1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di masyarakat (community acquired) maupun di rumah sakit (hospital acquired). Morbiditas dan mortalitas akibat AKI semakin meningkat begitu juga biaya yang diperlukan untuk perawatan di rumah sakit. Penelitian di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi AKI pada pasien yang dirawat di rumah sakit sebesar 7% (Lattanzio dan Kopyt, 2009). Pada pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU), kejadian AKI mencapai 36-67% dan 56% dari penderita tersebut memerlukan hemodialisis (Osterman dan Chang, 2007). Hal yang sama juga didapatkan di RSUP Sanglah, prevalensi AKI pada pasien yang dirawat di ICU sebesar 20,7% (Nugraha, 2012) hingga 34,65% (Emria, 2014). Hal ini mengakibatkan peningkatan lama rawat di rumah sakit, biaya perawatan serta tingkat mortalitas yang tinggi (Levy dkk.,1996). Penderita AKI yang menjalani hemodialisis di ICU, tingkat mortalitasnya lebih dari 50% dan sebagian penderita yang berhasil selamat berkembang menjadi gagal ginjal terminal dalam 3 tahun (Hoste dkk., 2006). Konsep yang dianut sekarang ialah AKI telah menjadi penyakit dengan sekuele jangka panjang serta berpotensi menjadi penyakit ginjal kronik (Ishani dkk., 2009; Lafrance dkk., 2010). Terdapat berbagai definisi AKI, namun terdapat dua definisi yang banyak digunakan yaitu; berdasarkan kriteria dari Acute Dialysis Quality Initiative
2
(ADQI) yaitu: Risk, Injury, Failure, Loss dan End stage renal disease (RIFLE) serta kriteria dari Acute Kidney Injury Network (AKIN). Penelitian oleh Joannidis dkk. (2009) yang membandingkan kriteria RIFLE dan AKIN, melaporkan bahwa kedua kriteria tersebut masing-masing memiliki kekurangan dalam mendeteksi adanya AKI. Berdasarkan hal tersebut, Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) pada tahun 2012, mengajukan definisi dan klasifikasi AKI untuk kepentingan keseragaman dalam penelitian dan pelaporan. Definisi AKI menurut KDIGO yaitu: peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl dalam 48 jam; atau peningkatan kreatinin serum ≥ 1,5 kali nilai dasar, baik yang diketahui maupun diasumsikan terjadi dalam 7 hari; atau volume urin ˂ 0,5 ml/kgbb/jam selama 6 jam. Stadium AKI dibagi menjadi stadium 1, 2 dan 3 berdasarkan parameter kreatinin serum dan produksi urin (KDIGO, 2012). Komplikasi AKI muncul seiring derajat keparahan AKI. Komplikasi tersebut mulai dari kelebihan cairan, hiponatremia, hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipermagnesemia hingga hiperurikemia (Hoste dan Kellum, 2004; Gibney dkk., 2008). Gangguan metabolisme mineral tersebut hingga
kini belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian mengenai gangguan
metabolisme mineral pada pasien AKI, khususnya hiperfosfatemia dan peningkatan kadar fibroblast growth factor 23 serum (FGF-23) masih sangat terbatas. Fibroblast growth factor 23 merupakan protein dengan berat 32 kDa yang merupakan regulator utama keseimbangan fosfat dalam tubuh. Mekanisme kerjanya pada tubulus proksimal ginjal untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin bila terjadi retensi maupun peningkatan kadar fosfat serum (Wolf, 2010).
3
Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa gangguan metabolisme mineral pada AKI identik dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada PGK, seiring dengan perburukan stadium PGK. Peningkatan kadar FGF-23 serum telah terjadi pada PGK stadium 2 dan mencapai 1000 kali lipat pada PGK stadium 5, namun hiperfosfatemia baru terjadi pada PGK stadium 3 (Wolf, 2010). Penelitian oleh Filler dkk. (2011) melaporkan hubungan yang signifikan antara FGF-23 dengan estimasi laju filtrasi glomerolus (LFG) dengan menggunakan cystatin C (r = - 0,47, p <0,001). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Dominguez dkk. (2013), yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara estimasi LFG dengan C terminal FGF-23 (r = - 0,35, p < 0,05). Publikasi pertama peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada pasien AKI dilaporkan oleh Leaf dkk. (2010). Publikasi tersebut berupa laporan kasus AKI akibat rhabdomyolysis, yang diikuti peningkatan kadar fosfat serum sebesar 10,5 mg/dl (nilai normal 2,8-4,5 mg/dl) serta peningkatan kadar FGF-23 serum sebesar 619 RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml). Penelitian selanjutnya dilaporkan oleh Zhang dkk. (2011) pada 12 pasien critically ill dengan AKI (dua pasien AKI stadium 1; lima pasien AKI stadium 2; serta lima pasien AKI stadium 3) dibandingkan dengan 8 pasien critically ill tanpa AKI. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kadar FGF-23 serum lebih tinggi pada pasien critically ill dengan AKI dibandingkan dengan pasien critically ill tanpa AKI (median [interquartile range/IQR]=1948 [347-4969] versus 252 [65533] RU/ml, p = 0,01). Hiperfosfatemia juga ditemukan lebih tinggi pada pasien critically ill dengan AKI jika dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (4,5 ±1
4
mmol/L versus 3,3 ± 1,1 mmol/L, p = 0,02). Peningkatan kadar fosfat serum tersebut tidak berkorelasi dengan peningkatan kadar FGF-23 serum (r = 0,08, p = 0,74). Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 437 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 4369 RU/ml (mencapai 10 kali lipat). Peningkatan kadar FGF-23 serum tersebut tidak berkorelasi dengan stadium AKI (berdasarkan kriteria AKIN). Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) mendapatkan hasil yang berbeda. Penelitian tersebut melibatkan 30 orang pasien dengan AKI, dibandingkan dengan 30 pasien tanpa AKI sebagai kontrol. Pada AKI stadium 1 kadar fosfat mencapai 3,8 mg/dl dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,3 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada stadium 1 mencapai 224 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 2534 RU/ml. Peningkatan kadar fosfat serum berkorelasi secara signifikan dengan kadar FGF-23 serum (r = 0,32, p = 0,02) (Leaf dkk., 2012). Penelitian terbaru oleh Christov dkk. (2013) pada binatang percobaan mencit dengan AKI dibandingkan dengan mencit tanpa AKI. Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan 1 jam setelah onset AKI dan mencapai 18 kali lipat nilai dasar setelah 24 jam (4500 ± 562 pg/ml pada AKI versus 307 ± 19 pg/ml pada non AKI; p < 0,01). Peningkatan kadar fosfat secara signifikan terjadi dalam 24 jam pada mencit dengan AKI dibandingkan dengan tanpa AKI (11,2 ± 1,4 mg/dl vs 6,4 ± 0,3 mg/dl; p<0,05). Kadar neutrofil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) serum yang merupakan penanda spesifik untuk deteksi dini AKI, baru terjadi 6 jam setelah onset AKI. Peningkatan FGF-23 serum pada percobaan binatang dengan AKI, mendahului peningkatan fosfat dan NGAL. Chistov dkk.
5
(2013) selanjutnya melakukan penelitian lanjutan pada 14 pasien yang menjalani operasi jantung, dimana terdapat 4 orang yang mengalami AKI. Kadar FGF-23 serum pada pasien operasi jantung yang mengalami AKI, meningkat 15,9 kali lipat 24 jam setelah operasi. Hasil tersebut sebanding dengan penelitian pada binatang mencit sebelumnya (Christov dkk., 2013). Peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum pada pasien AKI memiliki implikasi klinis yang besar. Leaf dkk. (2012) melaporkan peningkatan kadar FGF23 serum berhubungan dengan peningkatan risiko kematian dan diperlukannya renal replacement therapy (RRT) pada pasien AKI (OR=13,73 per 1SD log FGF23, 95%, CI=1,75-107,50). Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum telah menjadi kajian untuk dijadikan target terapi pada pasien AKI. Beberapa obat-obatan seperti pengikat fosfat dan calcimimetic (cinacalcet) dapat menurunkan kadar FGF-23 dan fosfat serum (Wetmore dkk., 2010). Diperlukan penelitian dalam skala besar untuk mengetahui manfaat pemberian kedua obat tersebut dalam menurunkan mortalitas pasien AKI. Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada pasien AKI. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hubungan antara stadium AKI dan peningkatan kadar fosfat serum serta FGF-23 serum. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum? 2. Apakah terdapat hubungan antara stadium AKI dan kadar FGF-23 serum?
6
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum: mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum dan kadar FGF-23 serum.
1.3.2
Tujuan khusus:
1. Mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum. 2. Mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar FGF-23 serum. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat diketahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum dan FGF-23 serum. 2. Manfaat praktis: dengan mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum serta FGF-23 serum, maka kedua parameter tersebut dapat dipertimbangkan sebagai parameter dalam deteksi dini serta sasaran terapi pada AKI.