BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki penampilan yang menarik saat ini sudah menjadi kebutuhan bagi laki-laki. Pakaian rapi dengan padu padan yang tepat, potongan rambut yang sesuai seolah telah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi agar dapat dinilai menarik. Laki-laki yang memberikan perhatian lebih kepada penampilan ini dikenal dengan metroseksual. Konsep ini dianggap sebagai trend yang kemudian dilakukan secara terus menerus dan berulang sehingga menjadi sebuah fenomena yang banyak terlihat terutama pada masyarakat perkotaan atau metropolitan. Alasan yang mungkin mendorong perkembangan laki-laki untuk mulai memperhatikan penampilan salah satunya adalah faktor sosial yang berkaitan dengan identitas diri. Pengakuan, citra dan status sosial di masyarakat menjadi pendorong yang membuat laki-laki memiliki keinginan lebih untuk mulai memberikan perhatian kepada penampilan. Sebagai bentuk dari cermin diri, penampilan sering dijadikan sebagai cara yang digunakan oleh lingkungan sosial untuk memberikan penilaian atau kesan akan diri seseorang. Trend budaya populer yang ditampilkan melalui media yang digunakan laki-laki memberi andil dalam membentuk persepsi akan gaya. Salah satu contohnya adalah yang ditampilan oleh sosok pemain sepak bola seperti Christiano Ronaldo. Ia dikenal sebagai bintang dan idola dengan penampilan serta gaya yang menarik.1 Gaya dan penampilan yang diberikan oleh sosok idola seperti ini potensial untuk menarik perharian sedikit banyak memberi dorongan bagi lakilaki yang melihat untuk tertarik dan kemudian meniru. Gaya yang sedang trend menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang, alasan tersebut juga memberikan dorongan bagi laki-laki untuk mulai memperhatikan penampilan. Peminatan ini tidak lain akan berujung kepada usaha pemenuhan kebutuhan akan penampilan yang dilakukan melalui kegiatan konsumsi. Peluang
1
Ben Court. ‘Ronaldo: Sharpen Your Swagger’. http://www.menshealth.com/style/ronaldo-style
1
29
Juli
2014.
Terarsip
dalam
ini dipahami oleh produsen produk laki-laki yang terus mengembangkan produk untuk memenuhi kebutuhan akan penampilan pada laki-laki. Produsen produk fashion yang menyediakan beragam mode pakaian sesuai dengan tren. Berbagai brand kosmetik yang juga mulai menawarkan rangkaian produk perawatan wajah dan tubuh khusus laki-laki. Banyaknya produk dan jasa perawatan khusus lakilaki seolah menghilangkan batasan bagi kaum adam dalam memenuhi kebutuhan untuk akan penampilan. Pemenuhan kebutuhan akan penampilan melalui konsumsi seolah menjadi tujuan akhir dalam aktivitas konsumsi yang dilakukan oleh laki-laki metroseksual. Kebutuhan
referensi
mengenai
penampilan
mendorong
laki-laki
metroseksual untuk mencari sumber informasi, dan salah yang banyak digunakan adalah media. Tingginya angka konsumsi media, salah satunya televisi,2 menunjukan bahwa masyarakat indonesia masih menjadikan media sebagai sumber informasi dalam kehidupannya. Terlebih dengan beragam jenis media yang ada saat ini tentu akan memudahkan laki-laki metroseksual menemukan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Keberagaman latar belakang, psikologis, motivasi, dan situasi mendorong laki-laki metroseksual untuk memiliki kebutuhan informasi mengenai penampilan yang juga berbeda satu sama lain. Perbedaan ini mendorong mereka untuk melakukan pemenuhan kebutuhan informasi yang juga disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu terdapat tujuan tertentu yang ingin dipenuhi laki-laki metroseksual, motif atau tujuan tersebut mendorong penentuan jenis media yang ingin dipilih. Pemenuhan kebutuhan ini membuat laki-laki metroseksual menjadi lebih aktif dalam memperoleh informasi yang diharapkan dapat dipenuhi. Hal tersebut secara langsung berkaitan dengan kecenderungan bermedia, termasuk pemilihan jenis media dan informasi. Kecenderungan penggunaan media yang dilakukan dapat memberikan pengaruh kepada gaya hidup metroseksualitas yang dianut. Media yang berbeda mungkin memberikan informasi yang berbeda, dan 2
“Television is the dominant form of mass media in Indonesia almost all Indonesian adults (95.9%) use TV at least once week to get news.” Disebutkan dalam Media Use In Indonesia 2012 oleh Broadcasting Boards of Governors (BBG) GALLUP. Terarsip dalam http://www.bbg.gov/wpcontent/media/2012/10/gallup-indonesia-brief.pdf
2
informasi yang berbeda ini juga tentu memberikan efek yang berbeda pada setiap laki-laki metroseksual. Media massa, seperti majalah, yang banyak menyampaikan informasi metroseksual melalui iklan atau informasi tentang perawatan tubuh, body building, update mode pakaian, dan informasi sejenis lain. Informasi yang ditampilkan merupakan informasi terbaru yang telah dipilih dan memperoleh persetujuan dari tim redaksi. Berbeda dengan informasi di internet yang menjadi sumber informasi yang lebih beragama dan fleksibel karena informasi yang diakses tidak terkait oleh batas waktu. Dengan informasi dari media, laki-laki metroseksual membangun identitas dan gaya hidup metroseksual yang dicapai melalui konsumsi dan atribut tertentu. Dengan kata lain media menjadi pendorong munculnya gaya hidup ini. Kecenderungan pemilihan media seseorang menentukan jenis informasi yang secara langsung akan memengaruhi proses perilaku konsumen, termasuk pemilihan dan pembelian produk/brand. Dengan keberagaman yang ada maka menarik untuk mencoba memahami mengenai perilaku penggunaan media oleh laki-laki metroseksual yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang dapat menunjang gaya hidupnya. Fenomena metroseksual sendiri telah banyak diteliti sebelumnya, salah satunya dalam penelitian perilaku konsumsi oleh Cheng dan Ding.3 Mereka membahas mengenai berbagai faktor yang berkemungkinan untuk mempengaruhi perilaku konsumsi laki-laki metroseksual. Tema metroseksualitas juga dikaji dalam penelitian gender seperti yang dilakukan oleh Hall dan Gough. 4 Penelitian tersebut membahas mengenai konstruksi metroseksualitas dan maskulinitas yang dilakukan oleh pembaca majalah.
3
Cheng, Fan Shean. Cheng Soon Ooi. Ding Hooi Ting. 2010. Factors Affecting Consumption Behavior Of Metrosexual Toward Male Grooming Products. International Review of Business Research Papers Vol.6, No.1 February 2010, Pp. 574‐590. Terarsip dalam: www.bizresearchpapers.com/40.Hooi-One.pdf 4 Hall, Matthew. Brendan Gough. 2011. Magazine and reader constructions of ‘metrosexuality’ and masculinity: a membership categorisation analysis. Journal of Gender Studies Vol. 20, No. 1, March 2011. Routledge. Terarsip dalam: http://dx.doi.org/10.1080/09589236.2011.542023. Hal. 67-86.
3
Penelitian yang dilakukan sebelumnya memiliki fokus kepada konteks konsumsi dan juga audiens sebagai pengguna media, sama dengan penelitian ini yang juga membahas mengenai pengguna media. Perbedanya adalah bahwa penelitian audiens yang telah dilakukan tersebut cenderung lebih fokus kepada pemikiran atau aksi yang muncul terkait dengan metroseksualitas. Sementara penelitian ini lebih berfokus kepada isu metroseksual dilihat atau dikaji dari sudut pandang penggunaan media atau media use. Oleh karena itu peneliti akan mencoba melihat keseluruhan proses penggunaan media dari sudut pandang laki-laki metroseksual, sebagai agen yang menggunakan, menerima dan mempraktekan konsep gaya hidup metroseksual. Tujuannya adalah mengetahui penggunaan media-media yang berperan dalam menunjang perilaku gaya hidup metroseksual terkait dengan konteks latar belakang sosial budaya tiap individu. Penelitian mengenai penggunan media yang pernah dilakukan sebelumnya membahas mengenai penggunaan media pada audiens televisi untuk melihat pengaruhnya dalam interaksi sosial.5 Penelitian ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Pertama, kedua penelitian sama-sama menggunakan metode etnografi untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan menyeluruh dari informan, kedua penelitian sama-sama berfokus kepada penggunaan media dan pengaruh yang dapat ditimbulkan. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada objek penelitian, media yang digunakan dan efek yang ditimbulkan.
B. Rumusan Masalah Bagaimana laki-laki metroseksual menggunakan media untuk menunjang gaya hidup?
5
Jukka Kortti. Tuuli Anna Mähönen. 2009. Reminiscing Television Media Ethnography, Oral History and Finnish Third Generation Media History. Dalam European Journal of Communication Vol 24(1): 49–67: Sage Publication.
4
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui penggunaan media pada laki-laki metroseksual di Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui peran media dalam memberi informasi yang berguna untuk menunjang gaya hidup laki-laki metroseksual. 3. Untuk memahami utilitas media dalam memberikan dorongan terkait konteks konsumsi pada laki-laki metroseksual.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat: 1. Memperluas wawasan mengenai perilaku konsumsi dan adaptasi informasi pada laki-laki metroseksual di Yogyakarta. 2. Mengetahui pola penggunaan informasi tentang gaya hidup dalam kehidupan laki-laki metroseksual. 3. Memberi kontribusi ilmu komunikasi dalam bidang budaya populer.
E. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah laki-laki metropolitan yang tertarik atau menganut metroseksualitas sebagai gaya hidup dan secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan akan gaya hidup metroseksualnya. Keterlibatan seseorang kepada gaya hidup, ditandai dengan beberapa aksi. Lifestyle is a way to segment people into groups based on three things: opinions, attitudes and activities.6 Ketiga hal tersebut menjadi tolak ukur apakah seseorang tertarik dan terlibat dalam gaya hidup tertentu. Opini, sikap dan aktivitas menunjukan partisipasi aktif terkait gaya hidup metroseksual. Laki-laki metroseksual dinilai menarik sebagai salah satu identitas atau label yang digunakan untuk mereprentasikan karakter yang berbeda pada laki-laki saat ini. Sebagai mereka yang tinggal di kota besar dengan perilaku urban 6
Tim Friesner. Consumer Behavior; Internal Influences – Lifestyle and Attitude. 8 Mei 2014. Terarsip dalam: http://www.marketingteacher.com/internal-influences-lifestyle-and-attitude/
5
memiliki keterbukaan dalam menerima hal baru. Hal ini memudahkan perkembangan teknologi, informasi, dan nilai yang berasal dari luar Indonesia masuk dan memberikan pengaruh. Perubahan ini tentu juga mendorong kepada perubahan cara pandang yang digunakan laki-laki dalam melakukan kegiatan kehidupan. Penerimaan akan hal baru membuat mereka menjadi terbuka untuk menunjukan kecenderungan peningkatan konsumsi dalam konteks penampilan dan perawatan diri. Selain itu, isu gender dan peran sosial merupakan sebuah tema yang menarik untuk dibahas terkait dengan latar belakang budaya masyarakat Indonesia yang memiliki kecenderungan budaya patriarki. Penggunaan media pada laki-laki metroseksual dipilih karena dinilai memiliki andil dalam membentuk gaya hidup yang dijalani tersebut. Seperti yang secara umum diketahui, media merupakan salah satu sumber informasi yang biasa digunakan. Dengan beragam media saat ini membuat informasi yang menjadi lebih luas dan tidak terbatas, sehingga pengguna media jadi memiliki pilihan sendiri dalam menentukan media yang ingin digunakan. Selain itu penggunaan media dipilih untuk diteliti sebagai bentuk dari kajian ilmu komunikasi. Penelitian ini mengambil objek laki-laki metroseksual yang berdomisili di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat beberapa alasan yang melandasi keputusan ini. Pertama, wilayah domisili memberikan pengaruh terkait dengan kecenderungan dalam memandang dan memaknai sesuatu. Yogyakarta masih menjadi daerah yang menganut konsep sosial budaya dan nilai norma kental, latar belakang ini memberikan dapat membentuk kecenderungan seseorang dalam menilai dan memaknai sebuah fenomena. Pembahasan akan isu metroseksualitas yang membawa konsep berbeda tentang laki-laki bisa saja dianggap sebagai isu yang kontroversial di masyarakat. Namun Yogyakarta juga dikenal sebagai salah wilayah urban atau perkotaan yang banyak menerima berbagai trend dan budaya populer terbaru. Hal tersebut tentu akan membentuk dinamika yang menarik antara interaksi nilai budaya lokal dan juga trend budaya populer yang mungkin memengaruhi kecenderungan penilaian seseorang.
6
Kedua Yogyakarta merupakan kota pelajar yang sering kali menjadi tujuan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menuntut ilmu. Hal ini membuat Yogya memiliki penduduk yang beragam, sehingga dianggap dapat memberikan representasi hasil penelitian yang lebih nyata. Ketiga, dengan berbagai alasan, termasuk pekerjaan, Yogyakarta banyak dipilih sebagai daerah tujuan untuk menetap oleh para pendatang. Hal ini juga memiliki andil dalam membentuk ragam penduduk yang terdapat di Yogyakarta. Latar belakang sosial dan budaya yang dibawa oleh pendatang sedikit banyak memberikan pengaruh juga kepada masyarakat Yogyakarta, dimana budaya lokal kota ini juga memberikan pengaruh kepada pendatang. Keragaman ini tentu dapat memberi pengaruh dalam membentuk interaksi dan perilaku tertentu kepada penduduknya. Dengan keragaman dan latar belakang budaya yang ada maka menarik untuk melihat mengenai dinamika kehidupan yang muncul di Yogyakarta termasuk pada kalangan laki-laki metroseksual yang berdomisili di kota ini.
F. Kerangka Pemikiran 1. Metroseksual: Evolusi Maskulinitas Metroseksual merupakan sebuah fenomena yang berkembang, hal ini terlihat dari karakter gaya dan penampilan yang ditujukan oleh laki-laki saat ini. Mereka menunjukan penampilan yang berbeda, dan cenderung terlihat lebih menarik dengan pemilihan pakaian sampai dengan penggunaan aksesoris pelengkap. Laki-laki dengan kepedulian yang lebih akan ini penampilan masih dinilai berbeda. Tidak jarang mereka dinilai sebagai sesuatu yang negatif dalam pandangan masyarakat karena dinilai terlalu feminin. Mark Simpson, seorang jurnalis Inggris, pertama kali menggunakan istilah ini pada artikel „Here Come The Mirror Men‟7. Istilah metroseksual baru banyak dikenal setelah tahun 2000, setelah Simpson kembali mempublikasikan artikelnya dan memberikan perbaikan pada definisi 7
Artikel dipublikasikan pada 15 November 1994 dalam The Independent, salah satu surat kabar nasional Inggris.
7
metroseksual menjadi “…a young man with money to spend, living in or within easy reach of a metropolis – because that’s where all the best shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight, or bisexual.”8 Simpson juga menyebutkan David Beckham sebagai „the biggest metrosexual in britain‟ karena diaggap berhasil memberikan gambaran paling akurat mengenai karakter serta perilaku metroseksual. Akademisi mulai mendalami perkembangan fenomena ini dan mendefisikannya sebagai “A heterosexual man with an interest in personal style and grooming, traditionally considered ‘feminine’.”9 Metroseksual dapat dipahami sebagai laki-laki dengan tingkat kepedulian akan penampilan yang lebih tinggi, kepedulian ini merupakan bentuk pemenuhan akan kepuasan diri. Gaya hidup ini tidak berkaitan dengan orientasi seksual, namun terdapat pandangan umum yang menganggap bahwa laki-laki yang memedulikan penampilan sering kali dianggap memiliki kaitan dengan homoseksualitas. Dalam sebuah pustaka disebutkan bahwa, “a male who maintains a feminine identity must also be homosexual.”10 Kedekatan metroseksual dengan sisi feminin sering kali menimbulkan salah paham yang membuat perhatian kepada penampilan yang dilakukan laki-laki metroseksual diartikan sebagai perilaku yang dilakukan oleh homoseksual, padahal keduanya berbeda. Homoseksual atau gay merupakan sebuah kondisi yang berkaitan dengan kecenderungan orientasi seksual yang menyukai sesama jenis. Sementara metroseksual merupakan istilah yang berkembang dalam budaya populer dan berkaitan dengan gaya hidup yang digunakan untuk memberikan label pada laki-laki yang memiliki ketertarikan yang lebih kepada penampilan. Kedua istilah ini berkaitan karena metroseksualitas merupakan serangkaian perilaku gaya hidup yang dikembangkan dari perilaku homoseksual, yaitu kepedulian peduli kepada penampilan, seperti berdandan. 8
Mark Simpson. 2002. ‘Meet the metrosexual: He's well dressed, narcissistic and obsessed with butts. But don't call him gay’. Terarsip dalam: http://www.salon.com/2002/07/22/metrosexual/ 9 Michael Flood et.al. 2007. International Encyclopedia of Men and Masculinities. New York: Routledge. hal. 438. 10 Eric Anderson. 2009. Inclusive Masculinity: The Changing Nature of Masculinities. New York: Routledge. hal. 35.
8
Penampilan sejak dulu memang lebih identik dengan perilaku feminin. Anderson menjelaskan, “although the term originally referred to Manhattan heterosexual men who wore high-end clothing, it evolved into a definition for heterofemininity among men.”11 Istilah heterofeminity menunjukan bahwa adaptasi konsep feminin dalam kehidupan laki-laki tidak selalu merujuk kepada perilaku homoseksual. Istilah metroseksual seolah membentuk batasan gender kepada laki-laki heteroseksual yang peduli penampilan agar terhindar dari prasangka sebagai homoseksual. “The term metrosexuality permits men to say, ‘I am not gay, I am metrosexual’.”12 Istilah ini dimanfaatkan laki-laki heteroseksual sebagai jalan keluar untuk tetap dapat mengeksplorasi gaya dan aktivitas yang berkaitan dengan penampilan tanpa khawatir dianggap „berbeda‟. Unsur lain dari metroseksual adalah narcissist atau senang menjadi pusat perhatian, “Beckham likes to be admired, and doesn’t care whether the admiring is done by women or by men.” Sebuah temuan penelitian menunjukan bahwa laki-laki metroseksual umumnya narsistik alias pemuja diri.13 Kecanduan untuk terus mendapatkan pengakuan dari orang lain memberikan alasan bagi laki-laki metroseksual untuk terus memberikan perhatian kepada penampilan. Hal tersebut membuat aktivitas peduli akan penampilan pada metroseksual menjadi sebuah bentuk pemuasan diri. Adaptasi femininitas yang dilakukan tidak terbatas pada kegiatan fisik, namun juga psikologi. “The muted definition of metrosexuality (real or imagined) has permitted men of all classes and backgrounds to more freely associate with femininity, with or without identifying as metrosexual.”14 Definisi metroseksual yang luas memberikan ruang bagi seluruh laki-laki dengan kelas dan latar belakang yang berbeda untuk dapat diasosiasikan dengan feminitas, baik dengan atau tanpa diidentifikasikan dengan
11
Ibid. hal. 99. Anderson. Op.Cit. hal. 100. 13 Hermawan Kartajaya dkk. 2006. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal 295. 14 Anderson. Op.Cit. hal. 100. 12
9
metroseksual.
Semakin
banyaknya
kajian
dan
informasi
tentang
metroseksualitas, lambat laun identifikasi atas laki-laki metroseksual lebih dari sekedar kedekatan karena perilaku feminin. Merujuk kepada hal tersebut maka representasi metroseksualitas dapat terlihat melalui beberapa karakter, pertama, kepedulian dan kecenderungan menonjolkan penampilan. Perilaku peduli penampilan dapat tercermin dalam aktivitas seperti grooming; perawatan wajah dan tubuh; dan mode pakaian, penataan gaya rambut. Grooming dalam bahasa Indonesia artinya dandan, yang dalam konteks lokal dimaknai sebagai penggunaan pakaian dan hiasan, serta alat rias. Peralatan grooming yang umum biasanya digunakan laki-laki untuk tujuan kebersihan diri, seperti sampo, sabun, peralatan cukur. Setelah itu disambung dengan perawatan lanjutan yang diberikan pada wajah dan tubuh, seperti lotion, krim wajah, sunblock, dan lainnya.15 Laki-laki metroseksual juga mungkin menggunakan alat kosmetik untuk menunjang penampilannya, seperti pencabut bulu hidung, lip balm, bb cream, eyebrow gel. Laki-laki metroseksual juga tidak canggung datang ke pusat kecantikan untuk melakukan perawatan diri, seperti creambath atau facial. Kedua, diet dan olahraga termasuk ke dalam langkah yang mungkin dilakukan untuk perawatan tubuh, karena tubuh sering dianggap sebagai bagian dari penampilan.16 Laki-laki metroseksual lebih memilih melakukan olahraga indoor, seperti fitness di gym, dibanding melakukan kegiatan olahraga luar ruangan. Selajutnya adalah kebiasaan menggunakan pakaian fashionable dan trendi. Bagi mereka pakaian merupakan alat yang digunakan untuk memperjelas identitas sehingga penting untuk memilih pakaian yang tepat.17 Pemilihan pakaian biasa disesuaikan dengan acara atau dengan mood. Dalam memenuhi kebutuhan ini laki-laki metroseksual sering merasa lebih
15
Flood. Op.cit. hal. 309. Margaret C. Ervin. 2011. The Might of Metrosexual: How A Mere Marketing Tool Challenges Hegemonic Masculinity. Indiana university press. Bloomington Indiana. Hal.60. Terarsip dalam: http://antropologi.fib.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Margaret-C.-Ervin-The-Might-of-theMetrosexual.pdf 17 Michael Flocker. 2003. The Metrosexual Guide to Style. Cambridge: Da Capo Press. Hal.82. 16
10
nyaman untuk melakukan kegiatan belanja sendiri.18 Hal ini dilakukan sekaligus sebagai bagian dari pemuasan diri. Perubahan kebutuhan, keinginan, dan tingkat konsumsi produk berhubungan erat dengan variabel demografis. Interaksi laki-laki dengan sisi feminin merupakan hal yang dulu mustahil dilakukan terkait dengan hegemoni maskulinitas. “Being masculine entailed being the opposite of the softness attributed to homosexual men.”19 Maskulinitas tradisional menganggap karakter laki-laki adalah bertolak belakang dengan sisi feminin. Itulah alasan mengapa laki-laki diidentikan dengan kekuatan atau kekuasaan (power) untuk menunjukan dominasi. Laki-laki yang menunjukan interaksi dengan sisi feminin dianggap berbeda sehingga diberi label posisi sosial yang lebih rendah. “Orthodox masculinity has historically remained at the top of the masculinities hierarchy, while men belonging to gay, non athletic have occupied the lower rungs.”20 Oleh karena itu laki-laki berusaha menghindari interaksi dengan sisi feminin dan memenuhi kriteria maskulin untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang menegaskan posisinya atas gender lain. Maskulinitas dipahami sebagai ciri biologis yang berkaitan dengan fisik dan berhubungan dengan peran sosial, serta konstruksi sosial yang dinamis. Bentuk dan definisi maskulinitas sendiri bergantung kepada komunitas dan budaya terkait. Tidak ada cara mutlak untuk mendefinisikan maskulinitas. “Expect boys and men to reject or avoid anything stereotypically feminine, to be tough and agrresive, surpress emotions (other than anger), distance themselves emotionally and physically from other men, and strive towards competition, success and power.”21
18
Philip Kotler. Kevlin Lane Keller. 2006. Marketing Management, 12 edition. London: Pearson Education. Hal. 173. 19 Anderson. Op.Cit. hal.28. 20 Ibid. hal. 31. 21 Eric S Mankowski. Kenneth I. Maton. 2010. A Community Psychology of Men and Maculinity: historical and Conceptual Review dalam Jurnal. Dalam jurnal Society for Community Research and Action 2010. Dipublikasikan daring: Springer. Hal. 74.
11
Terdapat harapan sosial dan norma yang secara umum membentuk hegemoni. Representasi superioritas fisik laki-laki ditujukan dalam kegiatan seperti olahraga sebagai kegiatan yang mengombinasi kekuatan dan kompetisi.22 Maskulinitas tradisional telah lama ada di Indonesia dan memberikan pengaruh dalam struktur rumah tangga yang memberi pandangan bahwa perempuan berada dalam posisi lemah dan harus dilindungi. “Patriarchy designates structural dominance of women by men in all aspects of life, including the political, social, economic.”23 Termasuk dalam tugas keluarga dimana perempuan identik dengan tugas internal yang berkaitan dengan rumah tangga. Konsep maskulinitas tradisional telah ditanamkan sejak kecil sebagai bagian norma dan nilai sosial. Yang kemudian membangun pandangan apabila anak laki-laki bermain boneka, dia akan dianggap „berbeda‟. “This nicely, saying that the first rule toward being a man is ‘no sissy stuff’”24. Hal ini menyebabkan anak menjadi terbiasa dengan konsep maskulin tradisional. Akhirnya konsep ini dijalani tanpa disadari anak tersebut. Perilaku ini dilakukan
semanta-mata
untuk
menghindari
diskriminasi
dan
mempertahankan posisi dalam lingkungan sosial. Melihat hegemoni maskulinitas yang mengakar maka diasumsikan bahwa perubahan akan sulit diterima. Namun dalam sebuah penelitian yang dilakukan di 5 wilayah urban (Jabodetabek), sebanyak 15,7 % responden adalah laki-laki metroseksual.25 Hal ini menunjukan perubahan akan konsep maskulinitas. Laki-laki Indonesia mulai menerima konsep metroseksualitas dan menjadikannya sebagai bagian dari tren dan gaya hidup. Saat ini sudah tidak ideal membicarakan peran sosial laki-laki hanya didasarkan kepada konsep maskulinitas tradisional. Banyak perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan peran sosial perempuan secara tidak langsung juga mendorong perubahan peran sosial laki-laki. 22
Anderson. Op.Cit. hal.45. Flood. Op.Cit. hal.468. 24 Anderson. Op.Cit. hal.34. 25 Kartajaya. Op.Cit. hal.294. 23
12
Perkembangan teknologi juga mendorong kemudahan akses informasi yang membentu membangun pola pikir masyarakat. Faktor kepentingan kaum kapitalis dalam meningkatkan konsumsi juga menjadi kunci perubahan ini. Metroseksual sendiri merupakan penemuan media yang lebih berkaitan dengan usaha meningkatkan konsumsi ketimbang pergeseran gender.26 Konsep maskulinitas tradisional perlahan digantikan oleh metroseksual. “The stoic, self-denying, modest straight male didn’t shop enough (his role was to earn money for his wife), so he had to be replaced by a new kind of man, one less certain of identity and much more interested in his image.”27
Sosok laki-laki maskulin yang dijelaskan sebagai sosok yang superior perlahan ditinggalkan karena dinilai tidak adil dan kaku. Hal ini terlihat dari perkembangan metroseksual yang saat ini bahkan menjadi lebih massal dibandingkan sejak pertama istilah ini ditemukan. Perubahan ini tentu juga mendorong kepada perubahan cara pandang yang digunakan laki-laki dalam melakukan kegiatan kehidupan. Mereka akan menjadi cenderung konsumtif guna memenuhi kebutuhan akan penampilan, dimana konsumsi nantinya akan berkaitan dengan proses pencarian informasi yang melibatkan media. Dengan latar belakang berbeda yang dimiliki setiap laki-laki, hal itu memungkinkan beragam jenis metroseksualitas untuk dilakukan dan diadaptasi dalam kehidupan.
2. Gaya Hidup dan Konsumsi Lifestyle atau gaya hidup merupakan perilaku yang berkaitan dengan cara individu, kelompok atau budaya menjalankan kehidupan, atau “way of life”. Khan menyebutkan gaya hidup sebagai “a unified pattern of behaviour
26
Anderson. Op.Cit. hal.100. Mark Simpson. 2002. ‘Meet the metrosexual: He's well dressed, narcissistic and obsessed with butts. But don't call him gay’. Terarsip dalam: http://www.salon.com/2002/07/22/metrosexual/. paragraf 8. 27
13
that determines consumption and, is also in turn determined by it.”28 Maka secara praktis gaya hidup dapat dipahami sebagai kata sederhana yang dapat digunakan untuk menjelaskan konsep perilaku konsumsi yang rumit. Rumit merujuk kepada keseluruhan proses konsumsi yang berlangsung, termasuk kepada proses pertimbangan yang dilakukan sebelum proses pembelian. Proses
pertimbangan
dilakukan dengan melibatkan keinginan,
motivasi, kebutuhan dan preferensi dari laki-laki metroseksual. Dalam proses pertimbangan faktor lain yang memiliki pengaruh adalah pengalaman, karakter diri, dan situasi yang dialami. Dinamika yang terjadi dalam proses konsumsi yang dilakukan terkait gaya hidup juga melibatkan berbagai faktorfaktor tersebut. Maka dengan banyaknya hal yang terlibat dalam seluruh proses pertimbangan dan konsumsi, dalam titik tertentu hal itu menjadikan konsumsi sebagai representasi dari pola gaya hidup seseorang. Gaya hidup dianggap sebagai proyek yang dilakukan untuk mengubah budaya konsumen dengan memberikan rangsang dan dorongan untuk meningkatkan konsumsi. Hal ini mengacu kepada konteks mass consumption yang berlangsung pada tahun 1950an. Bertahun-tahun kemudian, budaya konsumsi mulai beradaptasi dengan perubahan yang muncul sebagai dampak dari mass consumption. Tahun 1980an terjadi lonjakan kemunculan lifestyle media dalam bentuk majalah dan tayangan televisi, sebagai reaksi atas peningkatan perilaku konsumsi. Gaya hidup mulai menjadi perdebatan karena dianggap memiliki hubungan dengan transformasi budaya konsumen dan identitas budaya yang acap kali disebut sebagai bagian postmodernisme. Dapat terlihat bahwa terdapat hubungan antara peningkatan konsumsi dengan penggunaan media sebagai saluran informasi yang dapat menunjang atau bermanfaat dengan gaya hidup. Media sebagai sumber informasi menjadi salah satu faktor yang mendorong terciptanya kebutuhan dan keinginan dari audiens. Hal ini terkait dengan informasi yang terdapat dalam media yang tidak semata-mata diberikan, namun terdapat juga informasi yang memang 28
Matin Khan. 2006. Consumer Behavior and Marketing Management. New Delhi: New Age International. Hal.18.
14
ditampilkan dengan tujuan seperti memengaruhi audiens karena terdapat kepentingan. Dapat dikatakan bahwa semua jenis informasi yang ada memang diproduksi dengan memiliki tujuan terkait dengan kepentingan masing-masing pihak, baik dalam berita, advertorial, dan lain sebagainya. Informasi yang dibagikan akan dapat memberikan pengaruh kepada audiens sebagai pengguna media dan memunculkan keinginan atau kebutuhan akan suatu hal tertentu. Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu jenis efek yang muncul dari penggunaan media. Bentuk efek yang diberikan oleh media dijelaskan ke dalam tiga periode waktu, direct effects models, limited effects models, dan cumulative effects models.29 Ketiga model periode ini menjelaskan mengenai bentuk efek yang ditimbulkan kepada audiens melalui media yang digunakan. Direct effects dan limited effects dalam periode waktu beberapa puluh tahun lalu, ketika terdapat keterbatasan terkait dengan akses yang dapat dilakukan akan media. Cumulative effect menjelaskan mengenai efek yang timbul terkait dengan evolusi teknologi dan informasi yang memungkinkan tersedia lebih banyak sumber. Semakin banyak sumber informasi maka semakin besar potensi paparan informasi yang diterima audiens. Hal ini juga dapat memberikan pengaruh kepada audiens, namun pengaruh yang diberikan berbeda dengan dua jenis efek yang dijelaskan sebelumnya. “Over time audiences start to adopt the media’s framing of reality as their own representation of it.”30 Paparan media yang tidak dapat dibatasi membuat informasi yang diterima juga tidak terbatas, hal ini jadi sejenis memberikan paparan informasi yang intensif kepada audiens. Akhirnya sampai pada tahap membentuk pandangan audiens akan kenayataan kehidupan berdasarkan kepada informasi dalam media yang ia peroleh. Pengaruh ini merupakan salah satu alasan yang membentuk pandangan akan kebutuhan gaya hidup, salah satunya terkait dengan metroseksualitas. Gaya hidup merupakan rangakain konsep yang menggambarkan selera, rasa, 29
Stephen W. Littlejohn. Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. California: Sage. Hal. 632. 30 Ibid. Hal. 633.
15
nilai; yang digunakan untuk mewakili gambaran pemenuhan kebutuhan yang salah satunya terkait dengan penampilan. Gaya hidup dibentuk sebagai karakter yang digunakan sebagai identitas sosial untuk memperkenalkan diri ke lingkungan. Dalam proses pemenuhan kebutuhan gaya hidup melalui konsumsi terdapat tujuan „self-construction‟ yang dilakukan bukan sematamata untuk memiliki barang, namun juga pembelian identitas.31 Teori gaya hidup menekankan konstruksi identitas melalui praktik konsumsi, waktu luang dan ruang domestik.32 Dalam memenuhi praktik gaya hidup, kembali media menarik perhatian audiens untuk digunakan sebagai sumber informasi. Dalam lifestyle marketing, segmentasi gaya hidup dapat didasarkan kepada opinions, interests dan activities/behaviors.33 Seseorang dapat dikatakan sebagai bagian dalam gaya hidup tertentu apabila memenuhi kriteria tersebut. Opinions menunjukan pedapat atau opini individu mengenai tema tertentu yang menarik baginya. Interests menjelaskan mengenai kegiatan atau aktivitas dengan tema tertentu yang sesuai dengan ketertarikan mereka. Activities/behaviors menunjukan mengenai sejauh mana langkah atau aksi dilakukan seseorang untuk memenuhi ketertarikan akan tema yang diminatinya tersebut. Segmentasi ini berguna untuk mengelompokan orang sesuai dengan kesukaan (interest). Kelompok dengan kesukaan yang sama akan menghasilkan ceruk spesifik. Ceruk ini akan mempermudah produsen untuk melakukan idiidentifikasi preferensi pasar dan menentukan stimulus yang tepat untuk mendorong konsumsi. Dalam proses konsumsi terkait gaya hidup, terdapat ciri yang dipilih terkait dengan atribut gaya hidup. Hal itu dilakukan untuk membedakan dengan gaya hidup lain. Atribut ini sering dijadikan asosiasi yang mendorong orang yang melihat untuk memberikan label untuk identitas individu dengan gaya hidup tertentu. “Heightened importance of consumption in the construction of class identities through lifestyle choices.” Gaya hidup dan
31
Pamela Odih. 2007. Advertising in Modern and Postmodern Times. London: Sage. Hal. 109. Ibid. Hal. 3. 33 Khan. Op. Cit. Hal.18. 32
16
konsumsi dilakukan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan untuk membangun identitas dan status sosial. Dalam usaha untuk mendapatkan pemenuhan konsumsi yang terbaik dan paling sesuai konsumsi, media dilibatkan sebagai sumber informasi dan referensi. Jadi dalam melakukan pemenuhan akan konsumsi, yang dilakukan tidak hanya sekedar membeli dan memiliki objek berupa produk atau jasa, namun juga dengan melakukan konsumsi akan informasi yang ada. Penggunaan media ini terkait dengan karakter audiens saat ini yang merupakan pelaku penggunan media aktif yang melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan informasi. Perilaku aktif dalam penggunaan media mendorong audiens untuk memilih media yang ingin digunakan, termasuk dalam menentukan jenis media dan informasi yang akan digunakan untuk menunjang metroseksualitas. Ragam informasi dan teknologi yang ada sekarang membuat audiens lebih mudah dalam menentukan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Pemilihan dalam pemenuhan kebutuhan dimulai dengan pemilihan sederhana dalam media massa yang melibatkan kemampuan dalam menentukan informasi mana yang ingin dilihat atau tidak, seperti mematikan televisi atau mengubah saluran yang ditonton.34 Bentuk langkah pemenuhan kebutuhan akan informasi yang ada saat ini tidak terbatas dalam sekedar menentukan saluran, namun sampai kepada penentuan sendiri jenis informasi yang dibutuhkan tanpa terbatas kepada bentuk informasi. Seleksi dilakukan dengan bantuan mesin pencari yang terdapat dalam jaringan internet. Internet menembus dinding pembatas yang membuat akses informasi menjadi terbatas, jenis atau tipe data beragam dapat diakses oleh siapapun dan dimana saja. Hal ini membuat informasi yang ada saat ini jadi lebih luas dan dapat diakses dengan lebih mudah. Tidak hanya informasi yang diperoleh melalui situs resmi yang informatif, media sosial bahkan sudah mulai menjelma menjadi sumber informasi. Hal ini mendorong kepada jenis pemilihan dan pemenuhan informasi yang berbeda pada setiap audiens. 34
Littlejohn. Op. Cit. Hal. 64.
17
Perbedaan keinginan dalam memenuhi kebutuhan gaya hidup yang dimiliki seseorang terkait dengan motif dan keinginan individu. Hal ini membuat
mereka
membentuk
kecenderungan
masing-masing
dalam
menyeleksi informasi yang sesuai. Konsep ini dijelaskan dalam uses and gratification theory yang menjelaskan bahwa audiens memiliki kemampuan dalam menentukan sendiri informasi yang ingin dikonsumsi. Kunci dalam uses and gratification adalah motif dan kepuasan yang dapat terbentuk berkaitan kepada serangkaian kebutuhan sosial dan psikologis. 35 Dengan perilaku ini maka aktivitas yang dilakukan terkait dengan pemenuhan kebutuhan juga akan berbeda. Hambatan dalam memahami perilaku audiens adalah konsepnya yang terus berkembang menjadi lebih luas dan rumit. Dengan semakin luas informasi dan beragamanya keberadaan media yang dapat diakses maka kombinasi informasi semakin banyak, hal tersebut sejalan dengan pengaruh yang juga akan semakin luas dan bervariasi.
3. Konsumen Laki-laki Kegiatan konsumsi merupakan sebuah proses yang melalui beberapa tahapan sebelum konsumen dapat menentukan pilihan dan melakukan pembelian. Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap dan preferensi. Faktor tersebut dapat berasal dari sisi psikologi, sosial dan ekonomi. Perilaku tersebut dikenal dengan istilah consumer behavior. Faktor yang mempengaruhi konsumen terbagi atas 2, yaitu faktor interpersonal dan intrapersonal.36 Faktor interpersonal adalah faktor yang berasal dari luar diri konsumen atau lingkungan (environmental factors), seperti diskon, tuntutan pekerjaan. Faktor intrapersonal atau dalam diri konsumen dapat berupa sikap, gaya hidup. Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah tabel yang menjelaskan mengenai „a model of consumer behavior’.
35 36
Ibid. hal. 65. Richard Sandhusen. 2008. Marketing, 4th Ed. New York: Barron’s. hal. 240.
18
Buyer’s Black Box
Environmental Factors Marketing
Environmental
Buyes’s
Stimuli
Stimuli
Characteristic
Buyer’s Response
Decision Process
Product
Economic
Attitudes
Problem recognition
Product choice
Place
Technological
Motivation
Information search
Brand choice
Price
Political
Perceptions
Alternative evaluation
Dealer choice
Promotion
Cultural
Personality
Purchase decision
Purchase timing
Demographic
Lifestyle
Post-purchase behavior
Purchase amount
Natural
Knowledge
Tabel 1.1 Consumer Behavior’s Model and Buyer’s Black Box
37
Faktor interpersonal yang berasal dari lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu dorongan dari pasar dan lingkungan. Dorongan dari pasar meliputi rangkaian marketing mix (4P), product, price, place, promotion. Dorongan dari lingkungan meliputi faktor ekonomi, teknologi, politik, budaya, demografis dan alam. Perbedaan kedua faktor ini adalah dorongan pasar merupakan rangsang yang dibentuk oleh pemasar sementara dorongan lingkungan adalah tidak dapat diprediksi dan dibentuk pemasar. Buyer’s black box merupakan faktor dalam benak calon konsumen yang terbagi menjadi dua, yaitu: karakter pembeli dan proses pengambilan keputusan. Karakter pembeli meliputi sikap, motivasi, persepsi, kepribadian, gaya hidup dan pengetahuan. Hal ini berada dalam diri dan hanya konsumen sendiri yang dapat memahaminya. Decision process merupakan proses dengan lima tahap yaitu: problem recognition, information search, evaluation of alternatives, purchase decision dan post-purchase behavior.” Problem recognition adalah tahap mengenali masalah. Information search dilakukan untuk memberikan alternatif solusi masalah, yang dapat dilakukan secara internal atau eksternal. Internal dilakukan dengan menggunakan ingatan dan nalar, eksternal membutuhkan informasi dari luar diri. Evaluation of alternatives merupakan tahap 37
Ibid. hal. 240.
19
mempertimbangkan alternatif yang ditemukan untuk dipilih sesuai dengan kebutuhan. Purchase decision, tahap calon konsumen menentukan detil sebelum pembelian, termasuk model, kemasan, rasa dan cara pembelian. Terakhir, post-purchase evaluation, tahap ini menentukan kepuasan konsumen pada produk, dan kelanjutan hubungan konsumen dengan produk. Proses yang berlangsung tidak selalu sesuai dengan konsep, karena terdapat beragam faktor yang mungkin memengaruhi perilaku, seperti kondisi dan situasi diri, usia, pendapatan, pendidikan. Selain itu seseorang dengan usia dan pendapatan yang sama juga belum tentu memiliki sikap yang sama, karena terdapat pengaruh dalam faktor psikologis yang berbeda pada setiap individu.38 Keempat faktor tersebut adalah culture, social, personal dan psychological.
Gambar 1.1 Proses yang Terjadi dalam Consumer Behavior
39
Tahap awal konsumsi adalah proses eksternal saat konsumen mengenali masalah atau menerima mendapatkan rangsangan dari luar. Penentuan alternatif solusi masalah yang dilakukan audiens dipengaruhi faktor budaya,
kelas
sosial,
keluarga
dan
38
situasi.
Alternatif
juga
akan
Swarna Bakshi. 2012. Impact of Gender on Consumer Purchase Behaviour. Dalam Abhinav National Monthly Refereed Journal Of Research In Commerce & Management Vol. 1 No.3 September 2012. Terarsip dalam: http://www.abhinavjournal.com/images/Commerce_&_Management/Sep12/1.pdf. Hal. 6. 39 Ibid. hal. 2.
20
dipertimbangkan dan disesuaikan dengan kemampuan, motivasi, pengetahuan, sikap, kepribadian, nilai dan gaya hidup. Pengaruh lain dalam diri juga sangat besar, salah satunya jenis kelamin. Kecederungan konsumsi pada laki-laki berbeda dengan perempuan, terutama dari sisi kebutuhan, psikologis, motivasi, sikap. Perilaku laki-laki dan perempuan didasari oleh pengaruh gender yang menyebabkan mereka menjadi berbeda dari waktu ke waktu.40 Perubahan kondisi sosial juga mendorong laki-laki berubah sampai akhirnya muncul metroseksual sebagai evolusi laki-laki tradisional. Tungate menyebutkan, “In a consumerist world, heterosexual men had no future. So they were replaced by the metrosexual.”41 Mereka melakukan kegiatan yang dulu tidak dilakukan, seperti merawat diri dan belanja. “Males and females want different products and they are likely to have different ways of liking and obtaining these. Gender has an important role in consumer behaviours. Because, the differences between men and women about expectation, want, need, life-style etc. reflect to their consumption behaviours.”42
Terdapat perbedaan dalam perilaku konsumsi antara laki-laki dan perempuan, perbedaan ini mengakar kepada budaya, nilai yang ditanamkan sejak kecil, serta pengaruh pandangan terhadap gender. Kecenderungan mereka juga bergantung kepada kondisi psikologi, motif, sikap, gaya hidup. Perbedaan konsumen laki-laki dan perempuan dapat dilihat dengan membandingkan proses pengambilan keputusan. Dimulai dari tahap pengambilan keputusan, dimana laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam pendekatan dan penyelesaian masalah. Perempuan lebih khawatir akan bagaimana masalah diselesaikan daripada menyelesaikan masalah. Sementara laki-laki kecenderungan menyelesaikan masalah tanpa perasaan. Bagi laki-laki penyelesaian masalah adalah saat untuk menunjukan kompetensi diri. Hal ini berkaitan dengan bagaimana budaya membentuk karakter feminin dan 40
Bakshi. Op.Cit. hal. 4. Tungate, Mark. 2008. Branded Male: Marketing to Men. London: Kogan Page. Hal. 2. 42 Bakshi. Op.Cit. hal. 4. 41
21
maskulin. Perbedaan jenis kelamin membedakan perilaku, pola pikir. laki-laki cenderung logis, analisis, selektif dan fokus kepada kebutuhan. Sementara perempuan subjektif, emosional dan intuitif. Perempuan meminta bantuan opini orang lain untuk membuat keputusan, sementara laki-laki menggunakan opini orang lain untuk menguatkan keputusannya.43
Gambar 1.2 Perbandingan Jenis Kelamin dalam Consumer Behaviour
44
Gambar di atas menunjukan perbandingan perilaku konsumen antara perempuan dan laki-laki. Masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda, dimana perempuan mementingkan diskon dan harga murah walaupun belum tentu sebanding dengan kualitas, sementara laki-laki lebih memilih produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan daripada yang diskon. Bagi perempuan dan metroseksual, berbelanja atau shop adalah bentuk pemenuhan kepuasan diri, bukan sekedar membeli atau buy. Karena keduanya menilai bahwa faktor emosional masuk ke dalam pertimbangan. Kartajaya dkk menyebutkan bahwa dalam pemasaran produk kepada metroseksual, konteks
43 44
Ibid. hal. 5. Ibid. hal. 7.
22
pemasaran
juga
harus
diperhatikan.45
Metroseksual
memperhatikan
kenyamanan, keramahan, pelayanan dan hal intangible lain pada tahap proses keputusan pembelian, bukan hanya spesifikasi produk. Perubahan perilaku belanja pada laki-laki terjadi karena beberapa alasan, pertama sebagai bentuk partisipasi untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Kedua, tuntutan perkerjaan yang memaksa laki-laki untuk menjaga penampilan, berpakaian rapi, dan membuat mereka harus berbelanja. Ketiga, dorongan media dan budaya populer dalam membentuk gaya hidup. Dalam proses konsumsi yang dilalui, akan terlihat celah atau ceruk tertentu yang menunjukan mengenai pengaruh dan signifikansi penggunaan media. Karakter atau perilaku belanja yang dilakukan oleh laki-laki metroseksual tentu tidak lepas dari penggunaan media yang dilakukan.
4. Media Sebagai Penunjang Gaya Hidup Dalam era modern dengan teknologi sebagai bagian dari masyarakat, proses penyebaran informasi telah banyak dibantu melalui media. Dengan pergerakan sosial yang ada saat ini, informasi merupakan sebuah kebutuhan yang menjadi kebutuhan. Untuk memenuhi hal itu dalam lingkungan masyarakat sendiri, media sudah selalu digunakan sebagai sarana utama yang memiliki fungsi untuk menyampaikan dan menerima informasi. Kemudahan penggunaan dan akses yang dapat dilakukan saat ini membuat media menjadi bagian yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Melalui media masyarakat menerima informasi, dan melalui media juga mereka menerima berbagai pengaruh dalam membangun pandangan kepada berbagai hal, seperti kejadian, berita atau fenomena tertentu dalam kehidupan nyata. Dalam Sering kali teks yang ditampilkan dalam media memiliki tujuan untuk membangun dan memengaruhi pandangan tentang
45
Kartajaya. Op.Cit. hal. 302.
23
suatu hal.46 Hal ini berkaitan dengan pengaruh kepentingan yang dimiliki setiap pelaku pengguna media. Terlepas dari hal tersebut, ragam teknologi informasi dan media saat ini yang beragam bentuknya memberikan kemudahan bagi audiens untuk memenuhi informasi, sesuai dengan kebutuhannya dalam menunjang gaya hidup. hal ini berhubungan dengan variasi kebutuhan setiap orang yang juga berbeda-beda. Perbedaan ini terbentuk melalui berbagai faktor yang telah disebutkan sebelumnya, termasuk diantaranya latar belakang, kebutuhan, situasi, motivasi dan lain sebagainya. Sebagai laki-laki metroseksual, perhatian mereka akan banyak terarah kepada informasi yang mampu membantu mereka memperbaiki penampilan yang dapat meningkatkan rasa percaya diri. Hal ini membuat mereka tertarik kepada berbagai jenis informasi terkait dengan fashion, gaya atau berbagai trend baru. Maka dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh lakilaki metroseksual adalah sama, yaitu menemukan dan mendapatkan informasi yang dapat berkontribusi dalam penampilannya. Dengan motivasi yang ada mereka akan berusaha untuk menemukan informasi yang paling tepat memenuhi kebutuhannya. Adanya
kebutuhan
yang
harus
dipenuhi,
membuat
laki-laki
metroseksual menggunakan media. Walaupun dengan tujuan yang sama-sama, ternyata tidak semua laki-laki metroseksual akan memiliki kecenderungan penggunaan
media
yang
sama.
Sama
halnya
dengan
kebutuhan,
kecenderungan penggunaan media juga banyak menerima pengaruh dari latar belakang diri dari pengguna media itu sendiri, referensi dan pengetahuan yang ia miliki, dan ditambah lagi dengan motivasi, situasi dan berbagai hal disekitar audiens tersebut. Dalam kehidupan saat ini dimana informasi dan teknologi terus berkembang beragam jenis media dapat digunakan. Media yang lebih umum digunakan oleh semua orang sebagai sumber informasi biasa dikenal dengan 46
Graeme Burton. 2004. Media and Society: Critical Perspectives. Berkshire: Open University Press. hal. 47.
24
media massa, yang termasuk media massa adalah surat kabar, radio, televisi dan media konvensional lain. Ciri khas dari media massa tersebut adalah terdapat batasan antara produsen dan konsumen pesan, pengguna media tidak memiliki akses untuk berkontribusi ke dalam informasi yang dibuat. Hal ini terus berlangsung paling tidak sampai sebelum kemunculan internet. Keberadaan media baru yaitu internet membuat alur informasi yang terbentuk menjadi berbeda dengan yang sebelumnyaInformasi melalui internet juga dapat disampaikan dalam bentuk beragam berupa audio, visual maupun audio visual. Sumber informasi di dunia maya juga beragam, tidak hanya dari situs resmi, namun juga berasal dari pengguna lain atau user generated content.
Jenis
informasi
ini
memungkinkan
pengguna
membentuk,
memodifikasi dan membagi teks kepada orang lain dalam lingkungan virtualnya. . Kemudahan akses dan sistem tatap muka yang dimiliki internet seolah menghilangkan batasan antara produsen dan konsumen informasi. Fitur interaktivitas yang ada dalam internet membuat penggunanya dapat terlibat dalam proses produksi dan reproduksi pesan. Perkembangan bentuk media ini nantinya akan memiliki pengaruh besar kepada efek media yang mungkin akan ditimbulkan. Dalam perkembangan informasi mengenai gaya hidup sendiri terdapat istilah yang dikenal dengan lifestyle media atau media gaya hidup. “Lifestyle media can be understood as guides to what and how to consume, and select from, a vast array not only of goods but also of services and experiences.”47 Media gaya hidup digunakan sebagai sumber informasi spesifik mengenai gaya hidup tertentu yang informasinya dapat digunakan oleh audiens. Media dengan tema seperti ini memberikan informasi yang lebih spesifik yang telah disesuikan dan berkaitan dengan gaya hidup yang dituju. Media gaya hidup terdapat dalam berbagai bentuk, meliputi media massa seperti televisi, surat kabar, radio, majalah; dan media baru, dalam berbagai situs informasi, blogging maupun jejaring sosial. Teks gaya hidup yang ditampilkan sering kali berbicara tentang suatu hal yang berkaitan 47
Bell dan Hollows. Op.Cit. hal. 4.
25
dengan sebuah proses atau „know-how experience‟. Dalam media massa, teks media gaya hidup biasa ditampilkan dalam program hiburan, jurnalisme populer, talk show dan iklan. Dengan keberadaan beragam media dan teks yang tersedia audiens seolah menjadi terdorong untuk secara aktif terlibat dalam proses pemilihan media untuk dikonsumsi. Pemilihan ini memberikan keleluasaan bagi audiens untuk memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini merupakan ciri atau karakter awal yang menjelaskan karakter audiens aktif. Selain pemilihan media dan informasi, partisipasi audiens juga dapat dilihat dalam proses reproduksi pesan yang dapat dilakukan dengan bantuan internet. Dalam hal yang dilakukan oleh audiens aktif faktor dari diri, seperti latar belakang diri, termasuk lingkungan keluarga dan sosial, memberi pengaruh yang besar dalam preferensi media yang digunakan. Karena selain sebagai sumber informasi, media juga adalah sarana yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Faktor demografis dan geografis juga memengaruhi kecenderungan media use dan media habbit. Penggunaan media dapat membentuk kebiasaan dan pandangan yang juga memberi pengaruh terhadap preferensi seseorang. Oleh karena itu audiens dapat menentukan sendiri jenis media yang dianggap paling sesuai. Pemilihan bentuk media berkaitan dengan kebutuhan, motivasi, latar belakang, dorongan konsumsi dan lain sebagainya. Dinamika penggunaan media ini dijelaskan dalam teori penggunaan dan kepuasan (uses and gratification theory). Teori ini secara umum menjelaskan bahwa audiens memiliki kuasa dalam menentukan media yang digunakan, dan juga merupakan kritik akan teori media massa yang menyebutkan masyarakat adalah pasif dan korban dari pengaruh media massa.48 Uses and gratification theory adalah perpanjangan dari teori motif dan kebutuhan yang disampaikan oleh Abraham Maslow.
48
Richard West. Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and th Aplication 4 edition. Singapore: McGraw Hill. Hal. 393.
26
Maslow menjelaskan bahwa manusia akan berusaha untuk mengejar kepuasan dengan memenuhi kebutuhannya, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka mau melakukan memberikan waktu dan usaha. People are active in choosing and using particular media to satisfy specific needs. Dalam konteks teori penggunaan dan kepuasan, pemilihan media dan informasi audiens berada pada jangkauan kebebasan dalam menentukan informasi yang ingin dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Dalam pandangan teori ini, “the audience is active and its media use is goal oriented.49 Audiens yang aktif terlihat dari keterlibatan yang dilakukan dalam menentukan media dan informasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Aktivitas yang dilakukan audiens terkait dengan penentuan informasi dilakukan karena ada alasan, motif atau tujuan yang melandasi hal tersebut. Motif yang melandasi aksi ini ternyata juga muncul karena telah adanya harapan atau kepercayaan dari audiens yang menganggap bahwa media yang digunakan akan dapat memenuhi kebutuhan informasinya. Teori ini digunakan untuk memberikan gambaran dan menjelaskan dinamika pemilihan media yang dapat dilakukan audiens. Uses digunakan untuk menjelaskan mengenai motif, tujuan, harapan yang ingin dicapai audiens melalui penggunaan media. Hal ini tentu disesuaikan dengan kebutuhan audiens sendiri. Pemilihan media sebagai sumber informasi juga terkait dengan kepercayaan (beliefs) yang dimiliki audiens dalam menilai media yang akan digunakan. Beliefs menjadi salah satu dorongan audiens dalam menentukan pemilihan media yang dianggap dapat memenuhi motif. Motif yang mendasari penggunaan media harus dipenuhi guna mendapatkan kepuasan atau gratification. Dalam menentukan kepuasan yang diperoleh dari media terdapat alasan tertentu, karena ada nilai yang akan terpenuhi. Kemampuan media memberikan kebutuhan melalui media yang digunakan menjadi salah satu alasan diraihnya kepuasan. Terdapat berbagai jenis kepuasan yang mampu dipenuhi oleh media terdiri dari: cognitive, untuk informasi dan pengetahuan; affective, memenuhi kepuasan emosional atau 49
Ibid. hal. 397.
27
pengalaman menyenangkan; personal integrative, meningkatkan kredibilitas, percaya diri dan status; social integrative, meningkatkan hubungan keluarga, teman, kerabat; dan tension release, sebagai bentuk pelarian atau pengalihan.50 Dalam gratification juga terdapat nilai harapan yang akan dapat menentukan mengenai kepuasan yang akan dicapai oleh pengguna media dengan menjumlahkan kepercayaan mereka kepada apa yang mereka percaya dapat dipenuhi oleh media.51 Kecenderungan penggunaan dan pemilihan media yang berbeda pada setiap audiens akan membentuk pola-pola pemilihan media yang nantinya menuntun kepada paparan dan efek media yang juga berbeda. Efek media yang mungkin muncul terkait dengan penggunaan media audiens salah satunya kecenderungan konsumsi. Dalam studi mengenai audiens, setelah dapat menentukan sendiri pemilihan media, audiens aktif juga melakukan bentuk-bentuk pemaknaan dari pesan yang diterima. Audiens memiliki kuasa dalam membentuk makna akan pesan yang diterima sesuai dengan keinginan, atau dengan kata lain aktif secara semiotic saat berhadapan dengan informasi yang termediasi. Karena informasi yang disampaikan dalam media memiliki resiko memiliki makna yang akan menjadi bias. Dalam proses pemaknaan ini faktor internal dari audiens kembali memiliki andil pada proses ini, dimana latar belakang sosial budaya
menjadi
pembentuk
referensi
seseorang
dalam
membentuk
pemaknaan. Stuart Hall menjelaskan bahwa dalam resepsi terdapat proses encoding dan decoding yang terjadi, dimana audiens menerima informasi dan kemudian dapat memberikan pemaknaan terkait informasi tersebut.52 Dalam kemajuan teknologi seperti sekarang ini akses informasi sudah menjadi lebih mudah dilakukan. Keterlibatan audiens sudah tidak hanya terbatas kepada sekedar proses pencarian
informasi.
Internet
telah
meningkatkan skala partisipasi yang dapat dilakukan oleh pengguna media. Partisipasi yang dapat dilakukan melibatkan tiga bentuk aktivitas yang terkait 50
Ibid. hal. 398. Littlejohn. Op. Cit. hal. 979. 52 Ibid. Hal. 67. 51
28
dengan media, yaitu transmisi, konsultasi dan percakapan.53 Hal-hal tersebut merupakan aktivitas yang dilakukan oleh media sebagai produsen informasi. Dengan kata lain audiens tidak lagi terbatas berada pada posisi sebagai konsumsi media, namun juga dapat membuat dirinya berada dalam posisi sebagai produsen media. Terjadi transformasi pada posisi audiens yang apabila terus berlanjut dikhawatirkan akan menuju kepada kondisi lenyapnya posisi audiens. Berkaitan dengan penelitian ini, diketahui bahwa sudah pernah ada penelitian mengenai penggunaan media yang dilakukan sebelumnya salah satunya yang dilakukan di Finlandia. Penelitian tersebut membahas mengenai penggunaan media pada audiens televisi untuk melihat pengaruhnya dalam interaksi sosial.54 Penelitian ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Pertama, kedua penelitian samasama menggunakan metode etnografi untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan menyeluruh dari informan; kedua, penelitian sama-sama berfokus kepada penggunaan media dan pengaruh yang dapat ditimbulkan. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada objek penelitian dimana penelitian yang akan dilakukan ini lebih berfokus kepada individu dengan karakter spesifik yaitu laki-laki metroseksual. Media yang digunakan juga berbeda, serta efek yang ingin dilihat dalam kedua penelitian juga berbeda. Penelitian yang akan dilakukan ini berusaha melihat efek yang ditimbulkan terkait dengan konteks konsumsi, bukan kepada konteks interaksi sosial.
G. Kerangka Konsep Masyarakat Indonesia kebanyakan masih menganggap sosok laki-laki yang baik terdapat dalam citra maskulinitas tradisional. Hal ini membuat laki-laki metroseksual berada di posisi yang kurang nyaman, dianggap berbeda dan 53
Ibid. Hal. 68. Jukka Kortti. Tuuli Anna Mähönen. 2009. Reminiscing Television Media Ethnography, Oral History and Finnish Third Generation Media History. Dalam European Journal of Communication Vol 24(1): 49–67: Sage Publication. 54
29
dipandang sebelah mata. Sebagai bagian dari pergerakan dinamis manusia, metroseksual tetap menjadi salah satu pilihan gaya hidup. Melalui gaya hidup, identitas mulai dibangun dengan pemenuhan akan kriteria atau konsep tertentu.55 Hal itulah yang berusaha dipenuhi melalui tahapan dalam proses konsumsi. Konsumsi yang dilakukan dalam proses pemenuhan gaya hidup tidak hanya konsumsi produk, namun juga meliputi konsumsi informasi. Dengan latar belakang, motivasi, dan kebutuhan yang berbeda, maka usaha pemenuhan kebutuhan yang dilakukan juga akan berbeda, termasuk pemenuhan kebutuhan akan informasi. Dalam memenuhi kebutuhan informasi yang untuk menunjang gaya hidup dapat digunakan berbagai media, mulai dari surat kabar, televisi, berbagai situs internet, dan celoteh dalam jejaring sosial. Dengan media yang beragam dan informasi yang luas, audiens saat ini memiliki kecenderungan untuk terlibat aktif dalam penggunaan media dengan memilih dan menentukan sendiri informasi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam melihat fenomena ini peneliti menggunakan teori penggunaan dan kepuasan atau uses and gratification theory sebagai salah satu teori yang membicarakan mengenai penggunaan media oleh audiens. Teori penggunaan dan kepuasan menjelaskan bahwa audiens menentukan sendiri media yang ingin digunakan. Terdapat motif yang melandasi pemilihan media, motif tersebut berusaha dipenuhi untuk mendapatkan kepuasan sesuai dengan harapan pengguna media. Dalam menentukan pemilihan media terdapat kepercayaan atau harapan akan kemampuan media yang pernah diketahui sebelumnya sebagai alasan pemilihan media. Uses menjelaskan mengenai motif yang melandasi pemilihan media, smentara gratification menjelaskan pemenuhan akan motif yang ada. kesesuaian pemilihan media dengan kebutuhan. Dari informasi ini audiens mendapatkan referensi dan wawasan yang dapat menghasilkan efek tertentu, salah satunya memengaruhi perilaku konsumen. Pada tahapan dalam proses konsumsi, pengaruh dapat memengaruhi dan membentuk preferensi brand dan produk seseorang serta keputusan pembelian. Oleh karena itu
55
Bell dan Hollows. Op.Cit. Hal. 2.
30
partisipasi aktif audiens dalam menentukan media dan informasi menentukan kecenderungan perilaku konsumsinya. Partisipasi aktif yang dilakukan informan tidak berhenti pada pemilihan informasi. Langkah lanjutan yang dilakukan informan sebagai audiens aktif adalah adanya resepsi pesan di media, yang melibatkan proses encoding dan decoding. Resepsi adalah saat dimana audiens menentukan sendiri bentuk pemaknaan dari pesan yang ia dapatkan. Setelah dapat menentukan sendiri pemaknaan dalam media, audiens sebagai konsumen media bahkan sudah mulai dapat terlibat dalam proses produksi media. Hal ini mungkin dilakukan atas bantuan internet yang memudahkan proses dan akses komunikasi. Internet menjadi penerobos batasan yang ada diantara konsumen dan produsen pesan di media dan membuat pengguna media akan dapat menjadi bagian dari pihak produsen media. Langkah yang dapat dilakukan oleh media ini menunjukan adanya peningkatan partisipasi audiens untuk menjadi lebih aktif dalam proses komunikasi. Terdapat faktor latar belakang, segmentasi geografis dan demografis, serta kebutuhan yang menentukan kecenderungan akses informasi seseorang. Untuk memenuhi hal tersebut, audiens dapat menentukan sendiri media dan informasi yang diinginkan. Maka dinamika yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah hubungan laki-laki metroseksual sebagai audiens dengan media sebagai sarana untuk menunjang gaya hidup, yang sekaligus berkaitan dengan perilaku konsumsi. Dengan bantuan dan kemudahan yang diterima dari penggunaan media, audiens mulai menjadikan media sebagai unsur penting dalam kehidupannya. Banyaknya akses dan interaksi yang dilakukan melalui media memungkinkan untuk terjadinya efek media tertentu, salah satunya adalah ketergantungan akan fungsi media.
H. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yang melihat manusia sebagai individu secara utuh, yaitu Kualitatif. Bodgan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data 31
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.56 Dalam proses kehidupan, hal dasar terkait dengan latar belakang, konteks sosio-kultural dan lainnya memberikan pengaruh, termasuk pada gaya hidup laki-laki metroseksual. Oleh karena itu metode etnografi yang bersifat holistik dinilai dapat mencakup sebanyak mungkin wilayah kebudayaan atau subkebudayaan dan dapat memberi informasi yang dengan kebutuhan penelitian. Dengan pendekatan dan metode yang dipilih peneliti berharap dapat mendeskripsikan penggunaan media pada laki-laki metroseksual sebagai audiens untuk menunjang gaya hidup secara jelas dan rinci. Deskripsi secara rinci dibutuhkan untuk mengetahui secara mendalam mengenai alasan dan motif yang melandasi pemilihan langkah tersebut, maka latar belakang sosio-kultural dimana audiens menetap menjadi salah satu poin penting yang diperhitungkan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi atau pengamatan yang berguna untuk melihat secara langsung mengenai perilaku yang dilakukan secara jelas dan rinci. Selain pengamatan, peneliti juga melakukan wawancara mendalam untuk mengetahui pemikiran informan mengenai pemilihan media, penggunaan dan perannya dalam menunjang gaya hidup di kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan metode etnografi, seperti akses, posisi peneliti, hal-hal tersebut berpengaruh kepada proses pengambilan data yang otomatis juga akan memengaruhi data yang akan dihasilkan. Akses merupakan langkah yang dibutuhkan oleh peneliti untuk bisa masuk ke dalam setting dari kelompok yang akan diteliti.57 Dalam proses yang berlangsung, peneliti dan informan saling mulai memosisikan diri satu sama lain. Dalam penelitian etnografi, peneliti sering kali dicurigai seacara negatif dan dianggap mengganggu.58 Oleh karena itu terdapat penyesuaian yang dilakukan satu sama lain, terlebih terkait dengan tema yang dibahas dan juga perbedaan gender yang dikhawatirkan mengganggu proses perolehan data.
56
Robert Bogdan. Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods. New York: Sage Publications. Hal. 5. 57 Hammersley, Martyn. Paul Atkinson. 2007. Ethnography: Principles in Practice (Third Edition). New York: Routledge. Hal. 35. 58 Ibid. hal. 63.
32
1. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pengumpulan data yang dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu; a. Observasi-partisipan Cara ini merupakan teknik pengumpulan data paling umum digunakan dalam penelitian berkaitan dengan budaya, di mana peneliti terlibat langsung dalam fenomena. Metode ini memungkinkan periset mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi riil, dimana terdapat setting nyata yang tidak diatur secara sistematis.59 Kunci dari keberhasilan observasi-partisipan adalah kebebasan diri peneliti dari nilai yang dianut. Melalui pengamatan terdapat dua bentuk data yang akan dihasilkan, yaitu interaksi dan percakapan. Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan mengamati perilaku informan dalam motivasi pemilihan dan penggunaan media yang berguna untuk menunjang gaya hidup. Untuk mendapatkan data yang sesuai, peneliti akan berusaha untuk menjadi bagian dalam lingkungan sosial, dan bergabung sebagai „teman‟ dalam media sosial milik informan. Peneliti melakukan observasi dengan memerhatikan sikap, perilaku, serta gerak-gerik yang dilakukan sehari-hari. Observasi terutama dilakukan kepada pemilihan media yang digunakan dan jenis-jenis informasi yang dicari, kebiasaan bermedia, terutama terkait dengan konteks gaya hidup dan penampilan. Observasi dilakukan saat peneliti terlibat dalam kegiatan harian tertentu yang dilakukan bersama dengan informan, seperti saat pergi ke pusat perbelanjaan, mengisi waktu luang, makan siang, pergi ke pusat kebugaran dan kegiatan lainnya. Tentu observasi berusaha dilakukan secara natural sebagai usaha mendapatkan informasi yang paling nyata.
b. Wawancara mendalam Wawancara mendalam memberikan kontribusi informasi mengenai objek penelitian dalam konteks budaya yang luas, termasuk informasi penting 59
Krisyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Grup. Hal. 110.
33
yang berhubungan dengan kelompok, sejarah, dan berbagai konteks komunitas lain. Selain itu wawancara mendalam bersifat fleksibel dan memiliki validitas data yang akurat. Kualitas data yang diperoleh bergantung kepada cara peneliti mengembangkan pertanyaan penelitian. Peneliti dapat menemukan ide, pikiran, opini, sikap dan motivasi informan melalui wawancara. Teknik pengumpulan data ini membutuhkan iklim wawancara yang kondusif, yaitu dengan membangun keakraban antara peneliti dengan informan. Untuk membangun keakraban dengan informan, peneliti berusaha membangun perbincangan mengenai tema-tema umum untuk megetahui kecenderungan tema obrolan yang lebih disukai informan. Dari situ informan mulai tertarik untuk membuka perbincangan lebih lanjut. Sifat wawancara akan dibuat santai seperti mengobrol, agar informan merasa nyaman dan bersedia memberi jawaban lengkap, mendalam, dan tanpa ada yang disembunyikan. Wawancara mendalam dilakukan berulang-ulang secara intensif untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam melakukan wawancara, informan berusaha untuk dibuat nyaman karena dapat memengaruhi penyampaian data. Oleh kerena itu pemilihan waktu yang tepat menjadi pertimbangan utama, peneliti berusaha menyesuaikan jadwal dengan kegiatan informan. Selain itu tempat dan pemilihan lokasi juga memegang peranan penting dalam membentuk perasaan nyaman pada informan. Maka untuk pemilihan lokasi peneliti memberikan kesempatan pada informan untuk menentukan pilihan tempat yang dia merasa nyaman, atau dilakukan diskusi terlebih dahulu sebagai bentuk penawaran agar informan tidak merasa terganggu atau terpaksa. Kebanyakan lokasi yang dipilih untuk proses penelitian adalah kafe atau restoran, seperti di Lokal Resto di daerah Gejayan, Parsley yang berada di Jalan Kaliurang, sampai dengan tempat makan seperti Warung SS. Alasannya adalah karena suasana yang dibangun menjadi lebih santai, ditambah lagi dengan makanan yang tesedia proses bercerita menjadi terasa lebih ringan dan mudah. Namun tidak setiap saat wawancara dilaksanakan di kafe atau tempat, karena setiap ada kesempatan yang memungkinkan untuk melakukan 34
wawancara peneliti akan melakukannya, seperti saat di kampus. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi atau jawaban-jawaban ringan terkait keseharian informan yang bisa jadi dibutuhkan oleh peneliti. Dalam teknik wawancara data yang diperoleh dapat direkam, untuk mempermudah analisis. Wawacara memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengetahui aktivitas yang telah dilakukan (past activities) yang tidak dapat diketahui melalui observasi. Pertanyaan wawancara melingkupi pertanyaan mengenai kecenderungan perilaku bermedia, latar belakang sosial budaya yang dapat mempengaruhi preferensi terhadap media dan teks.
2. Teknik Penentuan Informan Terdapat kualifikasi atau kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih informan bagi penelitian ini. Dengan metode etnografi, dapat dipastikan bahwa informan yang terlibat telah ditentukan. Kualifikasi yang digunakan dalam menentukan informan didasarkan pada kriteria berikut: a. Informan berdomisili di Yogyakarta. b. Informan sudah memiliki kepedulian terhadap penampilan paling tidak selama setahun. Metroseksual dapat dianggap sebagai bagian dari gaya hidup apabila telah dilakukan dalam periode waktu tertentu. c. Informan aktif menggunakan media, baik media massa atau media baru. Kriteria ini berguna untuk mengetahui penggunaan media sebagai penunjang gaya hidup dan konsumsi. Berdasarkan kriteria ini, ditentukanlah tiga orang informan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan penelitian, yaitu Fian, Aldi dan Roy. Ketiga informan memenuhi kriteria dengan cara yang berbeda, ciri spesifik ini yang menjadi pembentuk variasi hasil dan data penelitian. Fian menunjukan manifestasi metroseksual melalui penampilan, terutama pemilihan pakaian. Kepedulian akan penampilan dilakukannya terkait dengan kebutuhan akan pekerjaannya sebagai penyiar dan brand ambassador pusat kecantikan di Yogyakarta. Aldi dipilih karena manifestasi metroseksual melalui bentuk tubuhnya. Terdapat perubahan ekstrim yang 35
terjadi padanya terkait dengan penampilannya, yang dimulai dari sangat tidak peduli dan kemudian berubah hingga menjadi seperti sekarang ini. Selain itu juga kebersamaan bersama kekasihnya menjadi pendorong perilaku peduli penampilan ini. Sementara Roy menunjukan manifestasi akan penampilan melalui pakaian dan aksesoris detil lain. Kecenderungan seksual yang berbeda menjadi pendorong motivasinya peduli kepada penampilan. Latar belakang dirinya yang dibesarkan dalam budaya dan agama islam yang kental, membentuk dinamika yang menarik untuk diperhatikan. Untuk mendapatkan informasi dan data sesuai dengan kebutuhan, peneliti
membutuhkan durasi
yang tidak
singkat.
Pengamatan
dan
pengumpulan data dilakukan selama paling tidak selama enam bulan, mulai dari Mei sampai dengan November. Pengamatan terus dilakukan bahkan saat informasi sudah mulai diolah dan dianalisis, hal tersebut dilakukan agar penelitian tetap memiliki informasi terbaru terkait perilaku informan. Terkait dengan pengamatan dan wawancara mendalam, tidak ada waktu pasti yang ditentukan oleh peneliti. Pemilihan waktu disesuaikan dengan jadwal yang dimiliki informan, termasuk pemilihan lokasi seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan fleksibilitas ini sangat mungkin peneliti menemui informan sampai beberapa kali dalam seminggu, atau bahkan tidak bertemu sama sekali dalam jangka waktu beberapa bulan. Dalam penelitian etnografi, penting untuk memberikan perhatian kepada posisi peneliti dengan informan penelitiannya. Posisi peneliti berkaitan dengan kecenderungan seseorang dalam membuka diri dan memberi informasi yang lebih akurat, yang juga secara langsung berhubungan dengan kualitas data yang akan diperoleh. Dalam proses pendekatan dengan informan, relasi pertemanan yang sudah ada sebelumnya antara peneliti dengan informan Aldi dan Roy memudahkan peneliti dalam usaha masuk ke dalam lingkaran pertemanan informan. Informan lain dalam penelitian ini yaitu Fian, merupakan kenalan dari teman informan dan bukan merupakan orang yang telah memiliki hubungan dengan peneliti. Hal ini dikhawatirkan menjadi hambatan, namun 36
ternyata perkenalan yang dilakukan dengan bantuan teman peneliti dan juga sikap terbuka yang dimiliki Fian telah memudahkan akses diperoleh. Harus tetap diakui bahwa pada periode awal penelitian, informan mengalami sedikit kesulitan untuk menjadi terbuka secara keseluruhan dalam menyampaikan informasi tentang tema penelitian, terutama apabila dianggap berkaitan dengan hal pribadi. Namun seiring berjalannya waktu informasi diberikan dengan lebih santai dan terbuka. Dibutuhkan tema-tema perbincangan yang dinilai menarik oleh informan untuk membuat mereka mulai merasa nyaman dan lebih nyaman untuk mulai terbuka. Kemudahan proses bercerita antara informan dengan peneliti juga terkait dengan posisi peneliti dengan informan, dalam hal ini posisi berhubungan dengan gender, kelas sosial yang dimiliki masing-masing, etnisitas, latar belakang dan lain sebagainya. Perbedaan gender antara peneliti dan informan menjadi hal utama yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Hal ini memang menjadi isu di awal penelitian, namun dengan seiring berjalannya waktu proses komunikasi dan interaksi menjadi lebih baik. Informasi diberikan sesuai dengan kebutuhan, walaupun pembicaraan yang terbentuk tentu akan berbeda dengan saat berbicara dengan sesama laki-laki. Mengenai masalah kelas sosial, antara peneliti dan informan kelihatan menunjukan kesamaan kelas yang berada pada posisi mengenah ke atas. Tidak ada masalah yang muncul terkait masalah kelas tersebut. Terkait dengan etnisitas, ketiga informan dan peneliti memiliki latar belakang etnis jawa. Latar belakang ini memudahkan bentuk komunikasi antara informan dan peneliti karena terdapat kesamaan bentuk interaksi dan cara-cara umum berperilaku. Setting penelitian di Yogyakarta juga mendukung latar budaya Jawa dari masing-masing individu yang terlibat dalam penelitian untuk menjadi lebih nyaman dalam bercerita.
3. Teknik Analisis Data Riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) 37
menuju hal-hal yang umum (tataran konsep).60 Dalam penelitian kualitatif data yang
telah
berhasil
dikumpulkan
melalui
berbagai
teknik
harus
diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu untuk mempermudah analisis. Klasifikasi data ini harus mempertimbangkan validitas data, kompetensi subjek penelitian, autentisitas dan triangulasi sumber data. Klasifikasi data dalam penelitian ini didasarkan kepada teknik komparatif konstan Glasser dan Strauss, Lincoln dan Guba.61 Tahapan analisis dimulai dengan menempatkan data ke dalam kategori yang dapat diperbandingkan satu sama lain. Kemudian memperluas kategori sehingga didapat kategori data yang murni dan tidak tumpang tindih. Pada tahap ini peneliti menulis proposisi yang dapat mendeskripsikan makna dari kategori, setelah itu mencari hubungan antar kategori. Terakhir, menyederhanakan dan mengintegrasikan data ke dalam struktur teoretid yang koheren (bertalian secara logis). Penyajian dan pengategorian data penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapatkan data yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini data yang terkumpul dibagi menjadi dua kategori besar yang dapat diperbandingkan, yaitu terkait dengan penggunaan media pada laki-laki metroseksual dan perilaku konsumsinya. Kedua kategori tersebut memiliki kaitan, namun menunjukan bentuk data masing-masing yang berbeda, sehingga dapat dibandingkan. Untuk menghindari informasi yang tumpang tindih, maka pengategorian data diperluas untuk memberi ruang kepada peneliti dalam menjelaskan proses-proses yang dilalui informan untuk mencapai proses perilaku metroseksual seperti saat ini. Terkait dengan analisis data dan pembahasan, peneliti akan menjelaskan mengenai hubungan dan pertalian antara metroseksualitas dengan kecederungan penggunaan media, selain itu juga menemukan pengaruh penggunaan media kepada perilaku yang berkaitan dengan konsumsi.
60 61
Ibid. hal. 194. Ibid. hal. 196.
38