menekankan moneter
nilai
Umumnya langsung dan Umumnya tidak langsung bersifat terbuka (melalui agen/perantara) dan bersifat tertutup / rahasia.
Mekanisme Berdasarkan penentuan nilai/harga kewajaran/kepantasan secara sosial (masyarakat) Akuntabilitas Sosial
pada
Akuntabel sosial
dalam
Ditentukan oleh pihak-phak yang terlibat.
arti Tidak sosial
Akuntabel
secara
Sumber : KPK
1.4.1.1 Suap di Media Korupsi atau suap juga terdapat dalam profesi jurnalisme. Pope (2007:223) menjelaskan bahwa media merupakan instrumen yang memiliki peranan khusus dan “titik – titik lemah” dalam perang melawan korupsi. Politisi dan pegawai negeri mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan
20
jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan dalam pers. Media merupakan pilar penting dalam sistem negara. Media menjadi anjing penjaga atau watchdog dalam kebijakan pemerintah sekaligus jembatan antara pemerintah dengan masyarakatnya. Media menjadi pusat informasi bagi masyarakat dan bertanggungjawab atas informasi yang benar. Untuk itulah, suap menjadi praktik lumrah yang terjadi karena media dianggap bisa mendistorsikan informasi pada publiknya. Suap yang terjadi di media, menurut H. Eugene Goodwin dalam bukunya Grouping For Ethic in Journalism, adalah memberikan pekerja media sebuah hadiah. Hadiah membuat jurnalis tidak bijaksana atau akan terlibat dalam sebuah kepentingan tertentu sehingga dirinya tidak independen. Pemberi
hadiah
sendiri
disebut
seducer
atau
penipu.
Goodwin
mengasumsikan bahwa hadiah yang diberi nara sumber adalah bentuk tipuan nara sumber agar jurnalis bisa menuliskan hal yang baik tentang institusinya. Berdasarkan pengertian di atas, suap yang terjadi di media bila dikaitkan dengan pengertian korupsi dalam ranah hukum, lebih mengarah pada definisi suap bukan gratifikasi. Suap di media cenderung berkaitan dengan pemberian seseorang yang berkaitan tugas dan tanggungjawab seorang jurnalis. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Berdasarkan tujuannya, suap bisa mempengaruhi keputusan jurnalis dalam membuat pemberitaan.
21
b. Hubungan antara pemberi dan penerima bersifat timpang sehingga ada kewajiban dari penerima untuk melakukan timbal balik. c. Tidak menutup kemungkinan ada hubungan strategis antara pemberi dan penerima untuk mendapatkan sesuatu. Bila ditelaah dari definisi Goodwin, tindakan suap adalah tindakan yang berbahaya bila dilakukan oleh seorang jurnalis. Hal ini juga sesuai dengan konteks situasi masyarakat Amerika dimana profesi jurnalis sangat dijunjung tinggi. Bilamana ada jurnalis yang terbukti menerima suap, maka ia bisa dilepaskan dari profesinya atau dikucilkan dalam masyarakat.
1.4.1.2 Jenis Suap di Media Goodwin menuliskan tentang hadiah dari nara sumber yang terjadi dalam praktik jurnalisme Amerika. Hadiah ini sudah marak diterima redaksi Amerika sejak tahun 1980-an. Klasifikasi hadiah diantaranya : 1. Freebies. Pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu. Bentukbentuk freebies yakni kartu ucapan Natal; tiket gratis ke teater, sirkus, serta pertandingan baseball; undangan makan dan minum gratis, kalender, pensil, dan lainnya.
Aktor dari freebies yakni kantor –kantor publik,
potikus, pemerintah, serta instansi terhormat. Cara mereka memberikan freebies pun bermacam-macam seperti mengirimkan kartu natal ke kantor, mengajak langsung jurnalis/editor untuk makan gratis dan minum wine sambil membicarakan persoalan negara, serta memberi tiket gratis pada jurnalis dan fotografer untuk meliput acara. 22
2. Junkets. Pemberian nara sumber yang lebih berbahaya daripada freebies. Junkets adalah tiket jalan-jalan gratis dengan memberikan akomodasi penuh (penginapan, transportasi,makan,dan lainnya) pada jurnalis atau editor. Aktor dari pemberi junkets adalah perusahaan pribadi/publik (perusahaan penerbangan, kapal, hotel, agensi turis, dan lainnya) serta pemerintah. Maksud pemberian junket adalah publisitas dari perusahaan mereka. Di Amerika, junkets juga kental diberikan pada reporter olahraga dan politik karena mereka seringkali harus meliput peristiwa olahraga di luar kota atau mengikuti kampanye politik. 3. Perks.Pemberian ini seperti tiket parkir gratis, ruangan kerja/press room di gedung pemerintahan, kartu pers khusus dari polisi/pemerintah untuk daerah khusus, diskon khusus mobil baru atau keanggotan dalam organisasi, serta diskon buku yang akan direview perusahaan media.
Pope (2007:223) menambahkan bahwa suap dalam profesi jurnalisme terjadi dalam berbagai bentuk. Di Meksiko dan India misalnya, banyak wartawan yang mendapatkan imbalan uang dari lembaga-lembaga yang mereka liput untuk tambahan gaji mereka yang kecil. Di Inggris pun pada tahun 2005 tercatat bahwa dua orang wartawan tabloid dipecat karena menyalahgunakan kedudukan mereka sebagai wartawan peliput bidang keuangan. Mereka membeli saham dan kemudian menerbitkan tulisan-tulisan yang mendorong harga saham mereka naik ke tingkat yang tinggi sekali.
23
Sementara itu, Fedler dalam bukunya berjudul Reporting for the Media dalam Roffiudin (2012:48) menyebutkan bahwa hadiah dari narasumber berpengaruh pada berita yang dihasilkan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa hadiah merupakan salah satu bentuk dari konflik kepentingan tertentu. Fedler mengurai ada enam bentuk konflik kepentingan itu, yakni. 1. Hadiah atau freebies, yaitu segala sesuatu yang diberikan oleh narasumber kepada wartawan untuk mempengaruhi pemberitaan. 2. Junkets atau jalan-jalan gratis dimana narasumber mengajak wartawan untuk meliput sebuah acara dengan fasilitas gratis. 3. Terlibat dalam kegiatan yang diliput yakni mengingat seringnya wartawan meliput kegiatan kantor publik maka wartawan bisa saja dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Misalnya dalam press tour di beberapa
instansi
pemerintahan,
mengikuti
kunjungan
kerja
pemerintahan, dan lainnya. 4. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan yang dilakukan wartawan. Dengan bekerja di institusi lain, maka tak menutup kemungkinan jurnalis tersebut akan terlibat dalam kepentingan tertentu. 5. Pillow talk yakni konflik kepentingan yang terkait dengan pekerjaan suami atau istri wartawan. Seorang wartawan akan sulit obyektif bila meliput peristiwa yang terkait dengan keluarganya sendiri. 6. Amplop yakni usaha sumber berita yang ingin mempengaruhi wartawan dengan menggunakan amplop. 24
Di Indonesia, merujuk pada definisi suap yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 6b, suap pun dipahami sebagai segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Berdasarkan definisi ini, Pengamat Media, Atmakusumah Astraatmadja menjabarkan kategori suap, yaitu10: 1. Pemberian (gratis) kepada wartawan berupa karcis / tiket pertunjukan kesenian (musik, film, teater, tari, dsb) untuk keperluan promosi atau resensi dari pihak yang terlibat dalam pertunjukan tersebut. 2. Pemberian berupa karcis/tiket pertandingan olahraga untuk keperluan pemberian atau ulasan dari pihak yang terlibat dalam pertandingan tersebut. 3. Ditraktir oleh nara sumber berupa makan minum secara mewah atak agak mewah. 4. Pemberian nara sumber berupa hadiah barang yang berharga mahal atau agak mahal. 5. Penyediaan fasilitas yang berlebihan secara gratis di ruang pers kantorkantor pemerintah/perusahaan negara/swasta atau lembaga negara/swasta, lengkap dengan perangkat komputer serta pesawat telepon yang bisa digunakan tanpa batas. Lebih – lebih jika ditambahi dengan sarapan, makan siang atau makan malam serta kudapan yang serba gratis.
10
Wawancara Atmakusumah, 2 Januari 2012
25
6. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa luar kota dengan fasilitas (transport, penginapan, dan konsumsi) yang disediakan atau dijamin pengundang. 7. Undangan dari nara sumber dengan berbagai fasilitas dan akomodasi plus uang saku dari pengundang. 8. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa dalam negeri dengan fasilitas (transportasi, penginapan, dan konsumsi) plus uang saku dari pengundang. 9. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa di luar negeri dengan fasilitas (transpor, penginapan, dan konsumsi ) plus uang saku dari pengundang. 10. Pemberian amplop (berisi uang) dari nara sumber antara lain dalam konferensi pers atau briefing atau pada saat melakukan wawancara tanpa ikatan janji apapun antara kedua belah pihak. 11. Pemberian tiket/karcis dari nara sumber kepada wartawan untuk “pulang kampung” atau berwisata, sendirian atau bersama keluarga. Lebih lagi jika ditambah uang saku. 12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menyangkut biaya “pembinaan” pers dan wartawan – di luar anggaran untuk program kegiatan bagian hubungan masyarakat (humas) kantor-kantor pemerintah daerah yang bukan “amplop wartawan”. 13. Suap/sogokan dengan ikatan janji untuk memberitakan atau sebaliknya, untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak 26
penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan pemasang iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi wartawan dan perusahaan pers.
1.4.2
Faktor – Faktor Penyebab Suap di Media Menurut Agee, Warren K.,dkk (1994:192) penegakan profesionalitas dan
etika media dipengaruhi oleh lima faktor yakni: a. Practise of individual media personal yakni berkaitan dengan publisher, reporter,editor, pemilik media, direktur pemberitaan, editor film, dan lainnya
dalam
kinerjanya
sebagai
pemberi
informasi.
Untuk
menyampaikan informasi, individu ini akan dipengaruhi oleh keempat faktor lainnya. b. Standars of individual media yakni peraturan, kode etik, asumsi tidak tertulis, tradisi, serta asumsi tidak tertulis dalam perusahaan media masing-masing. c. Professional and industry standars of conduct yakni peraturan dan kode etik dari organisasi-organisasi yang membawahi perusahaan media. d. Philosophies and laws under which goverments operate yakni filosofi pers yang dianut sebuah negara yang dituangkan dalam undang-undang atau peraturan. e. Outer limit of what the public will permit yakni kekuatan masyarakat sebagai penilai atau pengamat. Kelima faktor ini dapat digambarkan sebagai berikut 27
Gambar 1.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Profesionalitas Media dan Etika Media
Praktik suap berkaitan dengan etika media.
Etika sendiri merupakan
pengetahuan yang membahas ukuran kebaikan atau kesusilaan perilaku manusia dalam masyarakat (Siregar, 1987:1).
Etika ini menjadi bagian dari tugas
profesional jurnalis karena prinsip-prinsip etis harus dipakai dalam penyajian kebenaran informasi. Berkaitan dengan lima faktor di atas, peneliti menurunkan masing-masing konsep dalam variabel. Penurunan ini dikakukan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan analisis faktor-faktor penyebab suap di kalangan jurnalis. 1. Komitmen individu dalam penegakan etika profesi : perjanjian atau keterikatan individu dalam melakukan sesuatu atau dalam hal ini lebih pada keterikatan individu dalam menegakkan etika profesinya. Komitmen individual bisa menyebabkan suap ketika seorang individu merasa bahwa suap itu bukanlah tindakan yang jelek. Derajat 28
komitmen ini tergantung pada diri individu masing-masing, apakah memang tinggi ataukah rendah. Asumsinya, ketika komitmen rendah terhadap etika profesi, ia akan lebih mudah melakukan suap. Namun sebaliknya ketika komitmennya tinggi, ia akan lebih menghormati etika profesinya. 2. Kode perilaku
perusahaan soal suap. Kode perilaku merupakan
turunan dari kode etik. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah yang keluar dari hati nurani seseorang, sedangkan kode perilaku berfungsi sebagai dasar menejemen organisasi media dalam penilaian dan keputusan atas karir profesional seorang personel jurnalisme. Ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kode perilaku perusahaan, maka akan mengakibatkan pekerjanya lebih mudah melakukan suap. Dengan adanya kode perilaku perusahaan, komitmen individu untuk tidak melakukan suap akan makin tinggi sebab perusahaan turut menciptakan iklim kedisplinan. 3. Kontrol organisasi profesi. Kontrol berkaitan dengan pengawasan. Kontrol organisasi profesi berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan organisasi profesinya terhadap praktik suap yang dilakukan oleh anggotanya. Di Indonesia, ada dua jenis organisasi profesi besar yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dua organisasi profesi ini memiliki anggota dari berbagai jenis media baik cetak, online, radio, serta televisi.
29
Dua organisasi profesi yang berbeda akan melahirkan kontrol yang berbeda pula. Menilik dari sejarah berdiri, organisasi profesi AJI memang ingin menegakkan etika profesi. AJI membuat kode etik sendiri dengan sanksinya serta
melakukan pengawasan pada
anggotanya. AJI pun menghidupkan kultur organisasi dengan berbagai pelatihan untuk menegakkan etika profesi di kalangan anggotanya. berdasarkan hipotesa peneliti, AJI lebih ketat melakukan kontrol terhadap masalah suap ketimbang PWI. Jumlah anggota AJI yang melakukan suap jumlahnya tidak sebesar dari PWI. 4. Tekanan
komersial.
Tekanan
merupakan
desakan,
sedangkan
komersial berkaitan dengan sesuatu yang diperdagangkan. Tekanan komersial ini berkaitan dengan situasi pers Indonesia saat ini yang mengarah pada kepentingan bisnis. Akibatnya media seringkali mengejar keuntungan dan kurang memperhatikan standar-standar jurnalistik yang ada. Semakin perusahaan mengejar keuntungan, maka anggotanya cenderung mudah untuk menerima suap. Sebab, suap dari nara sumber menjadi ladang untuk meningkatkan pendapatan media. Lebih lagi ketika perusahaan media memiliki modal rendah. 5. Sanksi sosial dalam masyarakat. Sanksi merupakan tanggungan bisa berupa tindakan atau hukum untuk memaksa orang menempati perjanjian atau menaati aturan. Sanksi bisa bersifat positif maupun negatif dalam ranah hukum. Sanksi positif berupa hadiah atau 30
anugerah, sedangkan sanksi negatif berupa pembebanan maupun hukuman. Suap dalam penelitian ini lebih pada sanksi negatif yang diterima oleh individu. Kurang atau tidak adanya sanksi sosial masyarakat menyebabkan individu jurnalis semakin gencar melakukan praktik suap.
1.4.3
Efek Bias Pada Berita Tindakan suap yang dilakukan oleh jurnalis bisa berpengaruh pada produk berita yang dibuatnya. Berita jurnalistik adalah konstruksi seorang jurnalis terhadap sebuah peristiwa dengan memperhatikan nilai berita (news value).
Berita jurnalistik menjadi cermin performance media.
Menurut McQuail dalam Rahayu (2006:6), berita jurnalistik adalah berita yang objektif. Berita disebut objektif bila mengandung unsur factuality (faktualitas) dan impartiality (tidak berpihak). Faktualitas adalah kualitas informasi yang dikandung suatu berita. Faktualitas memiliki tiga aspek yakni kebenaran (truth), informatif (informativeness), dan relevansi (relevance). Unsur kedua adalah impartiality yang berkaitan dengan isu apakah teks berita secara sistematis menonjolkan satu sisi di atas yang lain ketika berkenaan dengan isu-isu kontroversial dengan tujuan mengarahkan pembaca pada konsisten ke arah tertentu. Impartiality ini terdiri dari dua aspek yakni balance dan neutrality. Balance adalah keseimbangan dalam pemberitaan. Balance berhubungan dengan seleksi dan substansi berita. 31
Sedangkan neutrality berhubungan dengan presentasi fakta itu sendiri yang dapat dievaluasi dari penggunaan kata – kata, citra, dan frames of reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya presentasi yang berbeda. (Rahayu, 2006:10). Berdasarkan unsur-unsur di atas, berita dapat dibagi dalam dua dimensi yaitu dimensi informasi dan dimensi evaluatif. Dimensi informasi lebih memfokuskan pada fakta sehingga tampak dalam teks berita. Dimensi ini tidak mempermasalahkan konteks di luar fakta. Sedangkan dimensi evaluatif lebih fokus pada konteks sebuah fakta. Praktik suap sangat erat dengan dimensi evaluatif pada berita karena berkaitan dengan konteks sebuah fakta. Kedekatan jurnalis dengan nara sumber terutama yang memiliki kekuasaan membuat jurnalis cenderung sulit untuk profesional. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Bob Franklin dalam Adiputra (2006:72). The spheres of journalism and goverment increasingly overlap as journalist and politicians hace grown mutually reliant, with each pursuing goals which can only b achieved with some degree of cooperation from the other. Contra the image of journalist as independents of goverment, many observers consider it more an accurate to decribe their relationship as collusive.
Dimensi evaluatif terdiri dari dua komponen yakni keseimbangan (balance) dan netralitas (netrality). Keseimbangan diartikan sebagai elemen penting dalam organisasi media karena masalah independensi ditegaskan. Sedangkan netralitas berkaitan dengan proses seleksi dan substansi seluruh berita.
32
Fakta dalam pemberitaan diberi makna dan nilai atau yang dikenal dengan evaluasi berita. Kecenderungan evaluatif memiliki tiga aspek yakni positif, netral, dan negatif yang beroperasi dengan dua cara. Pertama, keseimbangan dalam hal seleksi dimana aspek positif, netral, dan negatif dipengaruhi oleh seleksi salah satu elemen dalam berita yakni aktor. Seleksi yang meletakkan aktor pro fakta dalam pemberitaan menyebabkan berita tidak seimbang. Aspek kedua adalah arah evaluasi pemberitaan yakni mengarahkan fakta pada asosiasi tertentu baik langsung maupun tidak langsung.
1.5 KERANGKA KONSEPTUAL 1.5.1
Anatomi Suap di Media
Suap di media berdasarkan kerangka teori adalah hadiah. Bila dirujuk pada konsep hukum, hadiah merupakan gratifikasi yang tidak berkaitan dengan motif tertentu. Gratifikasi dimaknai hal yang wajar dan sebagai perekat hubungan. Dalam penelitian ini, suap disamakan dengan hadiah yang diterima oleh jurnalis baik yang ada hubungannya dengan subtansi tulisan maupun tidak. Suap tidak hanya dipahami sebagai uang, namun segala sesuatu hadiah ( uang, barang, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan fasilitas cuma – cuma lainnya) yang diberikan pada jurnalis. Suap ini bisa memiliki motif kewajaran, membina hubungan tanpa tendensi, serta maksud tertentu yang berkaitan dengan tugas dan tanggungjawab jurnalis.
33
Suap atau hadiah ini memiliki derajat yang berbeda. Hadiah yang diberikan terus menerus oleh salah satu pihak, akan menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini menyebabkan jurnalis harus memberikan timbal balik pada pemberi. Biasanya timbal balik ini berupa berita positif dari pemberi. Anatomi suap berkaitan dengan uraian mendalam tentang suap. Uraian mendalam ini akan dilihat dari jenis-jenis suap dan pelaku suap.
1.5.1.1
Jenis – Jenis Suap
Berdasarkan definisi di atas, peneliti menggabungkan jenis suap yang dikemukakan Oleh Goodwin di Amerika Serikat dengan jenis suap di Indonesia yang dikemukakan oleh Atmakusumah. Jenis – jenis suap di kalangan jurnalis yaitu: a. Freebies : pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu seperti tiket gratis (menonton, pertandingan, dan lain-lain), undangan makan dan minum gratis, buku, kalender, pensil, kartu ucapan selamat, parcel, amplop saat jumpa pers, dan pemberian lainnya. b. Junkets: diartikan sebagai pekerjaan jurnalis yang diselingi dengan berpesiar. Beberapa kategorinya yakni tiket jalan-jalan gratis dengan memberikan akomodasi penuh (penginapan, transportasi, makan, dan lainnya) pada jurnalis baik di luar kota maupun luar negeri dengan uang saku. Biasanya sembari jalan-jalan gratis atau beriwisata, jurnalis “sengaja” diberi objek wisata yang bisa diliput. 34
c. Perks: lebih pada tunjangan pada jurnalis. Kategori perks diantaranya, ruangan kerja/press room di gedung pemerintahan serta anggaran APBD daerah yang diperuntukkan untuk jurnalis (meliputi uang dalam jumpa pers, press tour, Tunjangan Hari Raya (THR), dan lainnya). d. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan yang dilakukan wartawan. Pekerjaan sampingan jurnalis misalnya pencari iklan. e. Suap/sogokan yakni ikatan janji untuk memberitakan atau sebaliknya, untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan pemasang iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi wartawan dan perusahaan pers.
Dalam penelitian ini, anatomi suap tidak hanya dipahami dari jenis suap semata, melainkan akan dikaji dari dari pelaku suap. Pelaku suap akan dibagi dalam beberapa kategori yakni: a. Lama bekerja, merujuk pada seberapa lama seorang individu menekuni profesi jurnalisnya. Asumsinya bahwa, semakin individu lama menjadi jurnalis (lebih dari 10 tahun), maka wartawan akan semakin tinggi profesionalitasnya. Salah satunya adalah dalam mematuhi kode etik jurnalistik yakni tidak melakukan suap. Kategori lama bekerja ini merujuk pada klasifikasi profesional yang ditetapkan oleh Dewan Pers yakni wartawan muda (1-5tahun),
35
madya (6-10 tahun), dan tua (lebih dari 10 tahun). Dalam penelitian ini peneliti membagi kategori menjadi dua yakni muda dan madya/tua. b. Gaji jurnalis, merujuk pada penghasilan diterima oleh jurnalis. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, gaji dan kesejahteraan wartawan yang kecil menjadi pembenar wartawan menerima amplop. Dalam kategori ini, peneliti membagi dua yakni wartawan dengan gaji rendah (< Rp 1.500.000,-) dan gaji tinggi (> Rp 1.500.000,-). Besaran ini didasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yakni sebesar Rp981.765,c. Status Pekerja, merujuk pada hubungan ketenagakerjaan antara wartawan dengan perusahaan media. Status pekerjaan wartawan menurut Masduki (2005:43) yakni wartawan tetap (diangkat secara resmi oleh perusahaan media dengan target dan kualitas berita tertentu dan mendapatkan tunjangan dari perusahaan ), koresponden/freelance (wartawan yang dikontrak dalam jangka waktu tertentu untuk melakukan peliputan tertentu). Asumsinya, wartawan tetap yang sudah mendapatkan gaji rutin beserta tunjangannya akan menghindar praktik suap. d. Wilayah bekerja, merujuk pada pos-pos wilayah tempat wartawan bekerja. Pos wilayah ini berdasarkan bidang – bidang liputan seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Dalam kategori ini, peneliti akan mengambil proposisi wartawan yang aktif meliput berita politik dan non politik. Berita politik cenderung diliput oleh wartawan 36
yang memiliki pos di pemerintahan (Pemerintah kota, daerah, provinsi) dan non pos pemerintahan (instansi pendidikan, budaya, ekonomi).
1.5.2
Faktor – Faktor Penyebab Suap di Kalangan Jurnalis Faktor penyebab suap di kalangan jurnalis dalam penelitian ini
akan dilihat dari lima faktor. Lima faktor ini adalah: 1. Komitmen individual dalam penegakan etika profesi: keterikatan jurnalis pada profesi jurnalis. Jurnalis menghormati profesinya dengan melakukan tugas dan tanggungjawabnya sesuai kode etik jurnalistik. Semakin jurnalis memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan profesi, maka ia cenderung tidak melakukan suap. 2. Kode perilaku (code of conduct) perusahaan soal suap. Kode perilaku adalah turunan dari kode etik jurnalistik yang dirumuskan oleh institusi pers dan dirumuskan dalam style book. Code of conduct ini menjadi buku acuan jurnalis soal sejauh mana ia harus bertindak sesuai profesinya. Asumsinya ketika kode perilaku ini tidak dimiliki perusahaan, maka pekerjanya akan lebih mudah melakukan suap. 3. Kontrol organisasi profesi berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan organisasi profesi. Pengawasan ini bisa dilakukan dengan berbagai hal diantaranya penerapan kode etik organisasi profesi dan sanksinya, memberikan pelatihan atau sosialisasi terus menerus soal penegakan etika, menciptakan iklim organisasi profesi yang taat pada etika, dan sebagainya. 37
4. Tekanan
komersial
berkaitan
dengan
bagaimana
perusahaan
menempatkan kepentingan masyarakat (memberi informasi yang benar) dengan kepentingan pasar. Tekanan komersial seringkali menjadi faktor sebuah perusahaan media lebih memilih kepentingan pasar (asumsi berita kurang memenuhi nilai berita) dalam proses pemberitaan. Hal ini dipicu pula bahwa kepentingan pasar merupakan sarana pemasukan bagi media. Bila tekanan komersial tinggi, maka media cenderung mengedepankan iklan, begitu pula sebaliknya. 5. Sanksi sosial dalam masyarakat berupa hukuman yang diberlakukan oleh masyarakat ketika seorang jurnalis melakukan tindakan suap. Sanksi sosial yang tinggi membuat jurnalis tidak berani melakukan suap.
1.5.3 Efek Bias Pada Berita Berita adalah produk jurnalistik berdasarkan fakta di lapangan. Fakta tersebut dikonstruksi sedemikian rupa hingga membentuk sebuah cerita faktual yang memenuhi kaidah jurnalistik. Kaidah jurnalistik memenuhi beberapa unsur yaitu: a. Unsur penulisan 5W+1H dalam penyajian fakta (what: apa fakta/peristiwa yang diliput, when: kapan peristiwa tersebut terjadi, where: dimana peristiwa itu terjadi, who: siapa saja yang terlibat dalam peristiwa, why: mengapa peristiwa terjadi, dan how: bagaimana deskripsi peristiwa tersebut). 38
Penulisan 5W+1H ini merangkum sejumlah informasi yang diliput oleh jurnalis. Informasi ini harus memiliki aspek kebenaran, informatif, dan relevan dengan peristiwa yang ditulis.
b. Pada level teknikalitas, tujuan kerja jurnalis, yaitu: Tabel 1.2. Tujuan Kerja Jurnalis Pada Level Teknikalitas
Sikap Jurnalis Tidak
Maksud Jurnalis Seimbang/balance
berpihak/impartiality Netralitas
Tujuan Jurnalisme 1. Objektif 2. Benar
Adil/fairness Siregar (Tanpa Tahun)
Unsur tidak berpihak atau seimbang berkaitan dengan cara jurnalis bisa menempatkan fakta itu secara seimbang. Artinya, pihak yang terlibat mendapatkan porsi yang seimbang untuk berpendapat sesuai peristiwa yang terjadi. Inilah yang disebut dengan cover both side. Lebih lagi ketika ada sebuah konflik, jurnalis tidak hanya mewawancari yang berkonfrontasi langsung, melainkan semua pihak yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Dalam aspek ini, pemberitaan tidak menguntungkan salah satu pihak dengan cara apa pun. Keseimbangan ini dilihat dari tiga elemen yakni source bias atau penampilan satu sisi dalam pemberitaan. Kedua, tidak ada slant atau 39
kecenderungan dalam pemberitaan, dan ketiga adalah kehadiran berbagai bentuk ketidakseimbangan pemberitaan seperti representasi nara sumber, representasi aktor, pemakaian kata atau kalimat hiperbola, serta kuantitas data
dan
fakta
yang
dibutuhkan
dalam
menyampaikan
berita.
(Rahayu, 2006:25) Sedangkan aspek netralitas berkaitan dengan cara jurnalis menampilkan sebuah fakta tanpa berpihak pada salah satu pihak yang berkepentingan. Untuk itulah, jurnalis tidak boleh terlibat dalam konflik kepentingan. Dalam aspek netralitas ini, jurnalis tidak bisa memberikan penilaian (non-evaluative) dan tidak melebih-lebihkan berita (non sensasional. Penilaian yang dimaksudkan adalah penilaian secara positif ataupun negatif. Dalam pemberitaan, aspek netralitas dapat diukur dari dari sensasionalisme (bagaimana wartawan ingin membuat sensasi yakni dengan emosional dan dramatisasi), stereotype (pemberian atribut tertentu terhadap individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam penyajian berita), juxtaposition (cara wartawan menyandingkan dua fakta yang berbeda dengan maksud menimbulkan efek kontras yang menambah kesan dramatis), dan linkages (cara wartawan menyandingkan dua fakta yang berbeda untuk menimbulkan efek asosiatif). (Rahayu, 2006:26).
40
1.6 DESAIN PENELITIAN
Faktor Penyebab Suap 1. Komitmen individual Pelaku suap
2. Kode etik perilaku perusahaan
Praktik Suap di Kalangan Jurnalis
3. Kontrol organisasi profesi
Jenis – jenis Suap di Media
4. Tekanan komersial 5. Sanksi sosial dalam masyarakat
1.7 METODOLOGI PENELITIAN 1.7.1
Studi Kasus Sebagai Metode Penelitian
Robert K. Yin dalam Rianto (2008:82) mendefinisikan bahwa studi kasus adalah sebagai suatu penelitian empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks ke4hidupan nyata, bilamana batas – batas antara fenomena dengan konteks tidak tampak tegas dan dimana multisumber bukti digunakan. Studi kasus digunakan dalam penelitian untuk menjawab pertanyaan “how” dan “why”. Studi kasus merupakan studi yang dilakukan untuk mencari kedalaman penjelasan
atas
kasus
yang
diteliti,
digunakan
untuk
kasus
yang 41
spesifik(mempunyai keunikan atas konteks ilmiah, sejarah, lingkungan fisik, konteks ekonomi, politik, sosial, estetika), dibatasi oleh waktu, dan dalam proses pengumpulan datanya menggunakan banyak ragam sumber. (Rianto,2008:82).
1.7.2
Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini berfokus pada jurnalis di Yogyakarta. Populasi jurnalis di Yogyakarta belum bisa diidentifikasikan oleh peneliti. Peneliti hanya dapat mengidentifikasi jurnalis yang masuk dalam organisasi profesi khususnya AJI dan PWI. Anggota AJI hingga Januari 2013 ini tercatat 80 orang, sedangkan anggota PWI tercatat 518 hingga Januari 2013. Sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 orang. Jumlah ini memang tidak mewakili populasi jurnalis di Yogyakarta. Peneliti memilih jumlah tersebut lantaran tema ini bukanlah tema yang mudah untuk diangkat. Peneliti harus mendekati satu persatu responden agar responden mau berterus terang. Oleh karenanya teknik pengambilan sampel ini menggunakan snowbowling bukan random sampling. Dengan jumlah sample tersebut, peneliti memang tidak bisa melakukan klaim secara keseluruhan. Hanya saja, sampel tersebut bisa mengungkap atau memberikan gambaran soal praktik suap di kalangan jurnalis serta faktor-faktor penyebabnya. Selain jurnalis, untuk lebih memperdalam penelitian ini, peneliti juga melakukan wawancara dengan dua humas yang terdiri dari humas pemerintahanan dan humas pendidikan yang dalam kasus ini sebagai penyuap, Sihono sebagai 42
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta, serta pengamat media Atmakusumah.
1.7.3
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah a. Dokumentasi : merupakan objek rencana-rencana pengumpulan data eksplisit diantaranya laporan penelitian, dokumen,serta artikel yang muncul di media massa. b. Metode
wawancara
mendalam
(indept-interview),
suatu
cara
mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara mendalam dipilih karena tema ini tidak bisa dijawab dengan kuesioner. Teman suap membutuhkan kejujuran dari narasumber. Dengan wawancara mendalam, nara sumber memiliki kebebasan secara terbuka untuk menceritakan pengalamannya. c. Observasi langsung: mengamati langsung objek yang diteliti di lapangan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena riset. d. Observasi partisipan:
peneliti ikut berpartisipasi untuk mengambil
peran dalam situasi tertentu dan berpatisipasi dalam peristiwa yang akan diteliti.
43
1.7.4 Analisis Data Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy (2004:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasi data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Data kualitatif adalah data–data yang berupa kata-kata, kalimat-
kalimat atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam maupun observasi. Tahapan analisis data kualitatif dalam Rachmat (2010:197) adalah sebagai berikut. Data terkumpul dari hasil wawancara, observasi, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Data tersebut akan diklarifikasi dan dikategorikan dalam kategori tertentu. Periset benar-benar memilah data yang kurang valid serta mendialogkan data satu dengan yang lain. Setelah itu, peneliti akan melakukan pemaknaan terhadap data berdasarkan prinsip dasar riset kualitatif bahwa realitas adalah hasil konstruksi realitas. Periset pun akan berteori untuk mempertahankan argumentasi dan akhirnya memberikan kesimpulan.
44