BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kemitraan saat ini berkembangan menjadi isu global. Perkembangan ekonomi, sosial dan lingkungan mendorong lahirnya sebuah gerakan baru yang bergerak secara global melalui program Millennium Development Goals (MDG’s). Gerakan ini merupakan aksi kolektif yang dilakukan oleh negaranegara berkembang dengan target program peningkatan kualitas hidup masyarakat di negara tersebut. Saat ini program MDG’s telah diadopsi oleh 189 negara. Program MDG’s mulai diinisiasi pada tahun 2000 dengan target jangka waktu capaian hingga 2015. Menjelang berakhirnya target waktu pelaksanaan tersebut berbagai forum tingkat tinggi diinisiasi dengan maksud untuk merencanakan skema pembangunan pasca 2015. High Level Panel of Eminent Person on Post2015 Development Agenda (HLPEP) adalah salah satu forum yang membahas upaya
perumusan
program
pembangunan
pasca
2015.
Forum
HLPEP
diselenggarakan di Bali pada 25-27 Maret 2013. Ouput yang dihasilkan dalam forum HLPEP adalah membahas mengenai bagaimana membangun kemitraan global dalam upaya pelaksanaan agenda pembagunan global. Isu kemitraan menjadi hal penting dalam forum tersebut, yaitu munculnya kesepahaman baru terkait kemitraan global. Forum HLPEP mempertegas bahwa visi yang ingin dicapai adalah mendorong terciptanya kemitraan disemua tingkatan dan diseluruh proses pembangunan (Communiqué Meeting of HLPEP). Hasil ini sejalan dengan konferensi yang dilaksanakan di Rio de Jainero pada 2012 (Rio20+) yang
menghasilkan “The Future We Want”, salah satu poin didalamnya menyebutkan bahwa sustainable development akan bergantung pada partisipasi aktif berbagai sektor. Sektor privat akan didorong untuk berkontribusi terhadap pencapaian sustainable development (United Nations, 2012). Hal tersebut semakin mempertegas bahwa saat ini kemitraan berkembangan menjadi pengarusutamaan dalam proses pembangunan dalam skala global. Isu kemitraan dalam pembangunan global menekankan bahwa perlu adanya peran dari pemangku kepentingan untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Pada dasarnya isu kemitraan sejalan dengan konsep welfare pluralism. Neil Gilbert (Gilbert, 2000, hal. 411-420), menyebut welfare pluralism sebagai mixed economy of welfare, bahwa terdapat empat sektor (government, voluntary, informal, commercial) yang memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pelayanan sosial bagi masyarakat. Welfare pluralism muncul sebagai sebuah paradigma baru pembangunan yang berkembang di era 1990-an, welfare pluralism menaruh perhatian terhadap usaha yang paling efektif dan efisien dalam menciptakan kesejateraan bagi masyarakat dengan formula pembagian peran antara sektor publik dan privat. Isu penting dalam konsep welfare pluralism adalah privatisasi dan desentralisasi. Privatisasi menawarkan pendekatan yang dianggap efektif dan efisien dalam pemberian pelayanan sosial. Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah lokal dianggap lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pemerintah pusat karena memangkas kendala-kendala birokaratis. Sedangkan isu lainnya adalah adanya peran community
based
organization
(CBO)
yang
dianggap
efisien
dalam
menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat karena berada langsung ditengahtengah masyarakat serta mengetahui kondisi kebutuhan masyatakat secara langsung. Kondisi tersebut mempertegas bahwa efisiensi proses pembangunan tidak hanya membebankan kewajiban pada satu pihak melainkan ada kerjasama antar pihak (pemerintah lokal, CBO, sektor privat). Keseimbangan antara pembagian kerja dan pembagian wewenang merupakan wujud dari pelaksanaan welfare pluralism. Pandangan welfare pluralism mendorong sektor privat untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Wujud kontribusi sektor privat termanifest melalui program-program corporate social responsibilty (CSR). CSR merupakan wujud komitmen dan kesadaran perusahaan dalam menciptakan harmonisasi hubungan dengan masyarakat. Corak praktik CSR di Indonesia dijalankan secara beragam, baik secara landasan pelaksanaan, metode pendekatan, sasaran penerima program, dsb. Praktik CSR yang dijalankan tidak jarang berupa perilaku etis yang dijalankan oleh perusahaan yang berbalut kedermawanan tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan secara jangka panjang. Salah satu contoh model praktik CSR adalah pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) UPMS IV Semarang. Unit usaha ini membawahi beberapa Terminal BBM di wilayah jawa bagian tengah. Pada 2012, PT Pertamina (Persero) UPMS IV Semarang memberikan bantuan dua puluh unit komputer kepada SD Panggang di Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul. Sekolah tersebut berlokasi dekat dengan Terminal BBM Rewulu. Bantuan
tersebut diterima langsung oleh kepala SD Panggang. Hubungan antara PT Pertamina (Persero) UPMS IV Semarang dan SD Panggang berhenti setelah proses pendistribusian tanpa ada tindak lanjut pendampingan atau pengembangan program pemberdayaan masyarakat dengan berbasis bantuan yang sudah diberikan. Model pengelolaan lainnya adalah CSR berfungsi sebagai remote control untuk mengatur suasana hati masyarakat di sekitar wilayah. Program CSR digunakan sebagai peredam tuntutan masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan sehingga tidak menggangu stabilitas produksi. Praktik pelaksanaan CSR tersebut memposisikan masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai mitra dalam implementasi program CSR. Meskipun demikian beberapa perusahaan mampu memberikan gambaran good practices dalam implentasi program CSR melaui sinergi antara perusahaan dengan pemerintah lokal setempat. Sinergi tersebut terwujud melalui forum multi-stakeholder perusahaan dengan para pemangku kepentingan di wilayah perusahaan beroperasi. Partisipasi sektor privat dalam pembangunan sangat dipengaruhi oleh iklim sosial politik yang berkembang. Isu kemitraan dalam praktik CSR di Indonesia bukan merupakan hal baru. Menurut data Kementerian Dalam Negeri (Kementarian Dalam Negeri, 2013), selama kurun waktu 2011 hingga Mei 2015 tercatat sebanyak tiga puluh tiga peraturan daerah yang mengatur mengenai praktik pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR termasuk mengenai Program Kemitraan Bina Lingkungan. Fenomena ini menunjukan bahwa pemerintah daerah sudah mulai peduli terhadap aktivitas perusahaan di
wilayahnya. Peraturan daerah terkait CSR mendorong perusahaan dan para pemangku kepentingan untuk melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam pelaksanaan program CSR. Proses koordinasi melalui kemitraan dengan pihak terkait di sejumlah wilayah mampu melahirkan forum baru yang berperan mengawal pelaksanaan program CSR. Forum tersebut diantaranya Forum Multi Stakeholder Kab. Kutai Timur. Pelajaran yang dapat dipetik adalah adanya titik temu untuk mempertemukan kepentingan para aktor melalui isu pembangunan daerah dan pembangunan masyarakat. Meskipun landasan masing-masing aktor berbeda namun mereka memiliki tujuan yang sama. Faktor penting lainya adalah peran dari pemimpin daerah. Sosok Bupati Kutai Timur dianggap memiliki inovasi dalam pembangunan daerah. Contoh lain forum multi-stakeholder adalah forum CSR Ciayumajakuning, forum ini menaungi seluruh kalangan usaha baik perusahaan swata maupun BUMN/BUMD yang berada di wilayah Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Berdirinya forum ini diharapkan mampu menciptakan sinergitas antara sektor privat yang ada di wilayah Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan dengan pemerintah lokal setempat. Sinergitas inilah yang melahirkan proses kemitraan antar pihak. Keberadaan kemitraan dalam pengelolaan CSR merupakan sesuatu yang penting. Pada dasarnya kehadiran sektor privat dalam proses pembangunan bukan sebagai aktor pengganti dari peran pemerintah. Pembagian tugas oleh masingmasing aktor menjadi penting. Pembangian tugas yang dimaksud terjalin melalui kemitraan.
Di Indonesia, CSR diatur melalui regulasi meliputi tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 74 menyebutkan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Peraturan tersebut mewajibkan seluruh perusahaan yang beroperasi di wilayah Indonesia untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Regulasi terkait CSR juga termuat dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi (migas) yang menegaskan bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melaksanakan usaha migas ikut melaksanakan bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat. Sedangkan Pasal 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 menjelaskan bahwa yang dimaksud kegiatan usaha migas meliputi kegiatan hulu (eksplorasi dan eksplotasi) dan hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga). Kedua sektor tersebut pada dasarnya sama-sama memiliki risiko serta memiliki dampak sosial dan lingkungan terhadap daerah di sekitar wilayah operasi mereka. Namun karakter dampak yang ditimbulkan berbeda antara sektor hulu dan hilir, hal ini menyebabkan treatment terhadap kendali dampak yang dilakukan oleh perusahaan pun berbeda antara perusahaan yang bergerak di sektor hulu maupun hilir. Jika dibanding dengan sektor hulu saat ini, perbadingan antara good practices tata kelola CSR di industri hilir migas lebih sedikit. Oleh sebab itu, penelitian ini mengelaborasi mengenai praktik tatakelola CSR industri hilir migas
khususnya aspek kemitraan yang dibangun oleh perusahaan. Industri hilir migas yang digunakan dalam penelitian ini adalah unit usaha PT Pertamina (Persero) Terminal BBM Rewulu yang berada di Kabupaten Bantul, DIY. Secara kelembagaan Terminal BBM Rewulu memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana amanah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. PT Pertamina (Persero) Terminal BBM Rewulu merupakan unit usaha hilir migas (penyimpanan, penimbunan dan pendistribusian bahan bakar minyak). Peraturan lainnya yang memberikan dampak hukum adalah UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas karena secara kelembangaan Terminal BBM Rewulu dibawah kewenangan PT Pertamina (Persero). Selain itu, Terminal BBM Rewulu sebagai salah satu unit bisnis Badan Usaha Miliki Negara berkewajiban untuk melaksanakan Peraturan Menteri Badan Usaha Miliki Negara No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Miliki Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Meskipun sederet regulasi memberikan dampak hukum kepada Terminal BBM Rewulu untuk wajib melaksanakan program-program CSR. Pada dasarnya kesadaran untuk melaksanakan program CSR sudah ada sejak lama. Kegiatan yang dilakukan dalam naungan program-program CSR dilaksanakan dengan pendekatan kedermawanan atau bantuan langsung tanpa ada monitoring yang dilakukan oleh perusahaan. Pada 2012 pendekatan pengelolaan program CSR yang dilakukan oleh Terminal BBM Rewulu berubah dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan. Melalui pendekatan ini Terminal BBM Rewulu
menjalankan perannya untuk turut berpartisipasi dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat di wilayah sekitar operasinya melalui berbagai program CSR. Sejak 2012 hingga April 2015 tercatat sembilan program CSR telah dilaksanakan di bawah naungan program CSR Terminal BBM Rewulu. Program CSR yang dijalankan terbagi kedalam empat kluster program (ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lingkungan). Kluster ekonomi, terdiri atas: Pengembangan Industri Rumah Tangga Jamu Tradisional Berbasis Masyarakat, Peningkatan Produktivitas Pertanian, Pengembangan Industri Rumah Tangga Rambak Cakar Ayam, Peningkatan Kualitas Pengelolaan dan Pemberdayaan Kelompok Kambing PE, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembianaan Kelompok Budidaya Ikan Varia Mina Makmur. Kluster kesehatan: Peningkatan Kesehatan Masyarakat Melalui Pemberdayaan Kader Posyandu. Kluster pendidikan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD di Wilayah Ring Pengembangan CSR). Kluster lingkungan: Pengelolaan Sampah Mandiri. Implementasi program CSR tidak sepenuhnya ditangani langsung oleh Terminal BBM Rewulu. Perusahaan membuka diri untuk bekerjasama dengan pihak yang dianggap lebih kompeten untuk mencapai tujuan pelaksanaan CSR. Idealnya sebuah praktik CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan tidak menjadikan perusahaan tersebut sebagai local super hero. Fungsi perusahaan sebagai salah satu bagian untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat mendorong perusahaan untuk melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan khususnya di wilayah lokal sekitar operasi perusahaan atau mitra lain yang
memiliki fokus dan tujuan yang sama untuk berkerjasama dalam implementasi program CSR. Kemitraan dalam praktik tatakelola CSR menjadi penting sebagai upaya untuk meminimalisasi dominasi salah satu pihak dan juga sebagai upaya untuk
tindakan
preventif
guna
menghindari
tumpang
tindih
program
pembangunan yang diterima oleh masyarakat. Secara administratif Terminal BBM Rewulu berada di Desa Armulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul. Terminal BBM Rewulu memiliki sebelas dusun ring pengembangan masyarakat yang berada di Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul dan Desa Balecatur, Kec. Gamping, Kab. Sleman. Apabila ditinjau dari geografis wilayah, lokasi terminal BBM Rewulu memungkinkan terjadinya sinergi antara pemerintah lokal, unsur perguruan tinggi maupun lembaga kemasyarakatan lainnya. Apabila dipetakan potensial hubungan kemitraan yang dijalin oleh Terminal BBM Rewulu didasarkan atas lokasi geografis dan persamaan isu atau tujuan sebagai berikut: Tabel 1.1 Peta Hubungan Kemitraan Terminal BBM Rewulu Potensial Mitra Institusi Keterangan Berdasar geografis wilayah Pemerintah : Belum ada sinergitas/ (ring pengembangan CSR Desa Argomulyo kerjasama dalam Terminal BBM Rewulu) Kec. Sedayu perencanaan program Desa Balecatur dengan institusi lainnya. Kec Gamping (pemerintah, universitas) Puskermas Sedayu II Universitas : Universitas Mercubuana Institusi Masyarakat: Kelompok penerima manfaat program CSR Berdasar persamaan isu Pemerintah : Memiliki hubungan (tujuan) Dinas Kesetahan kerjasama dengan Kab. Bantul potensial mitra tersebut Dinas Perindustrian dalam upaya pemenuhan Perdagangan dan sumberdaya terkait
Koperasi Kab. Bantul HIMPAUDI DIY
LSM : Joglo Tani Universitas : Universitas Gadjah Mada Institusi Masyarakat: Bank Sampah Badegan Bank Sampah Metes Sumber: Observasi lapangan.
implementasi program CSR Terminal BBM Rewulu.
Sedangkan program-program CSR yang dijalankan oleh Terminal BBM Rewulu dengan melibatkan pihak eksternal, pelaksanaan program 2012-Mei 2015 antara lain: Tabel 1.2 Tabel Mitra Pelaksanaan Program CSR Terminal BBM Rewulu Tahun 2012-2013 No. Nama Program Pihak Eksternal 1.
2. 3. 4.
5. 6.
Pengembangan Industri Rumah Tangga Dinas Perindustrin, Perdagangan Jamu Tradisional. dan Koperasi Kab. Bantul Dinas Kesehatan Kab. Bantul Peningkatan Produktivitas Pertanian. Joglo Tani Peningkatan Kualitas Pengelolaan dan Joglo Tani Pemberdayaan Kelompok Kambing PE. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Universitas Gadjah Mada Pembianaan Kelompok Budaya Ikan Varia Joglo Tani Mina Makmur. Peningkatan Kualitas Pelayanan HIMPAUDI DIY Pendidikan Anak Usia Dini Pengelolaan Sampah Mandiri. PSM 45 Metes, Sedayu Bank Sampah Badegan Sumber: obvervasi lapangan
Temuan awal penelitian ini adalah pendekatan kemitraan dalam tatakelola CSR yang dilakukan oleh Terminal BBM Rewulu sebagaimana tergambar di atas menunjukan bahwa fungsi mitra sebagai pihak eksternal pendukung pelaksana program CSR. Pihak eksternal berperan sebagai penyedia sumberdaya dalam mendukung pelaksanaan program CSR Terminal BBM Rewulu. Posisi mitra
sebagai bagian dari pelaksana program CSR. Disisi lain, masyarakat memiliki posisi yang strategis yaitu selain menjadi sasaran penerima manfaat program CSR Terminal BBM Rewulu juga berkesempatan besar untuk menerima program dari lembaga lainnya, hal ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih program. Sebagai contoh, pada awal tahun 2014 salah satu kelompok jamu penerima manfaat program CSR Terminal BBM Rewulu juga menjadi kelompok sasaran program pengabdian masyarakat mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta dengan bentuk kegiatan yang hampir serupa atau beberapa kegiatan lainnya yang sudah pernah dilakukan dalam rangkaian program CSR. Rangkaian kegiatan kembali muncul sebagai kegiatan pengulangan dengan pelaksana program dari instansi yang berbeda. Kemitraan dalam pengelolaan CSR pada dasarnya berfungsi mengendalikan dominasi salah satu pihak dalam proses pembangunan masyarakat. Kemitraan mengembalikan posisi perusahaan sebagai supporting atas fungsi negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, kemitraan menjadi faktor yang memiliki peran penting dalam proses tatakelola CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. 1.2. Rumusan Masalah The partnership usually designed to bring together all relevant actors within a region that can contribute to improving a given situation on an equal basis (OECD, 2006). Pihak terkait yang memiliki persamaan tujuan untuk memberikan kontribusi untuk menuju kondisi yang lebih baik. Terminal BBM Rewulu menjalakan pengelolaan CSR dengan melibatkan partisipasi pihak
eksternal sebagai mitra dalam pengelolaan program. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana kemitraan antar stakeholder diimplemetasikan secara setara di Terminal BBM Rewulu? 2. Bagaimana praktik kemitraan yang dijalankan oleh Terminal BBM Rewulu dalam pengelolaan program CSR Tahun 2012-2014? a. Bagaimana kondisi awal proses perumusan agenda setting? b. Bagaimana proses implementasi kemitraan? c. Apa saja identifikasi permasalahan selama kemitraan berlangsung? 3. Bagaimana model yang dijalankan oleh Terminal BBM Rewulu dalam implementasi CSR? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini meliputi: 1.
Ingin mengetahui implementasi kemitraan yang dilaksanakan oleh Terminal BBM Rewulu dalam pengelolaan program CSR yang melibatkan pihak eksternal.
2. Ingin mengetahui implementasi kemitraan dilihat dari aspek: kondisi awal,
proses pelaksanaan hingga identifikasi permasalahan selama kemitraan berlangsung. 3. Melakukan identifikasi model kemitraan yang dilakukan oleh Terminal
BBM Rewulu dalam implementasi program CSR.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran Penelitian Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stakeholder. Menurut teori stakeholder (Mele, 2009, hal. 63), yang dimaksud stakeholder adalah kelompok atau individu yang mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan perusahaan. Teori stakeholder menekankan pada proses manajemen dalam melakukan tindakan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Fokus teori ini adalah perusahaan serta membahas mengenai publik dan public interest dimana masyarakat diartikan secara luas. Sedangkan menurut pendapat Domenec Mele (Mele, 2009, hal. 63), teori stakeholder didefinisikan sebagai berikut: The firm is a system of stakeholders operating within the large system of the host society that provides the necessary legal and market infrastructure for the firm activities. The purpose of the firm is to create wealth or value for its stakeholders by converting their stake into goods and services. Mele menjelaskan bahwa perusahaan merupakan sebuah sistem besar dan masyarakat berperan sebagai tuan rumah yang menyediakan kebutuhan baik secara hukum maupun kebutuhan pasar untuk aktivitas perusahaan. Menurut teori stakeholder yang dipaparkan oleh Mele, yang dimaksud stakeholder adalah kelompok atau individu yang mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Stakeholder yang dimaksud antara lain: supplier, konsumen, masyarakat, karyawan, serta investor. Sedangkan Michael Jensen (Freeman, Harrison, Wicks, Parmar, & de Colle, 2010, hal. 13) melalui tulisannya yang berjudul “Maximation, Stakeholder Theory and Corporate Objective” menyatakan bahwa teori stakeholder membutuhkan
fungsi serta tujuannya berupa maksimalisasi nilai. Michael Jensen menyatakan bahwa teori stakeholder dianggap tidak lengkap karena ukuran nilai yang dimaksud tidak terukur. Jensen memposisikan teori stakeholder sebagai instrumen, yaitu bagaimana nilai bisa diciptakan. Literatur tersebut menggunakan dua premis utama yaitu prespektif internal dan eksternalitas. Prespektif internal melihat perilaku perusahaan fokus pada maksimalisasi profit perusahaan. Sedangkan dari sisi perspektif eksternalitas, perusahaan berkontribusi dalam menciptakan kehidupan yang lebih bagi masyarakat sekitar. Hal ini menjadi dasar bahwa perusahaan memiliki peran untuk berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik. Konsep yang dipaparkan oleh teori stakeholder mengenai hubungan antara perusahaan dengan masyarakat sejalan dengan konsep pluralism society. Konsep ini mengacu pada difusi kekuasaan diantara kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi. Pada masyarakat pluralis kekuasaan tidak berada dalam satu pihak (pemerintah, sektor privat, buruh atau pihak militer), kata kunci utama dalam konsep ini adalah desentraliasasi dan keberagaman. Pembagian peran yang ada dalam masyarakat tidak didominasi oleh salah satu pihak. Perusahaan berperan menjadi salah satu agen dalam pelaksanaan pembangunan. Manifestasi peran perusahaan terwujud dalam pelaksanaan program CSR. Secara global, beragam panduan pelaksanaan program CSR bermunculan, antara lain: the global reporting initiative, the global compact, the guideline of organization for economic coperation and development, ISO 26000 dsb. Perusahaan mengadopsi konsep tersebut sebagai wujud komitmen terhadap partisipasi dalam pembangunan.
Komitmen
perusahaan
dalam
melaksanakan
program
tidak
hanya
didasarkan pada guidelines maupun regulasi yang mengikatnya. Implementasi CSR juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah peran top manajemen sebuah perusahaan. Diane L. Swanson (Swanson, 2008) menyebutkan bahwa pimpinan tertinggi sebuah organisasi memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan CSR. Faktor kepemimpinan yang dimaksud dipengaruhi secara internal maupun eksternal. Faktor eksternal merupakan eksternal kontrol yang mempengaruhi kebijakan pemimpin tersebut, misalnya regulasi pemerintah, legitimasi operasi perusahaan. Sedangkan faktor internal adalah internal kontrol yang berhubungan latar belakang pimpinan tersebut, baik dari aspek pendidikan dan pengalaman. Pimpinan tertinggi perusahaan memiliki pengaruh dalam menentukan model serta arah pelaksanaan CSR di sebuah perusahaan. Di Indonesia, pemerintah berperan sebagai lembaga yang mendorong partisipasi dunia usaha dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat. Peran tersebut
dilakukan
dengan
dikeluarkannya
sederet
regulasi.
Peraturan
perundangan yang mengatur tentang pelaksanaan CSR antara lain: UU No. 22/2001 Tentang Migas, UU No. 25/2007 Tentang Penanaman Modal Asing, UU. No. 40/2007 Tentang PT serta Peraturan Menteri, atau Peraturan Daerah yang mengikat mengenai praktik pengelolaan CSR. Selain sebagi regulator, pemerintah dituntut untuk mampu berperan sebagai lembaga yang mampu bermitra dengan perusahaan dalam menciptakan kesejateraan masyarakat. Pada 2014, pemerintah mengeluarkan UU. No. 6/2014 Tentang Desa. Perundangan tersebut mengatur mengenai kewenangan desa dalam pengelolaan pembangunan masyarakat
khususnya di tingkat desa. Bab XI UU Desa menjelaskan mengenai skema yang mengatur mengenai peluang kerjasama antara entitas bisnis selaku pelaksana program CSR dengan pemerintah khususnya pemerintah desa. Oleh sebab itu, regulasi tersebut membuka ruang sinergi antar aktor dalam menciptakan kesejahteraan. Salah satu model kemitraan yang berkembangan saat ini adalah cross-sector partnership. Menurut Waddock (Seitanidi & Crane, 2008, hal. 1), kemitraan sosial merupakan salah satu mekanisme yang digunakan dalam pemecahan masalah-masalah sosial (misal: pendidikan, kesehatan dan lingkungan) dengan cara menghubungkan sumberdaya-sumberdaya untuk mencapai penyelesaian masalah. Maria May Seitanidi dan Andrew Crane menggambarkan ragam kemitraan dalam implementasi CSR sebagai berikut: Bagan 1.1 Cross- Sector Social Partnerships CROSS SECTOR PARTNERSHIP Social Partnership
Public-Private Partnership
Public-NGO Partnership
Private-NPO Partnership
ublic
Public-NPO Partnership
Tripartite Partnership
(Seitanidi & Crane, 2008, hal. 2)
Bagan di atas menggambarkan bahwa adanya keragaman bentuk-bentuk kemitraan dalam pelaksanaan program CSR, antara lain: kemitraan antara
pemerintah dengan swasta, kemitraan antara pemerintah dengan organisasi nirlaba, serta kemitraan antara organisasi nirlaba dengan swasta. Kemitraan lintas sektor dianggap sebagai solusi atas permasalahan sosial. Hal ini dapat terwujud dengan melibatkan kerjasama ketiga pihak tersebut melalui tripartite partnership (pemerintah, swasta dan organisasi nirlaba). Kolaborasi diantara lembaga ini dianggap sebagai mekanisme yang efektif dalam implementasi CSR. Gagasan cross sector collaboration saat ini berkembang sebagai strategi untuk menyelesaikan permasalahan sosial serta digunakan sebagai pendekatan dalam pembangunan masyarakat. Gagasan tersebut mewadahi multi-pihak untuk saling terkait dan bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan global. Hubungan yang terjadi dalam cross sector collaboration adalah adanya pembagian kekuasaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama. Cross sector collaboration as the linking or sharing information, resources, activities, and capabilties by organizations in two or more sector to achieve jointly an outcome that could not be achieve by organizations in one sector separatly (Bryson, Crosby, & Stone, 2006). Pembagian kekuasaan terhadap pihak-pihak yang bekerjasama tidak hanya dimaknai pembangian kekuasaan yang sama rata sebagaimana konsep equality. Kemitraan yang dimaksud mengakomodir pihak-pihak yang terlibat dengan konsep keadilan. Terdapat konsep equality dan equity dalam hubungan antara dua pihak atau lebih. Martin Bronferenbrenn (Bronferenbrenn, 1973) menyebutkan meskipun terdapat persamaan fonetik antara equality dan equaity namun kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Konsep equality menekankan pada persamaan berdasarkan fakta merujuk pada objektivitas. Sedangkan konsep equaity menekankan pada pertimbangan etika, basis yang
digunakan subjektivitas. Penelitian ini menggunakan konsep equaity sebagai referensi dalam menentukan kesetaraan dalam hubungan antara dua stakeholder atau lebih dalam kemitraan yang berlangsung. Partisipasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tidak dilihat berdasar persamaan kontribusi dalam program secara sama menurut objektivitas melainkan berdasarkan konstribusi didasarkan pada kemampuan masing-masing aktor yang terlibat dalam kemitraan. Ros Tennyson (Tennyson, 2003) memaparkan mengenai kerangka yang dapat digunakan untuk mengetahui proses-proses kemitraan sebagaimana Bagan 1.2. Merujuk pada bagan tersebut, praktik kemitraan dapat dikelompokan kedalam empat tahapan utama, yaitu: pertama, proses awal membangun kemitraan. Kedua adalah proses implementasi. Ketiga adalah proses monitoring dan evalasi. Keempat adalah institusionalisasi kemitraan tersebut. Penelitian ini mengadopsi ketiga proses tahapan kemitraan yang dipaparkan oleh Ros Tennyson untuk memetakan kondisi terkait praktik kemitraan yang dijalankan oleh Terminal BBM Rewulu yang meliputi: pertama: proses awal, berupa: proses identifikasi calon mitra, proses melakukan penilaian terhadap risiko dan peluang dalam kerjasama, serta pemetaan kondisi sumberdaya yang dibutuhkan dalam kerjasama tersebut. Tahap kedua adalah
implementasi
kemitraan. Sedangkan tahap ketiga adalah evaluasi dan monitoring kemitraan.
Bagan 1.2 Phases in the Partnering Process
(1) Scoping understanding the challange: gathering information: consultatiting with stakehoder and with potential external resources provider: buiding a vision of /for partnership.
(2) Identifying
(12) Sustaining or Terminating
Identifying potential partners and-if suitable- securing their involvement: motivating them and encouraging them to work together.
Building sustainability or agreeing an appropriate conclusion.
(11) Intitutionalising
(3) Building
Building appropriate structure and mechanism for the partnership to ensure longer term commitment and continuity
Partners build working relationship throught agrreing goal, obvectives, adn core principles that will underpin their partnership
(10) Revising Revising partnership program(s) project (s) in the light experience.
(4) Planing
or
Partner plan program of activities and begin to outline a coherent project.
(9) Reviewing
(5) Managing
Reviewing partnership: what is impact of the partnership on partner organization? Is the time for some partners to leave and or new partner join.
Partner explore structure management of their partnership medium to long-term.
(6) Resourcing
(8) Measuring
Partner (and supporters) identify and mobilise cash and non-cash resource.
Measuring and reporting on impact and effectiveness-outputs and outcomes. Is the partnership achieving its goal?
(7) Impementing One resource are in place and project detail agreed, the implemetation process starts-working to a pre-agreed timetable and (ideally) to specific deliverable.
Sumber : Tennyson, The Partnering Toolbook, 2003.
Klasifikasi tipe kemitraan dalam penelitian ini mendasarkan pada pendekatan fenonema biologis. Ambar Teguh Sulisityani (Sulistiyani, 2004, hal. 130-132) melakukan klasifikasi model kemitraan berdasar fenomena biologis, dengan membagi kemitraan kedalam tiga tipe: 1. Pseudo partnership (kemitraan semu). Kemitraan semu merupakan kemitraan yang didalamnya tidak terdapat kerjasama yang seimbang antara satu dengan lainnya. Model ini sangat dimungkinkan salah satu pihak tidak memahami secara penuh kerjasama yang terjalin didalamnya. Salah satu pihak tidak memahami pentingnya kerjasama yang dibangun diantara keduanya. 2. Mutualism partnership (kemitraan mutualistik). Kemitraan model ini merupakan kemitraan yang sama-sama memahami pentingnya menjalin kemitraan. Masing-masing lembaga yang terlibat dalam kerjasama memahami tujuan dan manfaat dari bermitra. Hal ini memudahkan dalam mencapi tujuan dalam kerjasama. 3. Conjugation
partnership
(kemitraan
melalui
peleburan
dan
pengembangan). Model kemitraan ini, masing-masing pihak yang terlibat melebur dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk mencapai tujuan bersama dalam kemitraan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui model serta memetakan mengenai praktik kemitraan dalam tatakelola CSR Terminal BBM Rewulu. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki landasan pelaksanaan kemitraan dalam pelaksanaan
CSR. Untuk memudahkan menjawab rumusan masalah penelitian maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini tergambar pada Bagan 1.3. Bagan 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi kemitraan dalam Pengelolaan CSR Komitmen Perusahaan dalam Pelaksanaan CSR
Peran Leader dalam Implementasi CSR
Model Pengelolaan CSR
CROSS SECTOR PARTNERSHIP
Social Partnership Equity in Partnership
Fase Kemitraan (Ros Tennyson) Perumusan Agenda Setting Implementasi CSR Monitoring dan Evaluasi
Model Kemitraan Terminal BBM Rewulu dalam Kontekstualisasi Regulasi (UU Desa No. 6/2014)
Tipologi Kemitraan (Ambar T. Sulistyani): Pseudo partnership (kemitraan semu). Mutualism partnership (kemitraan mutualistik) Conjugation partnership (kemitraan melalui peleburan & pengembangan).
Alur pikir dalam penelitian ini diawali dengan proses penggambaran implementasi pelaksanaan CSR yang dilakukan di Terminal BBM Rewulu. Implementasi tersebut dilihat dari dua sudut pandangan, yaitu: komitmen Terminal BBM Rewulu dalam melaksanakan program CSR dan peran Operation Head selaku pimpinan tertinggi dalam organisasi tersebut. Dua sudut pandang ini mempengaruhi penentuan model pengelolaan program CSR yang dilakukan oleh
Terminal BBM Rewulu. Model-model pengelolaan program CSR yang dilakukan membuka peluang kerjasama dengan pihak eksternal. Oleh sebab itu, kemitraan muncul sebagai bagian dari pelaksanaan CSR. Pandangan Ros Tenyson diadopsi untuk melihat fase-fase kemitraan antara Terminal BBM Rewulu dengan mitra. Hasil ini digunakan sebagai landasan dalam dalam melakukan kategorisasi tipe kemitraan yang dilaksanakan oleh Terminal BBM Rewulu. Kategorisasi yang digunakan merujuk pada model kemitraan berdasar fenomena biologis, kontribuasi masing-masing pihak yang bekerjasama tidak dilihat berdasar objectivitas dalam partisipasi melainkan dilihat dari sudut padang equitas. Model kemitraan tersebut digunakan sebagai refleksi terhadap keberadaan regulasi, khususnya UU No. 6/2014 Tentang Desa.