BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan salah satu kajian utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah. Tinggi rendahnya jumlah pengangguran di suatu negara merefleksikan kinerja pembangunan dari pemerintah. Angka pengangguran yang tinggi mempunyai implikasi pada rendahnya kinerja pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, karena pengangguran tersebut kemungkinan akan meningkatkan probabilitas jumlah kemiskinan, kriminalitas, dan beberapa fenomena sosial lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu pengangguran merupakan bagian dari tujuan utama kebijakan ekonomi makro pemerintah dalam pembangunan. Auerbach et al (2010), Battaglini dan Coate (2011) dalam studinya menyatakan bahwa salah satu fungsi penting dari kebijakan fiskal adalah mengurangi tingkat pengangguran dan menjaga stabilisasi ekonomi. Kebijakan fiskal adalah bagian dari kebijakan ekonomi makro pemerintah yang berhubungan dengan pajak dan pengeluaran (Case dan Fair, 2002). Pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal, sehingga salah satu fungsi pentingnya adalah mengurangi tingkat pengangguran. Monacelli et al (2010), IMF (2010), Auerbach dan Gorodnichenko (2012), Ramey (2012), Bermperoglu et al (2013), serta Holden dan Sparrman (2014) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh dalam mengurangi pengangguran.
Pembelanjaan pemerintah (government purchases, G) dalam persamaan pendapatan nasional adalah pembelanjaan yang terdiri dari konsumsi pemerintah namun tidak termasuk pembayaran transfer (Mankiw, 2010). Sedangkan pengeluaran pemerintah (government spending or expenditure) terdiri dari pembelian pemerintah (government purchases) dan transfer. Bagian terbesar dari pembelian yang dilakukan pemerintah adalah belanja atau pengeluaran konsumsi yang menggunakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan rutin. Selain pengeluaran konsumsi, pembelian yang dilakukan pemerintah juga berbentuk investasi bruto. Investasi bruto pemerintah merupakan pengeluaran untuk kapital baru seperti jalan, peralatan, serta sarana dan prasarana. Program yang termasuk transfer
payment
diantaranya
adalah
jaminan
sosial
pensiun,
asuransi
pengangguran, dan subsidi tunai untuk keluarga berpenghasilan rendah (Hyman, 2005:10-11). Berdasarkan keterangan di atas maka pengeluaran pemerintah bisa dibedakan atas pengeluaran rutin yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi, dan pengeluaran rutin lainnya serta pengeluaran
modal
yang
menambah
modal
masyarakat
dalam
bentuk
pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu (Mangkoesoebroto, 2001; Depkeu RI, 2003). Menurut Heilbroner (1982) yang diperkuat oleh hasil penelitian Ferdinan (2011), serta Sun’an dan Astuti (2012) pengeluaran pemerintah merupakan salah satu cara untuk menggerakkan permintaan yang dapat memompa suatu perekonomian yang sedang tertekan dan memulihkan tingkat kesempatan kerja
yang tinggi sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran modal dan rutin mempunyai efek multiplier terhadap pendapatan. Meningkatnya pendapatan tersebut mendorong konsumsi dan tabungan serta tingkat permintaan secara keseluruhan, sehingga memberi rangsangan bagi produsen untuk menambah investasi atau memperluas kapasitas produksi, akibatnya akan tercipta kesempatan kerja baru bagi masyarakat yang pada akhirnya mengurangi jumlah pengangguran. Feldmann (2006, 2009) justru mengemukakan hasil yang berbeda yaitu peningkatan pengeluaran pemerintah menyebabkan tingkat pengangguran semakin bertambah. Hal ini terjadi karena pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak, kemudian pajak mempunyai efek subtitusi (substitution effect) terhadap pengangguran sehingga peningkatan pengeluaran pemerintah meningkatkan pengangguran. Jones (1985) dalam penelitiannya menyatakan pengeluaran rutin dalam bentuk subsidi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pengangguran pada masa krisis ekonomi, dimana jika subsidi dinaikkan maka tingkat pengangguran akan berkurang. Hal ini didukung oleh Karras (1993) yang menyatakan bahwa pengeluaran rutin mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengurangi jumlah pengangguran. Pendapat Jones dan Karras tersebut dibantah oleh Feldmann (2009). Hasil penelitian Feldmann (2009) menyatakan jika pengeluaran rutin pemerintah meningkat maka tingkat pengangguran juga meningkat. Penelitian Akinbobola dan Saibu (2004) di negara berkembang Nigeria menyatakan jika pengeluaran modal ditingkatkan maka jumlah pengangguran akan turun. Hal ini didukung oleh Hendarmin (2012) bahwa kenaikan pengeluaran
modal pemerintah akan meningkatkan kesempatan kerja sehingga jumlah pengangguran berkurang. Sebaliknya, Feldmann (2009) menyatakan kenaikan pengeluaran modal pemerintah justru tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengurangi tingkat pengangguran. Variabel pengeluaran rutin pada penelitian Feldmann tersebut terdiri konsumsi pemerintah, transfer dan subsidi, sedangkan pengeluaran modal terdiri dari pengeluaran untuk perusahaan pemerintah dan investasi. Penelitian-penelitian di atas melihat pengaruh kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran, dengan demikian kita bisa melihat bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah yaitu pengeluaran rutin dan modal terhadap tingkat pengangguran. Berdasarkan data dari Kemenkeu (2015) mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) diketahui data realisasi pengeluaran pemerintah di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2014 sebagai berikut: Gambar 1.1 Realisasi Pengeluaran Pemerintah di Indonesia Tahun 2004-2014 (Miliar Rupiah)
Sumber: Kemenkeu (2015).
Gambar 1.1 di atas mendeskripsikan nilai realisasi pengeluaran pemerintah secara umum mengalami kenaikan mulai dari 427.177 miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi 985.731 miliar rupiah tahun 2008. Tahun 2009 nilai realisasinya sempat mengalami penurunan, namun tahun berikutnya terus mengalami peningkatan dimana tahun 2014 menjadi 1.764.600 miliar. Data tersebut menjelaskan secara umum nilai pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan setiap tahun, kecuali tahun 2009. Sesuai dengan tujuan kebijakan makro yang diimplementasikan melalui kebijakan fiskal (pengeluaran pemerintah) yaitu mengurangi pengangguran untuk mencapai stabilitas ekonomi, maka diharapkan peningkatan nilai pengeluaran pemerintah tersebut dapat mengurangi pengangguran. Mengatasi pengangguran tidak hanya dilihat dari pengurangan jumlah pengangguran itu sendiri pada tiap tahun, namun pemerintah mengimplementasikan pada target tingkat pengangguran yang akan dicapai di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (selanjutnya disebut dengan RPJMN). Dengan demikian keberhasilan pengeluaran pemerintah dalam mengurangi pengangguran dapat dilihat dari pencapaian target tingkat pengangguran yang terdapat di RPJMN. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (selanjutnya disebut BPS) (2015) diketahui informasi mengenai pengangguran di Indonesia yang disajikan pada Tabel 1.1 di bawah ini:
Tabel 1.1 Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia BerdasarkanTingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2004-2014 (Jiwa)
Sumber: Badan Pusat Statitik (2015). Tabel 1.1 di atas mendeskripsikan mengenai pengangguran terbuka di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2014 yang dirangkum oleh BPS dari hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari tahun 2004 sampai 2014. Pengangguran terbuka terdiri dari angkatan kerja yang mencari pekerjaaan, mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan sudah mempunyai pekerjaan namun belum mulai bekerja. Dari Tabel 1.1 di atas terlihat bahwa secara umum adanya trend yang cenderung menurun dalam data jumlah pengangguran terbuka di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2014. Pada tahun 2004 menuju tahun 2005 sempat terjadi peningkatan dari 10.125.796 jiwa menjadi 11.156.821 jiwa. Namun pada tahun-tahun berikutnya jumlah pengangguran terbuka terus mengalami penurunan dimana pada tahun 2014 jumlahnya menjadi 7.244.905 jiwa. Jumlah pengangguran terbuka dalam periode 2004 sampai 2014 memang cenderung menurun, namun belum menggambarkan keberhasilan kinerja
pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk mereduksi jumlah pengangguran. Analisisnya dapat dilihat dari perbandingan antara data tingkat pengangguran dari tahun 2004 sampai 2014 dengan target pencapaian tingkat pengangguran terbuka pemerintah. Target tingkat pengangguran terbuka pemerintah yang dicantumkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN tahun 2004-2009 adalah menurunkan tingkat pengangguran dari 9,9 persen tahun 2004 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Sedangkan berdasarkan data dari BPS (2015) tingkat pengangguran terbuka selama periode RPJMN 2004-2009 adalah tahun 2004 sebesar 9,86 persen, tahun 2005 sebesar 11,24 persen, tahun 2006 sebesar 10,28 persen, tahun 2007 sebesar 9,11 persen, tahun 2008 sebesar 8,39 persen, tahun 2009 sebesar 7,87 persen. Analisis tersebut menyatakan pemerintah belum berhasil mencapai target tingkat pengangguran terbuka yang telah ditentukan. Target tingkat pengangguran terbuka tahun berikutnya dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN tahun 2010-2014 yaitu pada tingkat 5-6 persen. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan data dari BPS (2015) tahun 2010 adalah 7,14 persen, tahun 2011 dan 2012 turun menjadi 6,56 persen dan 6,14 persen. Tahun 2013 tingkat pengangguran terbuka mengalami sedikit kenaikan menjadi 6,17 persen, kemudian turun menjadi 5,94 persen tahun 2014. Angka ini masih tinggi dan belum mencapai target di RPJMN pemerintah di atas. Tabel 1.1 di atas mendeskripsikan proporsi pengangguran terbuka terdidik (di atas SLTA) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dengan demikian
dapat kita simpulkan bahwa tingkat pengangguran terbuka terdidik masih tinggi. Kemudian apabila dilakukan akumulasi terhadap jumlah pengangguran terbuka dengan jenjang pendidikan di bawah pendidikan menengah (SLTP, SD dan tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah) maka proporsi jumlah pengangguran akan banyak pada angkatan kerja yang kualitas pendidikannya rendah. Kedua masalah ini juga merupakan target di dalam RPJMN tahun 2010-2014 yaitu menyelesaikan masalah tenaga kerja terkait dengan kualitas angkatan kerja yang rendah dan tingkat pengangguran terbuka terdidik (di atas SLTA) yang masih tinggi. Fenomena di atas menjelaskan bahwa pemerintah belum efektif dalam mengatasi masalah pengangguran karena belum mencapai target yang dituangkan baik pada RPJMN 2004-2009 mau pun RPJMN 2010-2014, meskipun secara umum
jumlah
pengangguran
terbuka
dari
tahun
2004-2014
memiliki
kecenderungan menurun. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai pengaruh atau fungsi dari pengeluaran pemerintah terhadap pengangguran, karena berdasarkan penjelasan di atas salah satu fungsi penting dari pengeluaran pemerintah adalah mengurangi pengangguran dengan melihat hasil pencapaian target tingkat pengangguran dalam RPJMN. Pengaruh pengeluaran pemerintah dalam bentuk pengeluaran rutin dan modal terhadap pengangguran dianalisis melalui mekanisme transmisinya. Mekanisme transmisi pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pengangguran adalah melalui pajak (Abrams, 1999; Feldmann, 2009), suku bunga (Feldmann, 2009), upah (Feldmann, 2009), dan inflasi (Cohan, 2007). Mekanisme transmisi tersebut kemudian dijadikan sebagai variabel kontrol untuk melihat pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap pengangguran karena variabel tersebut turut berpengaruh terhadap pengangguran. Penelitian yang dilakukan oleh Feldmann (2006), Nickell et al (2005), Daveri dan Tabellini (2000) menyimpulkan hasil bahwa tarif pajak yang tinggi akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat. Hal ini terjadi karena tarif pajak yang tinggi yang dikenakan oleh pemerintah pada masyarakat khususnya sektor usaha akan menyebabkan investasi menjadi turun dan menurunkan permintaan terhadap tenaga kerja yang berakibat pada meningkatnya tingkat pengangguran. Leigh dan Neill (2011) justru menyatakan hasil yang berbeda, bahwa tarif pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran. Hal ini terjadi karena pajak pada penelitian Leigh dan Neill (2011) mempunyai efek pendapatan (income effect) terhadap pengangguran, sehingga kenaikan pajak menurunkan jumlah pengangguran. Jones (1985) membuktikan tingkat suku bunga yang tinggi menurunkan tingkat investasi sehingga tingkat pengangguran meningkat. Mekanisme pengaruh suku bunga terhadap tingkat pengangguran diturunkan melalui investasi. Suku bunga yang rendah akan merangsang pertumbuhan investasi di sektor riil dan akan menyerap tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran berkurang. Sedangkan jika suku bunga tinggi maka investasi cenderung rendah dan kurang menyerap tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran menjadi meningkat. Hasil penelitian Ferdinan (2011), Agell dan Lundborg (2003) menyatakan upah mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kesempatan kerja, jika tingkat
upah meningkat maka jumlah penyerapan tenaga kerja akan menurun sehingga jumlah pengangguran meningkat. Ashipala dan Eita (2010), dan Niskanen (2002) menemukan bahwa inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran, dimana jika pemerintah bertujuan menurunkan inflasi maka tingkat pengangguran akan meningkat dan sebaliknya. Sedangkan Amir (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat inflasi mempunyai pengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap pengangguran.
1.2. Rumusan Masalah Pengangguran merupakan variabel penting di dalam mengukur kinerja pemerintahan suatu negara. Tingkat pengangguran yang tinggi merefleksikan kurang baiknya kinerja pemerintah dan sebaliknya. Fungsi penting dari kebijakan fiskal salah satunya adalah mengurangi tingkat pengangguran. Pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal sehingga mempunyai fungsi atau pengaruh yang penting terhadap pengangguran, dimana peningkatan pengeluaran
pemerintah
akan
menurunkan
pengangguran.
Mengatasi
pengangguran tidak hanya dari segi pengurangan jumlahnya karena peningkatan pengeluaran pemerintah. Pemerintah mengimplementasikannya dalam pencapaian target tingkat pengangguran pada RPJMN. Dengan demikian keberhasilan pengeluaran pemerintah dalam mengurangi pengangguran dapat dilihat dari pencapaian target tingkat pengangguran di RPJMN.
Berdasarkan data dari Kemenkeu (2015) diketahui bahwa nilai realisasi pengeluaran pemerintah dari tahun 2004-2014 secara umum meningkat setiap tahun. Kemudian data dari BPS (2015) menyatakan bahwa jumlah pengangguran terbuka di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2014 memang memiliki kecenderungan menurun. Namun tingkat pengangguran terbuka pada tahun 20042014 belum mencapai target yang dicanangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2010
tentang
RPJMN
2010-2014.
Kemudian
masih
tingginya
tingkat
pengangguran terbuka terdidik serta jumlah angkatan kerja yang menganggur dengan kualitas pendidikan yang rendah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pengangguran. Berdasarkan masalah ini penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Penelitian ini mengacu kepada metode System GMM yang digunakan oleh Gatti et al (2010) dalam menganalisis model tingkat pengangguran. Metode System GMM mempunyai kriteria jumlah time series yang kecil dan cross section yang besar. Oleh karena itu periode penelitian ini dimulai dari tahun 1995-2012, tujuannya adalah memperkecil jumlah time series dan untuk menggambarkan pengaruh krisis moneter tahun 1997/1998 terhadap tingkat pengangguran terbuka. Mekanisme transmisi pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran diturunkan melalui variabel pajak, upah, suku bunga, dan inflasi. Variabel mekanisme tersebut dijadikan sebagai variabel kontrol dalam menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran.
Hasil beberapa riset sebelumnya yang dilakukan dibeberapa negara menemukan adanya perdebatan mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah, pengaruh pengeluaran rutin dan modal pemerintah, pajak, dan inflasi terhadap tingkat pengangguran. Jika suku bunga dan tingkat upah ditingkatkan maka penyerapan tenaga kerja akan berkurang sehingga jumlah pengangguran akan meningkat.
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian masalah dan perdebatan hasil penelitian yang dijelaskan pada sub bab di atas maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah yaitu pengeluaran rutin dan modal terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 1995-2012? 2. Bagaimana pengaruh variabel kontrol (pajak, suku bunga, upah, inflasi, dan krisis moneter) terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 1995-2012?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini terdiri dari dua yaitu: 1. Menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah yaitu pengeluaran rutin dan modal terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 1995-2012.
2. Menganalisis pengaruh variabel kontrol (pajak, suku bunga, upah, inflasi, dan krisis moneter) terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 1995-2012.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi pemerintah pusat dan daerah, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengurangi pengangguran terutama merumuskan pengeluaran pemerintah serta kebijakan-kebijakan lain yang terkait. 2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan dan dapat memperkaya literatur kebijakan fiskal terutama pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran terbuka. 3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk memperluas wawasan dan pengenalan kebijakan fiskal terutama pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia.
1.6. Originalitas Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil beberapa referensi dari penelitian sebelumnya yang relevan dengan variabel yang menjadi objek penelitian. Referensi penelitian sebelumnya tersebut menjadi dasar untuk
menentukan originalitas dari penelitian ini. Penelitian ini bersifat replikasi dari penelitian sebelumnya serta penambahan beberapa variabel indikator yaitu pajak, suku bunga, upah, dan inflasi. Selain itu di Indonesia sepengetahuan penulis belum terlalu banyak penelitian yang membahas pengaruh dari variabel yang akan diteliti ini terhadap tingkat pengangguran. Penelitian sebelumnya tersebut disajikan pada Lampiran 1.
1.7. Sistematika Penulisan Studi ini terdiri dari lima bagian atau bab. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang penulisan, penyusunan rumusan masalah yang menjadi landasan diambilnya bahasan pertanyaan dalam penelitian ini. Selain itu, bab ini juga berisi tujuan, manfaat penelitian, originalitas penelitian, dan terakhir adalah penjelasan mengenai sistematika penulisan yang digunakan. Bab kedua membahas review literatur yang terterkait dengan penelitian ini, terdiri dari teori, penelitian terdahulu, dan pembahasan metode estimasi. Pada bagian terakhir disajikan kerangka pemikiran serta hipotesis yang disusun berdasarkan penjelasan review literatur pada sub bab sebelumnya. Bab ketiga membahas spesifikasi model penelitian beserta jenis dan sumber data variabel yang digunakan. Terakhir bab ini menjelaskan metode analisis yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pada bab keempat menjelaskan perkembangan pengeluaran pemerintah dan pengangguran di Indonesia selama periode penelitian. Kemudian, bab ini juga menguraikan analisis dan pembahasan hasil penelitian. Tesis ini ditutup dengan
bab lima yang terdiri dari kesimpulan hasil analisis dan saran-saran yang ditawarkan dari temuan penelitian.