BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Banyak negara di berbagai belahan dunia telah berkomitmen secara serius dalam mencapai target MDGs (Millennium Development Goals), termasuk negara Indonesia sampai batas waktu tahun 2015 (Muryanta, 2011). Indonesia membuka akses kesehatan reproduksi secara universal kepada seluruh individu yang membutuhkan termasuk di dalamnya adalah peningkatan Contraceptive Prevalence Rate (CPR). Telah terjadi pergeseran paradigma yang cukup signifikan dalam pelaksanaan program KB yaitu dari pendekatan demografis menjadi mengedepankan aspek hak-hak asasi manusia (Witjaksono, 2012). Berdasarkan proyeksi penduduk yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2025, perkiraan penduduk Indonesia sekitar 273,65 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia cenderung menurun, dimana pada tahun 19711980 adalah 2,30 persen, tahun 1980-1990 adalah 1,97 persen, tahun 1990-2000 sebanyak 1,49 persen dan tahun 2000-2005 turun lagi menjadi 1,3 persen. Namun bila dilihat menurut provinsi, laju pertumbuhan penduduk tersebut tidak merata, berfluktuasi dan malah ada yang meningkat. Sementara itu, angka Total Fertility Rate (TFR) pada pasangan usia subur di Indonesia menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dibanding dengan tahun 2002 dari survei yang sama tidak mengalami perubahan atau stagnasi (Asih dan Oesman, 2009).
Universita Sumatera Utara
Program KB Nasional telah memiliki visi dan misi terbaru yang tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2010-2014, yaitu dengan visi penduduk tumbuh seimbang 2015 dan misinya mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera (Muryanta, 2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 20102014 diarahkan kepada pengendalian kualitas penduduk melalui tiga prioritas utama (1) Revitalisasi Program KB; (2) Penyerasian kebijakan pengendalian penduduk; dan (3) Peningkatan ketersediaan dan kualitas data serta informasi kependudukan yang memadai, akurat dan tepat waktu. Selain itu dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menekankan perlunya dilakukan perubahan/penyerasian terhadap Renstra BkkbN tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2010-2014 yang meliputi penyesuaian untuk beberapa kegiatan prioritas dan indikator kinerjanya (Witjaksono, 2012). Pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk diarahkan pada peningkatan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang terjangkau, bermutu dan efektif menuju terbentuknya keluarga kecil yang berkualitas (Witjaksono, 2012). Salah satu upaya membentuk keluarga kecil berkualitas dengan menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang. Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) adalah kontrasepsi yang dapat dipakai dalam jangka waktu lama, lebih dari dua tahun, efektif dan efisien untuk tujuan pemakaian menjarangkan
Universita Sumatera Utara
kelahiran lebih dari 3 tahun atau mengakhiri kehamilan pada pasangan yang sudah tidak ingin tambah anak lagi. Jenis metoda yang termasuk dalam kelompok ini adalah metoda kontrasepsi mantap (pria dan wanita), implant, dan AKDR atau Intra Uterine Device (IUD) (Asih dan Oesman, 2009). Pemakaian MKJP memiliki banyak keuntungan, baik dilihat dari segi program, maupun dari sisi klien (pemakai). Disamping mempercepat penurunan TFR, penggunaan kontrasepsi MKJP juga lebih efisien karena dapat dipakai dalam waktu yang lama serta lebih aman dan efektif. Metoda kontrasepsi ini sangat tepat digunakan pada kondisi krisis yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat yang tergolong kurang mampu/miskin. Dalam situasi ini, kelompok masyarakat miskin merupakan fokus garapan pemerintah yang dianggap sangat strategis. Dilihat angka kegagalan MKJP relatif lebih rendah dibanding nonMKJP. Angka kegagalan MKJP dilaporkan sebesar 0-2 per 1000 pengguna, sedangkan metoda non-MKJP dilaporkan terjadi lebih dari 10 per 1000 pengguna. Dari hal tersebut terlihat bahwa metoda MKJP lebih efektif untuk dapat mencegah terjadinya kehamilan pada penggunanya (Asih dan Oesman, 2009). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012) memperlihatkan proporsi peserta KB yang terbanyak adalah suntik (31,9%), pil (13,6%), Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (3,9%), Norplant (3,3%), sterilisasi wanita (3,2%), kondom (1,8%), sterilisasi pria (0,2%), dan sisanya merupakan peserta KB sederhana yang masing-masing menggunakan cara sederhana seperti pantang berkala
Universita Sumatera Utara
maupun senggama terputus (Retnowati, 2010). Hal ini berarti AKDR menempati urutan ketiga dari berbagai jenis kontrasepsi yang digunakan. Program KB telah dinyatakan cukup berhasil di Indonesia dan kontrasepsi AKDR/IUD juga merupakan alat kontrasepsi yang cukup populer, namun masih banyak didapati di berbagai daerah penurunan penggunaan metode kontrasepsi AKDR/IUD (Mujihartinah, 2009). Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), peserta KB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) menurun dari 14,6 persen pada Tahun 2002-2003, dan menjadi 10,9 persen pada Tahun 2007. Metode kontrasepsi AKDR/IUD cenderung mengalami penurunan dari 6,2 persen pada tahun 2002 sampai tahun 2003 menurun menjadi hanya 4,9 persen pada Tahun 2007 (Witjaksono, 2012). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 persentase peserta KB baru yang menggunakan suntikan 48,20%, pil 27,95%, AKDR/IUD sebesar 6,55%, implan 8,02%, kondom 7,81%, MOW (Metode Operasi Wanita) 1,20% dan MOP (Metode Operasi Pria) 0,27%. Sedangkan persentase peserta KB aktif yang menggunakan kontrasepsi suntikan 46,47%, pil 25,81%, AKDR/IUD 11,28%, implan 8,82%, MOW 3,49%, kondom 2,96% dan MOP 0,71%. Berdasarkan data tersebut di atas berarti penggunaan AKDR masih lebih kecil pada peserta KB baru dan peserta KB aktif dibandingkan KB suntikan dan pil. Rendahnya penggunaan MKJP yang salah satunya AKDR dipengaruhi oleh faktor pengguna dan penyedia pelayanan KB. Salah satu faktor yang dianggap berkontribusi dengan kecenderungan pemilihan metode kontrasepsi jangka pendek
Universita Sumatera Utara
adalah faktor penerimaan atau image terhadap kontrasepsi tersebut. Selain itu dari sisi penyedia pelayanan, MKJP membutuhkan tenaga yang berkompeten, sarana dan prasarana penunjang pelayanan yang memadai (Witjaksono, 2012). AKDR merupakan kontrasepsi yang dimasukkan melalui serviks dan dipasang di dalam uterus. AKDR mencegah kehamilan dengan merusak kemampuan hidup sperma dan ovum karena adanya perubahan pada tuba dan cairan uterus. Efektifitas AKDR dalam mencegah kehamilan mencapai 98% sampai 100% bergantung pada jenis AKDR. AKDR terbaru seperti copper T 380o memiliki efektivitas yang cukup tinggi bahkan selama 8 tahun penggunaan tidak ditemukan adanya kehamilan (Meilani dkk, 2010). Pemakaian metode AKDR cenderung menurun dari waktu ke waktu. Hal ini terlihat dari sedikitnya pertambahan jumlah akseptor AKDR baru dari tahun ke tahun. Menurunnya jumlah pengguna ulang AKDR, serta banyaknya jumlah akseptor yang mengganti metoda dari AKDR ke metoda lain. Sekitar 12% peserta AKDR berhenti menggunakan AKDR dengan alasan karena efek samping. Walaupun kontrasepsi AKDR sangat efektif dan berjangka waktu lama, AKDR ini kurang begitu diminati masyarakat karena prosedur pemasangannya cukup rumit, harus dikerjakan oleh tenaga medis terlatih dan terkesan tabu karena alat kontrasepsi di masukkan ke dalam kemaluan akseptor sehingga wanita seringkali takut selama pemasangan. Selain itu, kontrasepsi AKDR juga memiliki risiko komplikasi atau efek samping yang menimbulkan perasaan tidak nyaman seperti haid menjadi lebih banyak, dismenore, perdarahan antar menstruasi, dan jika berat dapat menyebabkan anemia, serta bisa
Universita Sumatera Utara
menyebabkan perforasi dinding uterus jika pemasangannya tidak benar. Hal ini menyebabkan pengguna AKDR makin mengalami penurunan (Marlinda, 2011). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) atau lebih dikenal dengan IUD (Intra Uterine Device) merupakan pilihan kontrasepsi yang efektif, reversibel dan berjangka panjang, serta dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduktif. Adapun efek samping yang umum terjadi dari AKDR adalah nyeri bersenggama, menstruasi banyak, keputihan. Hal ini menyebabkan ketidakberlangsungan pemakaian AKDR meningkat. Efek samping pada pemakaian AKDR kadang tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan obat-obatan saja dan pada akhirnya akseptor menghentikan pemakaiannya (Utami dkk, 2011). Menurut Indiarti (2012) efektivitas AKDR mencapai 97-98%, tergantung dari jenis AKDR yang dipakai. Alat tersebut bisa dipakai dalam rahim sampai 2-5 tahun sebelum dilepas. AKDR merupakan kontrasepsi yang paling menguntungkan. Di lihat dari efek samping yang ditimbulkannya, alat kontrasepsi ini seharusnya paling banyak dijadikan pilihan dan paling mungkin dipakai dalam setiap kondisi. Adapun keuntungan penggunaan AKDR yaitu 1) meningkatkan kenyamanan hubungan suami dan isteri karena rasa aman terhadap risiko kehamilan. 2) dapat dipasang segera setelah melahirkan atau keguguran. 3) kesuburan segera kembali setelah AKDR dicabut/dibuka. 4) cocok untuk mencegah kehamilan atau menjarangkan kehamilan dalam jangka panjang. 5) tidak terpengaruh oleh faktor lupa dari si pemakai. 6) tidak mengganggu hubungan pasangan suami-isteri. 6) tidak ada efek samping hormonal. 7) tidak mengganggu laktasi. 8) tidak berinteraksi dengan obat-obatan.
Universita Sumatera Utara
Efektivitas suatu alat kontrasepsi dapat memengaruhi kelangsungan atau ketidaklangsungan akseptor dalam penggunaannya. Begitupun dengan AKDR, walaupun efektivitasnya tinggi, tetapi ketidaklangsungan pemakaiannya juga cukup tinggi, sehingga menjadi salah satu penghambat dalam gerakan keluarga berencana nasional (Manuaba, 2005). Salah satu ukuran dari kualitas pemakaian alat kontrasepsi adalah efektifitas pemakaian kontrasepsi yang semakin tinggi, tetapi masih terdapat 31% akseptor berhenti (putus pakai atau drop out) menggunakan kontrasepsi di Indonesia, sedangkan angka ketidaklangsungan (drop out) untuk
AKDR sebanyak 9.9%
(Bappenas, 2010). Alasan ketidaklangsungan seperti kegagalan kontrasepsi, ketidakpuasan terhadap alat/cara KB, efek samping, dan kekurangtersediaan alat/cara KB. Tingkat ketidaklangsungan yang tinggi, kegagalan alat/cara KB dan pergantian alat/cara KB bisa mengindikasikan bahwa diperlukan perbaikan dalam pemberian konseling tentang pemilihan alat/cara KB, pelayanan lanjutan dan penyediaan pelayanan yang lebih luas (Sudarianto, 2010). Menurut SDKI tahun 2002-2003 tingkat ketidaklangsungan pemakaian (drop out) kontrasepsi mencapai 20% di 33 propinsi di Indonesia, sedangkan SDKI pada tahun 2007 meningkat menjadi 26%. Terjadinya peningkatan angka drop out dengan alasan pertama 10% disebabkan karena rasa takut akibat efek samping dan masalah kesehatan lainnya. Alasan lain drop out ber-KB ini adalah karena ingin hamil 5%, alasan yang berhubungan dengan metode penggunaan alat KB 5%, alasan lain disebabkan oleh biaya, rasa tidak nyaman, perceraian, frekuensi hubungan seksual
Universita Sumatera Utara
yang jarang sebesar 3% dan kegagalan alat KB 2%. Sedangkan proporsi pemakaian kontrasepsi yang ganti cara ke metode lain sebesar 13% (Witjaksono, 2012). Di Indonesia jumlah peserta baru KB AKDR pada tahun 2009 hanya 4,3% (43.184 PUS) dari jumlah peserta KB yaitu 1.003.015 PUS. Metode kontrasepsi AKDR belum dapat menarik akseptor untuk menggunakannya sebagai alat untuk menjarangkan kehamilan. Padahal metode kontrasepsi AKDR ini merupakan salah satu metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), yang mempunyai efektifitas 0,6-0,8 kehamilan dari 100 perempuan dalam satu tahun pertama penggunaan (Musdalifah, 2010). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rendahnya pemakaian kontrasepsi
AKDR dikarenakan ketidaktahuan akseptor tentang kelebihan metode tersebut. Ketidaktahuan akseptor tentang kelebihan metode AKDR disebabkan informasi yang disampaikan petugas pelayanan KB kurang lengkap (Maryatun, 2009). Studi yang dilaksanakan Maryatun (2009) di Kabupaten Sukoharjo pada bulan April 2007 menyebutkan bahwa lima dari tujuh akseptor KB merasa malu pada saat pemasangan AKDR/IUD dan merasa takut dengan adanya perdarahan yang berlebihan pada saat menstruasi. Pentingnya informasi tentang AKDR/IUD sangat dibutuhkan bagi akseptor KB. Penelitian Bruce tahun 1990 di Amerika Serikat juga menjelaskan bahwa informasi merupakan suatu bagian dari pelayanan keluarga berencana yang sangat berpengaruh bagi calon akseptor maupun akseptor pengguna mengetahui apakah kontrasepsi yang dipilih telah sesuai dengan kondisi kesehatan dan sesuai dengan tujuan akseptor dalam memakai kontrasepsi tersebut. Informasi sangat menentukan pemilihan alat kontrasepsi yang dipilih, sehingga informasi yang
Universita Sumatera Utara
lengkap mengenai kontrasepsi sangat diperlukan guna memutuskan pilihan metode kontrasepsi yang akan dipakai (Maryatun, 2009). Penelitian di El Salvador oleh Katz, Jhonson, Janowits pada tahun 2002 dalam Mujihartinah (2009) mengatakan bahwa tingkat ketidaklangsungan AKDR/IUD tinggi disebabkan oleh adanya rumors, kurangnya perhatian dan metode selama konseling dan keterampilan petugas. Penggunaan kontrasepsi IUD perlu dicermati mengingat sumbangan penggunaan AKDR/IUD terhadap penurunan fertilitas tidak diragukan lagi, karena efektifitas dan tingkat kembalinya kesuburan yang cukup tinggi. Risiko kegagalan IUD khususnya TCU 380A adalah 0,8 tiap 100 wanita bahkan bisa 1:170 wanita pemakaian tahun pertama, sedangkan pil sebesar 1-8%, suntik KB kurang dari 1%. Pada penelitian Sumawan dan Ernawati (2006) yang berjudul “Cost Effectiveness Analysis of IUD, Injection and Pill Contraception Methods through Quality of Life Approach” didapatkan hasil angka efek samping dan kegagalan yang ditimbulkan IUD memiliki prosentase lebih kecil dibandingkan dengan persentase angka kegagalan dan efek samping yang ditimbulkan kontrasepsi pil dan suntik. Faktor keputusan konsumen untuk menggunakan alat kontrasepsi AKDR/IUD tidak terlepas dari faktor perilaku yang dimiliki oleh masing-masing individu. Adapun faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku menurut Teori Lawrence Green (1980) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2010a) adalah faktor predisposisi atau predisposing (pengetahuan, pendidikan, paritas, kepercayaan, nilai dan sikap), faktor pendukung atau enabling factors (ketersediaan sumber daya kesehatan/fasilitas
Universita Sumatera Utara
pelayanan kesehatan, keterjangkauan sumber daya kesehatan) dan faktor pendorong atau reinforcing factors (dukungan dari keluarga, teman kerja, tokoh masyarakat, tokoh agama, juga peran petugas kesehatan). Melalui
penelitian
Sambosir (2009) menemukan
bahwa determinan
pemakaian kontrasepsi dipengaruhi oleh faktor sosio demografi yaitu jumlah anak masih hidup, pengetahuan semua metode KB modern, pendidikan, agama, kasta, keterpaparan pada media massa dan diskusi KB dengan suami. Penelitian Kusumaningrum (2009), beberapa faktor-faktor lain yang memengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, kesejahteraan keluarga, dan dukungan dari suami. Faktor-faktor ini nantinya juga akan memengaruhi keberhasilan program KB. Sedangkan penelitian Dewi (2012), tingkat paritas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan AKDR. Semakin banyak jumlah anak yang telah dilahirkan semakin tinggi keinginan responden untuk membatasi kelahiran. Pada akhirnya hal ini akan mendorong responden untuk menggunakan AKDR. Pertimbangan akseptor dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga kurangnya pengetahuan tentang kesesuaian alat kontrasepsi dengan tujuan penggunaannya (kebutuhan), persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut, tempat pelayanan dan kontraindikasi dan alat kontrasepsi yang bersangkutan. Pemahaman keluarga tentang kesehatan reproduksi termasuk pemilihan alat kontrasepsi dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, akses informasi
Universita Sumatera Utara
dan ketersediaan pelayanan kesehatan, serta tingkat pemahaman kesehatan reproduksi (Indrawati, 2011). Pengetahuan yang rendah menyebabkan wanita takut menggunakan alat kontrasepsi tersebut karena sebelumnya rumor kontrasepsi yang beredar di masyarakat. Pengetahuan yang baik terhadap metode kontrasepsi akan menumbuhkan sikap
positif
terhadap
metode
tersebut
serta
menimbulkan
niat
untuk
menggunakannya. Wanita Indonesia menghentikan penggunaan IUD karena kurangnya sosialisasi dan pemberian informasi kepada masyarakat. Selain informasi, banyak hal yang terkait dengan pemakaian alat kontrasepsi baik dari sudut pandang ibu terhadap alat kontrasepsi tersebut maupun akses dan kualitas pelayanan KB. Padahal, IUD secara teoritis merupakan cara kontrasepsi yang cukup ideal karena pada umumnya hanya memerlukan satu kali pemasangan, angka kegagalan kecil (0,6 - 0,8 per 100 kehamilan), cocok untuk semua umur, aman karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh (pengaruh hanya satu tempat), tidak memengaruhi isi, kelancaran ataupun kadar ASI (air susu ibu), mencegah kehamilan untuk jangka waktu yang cukup lama, sekali pasang untuk beberapa tahun (2-10 tahun), tidak perlu sering melakukan pemeriksaan ulang, dan kesuburan cepat kembali setelah dilepas (Indrawati, 2011). Pengalaman penggunaan metode kontrasepsi, informasi dan keterangan yang diperoleh akseptor baik dari puskesmas, media massa dan media elektronik serta informasi dari akseptor lain yang juga telah menggunakan AKDR, menimbulkan suatu persepsi tersendiri pada akseptor tentang metode kontrasepsi AKDR itu sendiri.
Universita Sumatera Utara
Persepsi adalah pengalaman seseorang terhadap objek peristiwa yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan suatu pesan (Marlinda, 2011). Menurut Maryatun (2009) faktor yang berhubungan langsung dengan ketidaklangsungan pemakaian kontrasepsi adalah persepsi. Persepsi ibu dan berbagai dukungan terhadap pemakaian alat kontrasepsi terutama suami ataupun masyarakat akan berpengaruh terhadap akseptor. Suami dihubungkan dengan norma yang dianut dalam kehidupan masyarakat. Jumlah penduduk di Propinsi Sumatera Utara tahun 2011 sebanyak 13.103.596 orang dengan jumlah PUS sebanyak 3.097.532 orang. Akseptor KB sebanyak 1.699.804 orang (45,2%) (BPS Propsu, 2012). Jumlah akseptor AKDR pada tahun 2012 di Propinsi Sumatera Utara sebanyak 191.345 orang terdiri dari peserta KB aktif sebanyak 160.152 orang dan peserta KB baru yaitu 31.193 orang. Hingga Desember 2012 jumlah peserta KB aktif AKDR yaitu 153.925 orang, sedangkan angka ketidakberlangsungan (dropout) sebanyak 37.420 orang (24,3%) (BkkbN Provinsi Sumatera Utara, 2013) Berdasarkan data yang diperoleh dari BkkbN Kabupaten Deli Serdang (2012) bahwa jumlah peserta AKDR di Kabupaten Deli Serdang
per Desember 2012
sebanyak 30.172 orang, yang aktif sebanyak 26.012 orang, sedangkan yang dropout sebanyak 4.160 orang (15,99%). Berdasarkan data yang diperoleh dari BkkbN Kabupaten Deli Serdang (2012) bahwa Kecamatan Patumbak jumlah peserta aktif per Desember 2012 sebanyak 995 orang, yang aktif sebanyak 896 orang, sedangkan yang dropout sebanyak 99 orang
Universita Sumatera Utara
(11,05%). Lamanya pemakaian akseptor memutuskan untuk berhenti menggunakan AKDR di wilayah kerja Puskesmas Patumbak rata-rata dalam 1 tahun (≤ 12 bulan). Beberapa alasan yang menyebabkan akseptor menghentikan penggunaan AKDR yaitu adanya efek samping, ingin punya anak lagi, ganti alat kontrasepsi yang lain, kurang dukungan dari suami, kurangnya pengetahuan dan informasi dari petugas, sehingga adanya anggapan ibu PUS yang tidak melangsungkan pemakaian AKDR menyatakan bahwa AKDR dapat berpindah ke jantung, paru-paru, dan hati, serta dapat menyebabkan tumor pada rahim. Hasil wawancara diketahui bahwa mereka mengatakan penyuluhan tentang penggunaan kontrasepsi sudah pernah dilakukan, tetapi untuk penyuluhan secara spesifik tentang AKDR belum pernah dilakukan, membuat PUS kurang mendapatkan informasi yang tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka ingin dilakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang memengaruhi lama ketidaklangsungan pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) pada ibu PUS di wilayah kerja Puskesmas Patumbak Tahun 2013. 1.2 Permasalahan Adanya drop out pemakaian kontrasepsi AKDR yang dijumpai pada ibu PUS, maka berdasarkan latar belakang tersebut sehingga ingin diketahui melalui penelitian dan rumusan masalah yang akan diteliti adalah “Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi lama ketidaklangsungan pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) pada ibu PUS di wilayah kerja Puskesmas Patumbak Tahun 2013.
Universita Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi faktor predisposisi (umur, jumlah anak, pendidikan, pengetahuan, sikap, persepsi), faktor pendukung (efek samping, ganti alat kontrasepsi, ingin punya anak lagi) dan faktor pendorong (dukungan suami, peran petugas kesehatan) terhadap lama ketidaklangsungan pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) pada ibu PUS di wilayah kerja Puskesmas Patumbak tahun 2013. 1.4 Hipotesis Ada pengaruh faktor predisposisi (umur, jumlah anak, pendidikan, pengetahuan, sikap, persepsi), faktor pendukung (efek samping, ganti alat kontrasepsi, ingin punya anak lagi) dan faktor pendorong (dukungan suami, peran petugas kesehatan) terhadap lama ketidaklangsungan pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) pada ibu PUS di wilayah kerja Puskesmas Patumbak tahun 2013. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, hasil penelitian ini berguna sebagai
bahan
evaluasi
program
keluarga
berencana,
sehingga
dapat
meningkatkan kualitas pelayanan KB dan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan KB. 2. Memberikan masukan dan pertimbangan bagi pengelola atau pelaksana Keluarga Berencana untuk dapat meningkatkan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) bagi akseptor KB baru dan lama, agar dapat meningkatkan kelangsungan penggunaan AKDR.
Universita Sumatera Utara