BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Chronic myelogenous leukemia (CML) merupakan keganasan hematologi yang ditandai dengan meningkatnya sel myeloid (Perrotti et al., 2010). Di Asia, CML merupakan keganasan hematologi yang paling banyak ditemukan (Au et al., 2009), dengan angka insidensi sebesar 0,4 - 1 per 100.000 orang per tahun, sedangkan di negara Barat sebesar 1 - 1,5 per 100.000 orang per tahun. Di Asia, usia rata-rata pasien saat pertama kali terkena CML adalah 45 tahun, sedangkan di negara Barat, 20 tahun lebih tua yaitu sekitar 65 tahun. CML lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan (Kim et al., 2010). Di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pasien baru CML yang terdiagnosis secara klinis pada tahun 2011-2014 sebesar 292 orang dengan usia pasien berkisar antara 15 sampai 85 tahun (Hutajulu et al., 2015, data sementara tidak dipublikasikan). Manifestasi klinis CML pada umumnya berupa lemah, mudah lelah, keluar keringat di malam hari, berat badan menurun, demam, pembesaran limpa, dan nyeri perut (Perrotti et al., 2010). Pada pemeriksaan darah, CML menunjukkan tanda yang khas yaitu ditemukan adanya leukositosis yang disertai meningkatnya sel myeloid dan kadang-kadang ditemukan anemia serta trombositopenia atau trombositosis. Pada pemeriksaan biopsi sumsum tulang ditemukan gambaran hiperselularitas (Sillaber et al., 2003).
1
2
Etiopatogenesis pada sebagian besar kasus CML melibatkan gen fusi BCR-ABL, yang terjadi akibat translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22, t(9;22)(q34;q11), yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia. Translokasi ini menggabungkan bagian 3’ gen ABL pada kromosom 9 dengan bagian 5’ gen BCR pada kromosom 22, sehingga membentuk gen fusi BCR-ABL yang bersifat onkogenik (Ohsaka et al., 2002; Sillaber et al., 2003; Druker, 2008). Gen fusi BCR-ABL mengakibatkan aktifnya berbagai jalur sinyal intraseluler. Jalur sinyal ini menyebabkan meningkatnya proliferasi sel stem hematopoetik, menurunnya apoptosis sel stem hematopoetik dan menurunnya perlekatan sel myeloid pada stroma sumsum tulang sehingga sel myeloid imatur terlepas serta masuk ke dalam sirkulasi darah (Smith et al., 2003; Druker, 2008). Identifikasi gen fusi BCR ABL dalam proses leukemogenik CML telah menstimulir pengembangan terapi target untuk CML yaitu inhibitor tirosin kinase (Druker, 2008). Hingga saat ini terapi ini telah berhasil meningkatkan kesintasan hidup penderita CML dan mengubah paradigma CML yang tadinya hanya bersifat paliatif menjadi kuratif (Ren, 2002; Burmeister et al., 2007; Haznedaroğlu, 2013). Gen fusi BCR-ABL mempunyai sekuen yang bervariasi, tergantung pada breakpoint gen BCR yang bergabung dengan gen ABL (Smith et al., 2003; Bennour et al., 2013). Gen fusi BCR-ABL secara umum digolongkan menjadi 3 breakpoint cluster region gen BCR yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr) dan mikro (µ-bcr). Ketiga tipe breakpoint tersebut dibagi lagi menjadi paling tidak 7 macam tipe breakpoint yaitu mayor b3a2 (e14a2), mayor b2a2 (e13a2), minor e1a2, mikro c3a2 (e19a2), rare type e1a3, rare type b2a3 (e13a3) dan rare type
3
b1a1 (e12a1). Tiga tipe breakpoint utama tersebut mengkode protein yang berbeda ukurannya namun ketiganya mempunyai aktivitas tirosin kinase yang tinggi (Goh et al., 2006). Tipe breakpoint mayor mengkode protein 210-kDa (p210), tipe minor mengkode protein 190-kDa (p190) dan tipe breakpoint mikro mengkode protein 230-kDa (p230) (Bose et al., 1998; Wertheim et al., 2002). Lebih dari 95% pasien CML yang positif membawa gen BCR-ABL mempunyai tipe breakpoint mayor (M-bcr) (Chasseriau et al., 2004; Goh et al., 2006). Sesuai perjalanan alamiahnya, CML terbagi menjadi tiga fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blastik. Pada fase kronik, kadang-kadang pasien CML tidak mengeluh adanya gejala sama sekali. Sebagian pasien menunjukkan gejala mudah lelah, berat badan menurun, keluar keringat pada malam hari, dan rasa tidak nyaman di perut akibat pembesaran limpa atau hepar. Pada fase akselerasi keluhan menjadi semakin berat, dan pada fase krisis blastik pasien menunjukkan gejala yang sangat berat disertai tanda infeksi dan progresivitas hepatosplenomegali (Ren, 2002; Sillaber et al., 2003; Vardiman, 2009). Seringkali CML terdiagnosis pada fase kronik secara tidak sengaja dari hasil pemeriksaan hematologi rutin (Au et al., 2009; Perrotti et al., 2010). Standar diagnosis CML adalah pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen fusi BCR-ABL beserta tipe breakpoint-nya (Goh et al., 2006). Diagnosis positivitas gen fusi BCR-ABL yang disertai dengan tipe breakpoint-nya sangat penting untuk menginisiasi terapi inhibitor tirosin kinase dan monitor keberhasilan terapi (Ren, 2002; Chasseriau et al., 2004). Setiap pasien CML mempunyai tipe breakpoint tertentu sehingga pada saat memonitor tingkat
4
ekspresi gen fusi BCR-ABL, diperlukan amplifikasi gen dengan menggunakan primer yang sesuai dengan tipe breakpoint yang dimiliki pasien tersebut (Zhang et al., 1996). Selain itu tipe breakpoint juga perlu untuk melihat prognosis pasien karena tipe breakpoint yang berbeda mempunyai tingkat keparahan penyakit yang berbeda pula. Pasien CML yang membawa gen BCR-ABL tipe minor, p190, secara klinik ditandai dengan tingginya jumlah monosit, sedangkan pasien dengan p230 ditandai meningkatnya jumlah neutrofil dan trombosit. Pasien dengan tipe breakpoint mikro ini menunjukkan gejala-gejala CML yang paling ringan dibanding tipe lainnya (Vardiman, 2009). Pemeriksaan molekuler yang merupakan baku emas untuk mendeteksi gen fusi BCR-ABL dan tipe breakpoint-nya adalah Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Burmeister dan Reinhardt, 2008), karena pemeriksaan ini mendeteksi BCR-ABL pada tingkat mRNA yang merupakan tingkat ekspresi gen BCR-ABL dalam menyebabkan CML (Zhang et al., 1996; Elmaagacli et al., 2000). Selain itu pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat dan sensitif (Chasseriau et al., 2004; Lu et al., 2011). Di Laborotorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran UGM, pemeriksaan molekuler yang digunakan untuk mendeteksi gen fusi BCR-ABL dan tipe breakpoint-nya adalah RT-PCR multipleks dan nested. Metode tersebut sesuai dengan metode penelitian yang dilakukan oleh Goh et al. pada tahun 2006. Metode ini menggunakan tiga macam primer yang dapat mendeteksi berbagai macam tipe breakpoint pada satu kali reaksi. Namun demikian, bila dibandingkan dengan RT-PCR konvensional yang hanya menggunakan satu pasang primer,
5
metode tersebut kurang sensitif dan spesifik, sehingga bila didapatkan ukuran fragmen yang tidak lazim perlu dilakukan konfirmasi pemeriksaan dengan RTPCR konvensional (Burmeister dan Reinhardt, 2008). Sejak Maret 2010 sampai Agustus 2014 tim CML FK-UGM dan RSUP Dr. Sardjito telah melakukan deteksi transkrip BCR ABL pada 200 pasien CML. Dari jumlah pasien tersebut, 11 pasien menunjukkan fragmen gen fusi BCR-ABL dengan ukuran 500 bp dan 4 pasien mempunyai fragmen dengan ukuran 600 – 700 bp. Penelitian Goh et al. (2006) dengan metode pemeriksaan RT-PCR multipleks dan nested yang sama tidak melaporkan adanya fragmen ukuran tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan melakukan konfirmasi fragmen tersebut dengan RT-PCR konvensional serta nested dan dilanjutkan dengan analisis sekuen.
I.2. Perumusan Masalah Dari hasil deteksi gen fusi BCR ABL pada penderita CML di RSUP Dr Sardjito, telah ditemukan fragmen baru dengan ukuran 500 bp dan 600-700 bp dengan menggunakan RT-PCR multipleks dan RT-PCR nested. Fragmen baru tersebut diduga adalah tipe breakpoint lain yang belum diketahui. Oleh karena itu penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah fragmen ukuran 500 dan 600-700 bp yang terampilifikasi dengan RT-PCR multipleks serta nested dapat teramplifikasi dengan RT-PCR konvensional serta nested? 2. Apakah fragmen ukuran 500 bp adalah tipe breakpoint baru?
6
3. Apakah fragmen ukuran 600-700 bp adalah tipe breakpoint baru? 4. Apakah terdapat variasi sekuen basa DNA dari tipe yang sudah ada pada pasien CML di Yogyakarta?
I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Melakukan identifikasi fragmen ukuran 500 bp dan 600-700 bp yang ditemukan dengan RT-PCR multipleks yang dilanjutkan RT-PCR nested pada penelitian pendahuluan. 2. Tujuan Khusus a. Melakukan konfirmasi fragmen ukuran 500 bp dan 600-700 bp dengan menggunakan RT- PCR konvensional dan nested serta RT-PCR multipleks dan nested. b. Melakukan analisis sekuen fragmen 500 bp dan dibandingkan dengan sekuen per ekson gen BCR dan gen ABL dari genbank. c. Melakukan analisis sekuen fragmen 600-700 bp dibandingkan dengan sekuen per ekson gen BCR dan gen ABL dari genbank. d. Melakukan analisis untuk mengetahui kemungkinan adanya variasi sekuen dari tipe yang sudah ada pada pasien CML di Yogyakarta.
I.4. Keaslian Penelitian Berbagai penelitian tentang analisis tipe breakpoint gen fusi BCR-ABL pada kasus CML yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.
7
Tabel 1. Penelitian tentang analisis tipe breakpoint gen fusi BCR-ABL Peneliti Persamaan metode dan Tahun Penelitian Goh et al. - RT-PCR multipleks (2006) - RT-PCR Konvensional
Perbedaan metode
Tipe breakpoint yang ditemukan
- Sekuensing
b3a2 (e14a2), b2a2 (e13a2), c3a2 (e19a2), e1a2, e1a3, b2a3 (e13a3), b1a1 (e12a1).
Yaghmaie et al. (2008)
- RT-PCR Konvensional - Sekuensing
b3a2 (e14a2), b2a2 (e13a2), c3a2 (e19a2), e1a2, b3a3 (e14a3), b2a3 (e13a3).
Irshad et - RT-PCR al. (2012) Konvensional
- RT-PCR multipleks - Sekuensing
b2a2, b3a3.
Frederick - Sekuensing et al. (2014)
- RT-PCR Konvensional - RT-PCR Multipleks
e8a2 dengan insersi gen CABIN1
- RT-PCR multipleks
b3a2,
Penelitian yang dilakukan mengkhususkan pada identifikasi fragmen yang belum pernah dilaporkan dengan metode Goh et al (2006) yaitu fragmen ukuran 500 bp dan 600-700 bp yang ditemukan pada pasien CML di Yogyakarta.
I.5. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan akan meningkatkan ketepatan algoritme metode deteksi tipe breakpoint gen fusi BCR-ABL yang telah digunakan di FK UGM/RS Dr Sardjito sejak tahun 2010.
8
2. Jika fragmen 500 bp dan 600-700 bp merupakan fragmen baru, maka penelitian ini menambah informasi tentang tipe breakpoint gen fusi BCRABL di Indonesia khususnya di Yogyakarta. 3. Bila fragmen baru ini dapat dikonfirmasi, maka selanjutnya akan diperoleh kontrol positif untuk deteksi gen BCR ABL fragmen yang bersangkutan. Hal ini sangat penting dalam protokol deteksi gen fusi BCR-ABL sebagai perangkat diagnosis sekaligus monitor keberhasilan terapi inhibitor tirosin kinase pada pasien CML. 4. Jika pada tipe yang sudah ada ditemukan variasi sekuen, maka penelitian ini menambah informasi tentang variasi sekuen pada pasien CML di Yogyakarta.