I.
Latar Belakang
Air adalah salah satu elemen bumi yang paling dinamis. la tidak punya alamat tetap, tidak punya e-mail address, tidak facebook addicted, tidak punya kantor, juga tidak memiliki nomor handphone. Ia terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan gampang berubah fase mengikuti siklus kehidupan bumi. Suatu kali ia menjadi uap, terbang bersama angin, tumbuh menjadi awan, dan jatuh sebagai hujan di halaman Kantor Bupati Bangka atau di halaman Kantor Prakarsa, atau bisa jatuh dimana saja di sebuah lokasi yang ratusan kilometer jauhnya dari tempat persinggahan sebelumnya. Di saat yang lain, ia tersimpan sebagai air tanah, tersintesis menjadi biomassa yang mengandung energy dan pada akhirnya kembali terurai menjadi air. Betapapun dinamisnya, air tidak tersedia di semua tempat dalam jumlah yang cukup dan volume yang sama. Ada tempat yang surplus kelimpahan air, dan banyak tempat lainnya yang selalu defisit neracanya. Maka, air menjadi faktor pembatas daya dukung ekologis yang sangat potensial memicu masalah sosial, politik, dan ekonomi utamanya saat ia berstatus air tanah, air danau, dan air sungai yang secara langsung menopang kehidupan umat manusia. Agar persoaloan tersebut tidak menjadi kanyataan, kita harus terus menjaga harmoninya, menjaga sumberdayanya dan menjaga keberlanjutannya. Tapi, who care?, sudahkah kita pebuli?. Jika pertanyaan-pertanyaan itu dialamatkan kepada masyarakat Bangka atau bahkan Bangka Belitung, maka jawabnya jelas, mereka belum atau mungkin juga tidak peduli. Indikasinya, sumber-sumber dan cadangan air “tanpa sengaja” dirusak-rusak begitu rupa, hutan-hutan “tanpa sengaja” diluluhlantakkan, reklamasi dilakukan setengah hati dan reboisasi sepertinya dilupakan. Semua untuk kepentingan eksploitasi timah, untuk kepentingan ekonomi sesaat, untuk kepentingan yang ironisnya juga mengatasnamakan masyarakat. Eksploitasi timah, baik yang legal maupun illegal ini tidak hanya menghancurkan sebagian besar sumber dan cadangan air bersih, tetapi juga merusak lahan, memperparah Daerah Aliran Sungai, menghancurkan landscape dan mendegradasi lingkungan. Kolongkolong atau danau-danau eks penambangan timah yang digenangi air semakin banyak terlihat dimana-mana, merata diseluruh wilayah. Dari sisi lain, pengelolaan limbah pertambangan yang tidak managable telah mengakibatkan banyak sumber air yang menjadi sumber air baku bagi masyarakat mengalami polusi logam berat. Sungai-sungai mengalami pencemaran dan pendangkalan, air tanah dan air permukaan mengalami penurunan kapasitas. Wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pantai, air tanah-nya mengalami intrusi air laut yang korosif dan sudah tercemar limbah penambangan pantai. Kompleksitas permasalahan air bersih tersebut ternyata juga dilengkapi dengan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap sanitasi sehingga menyebabkan rendahnya cakupan pelayanan sanitasi lingkungan. Keadaan ini tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyaknya rumah tangga yang memilih buang air besar di sembarang tempat, bisa di sungai, di kebun, di hutan atau di lingkungan “outdoor” lainnya. Indikator rendahnya kesadaran masyarakat terlihat dari rendahnya prosentase kepemilikan jamban keluarga. Kedua persoalan, air bersih dan sanitasi, bagaikan “duet maut” yang mematikan, yang jika tidak cepat diatasi akan berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat, seperti meningkatnya kasus penyakit diare, typus, disentry dan penyakit kulit serta penyakit lainnya yang berhubungan dengan rendahnya kualitas lingkungan hidup manusia. Bahkan juga memicu terjadinya penyakit generative yang dalam beberapa waktu lalu sempat terekspos ke permukaan yaitu fenomena kelahiran bayi dengan usus terburai dan tanpa tempurung kepala. 1
Berdasarkan kondisi diatas, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka mempunyai kewajiban untuk mengambil suatu tindakan yang lebih konkrit dengan melaksanakan kebijakan nasional tentang pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL). Program ini diharapkan dapat memperbaiki akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi, memenuhi target yang disepakati dalam Millenium Development Goals (MDGs), mengurangi separuh penduduk yang tidak mendapatkan akses air minum yang sehat serta penanganan sanitasi dasar, meningkatkan kualitas kesehatan, memperbaiki produktivitas dan menggapai kesejahtraan. Persoalannya kemudian adalah, pelaksanaan pembangunan AMPL ini tentu saja memerlukan pembiayaan yang sangat besar. APBD yang jumlahnya terbatas, banyaknya urusan pemerintahan yang harus dijalankan, serta nuansa politis yang sangat kental dalam penentuan dan plotting anggaran, menjadikan tekanan terhadap pembiayaan AMPL sangat tinggi, tercermin dari rendahnya proporsi anggaran sektor AMPL terhadap APBD dalam beberapa tahun terakhir. Padahal tekanan terhadap sumberdaya air dan sanitasi yang terus meningkat, mensyaratkan pembiayaan yang juga terus bertambah. Oleh karena itulah diperlukan strategi pembiayaan APBD yang jitu, efektif, berkesinambungan dan berdampak luas bagi peningkatan akses air bersih dan sanitasi dasar. II. LANDASAN TEORI 2.1. Millenimun Development Goals dan AMPL Isu pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia tertuang dalam tujuan 7 target 10 dari Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals). Target 10 tujuan 7 tersebut berbunyi “Menurunkan Sebesar Separuh, Proporsi Penduduk Tanpa Akses Terhadap Sumber Air Minum yang aman dan berkelanjutan serta Fasilitas Sanitasi Dasar pada 2015”. Berdasarkan target MDGs tersebut, Indonesia menghadapi dua tantangan. Pertama, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan hingga 67% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman. Kedua, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan hingga 69,3% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Kebijakan MDGs ini kemudian juga diperkuat oleh Deklarasi Kyoto dalam World Water Forum, 24 Maret 2003, yang menyatakan bahwa; (i) peningkatan akses terhadap air bersih adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan dan kelaparan; dan (ii) penambahan investasi pada sektor air minum dan penyehatan lingkungan sangat diperlukan dalam rangka mencapai target pengurangan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (Bappenas dkk, 2003). Dari aspek air minum, saat ini, Indonesia telah mencapai angka 52,1% untuk proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman. Sementara untuk akses terhadap fasilitas sanitasi dasar, Indonesia telah melampaui target dengan mencapai angka 69,3% penduduk telah memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Namun, Kualitas dari fasilitas sanitasi dasar tersebut tidak diperhatikan dalam angka pencapaian tersebut. Oleh karena itu, masih dibutuhkan kerja keras untuk meningkatkan profil air minum dan sanitasi di Indonesia (Bappenas dkk, 2003). Kerja keras untuk meningkatkan profil air minum dan sanitasi di Indonesia, terkait erat dengan besarnya tantangan yang harus dihadapi. Tantangan pembangunan sektor air minum dalam mencapai target MDGs adalah: (i) cakupan pembangunan yang sangat besar, dimana sebaran penduduk yang tidak merata dan beragamnya wilayah Indonesia menjadi tantangan yang tidak mudah diselesaikan; (ii) Keterbatasan sumber pendanaan, sehingga tidak cukup hanya mengandalkan investasi pemerintah, tetapi juga swasta dan masyarakat; 2
(iii) penurunan kualitas dan kuantitas sumber air baku yang disebabkan oleh semakin menurunnya daya dukung hutan terhadap sistem siklus air, aktivitas manusia yang mengeluarkan zat pencemar ke badan air seperti limbah pabrik/industri, limbah rumah tangga, sampah padat, serta tangki septik di rumah tangga yang tidak memenuhi syarat kontruksi; (iv) Kemiskinan yang diderita penduduk; dan (v) lemahnya kemampuan manajerial operator air minum yang berdampak pada stagnasi produksi air minum perpipaan, tingginya angka kebocoran, serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan masih dibawah standar air minum yang sehat. Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan sektor sanitasi adalah; (i) pengetahuan penduduk tentang kualitas lingkungan yang masih rendah; (ii) persoalan sanitasi dasar bukan merupakan isu penting bagi kalangan politisi, pemerintah bahkan dunia usaha; (iii) rendahnya kualitas bangunan tangki septik di perkotaan; (iv) masih rendahnya masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah (sewerage system); dan (v) tidak adanya pelayanan sanitasi yang layak memiliki dampak pada kualitas kesehatan yang rendah (Bappenas dkk, 2003). Dalam konteks Kabupaten Bangka, terdapat empat isu dan permasalahan strategis yang menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Bangka. Keempat isu tersebut adalah; (i) menurunnya kuantitas, kualitas dan kontinyuitas air minum bagi masyarakat; ii rendahnya kesadaran masyarakat untuk ber perilaku hidup bersih dan sehat; (iii) belum memadainya perangkat peraturan yang mendukung pembangunan dan pengelolaan AMPL; dan (iv) rendahnya jumlah dan kinerja kelembagaan pengelolaan AMPL (Bappeda, 2010). Keseluruhan isu ini tentu saja harus segera diselesaikan dengan baik. Disamping untuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesehatan masyarakat, juga untuk indikator kinerja pembangunan suatu daerah. World Bank dalam Bappeda Kabupaten Bangka (2007), menyebutkan bahwa kinerja pembangunan di suatu wilayah dapat dilihat dari perkembangan segiempat pembangunan (development diamond) yang dapat menggambarkan sejauh mana keberhasilan pembangunan, yaitu PDRB per kapita, Life Expectancy, Gross Primary Enrollment Rate dan akses ke safe water. Akses ke safe water menurut kriteria MDGs di ukur dari persentase penduduk atau rumah tangga yang dapat akses ke persediaan air bersih. Dalam hal ini, akses ke air bersih didasarkan pada perhitungan air minum perpipaan/leding dan air minum aman/terlindungi. Sedangkan akses sanitasi yang aman didefinisikan sebagai septik tank dengan dinding kedap air dilengkapi bidang resapan, dan cubluk/lubang tanah yang berjarak aman terhadap sumber air minum yang digunakan. Hasil Susenas 2007, memperlihatkan bahwa baru 54,14 persen masyarakat Kabupaten Bangka yang memiliki akses terhadap air bersih dan hanya 51,43 persen masyarakat yang memiliki akses terhadap penyehatan lingkungan (Bappeda, 2008) 2.2. Dampak Pelayanan Air Bersih dan Sanitasi Secara umum penerima manfaat dari layanan air minum dan sanitasi dasar yang baik dikelompokkan menjadi empat yaitu sektor kesehatan, konsumen, pasien dan serta pertanian dan industri. Dampak negatifnya adalah serangan penyakit terkait lingkungan, sedangkan dampak positifnya dapat dikelompokkan menjadi dampak ekonomi langsung dan tidak langsung serta dampak non kesehatan (Bappenas, 2007). Selanjutnya disebutkan, bagi sektor kesehatan dampaknya adalah; (i) Pengurangan belanja untuk perawatan penyakit diare; (ii) Nilai penurunan kesehatan pekerja oleh karena sakit akibat diare; dan (iii) Pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif. Bagi pasien, dampak layanan yang baik berupa; pengurangan belanja untuk perawatan penyakit diare dan pengurangan biaya, pengurangan belanja untuk transportasi dalam mendapatkan perawatan penyakit dan pengurangan waktu dalam mendapatkan perawatan penyakit. Bagi konsumen dampaknya lebih terlihat dari sisi non kesehatan, yaitu menghemat waktu dalam mendapatkan air minum dan sanitasi dasar, minimalisasi peralatan kerja di tingkat rumah tangga, terhindar dari sumber air yang mahal, 3
peningkatan nilai pemukiman, dan waktu luang untuk bermacam kegiatan. Bagi pertanian dan industri dampaknya dapat berupa pengurangan belanja untuk biaya karyawan yang sakit diare, pengurangan dampak produktivitas oleh penyakit pada karyawan, pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif, hemat waktu dan peningkatan pendapatan dan tata guna lahan Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, telah dicoba untuk menemukan bukti bukti pengaruh air minum dan sanitasi terhadap kesehatan. Beberapa jenis penyakit bisa diklasifikasikan menurut jalur penularan sebagai berikut: (a) water-borne: kolera, tipus; (b) water-washed: trakoma; (c) water-based: schistosomiasis; (d) water-related vector borne: malaria, filariasis; (e) water-disperesed infections: legionellosis. Namun demikian, jalur penyakit yang diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi cakupan air minum, sanitasi, dan higiene yang rendah adalah water-borne dan water washed. Penyakit melalui jalur waterborne dan water-washed ini seperti kolera, salmonellosis, shigellosis, amoebiasis, dan infeksi oleh protozoa dan virus lainnya. Penyakit ini ditularkan melalui jalur air, kontak personal, kontak binatang-manusia, dan makanan. Secara statistik,peningkatan pelayanan air minum dan sanitasi dasar akan berpengaruh pada penurunan angka kejadian atau jumlah kejadian per tahun dan penurunan angka kematian atau jumlah kematian per tahun (Bappenas, 2007). Sedangkan Bappeda Kabupaten Bangka (2010), menyebutkan bahwa penyakit yang terkait dengan buruknya akses air bersih dan sanitasi di Kabupaten Bangka adalah; diare, demam berdarah dengue, Chikungunya, Pneumonia, Filariasis, Campak, ISPA dan TBC. 3.3. Pembiayaan Sektor Air Bersih dan Sanitasi Upaya pencapaian MDGs bukan merupakan hal yang mudah. Pemerintah dihadapkan pada kondisi kebutuhan investasi yang sangat besar dan belum tercukupi oleh sumber pendanaan dari dalam negeri. Pada tahun 2006, telah dicoba dilakukan studi mengenai profil pembiayaan publik sektor air minum dan sanitasi oleh proyek WASPOLA. Secara umum, hasil studi tersebut dapat disarikan dalam uraian-urain di bawah ini. Pendanaan publik untuk sektor ini berasal dari sumber-sumber berikut: (i) alokasi anggaran pemerintah pusat untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah didelegasikan ke pemerintah daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugasPerbantuan; (ii) alokasi anggaran oleh pemerintah daerah, termasuk Dana Alokasi Khusus; (iii) pinjaman luar negeri yang diserahkan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; (iv) pinjaman oleh Pemerintah Daerah; (vi) sumber-sumber pendanaan lain yang dialokasikan dari APBN biasanya lebih bersifat ad hoc atau sementara seperti contohnya Anggaran Belanja Tambahan atau kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar; (vii) sumber dana dari kalangan swasta melalui program CSR (Corporate Social Responsibility); dan (viii) sumber dana dari masyarakat sendiri (Bappenas, 2007). Sementara Bappeda Kabupaten Bangka (2007), menyatakan bahwa dalam skala daerah, sumber pendanaan sektor AMPL di Kabupaten Bangka dapat berasal dari APBN, APBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, APBD Kabupaten Bangka, APBDesa, Swasta, CSR dan masyarakat. Kebijakan nasional sendiri mengamanatkan peran serta masyarakat untuk berkontribusi baik secara in-kind maupun in-cash. Perkembangan kebijakan perencanaan dan penganggaran pada saat ini memberikan peluang bagi perencanaan dan pengawasan yang lebih bersifat sektoral. Reformasi pada saat ini menekankan pada anggaran yang terintegrasi dan berfokus pada kinerja, berdasarkan sudut pandang pembangunan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Proses baru ini menggunakan rencana jangka panjang dan menengah pada tingkat nasional dan daerah sebagai dasar bagi proposal anggaran tahunan. Kebijakan pada saat ini juga mempertimbangkan penggunaan kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, dengan plafon anggaran masa depan untuk pengguna anggaran (Bappenas, 2007). Kebanyakan alokasi anggaran AMPL daerah, sekitar 90%, diperuntukkan bagi investasi kapital. Sementara 2% dialokasikan untuk bantuan teknis dan 8% untuk sosialisasi dan pembangunan kapasitas. (Bappenas, 2007). Selanjutnya juga dinyatakan bahwa sekitar 50% 4
dari alokasi anggaran AMPL propinsi dan kabupaten diperuntukkan bagi penyediaan air. Namun, pada anggaran kota, penyediaan air mendapatkan bagian yang lebih kecil; alokasi anggaran terbesar adalah untuk saluran air. Alokasi anggaran untuk limbah padat mendapatkan bagian kecil pada semua tingkat pemerintahan, yang terbesar hanya mencapai 5% dari anggaran kota. Sanitasi mendapatkan sekitar seperlima dari total alokasi anggaran untuk penyediaan air, namun perbandingan ini bervariasi pada setiap tingkat pemerintahan. III. ANALISIS 3.1. Kebutuhan Pembiayaan MDGs Upaya pencapaian MDGs bukan merupakan hal yang mudah. Pemkab Bangka dihadapkan pada kondisi kebutuhan investasi yang sangat besar dan belum tercukupi oleh sumber pendanaan dari APBD. Besarnya kebutuhan pencapaian MDGs sektor AMPL di Kabupaten Bangka sampai dengan tahun 2015 belum dapat dihitung secara rinci, Walaupun demikian, dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dimana Kabupaten Bangka masih banyak menghadapi banyak kendala terutama dalam hal rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kondisi infrastruktur yang berada dibawah kondisi kelayakan yang dibutuhkan, maka patut diduga bahwa untuk mencapai MDG selain membutuhkan biaya yang sangat besar, juga dihadapkan pada kompetisi dalam penentuan urutan prioritas pembangunan yang berarti juga kompetisi dalam pengalokasian anggaran dalam APBD. Pengalokasian anggaran ini tidak akan terlepas dari seberapa jauh dan seberapa banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi dasar. BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2007) melansir berita bahwa cakupan air bersih masyarakat Kabupaten Bangka baru mencapai 54,14 persen, dan cakupan sanitasi dasar atau jamban bahkan hanya 51,43 persen. Kondisi yang masih menyisakan banyak pekerjaan tersebut, mengharuskan Pemkab Bangka melakukan perencanaan dan perhitungan kalkulasi investasi yang berkaitan dengan air bersih atau air minum. Menggunakan basis data yang dihasilkan Susenas itu, dilakukan kalkulasi dengan berdasarkan asumsi-asumsi pembiayaan yang general dan dihitung menggunakan unit cost/kepala keluarga. Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan pembiayaan investasi ini adalah: (i) biaya investasi air minum atau air bersih yang disetarakan dengan rataan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan sumur gali Rp. 2.100.000; (ii) biaya investasi sanitasi yang disetarakan dengan rataan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan water closed Rp. 3.500.000; (iii) satu kepala keluarga diasumsikan menghuni satu rumah; (iii) pembiayaan hanya memperhitungkan biaya pembangunan setara sumur gali dan jamban, tanpa memperhitungkan variabel lainnya; dan (iv) kondisi tahun dasar yang digunakan adalah 2007. Selengkapnya rincian detail kebutuhan pembiayaan investasi AMPL tersebut tersaji pada tabel berikut. Tabel 1. Prediksi Pembiayaan Investasi MDGs di Kabupaten Bangka No 1 2 3 4 5 6 7
Indikator Jumlah KK Belum Terlayani Air Bersih (KK) Belum Terlayani Sanitasi Dasar (KK) Pembiayaan Investasi Air Bersih (Rp) Pembiayaan Investasi Sanitasi (Rp) Pembiayaan AMPL (Rp) Pembiayaan AMPL per Tahun (Rp)
Sumber: Bappeda Kab Bangka, 2007 5
Keseluruhan
MDGs 65.853 30.200 15.100 31.985 15.992 63.420.390.180 31.710.195.090 111.946.807.350 55.973.403.675 175.367.197.530 87.683.598.765 21.920.899.691 10.960.449.846
Secara umum terlihat bahwa jumlah kepala keluarga atau jumlah rumah yang memerlukan layanan air bersih dan sanitasi adalah 65.853, dengan 30.200 diantaranya belum terlayani air bersih dan 31.985 KK belum terlayani sanitasi atau jamban keluarga. Jika Pemkab Bangka berkehendak menuntaskan permasalahan dengan mentargetkan seluruh penduduk memiliki akses yang cukup terhadap air bersih dan sanitasi, maka diperlukan investasi yang sangat mahal. Untuk air bersih diperlukan pembiayaan yang tidak kurang dari Rp. 63.420.390.180 sedangkan sanitasi menelan biaya Rp. 111.946.807.350. Kecukupan akses masyarakat untuk ke seluruhan bidang ini, pada akhirnya menelan budget sebesar dari Rp. 175.367.197.530. Jumlah yang setara dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bangka untuk 4 atau 5 tahun. Meskipun demikian karena target MDGs „hanya‟ mengharuskan pengurangan 50 persen dari penduduk yang belum terlayani, atau mengurangi 15.100 KK untuk air bersih dan 15.992 KK untuk sanitasi, maka untuk mencapai target MDGs diperlukan pembiayaan investasi senilai Rp. 87.683.598.765, dengan rataan Rp. 10.960.449.846 per tahun. Angka yang masih relatif sangat besar bagi Kabupaten Bangka yang PAD-nya baru mampu memenuhi 6 persen saja dari total belanja daerah setiap tahunnya. Oleh karena itu, tentu beban pembiayaan ini, tidak boleh ditanggung sendiri oleh APBD, namun harus menjadi beban seluruh stakeholder, baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pihak swasta dan masyarakat. 3.2. Kondisi Sebelum Penerapan Strategi Pembiayaan MDGs Pentingnya AMPL, mengharuskan Pemkab Bangka mengambil suatu tindakan lebih konkrit dengan ikut melaksanakan kebijakan pembangunan AMPL yang memang harus dilaksanakan oleh seluruh pemerintahan Indonesia dalam segala level-nya. Namun pelaksanaannya bukanlah perkara yang mudah. Disamping diperlukan kerjasama semua pihak, juga diperlukan pembiayaan yang sangat besar. Rencana Strategis Pembangunan AMPL Kabupaten Bangka menyebutkan bahwa hingga 2015, diperlukan setidaknya anggaran Rp. 87 milyar agar target capaian MDGs bisa dicapai. Dalam era desentralisasi dan otonomi, pembiayaan yang begitu fantastis tersebut menjadi dilematis. Desentralisasi menjadikan Pemkab Bangka memiliki peran sentral yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan menyusun berbagai kebijakan daerah, mengendalikan anggaran, meyediakan layanan publik dan mengumpulkan pendapatan daerah. Dengan diterapkannya desentralisasai, seharusnya, proses kebijakan pembiayaan dan penganggaran pembangunan sektor AMPL menjadi lebih mudah. Otonomi daerah juga memunculkan harapan untuk bisa mendorong Pemkab Bangka agar lebih dekat dengan masyarakat dalam arti meningkakan partisipasi publik dalam proses pembangunan dan meningkatkan efektiviras layanan. Namun desentralisasi ternyata belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat. Kepentingan politis masih mendominasi keputusan pembiayaan pembangunan terutama yang mengunakan sumber dana APBD. Sehingga secara umum, meskipun suatu daerah memiliki strategi perencanaan pembangunan yang canggih, namun sepanjang kepentingan politis yang “myopic” tersebut masih dominan memberikan tekanan dan intervensi yang tinggi, dipastikan daerah tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan akan air bersih dan sanitasi dasar. Tabel berikut memberikan gambaran seberapa besar proporsi alokasi anggaran sektor AMPL dalam APBD Kabupaten Bangka.
6
Tabel 2. Alokasi Anggaran Sektor AMPL dalam APBD Kabupaten Bangka 2004-2007 No Tahun Anggaran AMPL (Rp) APBD (Rp) Proporsi AMPL (%) 1 2004 5.067.843.505 174.152.697.800 2,91 2 2005 5.434.014.608 199.048.154.150 2,73 3 2006 10.841.613.043 307.127.848.250 3,53 4 2007 13.794.613.880 413.012.391.634 3,34 Sumber: Bappeda Kabupaten Bangka, 2009
Tabel diatas dengan jelas memperlihatkan bahwa meskipun secara absolut anggaran sektor AMPL terus memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya; dari Rp. 5.067.843.505 ditahun 2004 menjadi Rp. 10.841.613.043 di tahun 2006 dan bahkan meningkat lagi hingga mencapai Rp. 13.794.613.880 pada tahun 2007, namun peningkatan tersebut ternyata tidak linear dan serta merta meningkatkan proporsinya terhadap total APBD. Fakta menunjukkan bahwa prosentase anggaran AMPL sama sekali tidak menunjukkan trend peningkatan positif dan linear. Pada tahun 2004, proporsi sudah mencapai 2,91 persen, namun menurun lagi menjadi 2,73 persen ditahun berikutnya. Angka ini kemudian bergerak tidak berpola dengan kembali meningkat hingga 3,53 persen, dan sayangnya kembali merosot menuju 3,34 persen di tahun 2007. Secara teoritis, proporsi anggaran sektoral sebenarnya lebih dapat menggambarkan kearah mana prioritas pembangunan suatu daerah diarahkan. Kenyataan bahwa proporsi anggaran AMPL selalu fluktuatif dan tidak menunjukkan pola pertumbuhan yang linear dan positif mencerminkan bahwa kebijakan dan prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemkab Bangka belumlah berpihak kepada sektor AMPL. Beberapa penyebab dapat dijadikan kambing hitam mengapa itu semua dapat terjadi, tidak hanya di Kabupaten Bangka, bahkan juga bisa terjadi di seluruh Indonesia. Dari sudut pandang keuangan daerah, disorientasi penganggaran APBD yang seringkali tidak berpihak kepada pelayanan publik termasuk pelayanan AMPL, diantaranya disebabkan beberapa hal berikut, yaitu: Pertama, kurang jelasnya prioritas di dalam banyak perauran perundangan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah, Dalam Peraturan tersebut, terdapat puluhan urusan pembangunan, tanpa menyebut prioritas. Dengan kata lain, seluruh urusan yang ada tidak terurut sebagaimana layaknya prioritas. Kedua, pengajuan kegiatan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah dan APBD seringkali belum sesuai dengan prioritas pembangunan daerah. Dalam dokumen tersebut hanya disebutkan bahwa prioritas pembangunan berfokus pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun demikian anggaran yang diusulkan oleh Instansi pengelola belum sepenuhnya sesuai pada fokus sebagaimana disebutkan. Ketiga, APBD adalah dokumen politis, sehingga penyusunan anggaran seringkali berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Kemungkinan disorientasi anggaran disebabkan oleh pengajuan dan persetujuan yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan politis dari pada kepentingan publik. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan belum semuanya digunakan untuk membiayai pembangunan. Profil APBD yang belum memcerminkan keberpihakan terhadap AMPL, secara korelasional, dipastikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi. Selengkapnya akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi lingkungan, tersaji pada tabel berikut.
7
Tabel 3.
Akses Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Kabupaten Bangka 2004-2007 No Tahun Akses Air Bersih (%) Akses Sanitasi Dasar(%) 1 2004 51,78 49,57 2 2005 53,21 50,73 3 2006 54,14 51,94 4 2007 54,72 52,33 Sumber: Bappeda Kabupaten Bangka, 2009
Secara absolut, terjadi peningkatan jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi dalam periode 2004-2007. Akses air bersih meningkat dari 51,78 persen menjadi 54,72 persen. Akses sanitasi juga meningkat dari 49,57 persen menjadi 52,33 persen. Tetapi jika diperhatikan dengan cermat, peningkatan yang terjadi tidaklah terlalu menggembirakan. Peningkatan hanya berkisar pada angka 1-2 persen setiap tahunnya. Kuat dugaan bahwa rendahnya angka peningkatan ini selain disebabkan faktor masyarakt itu sendiri, juga disebabkan karena perhatian pemerintah daerah yang memang masih relatif rendah yang ditunjukkan dari kebijakan dan prosentase anggaran yang belum berpihak. Keterbatasan akses inilah yang pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai kerugian mendasar bagi masyarakat. Kerugian tersebut diantaranya adalah tingginya kasus atau insiden penyakit penyakitpenyakit, baik degeratif atau bahkan penyakit degeneratif yang menimpa masyarakat. Penyakit generatif sesekali menyeruak dalam publikasi media massa adalah “bayi lahir dengan usus terburai‟ dan “bayi lahir tanpa tempurung kepala”. Kedua penyakit ini ditengarai karena ibu hamil yang mengkonsumsi air yang mengandung logam berat sebagai polutan pertambangan timah yang banyak mengaliri sumber-sumber air baku masyarakat. Pada tahun 2008, setidaknya tercatat 3-5 kasus penyakit generatif yang menghiasi media cetak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Angka ini tergolong angka yang fantastis untuk level provinsi dengan jumlah penduduk yang hanya mencapai 1.250.000 jiwa. Menurut statistik kesehatan, kasus-kasus kelahiran bayi dengan usus terburai atau tanpa tempurung kepala hanya terjadi pada 1 dari 200.000 kelahiran. Maka bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kasus yang menimpa Kepulauan Bangka Belitung, yang jika diasumsikan tingkat pertambahan penduduk alaminya akibat kelahiran sekitar 1 persen pertahun, maka akan terdapat paling banyak 1.250 kelahiran dengan 3-5 diantaranya terkena penyakit generatif. Disisi lain, hasil penelitian yang dilakukan Bappeda Kabupaten Bangka tahun 2009, menunjukkan bahwa penyakit degeneratif yang banyak menyerang adalah diare, malaria dan demam berdarah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa diare memiliki korelasi kuat dengan akses air bersih. Korelasi ini menggambarkan semakin tinggi cakupan atau akses masyarakat terhadap air bersih akan diikuti dengan semakin rendahnya insiden penyakit diare. Sebaliknya semakin rendah cakupan dan akses masyarakat terhadap air minum semakin tinggi insiden penyakit diare yang terjadi di tengah masyarakat. Hasil ini menjustifikasi fakta riil di lapangan yang menunjukkan bahwa di sebagian besar desa dan kecamatan dengan akses air bersih yang rendah, insiden penyakit diare sangat banyak terjadi. Penyebabnya adalah pada wilayah kecamatan dengan karakter seperti ini, sebagian besar masyarakatnya tentu saja banyak yang tidak memiliki akses terhadap air bersih, akibatnya untuk kebutuhan hidup pokok, termasuk konsumsi harus menggunakan air tidak bersih dan berasal dari sumber-sumber yang sama sekali tidak temasuk dalam sumber air yang diisyaratkan oleh ketentuan MDGs yang nota bene memiliki kandungan bakteri patogen penyebab diare. Penelitian juga dengan gamblang menginformasikan bahwa pada kecamatan-kecamatan tersebut, masyarakat-nya lebih banyak menggunakan air yang berasal dari sumur, pompa tangan, maupun sumber air yang semuanya tidak terlindungi, juga menggunakan air sungai maupun air “kolong” yang terkontaminasi. Korelasi antara akses 8
air bersih dengan diare terkait dengan peran bakteri patogen seperi Escherichia coli, colliform, Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic yang terdapat pada air tidak bersih sebagai pemindah atau penularan penyakit atau sebagai vehicle, yang berperan dalam menularkan penyakit-penyakit saluran pencernaan makanan. Penyebab diare lainnya yang tidak kalah krusial adalah sebagian masyarakat belum memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang memadai. Minimnya kesadaran menunjukkan bahwa masyarakat tidak melihat adanya keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kesehatan. Secara khusus hal ini ditunjukkan dari pemahaman masyarakat terhadap penyebab diare sebagai penyakit terbesar yang menyebabkan meninggalnya bayi dan balita di Indonesia. Masyarakat lebih melihat penyebab kejadian diare ini karena makanan, masuk angin, dan cuaca (hujan dan kemarau). Pemahaman ini menjadi titik balik bagaimana masyarakat melihat sebuah penyakit yang mengarah pada pencegahan. Diare adalah salah satu jenis penyakit yang ditularkan lewat air. Termasuk didalamnya adalah polio, flu burung, penyakit kulit, demam berdarah dan malaria. Ketika masyarakat menganggap diare disebabkan karena makanan dan lainnya, yang tak terkait dengan air, maka upaya pencegahan kejadian diare bisa salah kaprah. Kerentanan terhadap diare juga semakin tinggi terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Wajar, jika penyakit yang sebenarnya mudah disembuhkan ini banyak menyerang bayi dan balita, tidak hanya di Kabupaten Bangka tetapi juga di banyak negara. Diare merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada anak–anak. Diperkirakan pada anak setiap tahunnya mengalami Diare akut atau gasrtroenteritis akut sebanyak 99.000.000 kasus. Di Amerika Serikat, diperkirakan 8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit tiap tahun yang disebabkan karena Diare. Sedangkan di Indonesia, hasil survei pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kejadian Diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1000 penduduk dan terjadi 1 – 2 kali per tahun pada anak–anak berusia dibawah 5 tahun. Sebuah penelitian bahkan menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan Rp. 56 trilyun per tahun akibat diare, penyebab terbesar atau 42 persen kematian bayi adalah diare dan 25,2 persen kematian balita juga karena diare. Dari aspek penyehatan lingkungan, penelitian Bappeda (2010) juga menyimpulkan bahwa terdapat derajat hubungan yang kuat dan negatif antara akses penyehatan lingkungan dengan insiden penyakit diare, malaria dan demam berdarah. Fakta statistik ini menggambarkan bahwa semakin tinggi akses masyarakat terhadap penyehatan lingkungan akan diikuti dengan semakin rendahnya insiden penyakit diare, malaria dan DBD. Sebaliknya semakin rendah akses masyarakat terhadap penyehatan lingkungan, semakin tinggi insiden penyakit diare, malaria dan DBD yang terjadi di tengah masyarakat. Hasil ini sekaligus juga mengklarifikasi fakta lapangan yang menunjukkan bahwa di sebagian besar kecamatan dengan akses penyehatan lingkungan yang rendah insiden serangan ke tiga jenis penyakit tersebut lebih banyak terjadi dibandingkan kecamatan lainnya. Secara umum, penyebab tingginya insiden penyakit diare, malaria dan DBD dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu; (i) sebagian besar masyarakatnya belum memiliki akses tempat pembuangan akhir tinja yang layak, tempat pembuangan sampah dan saluran air limbah; dan (ii) sebagian masyarakat-nya belum memiliki PHBS yang memadai. Kedua faktor ini secara jelas terlihat pada beberapa kecamatan dimana hanya sebagian kecil masyarakat-nya yang membuang air besar di septic tank atau cubluk, selebihnya di kebun, sungai dan danau “kolong” yang dijadikan sebagai “toilet terbuka”. Dalam konteks diare, pembuangan akhir tinja di “tolilet terbuka‟ yang sembarangan dapat mengotori tanah dimana tanah dapat menjadi media penyebaran bakteri yang terdapat pada kotoran, mengotori air yang juga dapat menyebarkan bakteri terlebih air banyak digunakan dalam kehidupan manusia. Selain itu kotoran juga dapat dijangkau oleh kecoa, 9
lalat dan binatang lainnya yang juga dapat menyebarkan bakteri. Bakteri yang menyebar dan masuk ke tubuh manusia akan memberikan dampak diare. Dari sisi lain, masyarakat menjadikan kepraktisan dan norma umum “banyak orang melakukannya” sebagai alasan utama untuk menyalurkan kotorannya ke “toilet terbuka” tersebut. Tidak heran, kebun-kebun, sungai dan “kolong” di Kabupaten Bangka bisa disebut sebagai jamban raksasa. Ketika hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa air hujan masuk ke dalam sumur atau sumber air lainnya. Air yang sudah terkontaminasi inilah yang memudahkan terjadinya diare. Dalam konteks Malaria dan DBD, kedua penyakit ini merupakan penyakit endemik di Kabupaten Bangka, bahkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kedua penyakit ini ditularkan oleh nyamuk Anopheles pada malaria dan Aedes aegypti pada demam berdarah. Sebagai vektor penular, nyamuk mempunyai peran yang sangat penting terhadap terjadinya epidemik penyakit-penyakit ini. Studi epidemiologi lingkungan memperlihatkan kejadian penyakit malaria dan DBD pada masyarakat Bangka merupakan resultance dan hubungan timbal balik antara masyarakat itu sendiri dengan lingkungan. Perubahan atau kerusakan lingkungan membawa pengaruh terhadap nyamuk sebagai vektor penyebar penyakit. Semakin besar dukungan lingkungan terhadap kehidupan nyamuk, semakin kuat penyebaran penyakit. Pada gilirannya, sebagai unsur yang terlibat langsung dalam hubungan timbal balik tersebut, apapun yang terjadi sebagai dampak dari proses interaksi berupa perubahan lingkungan akan menimpa dan dirasakan masyarakat. Eratnya hubungan antara penyehatan lingkungan dengan insiden malaria disinyalir terkait dengan perilaku sebagian masyarakat yang menggunakan “toliet terbuka” sebagai tempat pembuangan akhir tinja. Dalam hubungan dengan ekosistem lingkungan, pada kasuskasus tertentu, kehidupan nyamuk dihabitatnya, entah dipantai, hutan atau gunung sudah demikian harmonis dan mengikuti keseimbangan alam. Nyamuk hutan atau gunung, misalnya mereka sebelumnya cukup memenuhi kebutuhan darahnya untuk keperluan pertumbuhan telurnya dari tubuh binatang yang ada dihutan. Tanpa harus mengejar manusia, manusiapun relatif terhindar dari gigitan nyamuk. Namun seiring dengan rusaknya lingkungan ekosistem hutan dan pantai akibat praktek logging maupun mining, kehidupan dan keseimbangan alami tempat hidup mereka pun terganggu. Nyamuk pun menulari sumber dan lokasi kehidupan baru. Masyarakat yang buang air besar di kebun, sungai dan rawa harus menerima gigitan nyamuk dan pulang membawa parasit di dalam darahnya. Demikian pula masyarakat yang bermukim disekitar hutan menjadi sasaran terdekat nyamuk-nyamuk hutan yang mencari sumber kehidupan mereka. Dari aspek lain, ketiga jenis “toilet terbuka” tersebut, merupakan habitat pendukung penularan malaria yang cukup dominan karena merupakan tempat yang multi fungsi bagi kepentingan rumah tangga. Disamping menjalankan fungsi utamanya, kebun dan sungai, juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah dan sarana pembuangan air limbah rumah tangga. Menurut berbagai penelitian, tempat pembuangan sampah dan pembuangan air limbah merupakan salah satu mata rantai penularan malaria. Tempat pembuangan sampah menjadi mata rantai penularan karena dapat menjadi sarang nyamuk. Sementara tempat pembuangan air limbah di kebun, sungai atau hutan dapat menimbulkan genangan air limbah. Kedua tempat ini menjadi tempat perkembangan nyamuk Anopheles sebagai vektor penyakit malaria yang berada disekitar permukiman penduduk. Berbeda dengan malaria yang disebabkan nyamuk anopheles, vektor penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD di Kabupaten Bangka adalah Aedes aegypti. Tempat yang disukai nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat perindukan dan penyebarannya adalah genangan air yang terdapat dalam wadah (kontainer) tempat penampungan air artifisial seperti drum, bak mandi, gentong, ember, dan sebagainya; tempat penampungan air alamiah misalnya lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang 10
batu; ataupun bukan tempat penampungan air misalnya vas bunga, ban bekas, botol bekas dan sebagainya. Melihat tempat favorit nyamuk Aedes aegypti tersebut, sangat wajar jika kemudian hasil analisis statistik korelasi menunjukkan terdapat hubungan negatif yang erat antara akses penyehatan lingkungan dengan insiden DBD. Semakin rendah akses penyehatan lingkungan, semakin tinggi insiden penyakit DBD yang menyerang disuatu kecamatan. Perilaku sebagian masyarakat yang masih mempertahankan kebiasaan buang air besar-nya di kebun, tentu menjadi faktor utama penyebabnya. Studi epidemiologis lingkungan, menginformasiikan bahwa sebagian besar kebun atau pekarangan halaman belakang rumah masyarakat yang menjadi tempat buang air besar, juga menjadi tempat pembuangan sampah. Akibatnya limbah dan sampah keluarga tersebut, terutama yang dapat berfungsi sebagai tempat penampungan air, seperti botol dan kaleng bekas, banyak berserakan. Tempat-tempat seperti inilah, disamping tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, daun dan pelepah pisang, yang menjadi tempat perindukan dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti. Penyebab malaria dan DBD lainnya yang juga sangat berperan adalah minimnya kesadaran PHBS masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat seringkali tidak melihat adanya keterkaitan yang kuat antara BABS di “toilet terbuka” dengan serangan malaria dan DBD. Fenomena ini ditunjukkan dari pemahaman masyarakat terhadap penyebab malaria dan DBD. Masyarakat lebih melihat penyebab kejadian diare bukan karena sanitasi lingkungan yang buruk, namun karena mobilitas nyamuk yang sangat tinggi, terbang dari suatu tempat ke tempat pemukiman penderita. Pemahaman ini menjadi point penting, mengapa masyarakat cenderung kurang memperhatikan persoalan “toilet terbuka”, tempat pembuangan sampah dan tempat pembuangan air limbah. Ketika masyarakat menganggap kedua penyakit yang cukup mematikan ini tidak disebabkan oleh faktor sanitasi lingkungan, maka upaya pencegahan menjadi sangat rumit dan bisa salah kaprah. Kerentanan terhadap malaria dan DBD juga semakin tinggi terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Wajar, jika insiden penyakit ini masih sering terjadi di Kabupaten Bangka. Secara lengkap, jumlah penduduk yang terserang penyakit berbasis lingkungan tersaji pada tabel berikut. Tabel 4. Prosentase Masyarakat Kabupaten Bangka Yang Terserang Penyakit Berbasis Lingkungan pada Tahun 2004-2007 (%) Tahun Penyakit 2004 2005 2006 2007 Diare 1,47 1,51 2,25 1,99 Malaria 2,68 3,34 5,35 3,79 DBD 0,001 0,001 0,001 0,01 Sumber: Bappeda Kab. Bangka, 2010
3.3. Strategi Pembiayaan MDGs Berbagai persoalan dan dampak mendasar yang menerpa masyarakat sebagai akibat buruknya akses air bersih dan sanitasi tersebut, mengharuskan Pemerintah Kabupaten Bangka mengambil suatu tindakan yang lebih konkrit dengan memprioritaskan pembangunan AMPL yang disertai dengan strategi penguatan pembiayaan-nya dalam APBD. Tujuan utamanya tidak lain adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap AMPL sesuai dengan target capaian MDGs dan mengeliminir tingkat serangan penyakit diare, malaria dan demam berdarah yang merupakan penyakit utama akibat akses AMPL yang buruk. Secara umum, terdapat lima strategi utama dalam peningkatan pembiayaan pembangunan AMPL. Kelima langkah tersebut adalah; (i) memperkuat kelembagaan; (ii) memperkuat perencanaan; (iii) mengawal proses penganggaran; (iv) mengembangkan kerangka regulasi; (v) dan memperluas kemitraan.
11
3.3.1 Memperkuat Kelembagaan Pelaksanaan strategi peningkatan pembiayaan memerlukan dukungan kelembagaan yang kuat. Oleh karena itu diperlukan lembaga yang mempunyai otoritas kordinatif dan bertanggung jawab atas tercapainya target MDGs. Otoritas tersebut mencakup wewenang dalam melakukan koordinasi perumusan kebijakan dan pelaksanaan, penyusunan anggaran, monitoring dan evaluasi. Selama ini, pembiayaan pembangunan sektor AMPl mengalir dengan sendirinya, tanpa strategi yang jelas, sangat bersifat parsial dan sektoral. Dengan kondisi ini fungsi pembiayaan tidak dapat dilaksanakan secara optimal, sehingga proporsi anggaran sektor AMPL menjadi sangat fluktuatif dan relatif tidak menunjukkan perbaikan Hal ini dikarenakan kurang kuatnya kelembagaan dan otoritas yang dimiliki, serta kurangnya dukungan anggaran untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Mengingat dua kelemahan tersebut, dibentuklah kelembagaan ad hoc yang berkedudukan dan bertanggungjawab langsung kepada Bupati. Kelembagaan ini dinamakan Kelompok Kerja (Pokja) AMPL, yang merupakan organisasi adhoc lintas sektoral dari seluruh stakeholder, dibentuk melalui SK Bupati Bangka, yang berfungsi: (i) mengkoordinasikan dan mensinkronkan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, kebijakan dan program ; (ii) meningkatkan responsivitas dan efektivitas kebijakan dan program sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal, (3) Memantau dan mengevaluasi kebijakan dan program dan perkembangan kondisi ke-AMPL-an. Sejak dibentuk, berbagai hal telah dikerjakan, diantaranya yang terpenting adalah menyusun Rencana Strategis AMPL-BM di tahun 2007. Pada intinya Renstra yang bervisi “Bangka 2015; Sehat Air dan Sehat Lingkungan” ini membawa pesan tentang perlunya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor AMPL di Kabupaten Bangka. Paradigma ini kemudian dijabarkan oleh Pokja dalam beberapa langkah utama yang meliputi; (i) mMeningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan Pokja; (ii) mendorong APBD yang Pro AMPL; (iii) mengembangkan kerangka regulasi; (iv) meningkatkan kualitas pengelolaan Sistem Pengelolaan Air Minum Pedesaan; (v) meningkatkan kualitas pendataan; (vi) memperkuat sistem monitoring serta evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan; dan (vii) memperkuat system informasi dan spektrum publikasi. Dalam prakteknya, kelembagaan Pokja merupakan sumberdaya yang sangat berharga karena menjadi salah satu faktor positif yang memacu pembiayaan pembangunan AMPL. Kelembagaan Pokja yang efektif merupakan predisposisi yang sangat menentukan karakter dan kecepatan pembangunan AMPL, bahkan dapat menjadi pemicu pembangunan sektor lain. Oleh karenanya, SDM dan kelembagaan Pokja AMPL terus diperkuat terutama dari sisi daya tawar. Dengan tugas pokok yang diantaranya adalah bagaimana memfasilitasi APBD yang Pro AMPL, sangat penting bagi seluruh anggota Pokja untuk memiliki kompetensi dan kapasitas yang berkaitan dengan daya tawar terutama baik dalam konteks APBD maupun dalam konteks ”tour of duty” atau mutasi yang seringkali menjadi mimpi buruk bagi kualitas Pokja AMPL. Untuk mensiasati persoalan ini, struktur dan komposisi keanggotan Pokja diperkaya dan terdiri dari dua cluster. Cluster pertama terdiri dari SKPD teknis, meliputi Bappeda, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, Dinas Pertambangan dan Energi serta PDAM. Cluster kedua terdiri dari SKPD non teknis yang sangat penting untuk memback-up berbagai strategi pembiayaan, diantaranya Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Bagian Admnistrasi Pembangunan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP), Bagian Admnistrasi Pembangunan, Bagian Informasi dan Telekomunikasi, Bagian Hukum Setda Kabupaten Bangka serta anggota Komisi A DPRD yang duduk dalam kepanitiaan anggaran legislatif sebagai representasi tokoh masyarakat.
12
Pembagian peran masing-masing cluster tentu saja sangat berbeda. Cluster teknis, lebih banyak berperan dalam berbagai persoalan program dan kebijakan teknis. Perkecualian dari kelompok ini adalah Bappeda, yang disamping mengkoordinasi dan menginisiasi persoaloan teknis, juga berperan penting dalam penentuan besaran dan kebijakan APBD yang Pro AMPL. Dalam struktur Panitia Anggaran Eksekutif yang di Ketuai oleh Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda yang juga Ketua Pokja bertindak sebagai Wakil Ketua. Sementara Sekretaris Bappeda selaku Sekretaris Pokja, Kepala Bidang dan Kepala subbidang Sarana Prasarana Bappeda selaku Anggota Pokja bertindak juga sebagai Anggota Panitia Anggaran Eksekutif. Cluster Pokja Non Teknis lebih difungsikan sebagai ”supporting actor” yang membantu cluster teknis dalam menjalankan fungsinya. DPPKAD dan Bagian Administrasi Pembangunan sebagai bagian penting dari Panitia Anggaran Eksekutif, diposisikan sebagai kalalisator kebijakan APBD yang Pro-AMPL. Anggota Komisi A DPRD yang duduk dalam kepanitiaan anggaran legislatif, selain difungsikan sebagai advokator kebijakan pro-AMPL di lembaga DPRD, juga bertindak sebagai katalisator dalam pembahasan RAPBD, BKPP diposisikan sebagai negosiator dalam seluruh persoalan yang menyangkut mutasi kepegawaian bagi anggota Pokja. Bagian Informasi dan Telekomunikasi disamping bertanggung jawab penuh terhadap Local Area Network yang berorientasi intranet bagi lalu lintas data antar SKPD terkait AMPL, juga bertanggungjawab dalam publikasi kebijakan dan pembangunan AMPL, terutama melalui media website (ampl.bangka.go.id). Bagian Hukum diposisikan sebagai fasilitator utama dalam menyusun dan mengembangkan kerangka regulasi. Pembiayaan yang bersumber dari APBD menjadi fokus garapan utama sekaligus sumber dana utama dalam pembangunan sektor AMPL. Hal ini disebabkan APBD memainkan sederet peranan dalam pembangunan suatu daerah karena memainkan 3 fungsi utama, yaitu: fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, APBD memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Dalam fungsi yang lain termasuk pula pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makro ekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsi-fungsi dasar tersebut kemudian melandasi perumusan kebijakan fiskal baik dari sisi pendapatan, pembiayaan, maupun belanja negara. Dari sisi lain, APBD adalah dokumen politis, sehingga penyusunan anggaran kadang-kadang berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Kemungkinan disorientasi anggaran sangat mudah terjadi disebabkan oleh pengajuan dan persetujuan yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan personal dan politis dari pada kepentingan public. 3.3.2. Memperkuat Perencanaan Bahwa agar pembiayaan dan pembangunan sektor AMPL yang berkeadilan dapat dilaksanakan dan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan yang aplikatif dan powrfull. Perencanaan ini sangat terkait erat dengan strategi pembiayaan. Secara teoritis, tidak akan pernah ada pembiayaan pembangunan daerah tanpa melalui proses perencanaan. Itu sebabnya, perencanaan menjadi pintu masuk bagi pengalokasian anggaran pembangunan. Dengan asumsi itu, mutlak sebagai suatu keharusan, perencanaan sektor AMPL menjadi arus utama dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan daerah, baik perencanaan jangka menengah atau RPJMD, perencanaan jangka pendek atau perencanaan tahunan atau RKPD, Rencana Strategis SKPD, maupun berbagai perencanaan program teknis lainnya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan pembiayaan yang memadai, issue AMPL haruslah menjadi mainstreaming dalam pembangunan daerah.
13
Dengan keyakinan seperti itulah, isu AMPL bisa menjadi issue “sexy” dalam seluruh dokumen perencanaan pembangunan. Yang pertama kali dilakukan adalah menetapkan Rencana Strategis Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat (Renstra AMPL-BM) 20072015, dengan payung legalitas-nya berupa Peraturan Bupati Bangka. Renstra dengan payung hulum yang powerful inilah yang menjadi alat tawar dalam proses mainstreaming issue AMPL dalam seluruh dokumen perencanaan. Dari sisi perencanaan jangka menengah, yang sudah dilakukan adalah menjadikan Renstra AMPL sebagai referensi utama penyusunan dokumen RPJMD 2009-2013 untuk seterusnya menjadikan pembangunan AMPL sebagai satu dari lima misi dalam RPJMD Kabupaten Bangka 2009-2012. Dari sisi perencanaan jangka pendek, tentu saja menjadikan AMPL sebagai issue utama dalam berbagai tingkatan Musawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), mulai dari tingkat desa hingga tingkat kecamatan, dengan sasaran akhir menjadikan AMPL sebagai isu utama dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Lebih lanjut, sesuai Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJMD yang sangat kental nuansa AMPL-nya, disamping menjadi acuan bagi SKPD dalam penyusunan Renstra SKPD 2009-2013, juga menjadi acuan dalam penyusunan RKPD. Seterusnya, RKPD merupakan pedoman bagi penyusunan APBD yang sepenuhnya menampung kegiatan dalam Rencana Kerja Anggaran seluruh SKPD Kabupaten Bangka. Dan inilah salah satu point strategis pembiayaan AMPL. Menjadi sangat strategis karena APBD; (i) menjadi acuan bagi seluruh pelaku pembangunan, karena memuat seluruh kebijakan publik; (ii) menjadi pedoman dalam penyusunan APBD karena memuat arah kebijakan pembangunan; dan (iii) menciptakan kepastian kebijakan, karena merupakan komitmen pemerintah daerah. 3.3.3 Mengawal Proses Penganggaran Proses penganggaran merupakan proses yang harus dilewati sebelum APBD ditetapkan dan bisa dijalankan. Berbeda dengan kebijakan moneter yang lazimnya memberikan dampak sangat luas dan bersifat segera, APBD sebagai kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan tertentu. Oleh karena itu kebijakan fiskal memiliki peranan penting untuk mengatasi permasalahanpermasalahan mendasar, termasuk permasalahan AMPL. Dalam pelaksanaannya, penyusunan dan penetapan APBD memerlukan berbagai tahapan. Sesuai Permendagri No 59 tahun 2007, tahapan-tahapan tersebut adalah: (i) penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plapon Anggaran Sementara (PPAS); (ii) pembahasan dan penetapan kesepakatan bersama mengenai KUA dan PPAS antara Pemkab Bangka dengan DPRD; (iii) penyusunan dan penyampaian surat edaran tentang pedoman penyusunan RKASKPD ; (iv) pembahasan RKA-SKPD ; (v) penyusunan Raperda APBD; dan (vi) penyusunan rancangan Perbup tentang penjabaran APBD. Keseluruhan tahapan dan proses penganggaran itulah yang menjadi fokus garapan guna meningkatkan proporsi pembiayaan sektor AMPL. Proses ini memang harus dikawal dengan cermat, karena sifatnya yang politis, maka dalam perjalanan penyusunan APBD, seringkali terjadi disorientasi kebijakan. Dalam banyak hal, seringkali perencanaan tidak berguna. RPJMD, Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD yang seharusnya menjadi arah panduan, seringkali juga diabaikan. Pragmatisme seringkali menjalar dalam proses penganggaran. Dan ini tidak hanya terjadi di wilayah legislatif yang memang berorientasi politis, namun juga merambah ke wilayah eksekutif yang cenderung ego sektoral. Berbagai alasan diatas memaksa Pokja AMPL yang dipimpin oleh Kepala Bappeda, untuk memastikan agar semua tahapan berjalan pada koridor yang benar, memastikan agar issue AMPL tetap menjadi issue utama dalam proses penyusunan dan penetapan APBD. Secara urutan, aktivitas pengawalam proses penganggaran tersebut adalah:
14
1. Sebelum penyusunan KUA dan PPAS, Bappeda sebagai leading sector Pokja AMPL, menginisiasi rapat kordinasi perencanaan sektor AMPL dengan mengundang seluruh SKPD yang terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Pertambangan, Dinas Kehutanan dan Dinas Pendidikan. Rakor ini untuk memastikan bahwa pembangunan AMPL harus menjadi salah satu kebijakan utama sekaligus prioritas pembangunan 2. Pada saat pembahasan KUA dan PPAS di tingkat eksekutif, Bappeda melakukan peran ganda, sebagai Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Pokja AMPL. Dengan peran ini, didukung anggota Pokja yang berasal dari SKPD terkait penganggaran, bargaining position AMPL menjadi lebih kuat. 3. Pada saat pembahasan dan penetapan KUA dan PPAS bersama legislatif, Bappeda dengan didukung anggota Pokja yang berasal dari DPRD, melakukan pendekatan adaptif dan advokatif kepada Badan Anggaran Legislatif. Pendekatan seperti berhasil memastikan bahwa AMPL selalu menjadi kebijakan dan prioritas utama dalam KUA dan PPAS 4. Pada saat pembahasan Raperda APBD, pendekatan yang sama kembali dilakukan, sehingga mampu menghasilkan pembiayaan sektor AMPL yang terus meningkat setiap tahunnya 5. Dalam aspek yang berbeda, Pokja juga melakukan pendekatan yang sama kepada seluruh Kepala Desa, guna memastikan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) juga menjadi mainstreaming dalam pembangunan desa. Hasilnya pada tahun 2009 hingga 2011, seluruh desa yang ada di Kabupaten Bangka, selalu mengalokasikan APBDes untuk kegiatan pembangunan AMPL desa. 3.3.4. Mengembangkan Kerangka Regulasi Guna terus meningkatkan besaran pembiayaan, pengembangan kerangka regulasi menjadi alternatif pilihan yang juga harus dilakukan. Regulasi terkait AMPL, dilakukan karena memang memenuhi persayaratan. Pertama, ada masalah yang muncul, dimana pembiayaan publik terkait peningkatan pelayanan AMPL mengalami stagnasi, sehingga pelayanan dan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi menjadi terhambat. Regulasi dibuat hanya untuk menjamin bahwa akses dan pelayanan terus meningkat. Kedua, intervensi Pemkab Bangka dibenarkan. Intervensi hanya dilakukan bila memang kehadirannya benar-benar dibutuhkan untuk “meluruskan” pasar pelayanan publik. Ketaatan pada prinsip ini akan menjamin konsistensi antara kebijakan yang dikeluarkan dan pelaksanaan di lapangan. Ketiga, regulasi adalah alternatif terbaik sebagai solusi bagi permasalahan AMPL yang muncul dan akan menjadi alat yang efektif untuk mencapai hasil. Menggunakan asumsi regulasi yang bersifat smart dan sustainibility reform tersebut, banyak peraturan perundangan yang telah operasional di lapangan. Meskipun hanya dalam bentuk setingkat Perturan Bupati atau bahkan lebih rendah, namun secara faktual, regulasi tersebut sangat ampuh dalam mendongkrak besaran pembiayaan pembangunan sektor AMPL. Beberapa regulasi yang telah operasional adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Bupati tentang Renstra AMPL, yang kemudian menjadi referensi utama dalam penyusunan RPJMD. Dalam perkembangannya, status regulasi ini akan ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah 2. Peraturan Bupati tentang RPJMD 2009-2013. Secara eksplisit, salah satu misi dalam RPJMD tersebut adalah Pembangunan AMPL 3. Peraturan Bupati tentang RKPD, yang menjadikan AMPL sebagai prioritas pembangunan dalam setiap tahun selama periode RPJMD 4. Keputusan Kepala SKPD stakeholder AMPL tentang Renstra dan Renja SKPD, yang didalamnya memuat kegiatan-kegiatan dan indikator capaian AMPL 15
5. Peraturan Bupati tentang Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (juknis) Penggunaan Dana Alokasi Desa. Didalam juklak dan juknis ini, dicantumkan dengan jelas bahwa pembangunan AMPL desa harus mendapatkan alokasi yang proprsional 6. Peraturan Bupati tentang Juklak dan Juknis Penggunaan Dana Program Pembangunan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah, yang harus memberikan perhatian lebih terhadap pembangunan infrastruktur AMPL 7. Peraturan Bupati tentang Juklak dan Juknis Penggunaan Dana P2KP. Didalam juklak dan juknis ini, juga mengatur penggunaan dana untuk pembangunan AMPL 8. Peraturan Bupati tentang Juklak dan Juknis Penggunaan Dana PNPM, dengan pengalokasian anggaran AMPL dalam pemanfaatan dana. 9. Peraturan Bupati tentang Pengelolaan Data AMPL 10. Rancangan Peraturan Daerah tentang Penggunaan Dana Corporate Social Responsibilty. Didalam rancangannya, pembangunan AMPL harus menjadi salah satu sasaran distribusi dana CSR 3.3.5. Memperluas Kemitraan Berbagai pihak dapat memberikan dukungan langsung dalam pembiayaan pembangunan sektor AMPL. Berbagai dukungan tersebut perlu diserasikan agar saling memperkuat dan memberikan dampak yang lebih besar bagi percepatan peningkatan akses AMPL. Oleh sebab itu, pelaksanaan pembangunannya perlu didukung oleh kemitraan dan kerjasama berbagai pelaku dan keserasian peran dan keterpaduan langkah dari berbagai pihak, baik Pemkab Bangka, pelaku usaha maupun masyarakat. Pelaku usaha swasta dan masyarakat merupakan pelaku yang berperan dalam penyediaan modal dan teknologi pembangunan infrastruktur. Di Kabupaten Bangka, masyarakat berperan sangat besar dalam pembiayaan. Keterbatasan APBD, telah memaksa Pemkab Bangka untuk terus melakukan advokasi kepada masyarakat agar secara swadaya dan mandiri dapat membangunan sendiri fasiliyas dan infrastruktur AMPL. Langkah yang dilakukan Pemkab Bangka adalah dengen mengembangkan program Community Led Total Sanitation (CLTS). Pemicuan dengan sistem cluster dilakukan dengan kegiatan penyadaran masyarakat secara partisipatif mengenai dampak sanitasi buruk dan pentingnya menggunakan jamban sehat. Sistem kluster ditentukan berdasar wilayah kerja Puskesmas. Tujuannya agar kesinambungan program terus berjalan hingga tercapainya kondisi terbebas dari kebiasaan BABS pada desa-desa yang dipicu. Dalam tindaklanjutnya Dinkes dan Puskesmas membangun jejaring supply dengan toko bahan bangunan (material) yang diwujudkan dalam kerjasama untuk meringankan beban masyarakat dalam pembangunan jamban. Salah satu contoh keberhasilan pembiayaan oleh masyarakat adalah apa yang sudah dilakukan olek masyarakat di Desa Keceper. Sebelum tahun 2006, desa tersebut dikenal sebagai desa yang kotor, masyarakatnya masih sering melakukan buang air besar sembarangan, dan dengan insiden diare tertinggi. Seiring dengan dicanangkannya program CLTS, perubahan paradigma masyarakat perlahan-lahan mulai berubah. Program pertama kali dilakukan melalui pelatihan CLTS kepada kader-kader masyarakat. Di Dusun Keceper, tokoh aktif sebagian besar berasal dari kalangan wanita sebab sebagian kalangan pria bekerja penuh waktu. Proses pelatihan kader lebih memfokuskan pada aspek penyadaran terhadap fungsi jamban. Metode penyadaran dilakukan oleh kader melalui pemberian contoh kasuskasus penyakit yang timbul akibat sanitasi buruk. Setelah itu, masyarakat berinisatif untuk mengadakan “arisan pembangunan jamban”. Pada arisan tersebut setiap rumah tangga membayar iuran sebesar Rp.5000/bulan. Masyarakat menargetkan untuk mampu membangun 3 jamban setiap minggu.
16
Pembangunan jamban ini bersifat dinamis. Setiap jamban yang dibangun disesuaikan dengan kemampuan setiap rumah tangga. Pada tahap awal, jamban yang dibangun hanya berbentuk cubluk sederhana. Kemudian seiring dengan masuknya program lain seperti PNPM mandiri, maka kepala desa memberi penambahan atap dan dinding pada sarana jamban melalui anggaran PNPM. Pada saat inisiasi program, masyarakat cenderung apatis. Namun, setelah kader atau natural leader memberikan contoh mengenai kasus-kasus penyakit yang timbul akibat sanitasi serta dengan menghidupkan budaya malu untuk BAB sembarangan, maka perlahan-lahan masyarakat pun mulai mengerti. Selain itu, tenaga pengajar pembangun sarana dan fasilitator berasal dari kalangan masyarakat setempat sehingga masyarakat desa lebih mudah menerima. Banyak manfaat yang dirasakan masyarakat desa dari “arisan pembangunan jamban”. Masyarakat desa menjadi lebih bersih dan sehat. Aroma kurang sedap yang semula tercium dari Desa keceper sekarang sudah hilang dan menjadi jauh lebih bersih. Selain itu, dengan adanya program tersebut telah memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat yaitu terbukanya peluang lapangan pekerjaan baru melalui penetapan sentrasentra produksi jamban. Selain masyarakat, pembiayaan juga berasal pelaku usaha terutama yang bergerak di bidang usaha pertambangan dan perkebunan yang notabene merupakan pelaku usaha yang terkait langsung dengan turunnya akses masyarakat terhadap AMPL. Sambil menunggu Raperda tentang CSR ditetapkan, Pemkab Bangka membuat Memorandum of Understanding dengan berbagai perusahaan, diantaranya PT. Timah Tbk. MoU dan kemitraan ini ditujukan bagi pengalokasian dana CSR untuk kepentingan AMPL. Hasil kemitraan ini adalah pada tahun 2011, PT. Timah Tbk akan mengalokasikan dana CSR-nya untuk pembangunan beberapa Desa Model AMPL 3.4. Kondisi Setelah Penerapan Strategi Pembiayaan MDGs 2008 adalah tahun dimana untuk pertamakalinya kebijakan pembangunan yang pro AMPL diaplikasikan dengan strategi pembiayaan yang mengedepankan peran kelembagan, perencanaan, penganggaran, kerangka regulasi dan kemitraan. Kebijakan ini pada prinsipnya adalah bagaimana mendorong pembiayaan AMPL dalam APBD yang harus terus meningkat progresif seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya air bersih dan sanitasi. Hasilnya adalah pencapaian yang luar biasa dalam tiga tahun terakhir seperti yang terlihat pada tabel berikut. Tabel 5. Anggaran Pembangunan Sektor AMPL dalam APBD Kabupaten Bangka 2008-2010 No Tahun Anggaran AMPL (Rp) APBD (Rp) Proporsi AMPL (%) 2 2008 20.323.433.346 579.015.195.043,00 3,51 3 2009 29.532.236.021 621.731.284.653,07 4,75 4 2010 30.568.990.110 594.727.434.056,35 5,14 Sumber: Bappeda Kabupaten Bangka, 2010
Tabel memperlihatkan pada tahun 2008 anggaran sektor AMPL meningkat luar biasa dibanding tahun 2007. Tahun pertama pelaksanaan strategi pembiayaan ini telah membawa perubahan signifikan. Pembiayaan meningkat dari Rp. 13.794.613.880 menjadi Rp. 20.323.433.346 dengan proporsi yang juga meningkat dari 3,34 persen menjadi 3,51 persen. Tahun 2009, ketika strategi pembiayaan ini makin shuttle, semuanya terasa menjadi lebih mudah. Anggaran absolut mencapai Rp. 29.532.236.021 yang diikuti dengan proporsi relatif berada pada level 4,75 persen. Tahun 2010, juga menampilkan kinerja yang fantastis. Ketika APBD mengalami penurunan dari RP. 621.731.284.653 menjadi Rp. 594.727.434.056, anggaran AMPL justru menunjukkan performance yang sebaliknya, yang ditandai dengan terus meningkatnya pembiayaan hingga mencapai Rp. 30.568.990.110 dan proporsi 5,14 persen. Statistically, tahun 2010 merupakan tahun puncak bagi pembiayaan AMPL di
17
Kabupaten Bangka. Tidak pernah ada tahun yang mampu menyamai pencapaian ini, baik dari sisi absolut maupun sisi relatif. Pencapaian pembiayaan yang luar biasa dalam periode 2008-2010, secara regsesif juga mampu mempengaruhi dan memberi dampak positif bagi peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi. Ketika pada tahun 2007, akses air bersih baru mencapai 54,72 persen dan akses sanitasi 52,33 persen, tahun 2008, angka-angka ini melonjak tajam seiring tajamnya lonjakan anggaran pembiayaan. Akses air bersih menjadi 75,91 persen dan akses sanitasi mencapai 70,07. Angka-angka capaian ini kemudian terus bergerak linear dan mencapai klimaksnya di tahun 2010 dengan pencapaian 76,23 persen untuk air bersih dan 72,24 persen untuk sanitasi. Dalam bentuk tabel, pencapaian 2008-201 tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 6 . Akses Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Kabupaten Bangka 2008-2010 No Tahun Akses Air Bersih (%) Akses Sanitasi Dasar(%) 1 2008 64,79 59,92 2 2009 75,91 70,07 3 2010 76,23 72,24 Sumber: Bappeda Kab. Bangka, 2010
Melihat pencapaian hingga tahun 2010, hampir dapat dipastikan bahwa target capaian MDGs Kabupaten Bangka untuk kedua bidang ini akan dapat terrealisir. Renstra AMPL-BM Kabupaten Bangka 2007-2015, menyebutkan bahwa target MDGs hingga tahun 2015 untuk akses air bersih adalah 78 persen dan akses sanitasi 76 persen. Tak terbantahkan lagi, bahwa Kabupaten Bangka hanya memerlukan tambahan akses air bersih sebesar 1,73 persen dan sanitasi sejumah 3,76 persen untuk mencapai target tersebut. Untuk mengukur efektivitas, tentu saja peningkatan pembiayaan yang diikuti dengan peningkatan akses, harus juga dikuti dengan penurunan insiden penyakit yang menerpa masyarakat. Seperti yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, untuk skala Kabupaten Bangka, penyakit lingkungan yang berkorelasi kuat dengan akses lingkungan adalah diare, malaria dan demam berdarah. Selengkapnya kondisi serangan penyakit lingkungan yang terjadi pada tiga tahun terakhir atau pada tiga tahun pelaksanaan strategi pembiayaan tersaji pada tabel berikut. Tabel 7. Prosentase Masyarakat Kabupaten Bangka Yang Terserang Penyakit Berbasis Lingkungan (%) Tahun Penyakit 2008 2009 2010 Diare 1,73 1,37 1,28 Malaria 1,20 1,06 1,02 DBD 0,01 0,01 0,01 Sumber: Bappeda Kab. Bangka, 2010
Meskipun belum teruji secara atatistik, namun tabel diatas jelas menunjukkan kepada kita bahwa insiden penyakit lingkungan pada tiga tahun pelaksanaan strategi pembiayaan secara pasti mengalami penurunan yang signifikan. Diare yang pada tahun 2008 menyerang 1,73 persen penduduk, pada tahun-tahun berikutnya secara pasti tidak mampu berbuat banyak lagi, yang ditunjukkan oleh penurunan insiden menjadi 1,37 persen di tahun 2009 dan 1,28 di tahun 2010. Demikian pula dengan Malaria, tidak lagi menjadi penyakit yang sering menghantui masyarakat. Insiden malaria terus mengalami penurunan yang sangat tajam dari 1,20 persen di tahun 2008 menjadi 1,06 dan 1,02 di tahun 2009 dan 2010. Hal yang sama terjadi pada pemam berdarah, penyakit mematikan ini juga mengalami hambatan invasi, karena pada periode 2008 hingga 2010, ketika jumlah penduduk terus mengalami peningkatan, insiden penyakit ini relatif tidak beranjak dari 0,01 persen. Keseluruhan hasil 18
yang dicapai ini tentu saja menggambarkan keberhasilan strategi pembiayaan pembangunan yang sudah dirancang dan dilaksanakan secara konsisten tentu dengan mempertimbangkan banyak dimensi ke-APBD-an. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 4.1. Kesimpulan Beberapa point kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman Pemkab Bangka dalam mendorong APBD yang pro AMPL adalah sebagai berikut: 1. Sebelum mendesign suatu kebijakan penganggaran yang pro AMPL, pembangunan sektor AMPL masih bersifat parsial, dilaksanakan oleh SKPD yang terkait, tanpa kordinasi yang terarah, tujuan yang jelas dan target yang terukur. Akibatnya, meskipun secara nominal, pembiayaannya selalu meningkat, namun rasionya terhadap APBD tidak menunjukkan trend perbaikan. Tahun 2004, rasionya 2,91 persen, menurun menjadi 2,73 persen di tahun 2005, kembali membaik di tahun 2006 dengan 3,53 persen, untuk kemudian turun lagi menjadi 3,34 persen di tahun 2007. Pola pembiayaan yang fluktuatif, berakibat pada lambatnya laju peningkatan akses masyarakat. Pada tahun 2004, akses air bersih dan sanitasi, masing-masing adalah 51,78 persen dan 49,57 persen, meningkat menjadi 53,21 persen dan 50,73 persen di tahun 2005. Bergerak naik pada level 54,14 persen dan 51,94 persen dan kemudian meningkat sangat perlahan menjadi 54,72 persen dan 52,33 persen. Peningkatan akses ternyata tidak diikuti dengan penurunan insiden penyakit. Pada periode 2004-2007, serangan diare meningkat dari 1,47 persen menjadi 1,99 persen. Malaria bertambah dari 2,68 persen menjadi 3,79 persen dan DBD melonjak dari 0,001 persen menjadi 0,01 persen. 2. Untuk akselerasi akses air bersih dan sanitasi, dijalankan strategi “APBD Pro AMPL” guna percepatan peningkatan pembiayaan. Strategi berfokus pada; (i) memperkuat kelembagaan; (ii) memperkuat perencanaan; (iii) mengawal proses penganggaran; (iv) mengembangkan kerangka regulasi; (v) dan memperluas kemitraan. 3. Strategi “APBD Pro AMPL” berhasil meningkatkan jumlah pembiayaan, baik nominal maupun prosentase. Tahun 2008, anggaran pembangunan sektor AMPL mencapai Rp. 20.323.433.346 dengan rasio 3,51 persen dari APBD. Tahun 2009, pembiayaan melonjak luar biasa hingga mencapai Rp. 29.532.236.021 dengan rasio 4,75 persen dan kembali bertambah di tahun 2010 dengan Rp. 30.568.990.110 dan rasio 5,14 persen. Peningkatan pembiayaan berdampak pada peningkatan akses. Tahun 2008, akses air bersih dan sanitasi mencapai 64,79 persen dan 59,92 persen. Tahun 2009 menjadi 75,91 persen dan 70,07 persen. Tahun 2010 bergerak naik pada 76,23 persen dan 72,24 persen. Dampaknya adalah penurunan angka insiden penyakit. Pada periode 2008-2010, serangan diare menurun dari 1,73 persen menjadi 1,28 persen. Malaria berkurang drastis dari 1,20 persen menjadi 1,02 persen. Sedangkan DBD tetap pada angka 0,01 persen. 4.2. Rekomendasi Kebijakan. Beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan kebijakan dalam rangka mendorong APBD yang pro AMPL adalah sebagai berikut: 1. Karena penganggaran dan perencanaan merupakan suatu kesatuan sistem pembangunan, maka mainstreaming AMPL dalam seluruh dokumen perencanaan, baik jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek adalah suatu keharusan 2. Salah satu misi dalam RPJPD dan RPJMD harus terkait isu AMPL. Secara eksplisit bahkan AMPL harus menjadi misi tersendiri dalam dokumen perencanaan tersebut. 19
3. Disetiap daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang diketuai oleh Kepala Bappeda, yang salah satu tugasnya adalah mengkordinasikan dan mengawal seluruh proses dan tahapan APBD. Agar proses penganggaran dapat berjalan efektif, anggota Pokja harus berasal dari SKPD yang terkait langsung dengan proses APBD. Untuk advokasi dan fasilitasi penganggaran di legislatif, salah satu anggota Pokja harus berasal dari kalangan legislatif yang duduk dalam Tim Anggaran Legislatif 4. Tahapan-tahapan dalam penetapan APBD, mulai dari penyusunan Kebijakan Umum APBD, Plafon dan Prioritas Anggaran hingga RAPBD harus dikawal secara ketat, dengan koridor utama sektor AMPL yang sudah menjadi salah satu misi dalam seluruh dokumen perencanaan daerah 5. Pokja harus mampu memfasilitasi penyusunan dan penetapan regulasi, baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah yang pro AMPL. Setiap peluang pendanaan, baik dari APBN maupun Swasta, harus dibuatkan regulasinya yang secara eksplisit menyebutkan keharusan alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur dan suprastruktur AMPL di daerah. DAFTAR PUSTAKA Bappenas, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan (2003). Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. Jakarta Bappenas. (2007). Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia. Laporan Kajian. Jakarta Bappeda Kabupaten Bangka. (2007). Renstra Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Kabupaten Bangka 2007-2015. Sungailiat Bappeda Kabupaten Bangka. (2008). Pendataan AMPL: Lesson Learned dari Merawang. Sungailiat. Marwoto, Pan Budi dan Bambang Pujiatmoko. Juni, 2009. “Pengarusutamaan AMPL dalam Kebijakan Pembangunan Daerah, Kiat Pokja AMPL Kabupaten Bangka”. Percik. Bappeda Kabupaten Bangkaa (2010). Registrasi Data dan Insiden Penyakit AMPL di Kabupaten Bangka. Sungailiat Bappeda Kabupaten Bangkab (2010). Review Renstra Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Kabupaten Bangka. Sungailiat
20