BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945,1 dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi juga penelantaran. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya dan agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.2 Anak adalah harapan bangsa dimasa mendatang, hak-hak yang harus diperoleh anak terhadap orang tuanya sejak anak dilahirkan didunia yang berdasarkan
hukum
dan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and 1
Penjelasan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, Ketentuan Umum. 2 Mohammad Taufik Makarao., Weny Bukarno, Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 11
Universitas Sumatera Utara
freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.3 Upaya perlindungan hukum terhadap anak telah lama dibicarakan baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Pembicaraan mengenai masalah anak ini tidak akan pernah berhenti karena disamping merupakan masalah universal juga karena di dunia ini akan selalu dihiasi oleh anak-anak. Anak sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa memiliki hak asasi sebagaimana manusia lainnya, sehingga tidak ada manusia ataupun pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.4 Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius terhadap anak, sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah karunia Tuhan yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing anak menjadi pribadi yang mengagumkan. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, perhatian terhadap anak seringkali terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau sebelah mata karena yang dihadapi hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya, perhatian terhadap anak sejak dini sangat mempengaruhi masa depannya kelak. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
3 4
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung : Mandar Maju,2009), hlm. 1 Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara seimbang. Anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara dimasa mendatang. Agar kelak anak mampu memikul tanggung jawab itu, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Anak perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Seperti tertulis dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.5 “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyebutkan :6 Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi b. Ekspoitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran d. Kekejaman, kekrasan dan penganiayaan e. Ketidakadilan, dan f. Perlakuan salah lainnya Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak, melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, seharusnya secara hukum negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik sosial, politik, budaya dan ekonomi.7
5 6
Lihat Pasal 4 Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lihat Pasal 13 ayat (1) Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak 7
Hardius Usman dan Nachorowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia : Kondisi, Determinan dan Eksploitasi, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun social dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, malah seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak. 8 Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak 8
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 117
Universitas Sumatera Utara
mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.9 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.10 Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga, hal ini akibat dari orang tua yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Orang tua kerap sekali tidak mempedulikan keselamatan anaknya. Kebanyakan orang tua di kota-kota besar tidak mengharapkan kehadiran anaknya kedunia. Kebanyakan orang tua menganggap bahwa anak yang dilahirkannya adalah aib bagi dirinya dan juga keluarganya. Kebanyakan orang tua yang tidak mengharapkan kehadiran anaknya tersebut malah membuang anak tersebut ketika si ibu baru saja melahirkan anaknya. Anak yang tidak memiliki dosa tersebut lahir kedunia ini bukan
9
Bismar Siregar, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Suwanti Sisworahardjo, Arif Gosita, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1986), hlm. 23. 10 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 222.
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan kasih sayang seperti anak-anak lainnya malahan anak tersebut mengalami penderitaan dan berjuang hidup tanpa kasih sayang orang tuanya. Kasus penelantaran anak yang terjadi bukanlah persoalan baru, hanya saja perhatian masyarakat, pemerintah, serta berbagai kalangan kurang peduli terhadap masalah ini. Bahkan penanganannya masih diskriminatif, baik dari perhatian pemerintah, lembaga hukum, dan pemberitaan media masa. Orang tua tidak sadar bahwa menelantarkan anak adalah sebuah tindak pidana melawan hukum. Pengaruh dan dampak yang paling terlihat jika anak mengalami penelantaran adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang. Penelantaran anak tidak hanya merugikan si anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya yaitu hukuman yang sesuai dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun penanganannya sangatlah kurang diperhatikan. Siti Juwariyah seorang pelaku tindak pidana penelantaran anak yang terjadi di Kota Surakarta. Siti Juwariah terbukti melakukan tindak pidana penelantarana anak yang dilakukan pada hari minggu tanggal 26 Juli 2015 yang bertempat di kebun milik saksi Nur Indriyati yang beralamat di Kp. Pucabsawit Rt.04 Rw.01, Kec.Jebres, Kota Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta.
Universitas Sumatera Utara
Terdakwa Siti Juwariyah terbukti membuang bayinya tersebut agar bayi terdakwa tersebut ditemukan orang dan terdakwa ingin melepaskan dirinya dari tanggung jawab. Terdakwa Siti Juwariyah terbukti melakukan penelantaran anak sesuai dengan Pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dibahas tentang “Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak Oleh Orang Tua (Studi Putusan Nomor : 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain : 1. Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap pengaturan tindak pidana penelantaran anak? 2. Bagaimana pertanggungjawaban hukum pidana terhadap tindak pidana penelantaran anak oleh orang tua ditinjau dari Putusan Nomor : 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain : 1. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana terhadap pengaturan tindak pidana penelantaran anak.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk
mengetahui
pertanggungjawaban
hukum
pidana
terhadap
pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penelantaran anak oleh orang tua ditinjau dari Putusan Nomor : 141/Pid.sus/2015/PN.Skt D. Manfaat Penulisan 1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai ketentuan sanksi pidana terhadap pengaturan tindak pidana penelantaran anak. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana penelantaran anak, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyrakat luas. 2. Secara parktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama penegak hukum dalam praktik pengambilan kebijakan khususnya dalam menangani tindak pidana penelantaran anak oleh orang tua. E. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul “ Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak Oleh Orang Tua (Studi Putusan Nomor : 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt).” Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakan dan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustaka Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah
Universitas Sumatera Utara
terbukti bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain. Penulis melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saat melakukan penelusuran penulis menemukan judul yang hampir sama yaitu : “PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF UNDANGUNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498/Pid.B/2014/PN-Rap) yang ditulis oleh Yogi Ar Chaniago/ 110200003. Rumusan masalah dalam skripsi tersebut adalah: 1. Bagaimana perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dari perspektif hukum nasional Indonesia? 2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak? Penulis skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik dengan perumusan masalah yang sama dengan penulis. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan
Universitas Sumatera Utara
pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Aspek larangan berbuat yang disertai dengan ancaman pidana disebut tindak pidana atau perbuatan pidana (berasal dari kata strafbar feit), yang juga sering disebut delik (berasal dari kata delict). Tindak pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk dilakukan dalam peraturan perundang-undanagn yang disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi, perbuatan (feit) adalah pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut.11 Perbuatan-perbuatan yang ditentukan yang dilarang pada garis besarnya ada dua golongan yakni, Pertama, perbuatan-perbuatan aktif/perbuatan positif yang sering juga disebut dengan perbuatan materil (materiil feit), Kedua, perbuatan-perbuatan pasif/perbuatan negatif. Perbuatan materiil adakalanya disebut dengan perbuatan jasmani ialah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan nyata dari tubuh atau bagain dari tubuh orang, misalnya memukul dengan gerakan tangan dan menyepak dengan gerakan kaki. Hukum pidana yang mengatur tentang itu disebut dengan tindak pidana positif atau tindak pidana aktif. Sementara itu, perbuatan pasif sesungguhnya berarti 11
Adam Chazawi., Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 4-5
Universitas Sumatera Utara
tidak melakukan perbuatan secara fisik, dimana hal tersebut justru melanggar suatu kewajiban hukum karena dituntut bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Seseorang dalam keadaan-keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu oleh undang-undang diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yang apabila kewajiban hukum untuk berbuat itu diabaikannya, misalnya perbuatan “membiarkan dalam keadaan sengsara” (Pasal 304), maka sebenarnya yang demikian itu telah berbuat pasif. Oleh karena itu, dia dijatuhi pidana.12 Tindak pidana juga disebut dengan strafbar feit. Tentang hukum pidana ini sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, atau tindak pidana, atau perbuatan pidana. Menurut Vos, pengertian dari istilah strafbar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan, jadi, suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.13 Menurut Pompe, pengertian strafbar feit dibedakannya ke dalam dua kelompok yakni:14 1) Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; dan 2) Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundangundangan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. Sejalan dengan pengertian yang di atas, J.E. Jonkers juga mengemukakan mengenai strafbar feit dengan membagi ke dalam dua kelompok yakni: 15
12 13
Ibid, hlm. 5 Bambang Poemomo., Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
hlm. 90. 14 15
Ibid, hlm. 91 Ibid. hlm. 91
Universitas Sumatera Utara
1) Defenisi pendek memberikan pengertian “strafbar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang; dan 2) Defenisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian “stragbar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Jalan pemikiran dalam pengertian pendek ini pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undangundang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain dari pada yang telah ditentukan undang-undang. Sedangkan dalam pengertian yang panjang tersebut di atas menitikberatkan pada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum. Elemen yang terdapat di dalam strafbar feit oleh Vos, telah ditunjuk pendapat dari Simons yang menyatakan, “suatu perbuatan feit adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh oarang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat dikatakan bahwa suatu strafbar feit mempunyai elemen “wederrechtelijkheid” (perbuatan melanggar hukum pidana) dan “schuld” (kesalahan).16
16
Ibid, hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam dua unsur yaitu : 17 a. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. b. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana adalah :18 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 306 KUHP. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana adalah :19 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; 3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :20 1. Subjek 17
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Adya Bakti, 1997), hlm. 193 18 Ibid., hlm 193-194 19 Ibid., hlm 194 20 Waludi, Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.211.
Universitas Sumatera Utara
2. Kesalahan 3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan) 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya). C.S.T Kansil menyatakan,Tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung 5 unsur yakni:21 1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging); 2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke omschrijving); 3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; 4. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; 5. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. 2. Pengertian Anak Secara umum dikatakan bahwa anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dan sorang laki-laki, terlepas anak itu dilahirkan di dalam ataupun di luar ikatan perkawinan. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum, atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dalam lingkungan hukum adalah sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk dan sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Menurut KUHP penngertian anak tidak ada dijelaskan secara tertulis tapi pengertian anak ada disebutkan secara tersirat yaitu dalam Pasal 293 ayat (1) ada disebutkan seseorang yang belum dewasa. Dan menurut R. Soesilo dalam KUHP
21
C.S.T.Kansil. op.cit., hlm. 276.
Universitas Sumatera Utara
yaitu dalam pasal 292 KUHP yaitu Dewasa adalah yang telah berumur 21 tahun atau belum umur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah kawin. Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia seutuhnya. Anaka adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi banhsa dan negara pada masa depan. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menurut Pasal 1 ayat (26) menyebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Menurut undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menurut pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupaun seseorang belum genap berusia 21 tahun, namun apabila dia sudah pernah kawin maka dia tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa.22
22
Abu Huraerah, Kekerasan terhadap Anak, (Bandung; Nuansa,2006), hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Nomor 36 Tahun 1990 menurut pasal 1 bagian 1 menentukan : seorang anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menurut Pasal 1 ayat (5) bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan.23 Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa sepan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban kita bersama, agar ia bias tumbuh berkembang dengan baik dan dapat menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini. Berdasarkan beberapa uraian mengenai perbedaan batas usia anak tersebut, maka dapat disimpulkan secara umum batas anak-anak adalah seseorang yang berusia maksimal 18 tahun dan belum pernah menikah. Persoalannya kematangan jiwa seseorang tidak hanya ditentukan oleh usia tetapi juga ditentukan oleh 23
Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo), hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
kematngan berpikir, sebagai contoh tidak sedikit orang yang usiannya dewasa tetapi bertingkahlaku seperti anak-anak. Begitu juga sebaliknuya oleh karena itu perlu adanya uji kejiwanan. 3. Pengertian Penelantaran Anak Penelantaran berasal berasal dari kata lantar yang memilki arti tidak terpelihara, terbengkalai, tidk terurus.24 Penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya.25 Penelantaran adalah adalah sebuah tindakan baik disengaja maupun tidak disengaja yang membiarkan anak tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan,
papan).
Penelantaran
terhadap
anak
tidak
mengenal
alasan
motivasi/intensi. Disengaja maupun tidak, jika ada anak dibiarkan tidak memperoleh makan, tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan pakaian yang layak untuk melindunginya dari berbagai penyakit dan bahaya, maka insiden ini dikatakan penelantaran dan akan dikenakan sanksi.26 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasa Dalam Rumah Tangga, berbunyi : Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. Padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikanb kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. 24 25
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 564 Muchsin, Dalam Varia Peradilan No. 303 edisi Pebruari 2011, (Jakarta: IKAHI,2011),
hlm. 18 26
Bagong Suyanto.Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana,2010), hlm 215
Universitas Sumatera Utara
Seorang anak dikatakan terlantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, terlantar disini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh kesahatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan, atau karena kesengajaan.27 4. Pengertian Orangtua Orang tua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu/ayah dapat diberikan untuk perempuan/pria yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak) dan ayah tiri (suami ibu biologis anak).28 Orang tua angkat adalah pria dan wanita yang menjadi ayah dan ibu seseorang berdasarkan adat atau hukum yang berlaku. Sedangkan pengertian orang tua asuh adalah orang yang membiayai (sekolah dan sebagainya) anak yang bukan anaknya sendiri atas dasar kemanuasiaan.29 Menurut Thamrin Nasution, orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu.Jika menurut Hurlock, orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam
27 28
Ibid., hlm 213 https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua diakses pada tanggal 6 Maret 2016 pukul 11.22
WIB 29
http://kbbi.web.id/orang diakses pada tanggal 6 Maret 2016 pukul 11.33 WIB
Universitas Sumatera Utara
masa perkembangan. Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing orang tua kerena setiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. G. Metode Penelitian Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe cara secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, yang akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian dapat ditinjau dari berbagai macam sudut, maka hasilnya adalah adanya bermacam-macam penelitian. Secara singkat, maka macam-macam penelitian tersebut mencakup:30 1. Dari sudut sifatnya yaitu meliputi penelitian eksploratoris atau penjelajahan, penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatoris. 2. Dari sudut bentuknya yaitu meliputi penelitian dianostik, penelitian preskriptif dan penelitian evaluatif. 3. Dari sudut tujuannya yaitu meliputi penelitian “fact-finding”, penelitian “problem-identification” dan penelitian “problem-solution”. 4. Dari sudut penerapannya yaitu meliputi penelitian murni/dasar/fundamentil, penelitian yang berfokuskan masalah, dan penelitian terapan/terpakai. Dari sudut tujuan penelitian hukum terdapat:31 1. Penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap azasazas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap
30 31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51-52 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
taraf sinkhronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. 2. Penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif32 yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 2. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian biasanya membedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilaku-perilakunya, data empiris) dan dari pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar. Sedangkan data yang diperoleh daru pustaka dinamakan data sekunder.33 Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 1 32 33
Ibid, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undangundnag, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sterusnya.34 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya. 35 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi.
34 35
Ibid, hlm. 52 Ibid
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya 36. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan: a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. H. Sistematika Penulisan Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian
36
Ibid, hlm. 69
Universitas Sumatera Utara
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II :
KETENTUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK Pada bagian pertama akan mengemukakan ketentuan sanksi pidana terhadap tindak pidana penelantaran anak ditinjau dari berbagai pengaturan perundang-undangan. Pada bagian kedua akan mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana penelantaran anak.
BAB III :
ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK OLEH ORANG TUA DITINJAU DARI PUTUSAN NOMOR : 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt Pada bagian pertama akan mengemukakan kasus posisi dari Putusan Nomor : 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt Pada bagian kedua akan mengemukakan analisis kasus dari Putusan Nomor : 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt.
BAB IV :
PENUTUP Pada Bab ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara