BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah dijelaskan bahwa negara Indonesia merupakan yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dari keterangan tersebut dapat diartikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang demokratis dan menjujung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Negara Indonesia juga menjamin hak asasi manusia di bidang hukum, yaitu dengan cara menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya dengan tidak ada pengecualiannya. Hukum merupakan suatu norma atau kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksud untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Memelihara keselarasan hidup di dalam masyarakat memerlukan berbagai macam aturan sebagai pedoman hubungan kepentingan perorangan maupun kepentingan dalam masyarakat. Akan tetapi tidak sedikit hubungan kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang berhubungan atau dalam lingkup hukum pidana.
1
2
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan tradisi oleh sebabnya Indonesia terdiri dari banyak suku. Salah satunya di Bali terdapat tradisi yang bernama tabuh rah. Tabuh Rah bermakna sebagai upacara ritual Bhuta Yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Oleh karena itu, dipandang dari filosofisnya, tabuh rah mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara dalam agama Hindu. 1 Terdapat juga suatu permainan sabungan ayam yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan tabuh rah yakni tajen (sabungan ayam). Tajen (sabungan ayam) pada umumnya dilakukan oleh kalangan laki-laki, baik orang tua, remaja bahkan belakangan ini anak-anak usia sekolah dasar pun sudah mulai menggeluti tajen ini. Tajen selalu dikaitkan dengan pelaksanaanpelaksanaan kegiatan upacara tabuh rah di Bali seolah-olah tajen ini dipandang sebagai pelengkap kegiatan upacara keagamaan (tabuh rah) tersebut oleh para pelaku Tajen itu sendiri. Tajen dilaksanakan di tempat-tempat terbuka yang lapang, di tempat itu para pelaku judi tajen membentuk sebuah Kalangan (semacam arena tempat perjudian berbentuk persegi empat yang terbuat dari bambu) yang berfungsi sebagai tempat ayam-ayam aduan yang nantinya akan diadu. Di tempat inilah masyarakat pecinta tajen berbaur dengan yang lainnya, pada umumnya di tempat Kalangan Tajen ini dipenuhi oleh para pedagang yang
1
. Ida Bagus Putu Purwita, 1978, Pengertian Tabuh Rah di Bali, Proyek Penyuluhan Agama / Brosur Keagamaan Provinsi Bali, Denpasar.
3
juga memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan hasil usahanya, selain itu banyak pula peluang-peluang berbisnis lainnya yang dapat dikembangkan di sini. Jaman ini, Negara Indonesia mengalami banyak perubahan dalam masyarakat, baik dari segi pola pikir, bersikap, atau bertingkah laku dan gaya, hidupnya berubah kearah yang modern. Meskipun begitu tata cara maupun pola hidup yang modern ini tidak selalu membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, sehingga manusi melakukan segala upaya untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya, salah satunya dengan judi. Perjudian merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial.2 Dengan demikian perjudian dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual. Karena perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah dengan tidak sewajarnya dan membentuk watak “pemalas”. Sedangkan pembangunan membutuhkan individu yang giat bekerja keras dan bermental kuat.3 Berdasarkan kondisi kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya kondisi masyarakat di Bali sekarang ini, banyak orang baik yang bekerja maupun tidak bekerja atau pengangguran, berkeinginan untuk mendapatkan uang dengan mudah dan cepat, mengingat semakin kompleks kebutuhan kehidupan masyarakat sekarang ini sehingga ikut bermain judi. Sarana yang digunakan berjudi pun banyak antara lain kartu, bola, adu ayam dan lainnya. Berkaitan dengan hal itu
2
. Saprinah Sadli, 1998, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, cet II, Penerbit Alumni, Bandung, h.148. 3
. B. Simanjuntak, 1980, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, h.352.
4
salah satu sarana yang digunakan untuk berjudi oleh para pelaku adalah sabungan ayam. Sabungan ayam yang dimaksud adalah tajen, dikarenakan dalam permainan tajen terdapat pengharapan yang muncul dari aduan yang dilakuikan oleh ayam tersebut. Banyak hal yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk memerangi perjudian, seperti : 1.
Dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian ;
2.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Selain itu, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah diatur dengan jelas mengenai perjudian, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 303 menyebutkan bahwa : “ (1). Dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah dihukum barangsiapa dengan tidak berhak : 1e. Menuntut pencaharian dengan dengan jalan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan main judi ; 2e. Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum, atau sengaja turut campur dalam perusahaan untuk itu, biarpun ada atau tidak ada perjanjiannya atau caranya apa jugapun untuk memakai kesempatan itu ; 3e. Turut main judi sebagai pencaharian. (2). Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya, dapat ia dipecat dari jabatannya itu. (3). Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasar untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung masuk main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka
5
yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lain-lain (K.U.H.P. 35, 37, 542)”. Dan Pasal 303 bis KUHP menyebutkan bahwa : “(1). Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah dihukum : 1. barang siapa mempergunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan melanggar peraturan pasal 303 ; 2. barang siapa turut main judi di jalan umum atau di dekat jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi oleh umum, kecuali kalau pembesar yang berkuasa telah memberi izin untuk mengadakan judi itu. (2). Jika pada waktunya melakukan pelanggaran itu belum lalu dua tahun, sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si tersalah lantaran salah satu pelanggaran ini, maka dapat dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyakbanyaknya lima belas juta rupiah”.
Dalam Pasal 303 KUHP ini, mengadakan atau memberi kesempatan main judi tersebut sebagai pencaharian. Jadi seorang bandar atau orang lain sebagai perusahaan membuka perjudian. Orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Disini tidak perlu perjudian dilakukan di tempat umum atau untuk umum, meskipun di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup sudah cukup, asal perjudian itu belum mendapat izin dari yang berwajib. Sengaja mengadakan atau memberikan kesempatan untuk main judi kepada umum. Disini tidak perlu sebagai pencaharian, tetapi harus ditempat umum atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Inipun apabila telah ada izin dari yang berwajib tidak dihukum. Sampai saat ini, persoalan judi sabungan ayam di Bali tetap menjadi sesuatu yang cukup dilematis karena selalu dikaitkan dengan tabuh rah yang merupakan bagian dalam upacara Yadnya dikarenakan dalam tabuh rah terdapat
6
aduan ayam yang mengharuskan adanya tetesan darah sehingga terkadang tabuh rah itu sendiri yang disalahgunakan sebagai judi oleh para pelaku judi. Perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang, maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi lain, tajen (sabungan ayam) yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi profan dari tabuh rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja dilestarikan. Sehingga diperlukannya kebijakan hukum baik dalam hal formulasi perundang-undangannya dan juga eksekusi yang merupakan upaya penegakan hukumnya yang mengatur tentang perjudian apabila terutama bersinggungan dengan acara keagamaan dan masyarakata adat, agar dalam proses kebijakan penegakan dan eksekusinya dapat berjalan dan berfungsi dengan baik sesuai yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-Undangan tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan judul “KEBIJAKAN DALAM
PENANGGULANGAN
TABUH RAH YANG DISALAHGUNAKAN SEBAGAI PERJUDIAN”. Pengambilan judul dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis kajian ini diharapkan mampu pengembangankan ilmu hukum khususnya bidang hukum pidana dan di masyarakat Bali. Secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam perkembangan melestarikan budaya yang benar agar berjalan selaras dengan hukum positif yang berlaku di masyarakat.
7
1.2.Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut; 1. Bilamana tabuh rah dapat dimasukan sebagai perjudian ? 2. Bagaimana upaya penanggulangan tabuh rah yang berubah menjadi perjudian sabungan ayam ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam mendekatkan permasalahan untuk menghindari pembahasan
menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas yaitu : 1. mencakup
uraian-uraian terhadap
pengertian
tabuh
rah
dan
perbedaannya dengan judi sambung ayam di Bali di lihat dari sudut pandang agama Hindu dan hukum positif di Indonesia; 2. mencakup upaya-upaya penegekan hukum yang dilakukan dalam menangani masalah tabuh rah
yang disalahgunakan sebagai
permainan judi.
1.4. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;
8
1.4.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk dapat memahami tentang kebijakan terhadap tradisi tabuh rah yang disalahgunakan sebagai permainan judi di Bali dalam Peraturan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan asas Legalitas. 1.4.2 Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang tabuh rah yang disalahgunakan sebagai permainan judi. 2. Untuk mengetahui upaya penegakan dan penanggulangan tabuh rah yang disalahgunakan sebagai permainan judi di Bali oleh aparat penegak hukum.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian di bidang hukum pidana. Sehingga, melalui penelitaian ini dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan di Bali yang menyangkut penyalahgunaan tabuh rah sebagai judi, khususnya mengenai kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana.
9
1.5.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dikalangan masyarakat akan perbedaan tabuh rah dan judi sabungan ayam. Dalam hal ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan terhadap penyalahgunaan upacara tabuh rah sebagai judi.
1.6. Kerangka Teoritis Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan skripsi ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep, landasan-landasan terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literature – literature yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori-teori yang berkenaan dengan pidana dan pemidanaan, dan juga teori-teori lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini yang membahas mengenai kebijakan dalam penanggulangan tindak pidana perjudian. Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran karena hukum tertulis tidak dapat dengan mudah untuk mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Para legislatif merupakan pembentuk hukum sehingga hukum tertulis yang ada dapat mengikuti perkembangan dan
10
kebutuhan masyarakat akan hukum. Dalam hukum pidana dikenal beberapa cara penafsiran hukum hukum yaitu; penafsiran tata bahasa / gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran logis, penafsiran sejarah atau historis, penafsiran teleologisch, penafsiran analogis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif, dan penafsiran redering a contrario.4 1.6.1 Teori Pemidanaan Pemidanaan pada dasarnya merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam Hukum Pidana beberapa teori penjatuhan pidana / strafrenrenchts theorien yang pada umumnya dibagi dalam 3 golongan teori yaitu; 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut Andi Hamzah, tujuan pembalasan (vergelding) disebut juga sebagai tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang – kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. 5 Dalam teori Absolut pemidanaan merupakan akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu bentuk pembalasan kepada orang yang telah
melakukan
kejahatan
karena
kejahatannya
yang
telah
4
. C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.104. 5
. Tolib Setiady, 2010, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h.53.
11
menimbulkan penderitaan bagi orang lain, maka penderitaan tersebut juga harus dibalaskan dengan penderitaan yang berupa pidana. Teori absolut tidak memandang pelaku kehajatan, akibat – akibat yang mungkin dapat ditimbulkankan ataupun kerugian yang mungkin dialami oleh masyarakat. Pokok dari teori ini terletak pada kesalahan pelaku. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan Menurut teori relative atau teori tujuan menyatakan pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat. Mengenai tujuan pidana terdapat beberapa pendapat yaitu : a. Tujuan pidana untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadi kejahatan ; b. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas pencegahan umum (general preventive) dan pencegahan khusus (special preventive).6 Pencegahan umum didasarkan pada pemikiran bahwa pidana itu dimaksudkan untuk mencegah setiap
orang
yang
akan
melakukan kejahatan.
Pencegahan khusus didasarkan pada pemikiran pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatan.
6
. Ibid, h.56.
12
3. Teori Gabungan Teori gabungan merupakan penggabungan dari teori absolut dan teori relatif. Teori ini pertama kali diajukan oleh Pellegrino Rossie, ia menganggap pembalasan sebagai suatu asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Jadi, dasar pembenaran pidana dari teori gabungan meliputi dasar pembenaran pidana dari teori absolut dan teori relatif. 1.6.2 Teori kebijakan criminal (criminal policy) Menurut Muladi, kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik criminal (criminal policy) adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakkan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau Negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. 7 Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat antara para ahli mengenai pengertian dari criminal policy. Menurut Sudarto terdapat tiga arti mengenai politik kriminal, yaitu: a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
7
. Ibid .
13
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menunjukkan norma-norma sentral dari masyarakat. 8 Mengenai sarana dalam pelaksanaan kebijakan kriminal, Hoefnagels mengatakan: “Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).9 Berdasarkan pendapat tersebut, maka upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu melalui penerapan hukum pidana atau sarana “penal” dan pencegahan tanpa pidana atau sarana “non-penal”. 1.6.3 Teori Efektivitas Hukum Penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu sudut subjek dan sudut objek. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan subyek yang terbatas. Arti secara luas,
8
. A. Widiada Gunakaya dan Petrus Irianto, 2012, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan: bentuk penerapan sarana non penal dan sarana penal pada pendidik dan peserta didik, Alfabeta, Bandung, ,h. 11. 9
. Ibid.
14
proses penegakan hukum itu melibatkabn semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Ini berarti, siapa saja yang menjalankan antara hukum yang berlaku, berarti dia telah menegakan hukum. Pengertian dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai aparatur penegak hukum tertentu untuk mejamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya meski dengan menggunakan daya paksa. Penegakan hukum bila ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Pengertiannya juga mencakup hal yang luas dan yang sempit. Pengertian dalam arti luas mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam artian formal maupun yang hidup dalam masyarakat. Pengertian dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal atau yang tertulis saja.10 Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, ada 5 hal yang mempengaruhi efektif atau tidaknya penegakan hukum, yaitu : 1.
Faktor hukum atau peraturan itu sendiri ( undang-undang ) Kemungkinannya adalah bahwa terjadinya ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan peraturan perundangundangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan dan seterusnya.
10
. Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4.
15
2. Faktor penegak hukum Yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Mentalitas petugas yang menegakan hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas masyarakat dan seterusnya. 3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Kalau hukumnya baik dan mentalitas orang yang bertugas menegakan hukum juga baik makanya hukum akan bekerja sesuai rencana.
4.
Faktor masyarakat Yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan. Faktor masyarakat disini adalah bagaimana keadaan masyarakat atau hukum yang ada.
5.
Faktor kebudayaan Yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Bagaimana hukum yang ada bisa masuk ke dalam dan menyatu dengan kebudayaan yang ada sehingga semuanya berjalan dengan baik.11
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan
11
. Ibid.
16
penelitian lapangan. 12 Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis dapat direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum. 13 Dalam penelitian hukum empiris ini objek yang akan diteliti yaitu upaya penegakan dan penanggulangan dalam tabuh rah yang disalahgunakan menjadi judi. Dalam hal ini permasalahan yang muncul adalah perlunya instrumen hukum guna membantu dalam penegakan judi yang berasal dari penyalahgunaan tabuh rah. 1.7.2. Jenis Pendekatan Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.
14
Selanjutnya
dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan kosep – konsep hukum yang ada. 1.7.3. Sifat Penelitian Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula di dalam penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
12
. Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15.
13
. Ibid, h. 16.
14
. Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302.
17
penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.15 Dalam penelitian ini teoriteori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur manapun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terlebih dahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai. Jadi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tabuh rah yang disalahgunakan menjadi judi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku guna memberi refrensi terhadap kebijakan hukum. 1.7.4. Data dan Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga sumber data primer, sumber data sekunder. 1) Sumber data primer Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang dalam perwujudannya berupa Undang-Undang Dasar, peraturan perundang-undangan, kovensi ketatanegaraan, putusan pengadilan, keputusan tata usaha negara dan hukum tidak tertulis yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian yang bersifat mengikat. Dan juga data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber dengan melakukan penelitian lapangan.16
15
. Ibid, h.9.
16
. Ibid, h.16.
18
2) Sumber data sekunder Sumber data sekunder yaitu bersumber dari penelitian kepustakaan. Termasuk dalam data sekunder meliputi buku-buku, buku-buku harian, surat-surat pribadi, dan dokumen resmi dari pemerintah. 17 Dokumen resmi dari pemerintah meliputi instrumen-instrumen hukum antara lain : 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ;
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian ;
3.
Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2013);
4.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981 tentang Pelakasanaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian;
5.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Gurbenur Kepala Daerah Tingkat I Bali dengan Kepala Kepolisian Nusa Tenggara Nomor : 20/KESRA.I/A/20/1981, Nomor POL. SKEP/08/II/1981, tentang pencabutan dan menyatakan tidak berlaku lagi Instruksi Bersama Gurbernur Kepala Daerah Tingkat I Bali ;
6.
Pangdak
XV
Bali
NOMOR.
Pem
348/I/C/69,
NOMOR.POL.13/I/1242/971/Res/69, tanggal 4 Oktober 1969, tentang pemberian ijin bagi penyelenggaraan sambungan ayam dalam rangka pembangunan.
17
. Ibid, h.14.
19
1.7.5. Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan data
dalam
penelitian
ini
adalah dengan
menggunakan Teknik Studi Dokumen. Teknik Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian serta bahan bacaan yang berkaitan dengan tabuh rah dan judi sabungan ayam. Dari hasil pengumpulan data tersebut baru kemudian akan dilakukan pengolahan dan analisis data. 1.7.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini digunakan Teknik Non Probability Sampling, karena dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili pupulasinya. Kemudian cara yang digunakan adalah Purposive Sampling yaitu dilakukan penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. 1.7.7 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data akan digunakan analisis kualitatif yaitu analisis yang diterapkan dalam hal data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun kedalam
20
struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.