BAB I PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang Masalah Wartawan yang merupakan salah satu bagian dari pers, memiliki peran yang penting dalam menghasilkan sebuah berita kepada masyarakat. Berita yang diberikan haruslah memiliki “roh” yang bermanfaat bagi khalayak. Salah satu hal yang mempengaruhi kinerja seorang wartawan dalam menghasilkan sebuah berita adalah profesionalisme dalam diri wartawan. Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menyatakan bahwa dari sejumlah aduan masyarakat terkait dengan kasus pers, terdapat sekitar 80% merupakan pelanggaran kode etik pers, dan mencoreng wajah pers, terutama wartawan. Di tahun 2012, pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) meningkat. Media cetak mendapatkan aduan terbanyak dari berbagai kalangan sebanyak 328 pengaduan, media online sebanyak 90 aduan, dan media elektronik atau media televisi sebanyak 36 pengaduan. Jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan meliputi 3 hal; pemberitaan yang tidak berimbang, tidak ada konfirmasi dari pihak terkait dalam pemberitaan, dan berita opini yang menghakimi. Akibatnya, fakta-fakta seperti itu memunculkan pendapat minor tentang kebebasan pers yang dinilai “kelewat batas”. Media yang semacam itu dianggap merugikan masyarakat karena informasi yang disampaikan bisa tidak berdasarkan kondisi obyektif yang dapat dipertanggungjawabkan. Profesionalisme merupakan salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan pers di atas. Hanya pers yang profesional yang mampu memproduksi jurnalisme yang sehat. Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Profesionalisme pers didukung oleh manajemen yang sehat, kualitas lembaga pers, dan tentunya wartawan yang tunduk pada aturan yang tertera dalam kode etik profesi. Wartawan profesional adalah wartawan yang memiliki profesionalisme dalam
1
bekerja. Profesionalisme diperlukan untuk menjaga kinerja wartawan dalam memenuhi tugas jurnalistik. Dalam menjalakan tugasnya, wartawan hendaknya menjadi good person dan good action. Hal tersebut dapat berjalan apabila terdapat self regulation mechanism yang kuat dalam diri wartawan. Kinerja wartawan yang diimbangi dengan profesionalisme yang tinggi sangat penting bagi pembangunan masyarakat yang demokratis, pengembangan tata pemerintahan yang bersih (good governance), dan pengembangan ruang publik (public sphere) bagi dialog terbuka antar anggota masyarakat. Sebagai sebuah profesi, wartawan memiliki wadah untuk berserikat, yakni organisasi profesi wartawan. Dalam dialog Dewan Pers yang disiarkan langsung oleh TVRI pada 9 Desember 2008 dengan tema „Peran Organisasi Wartawan dalam Meningkatkan Kinerja Pers‟ memunculkan beberapa pemikiran dari Leo Batubara (perwakilan Dewan Pers), Nezar Patria (perwakilan AJI), dan Kamsul Hasan (Perwakilan PWI):1 “...organisasi wartawan/organisasi pers harus mendorong anggotanya untuk menghasilkan berita berkualitas, aktif memantau penegakan kode etik, dan selektif dalam merekrut anggota. Jika langkah ini terus dilakukan, kualitas wartawan akan meningkat.” Jumlah organisasi wartawan yang ada di Indonesia pasca reformasi cukuplah banyak. Namun sayangnya kuantitas tak selamanya identik dengan kualitas yang ada. Sesuai hasil penilitian Dewan Pers mengenai kualitas organisasi wartawan yang ada di Indonesia, menetapkan bahwa hanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang memenuhi persyaratan. Kedua organisasi wartawan ini memiliki sejarah yang panjang sebagai wadah berserikat bagi para wartawan. Keduanya dianggap sebagai wakil dari banyaknya organisasi wartawan yang ada dan memiliki cabang di daerah, salah satunya di Jogja. PWI dan AJI merupakan organisasi wartawan yang kuat, namun keduanya memiliki azas-azas atau patokan dasar yang “bersebrangan”.
1
Terarsip di http://www.dewanpers.or.id/, diakses pada tanggal 10 Januari 2014, Pkl. 09.17 WIB.
2
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat hal yang menarik untuk ditelisik lebih mendalam tentang pentingnya profesionalisme wartawan dan sejauh mana peran organisasi wartawan dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan tersebut. Kedua alasan inilah yang menjadi dasar dari permasalahan dalam penelitian ini. Lantas, mengapa profesionalisme wartawan itu penting bagi kinerja seorang wartawan? Dan bagaimana PWI dan AJI Jogja, sebagai organisasi wartawan di daerah, menjalankan perannya dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan? Inilah yang menjadi alasan untuk digali lebih jauh mengenai pentingnya profesionalisme wartawan dan peran dari PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan.
A.2. Rumusan Masalah Bagaimana peran dan cara PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan?
A.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan sejauh mana peran PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan. 2. Mengetahui cara-cara yang dilakukan oleh PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan. 3. Melihat dan membandingkan peran dari dua organisasi wartawan terhadap usaha peningkatan profesionalisme wartawan.
A.4. Manfaat Penelitian 1. Untuk Peneliti Diharapkan penelitian ini bisa memberikan tambahan wawasan dan ilmu kepada peneliti terkait dengan peran dan cara organisasi wartawan dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan. 2. Untuk PWI dan AJI Jogja
3
Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan motivasi bagi PWI dan AJI Jogja selaku organisasi wartawan lebih untuk meningkatkan perannya terkait hal peningkatan profesionalisme wartawan. 3. Untuk Jurusan Ilmu Komunikasi Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan terkait dengan analisis terhadap peran organisasi wartawan di Indonesia. 4. Untuk Masyarakat Luas Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan bahan bacaan untuk melihat bagaimana peran organisasi wartawan, sehingga masyarakat bisa melihat bahwa keberadaan dan peran organisasi wartawan itu penting bagi keberlangsungan kinerja wartawan.
A.5. Kerangka Pemikiran A.5.1 Potret Organisasi Wartawan Sebagai sebuah profesi, wartawan perlu menghimpun diri dalam suatu organisasi profesi. Organisasi pers atau organisasi wartawan merupakan organisasi profesi. Di Indonesia, para wartawan menghimpun diri dalam suatu organisasi profesi. Organisasi profesi wartawan merupakan organisasi pers. Hal ini dicantumkan dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 40/1999 tentang Pers, yaitu “Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”. Salah satu alasan wartawan membentuk organisasi profesi seperti yang diungkapkan David Hill, adalah organisasi wartawan/jurnalis lahir diperuntukan memperjuangkan hak serta menyuarakan kepentingan wartawan, baik dalam proses negosiasi dengan pemerintah maupun pemilik modal.2 Sedangkan Siregar, lebih lanjut mengemukakan pentingnya
2
David Hill dalam Heru endratmoko. 1999. Merenungkan Sejarah Menghadapi Masa Depan, Edisi 5th Aliansi Jurnalis Independen.. Jakarta: AJI. Hal: 14.
4
organisasi wartawan, karena dapat membantu institusi jurnalistik dalam mengembangkan pelaku profesi yang berada di dalamnya.3 Sejarah mengenai organisasi wartawan di Indonesia dimulai dengan lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946. Organisasi profesi wartawan yang kedua, adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1994, namun masih bergerak di bawah tanah. Pada masa Orde Baru (Orba), PWI menjadi satu-satunya organisasi wartawan dan wajib diikuti oleh semua wartawan di Indonesia hingga tahun 1999. Setelah rezim Orba runtuh, dan berdasarkan UU No. 40/1999 tentang Pers, yang diundangkan pada 23 September 1999, disebutkan bahwa organisasi wartawan boleh bebas didirikan, sehingga monopoli PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan sudah tidak ada. Akibatnya, setelah diundangkan muncul banyak organisasi wartawan, seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Wartawan Independen (AWI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), bahkan organisasi wartawan yang didasarkan persamaan agama, yaitu Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI). Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, organisasi wartawan memiliki mandat untuk mendukung serta memelihara dan menjaga kemerdekaan pers. Untuk dapat melaksanakan mandat dan amanat tersebut di atas, maka perlu dikembangkan organisasi wartawan yang memiliki integritas dan kredibilitas, serta dengan anggota yang profesional. Pelaksanaan mandat dan amanat ini bertujuan untuk mengembangkan kemerdekaan pers yang profesional, bebas, dan yang bertanggung jawab kepada publik. Bila dijelaskan secara kongkrit, tugas organisasi wartawan adalah meningkatkan kapasitas intelektual, kompetensi profesi dan kepekaan sosial anggotanya.
3
Ashadi Siregar. 1996. Makalah Kode Etik Pelaksanaan dan Efektivitas Pengawasannya. Terarsip di, http://ashadisiregar.wordpress.com/wpadmin/ARSIP/01_JURNALISME/KODE%20ETIK%20PE LAKSANAAN%20EFEKTIVITAS%20PENGAWASAN.pdf
5
A.5.2 Profesionalisme Wartawan Thomas Jefferson mengatakan, The press is the best instrument for enlightening the mind of man, and improving him as a rational, moral and social being. Menggarisbawahi pernyataan Jefferson tersebut, maka dapatlah dikuatkan bahwa seorang wartawan, haruslah membawa misi suci mencerahkan masyarakat dan senantiasa membimbingnya agar semakin rasional dan bermoral. Agar misi suci wartawan tersebut dapat terlaksana dengan baik dan benar, maka sudah tentu seorang wartawan harus memiliki sejumlah bekal yang sifatnya fundamental, elementer, dan komplementer. Secara sederhana, bekal tersebut dapat diformulasikan dalam tiga aspek kompetensi wartawan, yaitu:4
Pertama, seorang wartawan harus memiliki kesadaran (awareness). Mencakup kesadaran tentang etika, hukum, dan karir. Dalam melaksanakan pekerjaanya, seorang wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan karya jurnalistik. Selain itu, wartawan dalam meniti karirnya harus menyadari arti penting profesionalisme dalam melaksanakan pekerjaannya.
Kedua, memiliki pengetahuan (knowledge). Mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai dengan bidang kewartawanan yang bersangkutan. Seorang wartawan harus
memiliki
dasar
pengetahuan dalam bidang jurnalistik sehingga akan memiliki paradigma jurnalisme yang lebih sistematis dan terbingkai secara terukur. Pengetahuan khusus diperlukan bagi wartawan apabila ditugaskan dalam isu-isu spesifik (misal: politik, sosial, ekonomi, sejarah, hukum, perang, dan sebagainya).
Ketiga, memiliki keterampilan (skills). Mencakup keterampilan reportase, keterampilan menggunakan alat, keterampilan riset dan
4
Terarsip di http://www.poynterextra.org/extra/compcred/compindex.html, diakses pada tanggal 15 Januari 2014, Pkl. 00.20 WIB.
6
investigasi, dan keterampilan teknologi infomasi. Semua keterampilan tersebut akan sangat membantu wartawan dalam menjalankan tugasnya. Dalam diskusi “Hak Jawab, UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)” yang diselenggarakan PWI Perwakilan Asahan, menyatakan bahwa:5 Alat ukur profesionalisme wartawan, adalah Standard Kompetensi Wartawan (SKW). SKW sebagai produk peraturan Dewan Pers saat ini terus digencarkan oleh Dewan Pers untuk menyeleksi kehadiran wartawanwartawan profesional melalui penerbitan sertifikat dan kartu kompetensi. Kompetensi dan sertifikasi, merupakan sebuah kehormatan bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya yang dilandasi prinsip-prinsip hukum, demokrasi, kemanusiaan, disiplin keilmuan dan kode etik. Selain itu, parameter profesionalisme tersebut terletak pada ketaatan terhadap Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia. Untuk mengukur profesionalisme seorang wartawan dapat dilakukan dengan melakukan standarisasi kompetensi bagi wartawan baru maupun wartawan senior. Standarisasi ini dibuat oleh Dewan Pers dan bekerja sama dengan organisasi pers atau wartawan, yang harus diaplikasikan kepada wartawan agar menjadi salah satu pedoman dalam menjalankan kinerja yang diimbangi dengan profesionalisme. Selain itu, untuk menjadi seorang wartawan yang profesional, Bill Kovach menyebutkan ada sembilan elemen jurnalisme yang menjadi parameter profesionalisme bagi wartawan, yaitu:6 1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.
5
Terarsip di http://www.dnaberita.com/berita-91646-puncak-profesionalisme-wartawan-terletakpada-etika.html.html, diakses pada tanggal 15 Januari 2014, Pkl. 07.57 WIB. 6 Bill Kovach, dkk. 2007. The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect. New York: Rivers Press.
7
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional. 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya. Kesembilan syarat di atas menjadi syarat ideal seorang wartawan dapat dikatakan bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Tentu, kesemuanya tidak langsung termiliki sekaligus, tetapi berproses secara kontinyu dan simultan seiring dengan kematangannya secara pribadi untuk menjadi wartawan yang memiliki profesionalisme yang tinggi. Selain itu, kesembilan syarat tersebut juga tercirikan dalam KEJ.
A.5.3 Penerapan Self Regulation Tahun 1998 merupakan tahun dimana rezim Orde Baru runtuh dan mulai berganti ke era demokrasi, yakni masa kebebasan bagi pers. Namun, seiring berkembangnya kebebasan bagi pers justru telah menciptakan paradoks kebebasan pers. Fungsi pers sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni sebagai alat kontrol sosial, tidaklah berjalan dengan baik. Posisi pers dalam sistem politik transisi (tahun 1999) berada dalam kebijakan pengaturan kebebasan terhadap pers dan perlindungan terhadap masyarakat. Sedangkan dalam perspektif sistem politik demokratis, mekanisme yang ingin diwujudkan adalah pengaturan diri berbasis nilai-
8
nilai internal organisasi pers yang sangat spesifik. Di Indonesia kenyataan yang terjadi adalah negara mencoba menghilangkan kontrol dan sensor, dan menekankan pada mekanisme self regulation bagi pers. Kondisi ideal yang ingin diwujudkan adalah adanya internal control pada masing-masing organisasi pers sehingga secara otonomi akan mampu memperbaiki kelemahan masing-masing.7 Dalam dunia pers, self regulation diartikan sebagai pengaturan diri dalam menjaga dan menjalankan kinerja pers dari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya pelanggaran terhadap profesionalisme wartawan. Konsep mekanisme self regulation dari perspektif media politik adalah syarat utama negara menitikberatkan pada nilai kebebasan dan mengurangi dominasi keamanan. Penyelesaian kasus yang menyeret pers misalnya, harusnya diselesaikan dengan aturan dari mekanisme self regulation yang berlaku. Mekanisme self regulation haruslah dibuat secara independen, tak ada campur tangan dari pihak luar (pemerintah). Hal ini untuk menghindari adanya gangguan independensi dari sistem dalam mekanisme self regulation dan menghindari munculnya otoritas yang akan menghasilkan code of conduct. Hal ini ditakuti terjadi karena sanksi code of conduct sifatnya langsung, tegas, dan konkret. Untuk itu, mekanisme self regulation perlu lebih dikuatkan lagi, baik dari isi maupun sanksi yang berlaku, agar insan pers memahami pentingnya self regulation pada dirinya saat bekerja. Dunia pers saat ini begitu banyak mengalami tekanan dalam menghasilkan produk jurnalistik, salah satunya tekanan politik dan ekonomi. Terkait tekanan politik, apabila negara menganut sistem totaliter maka penguasa atau pemerintah memiliki andil dalam mengatur pers, sehingga pers khususnya wartawan tidak memiliki kebebasan dalam menghasilkan informasi untuk publik. Sedangkan terkait tekanan ekonomi,
7
Hermin Indah Wahyuni. 2007. Politik Media dalam Transisi Politik: Dari Kontrol Negara Menuju Self Regulation Mechanism. Vol 4, Nomor 1. Hal: 18.
9
pers kini dijadikan lahan bisnis semata. Produk pers kini hanya didasarkan atas “apa yang laku dijual di pasaran”. Sehingga mengesampingkan kaidahkaidah dalam menjalankan praktik jurnalisme. Tekanan-tekanan inilah yang akan melahirkan bad journalism, yakni menjadikan jurnalisme sebagai komoditas yang dibungkam dan atau diperdagangkan. Bentuk self regulation bagi wartawan salah satunya adalah dengan memahami dan menjalankan KEJ dalam melaksanakan pekerjaannya. KEJ diciptakan untuk mengatur moral wartawan melalui ketentuan-ketentuan tertulis, yang diharapkan dipegang teguh oleh wartawan dalam menjalankan tugasnya. Agar kode etik dapat berfungsi dengan baik, salah satu syarat mutlaknya adalah kode etik dibuat oleh kesatuan organisasi profesi. Seperti yang kita tahu, KEJ yang berlaku bagi pers saat ini dibuat dan dirumuskan oleh lebih dari 40 organisasi wartawan yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, KEJ merupakan pedoman bagi wartawan dalam bekerja. Pelanggaran atas KEJ tidak hanya akan merugikan diri wartawan, tapi juga bagi masyarakat yang mengkonsumsi produk pers.
A.6. Model penelitian Gambar 1.1 Bagan Model Penelitian
10
A.7. Kerangka Konsep A.7.1. Hakikat Organisasi Wartawan Jurnalis menghimpun diri dalam suatu organisasi profesi. Organisasi profesi jurnalis merupakan organisasi pers. Hal ini dicantumkan dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 40/1999, “Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”. Organisasi wartawan masih dibutuhkan karena organisasi wartawanlah yang memiliki peranan mengeluarkan kode etik jurnalistik, berarti pembinaan etis personel jurnalis diletakkan sebagian pada organisasi ini. Organisasi wartawan ini akan menyediakan kemungkinankemungkinan
untuk
mengembangkan
kapasitas
teknis
profesional
anggotanya dan memantau pelaksanaan kode etik jurnalistik anggotanya. Organisasi wartawan yang pertama didirikan di Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946, yang kemudian membuat kode etik jurnalistik pada tahun 1955. PWI menjadi satu-satunya organisasi kewartawanan dan wajib diikuti oleh semua wartawan di Indonesia sampai tahun 1999, sekalipun AJI sudah berdiri sejak tahun 1994. Berdasarkan UU No. 40/1999 tentang Pers, yang diundangkan pada 23 September 1999, disebutkan bahwa organisasi profesi wartawan boleh bebas didirikan sehingga monopoli PWI sebagai satu-satunya organisasi kewartawanan sudah tidak ada. Akibatnya, setelah diundangkan muncul banyak organisasi profesi kewartawanan walaupun akhirnya hanya ada beberapa saja yang bisa bertahan. Dalam undang-undang ini juga tidak ada ketentuan yang mewajibkan jurnalis masuk menjadi anggota dalam organisasi wartawan dan mereka berhak memilih organisasi wartawan yang sesuai dengan nurani mereka. Namun setiap jurnalis wajib menaati kode etik jurnalistik. Untuk menyatukan pandangan tentang kode etik jurnaistik maka pada tanggal 6 Agustus 1999, sekitar 26 organisasi profesi jurnalis berkumpul dan menyepakati Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai kode etik jurnalistik bersama.
11
Salah satu fungsi dibentuknya Dewan Pers adalah untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik. Namun, kewenangan pengawasan itu lebih ditekankan kepada organisasi wartawan. Organisasi wartawan yang mengeluarkan kode etik tentunya juga harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kode etik tersebut bagi anggotanya. Organisasi wartawan selayaknya memiliki komitmen untuk menegakkan kode etik jurnalistik dan bekerja keras untuk memastikan anggotanya melaksanakan kode etik jurnalistik. Beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh organisasi wartawan dalam menegakkan kode etik jurnalistik adalah: 1. Membentuk majelis kode etik yang independen dan senantiasa mengawasi peksanaan kode etik jurnalistik. Majelis ini juga siap untuk memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar kode etik jurnalistik. Pelaksanaan kode etik harus selalu mendapatkan pengawasan agar kode etik menjadi kewajiban bagi anggota organisasi tersebut. Pelanggaran kode etik akan mendapat sanksi keras dari organisasi yang bersangkutan bahkan sanksi terberat dikeluarkan dari keanggotaan. 2. Secara rutin menyelenggarakan pelatihan teknis dan etis jurnalistik kepada anggotanya. Pelatihan ini dalam rangka untuk mengasah terusmenerus kemampuan anggotanya baik di bidang teknik jurnalistik maupun aspek etisnya. Jurnalis perlu untuk selalu mendapat penyegaran tentang teknik maupun etika jurnalistik. 3. Ikut memperjuangkan hak-hak anggota dalam perusahaan tempat anggota tersebut bekerja. Hak-hak itu menyangkut kesejahteraan maupun posisi tawar dalam kegiatan jurnalistik. Jurnalis merupakan profesi yang rentan, baik ketika sedang menjalankan tugas maupun ketika bernegosiasi dengan media tempat mereka bekerja. Organisasi wartawan harus memperjuangkan hak-hak mereka terutama bila mereka dalam posisi lemah. Perlindungan dari organisasi akan meningkatkan loyalitas anggota terhadap organisasi sehingga kesadaran untuk menegakkan kode etik jurnalistik selalu terjaga.
12
4. Organisasi wartawan perlu melakukan sosialisasi kegiatan sebagai upaya mereka dalam menegakkan kode etik jurnalistik seperti kampanye wartawan anti amplop. Sosialisasi ini perlu untuk diketahui masyarakat luas sehingga mereka pun mengetahui apa dan bagaimana kode etik jurnalistik itu. Bila masyarakat mengetahui tentang kode etik jurnalistik maka masyarakat dapat ikut mengawasi jurnalis dalam pelaksanaan kode etik jurnalistik.
A.7.2. Konsep Profesionalisme Wartawan Ada banyak pengertian tentang profesionalisme wartawan. Namun sebelum beranjak lebih jauh tentang apa itu profesionalisme wartawan, maka ada baiknya jika kita menelaah terlebih dahulu
apa itu
profesionalisme. Profesionalisme merupakan perkembangan dari kata profesi. Profesi ini tentu berbeda dengan hanya sekedar pekerjaan. Sahala dalam tulisannya, “Wartawan, Pekerja atau Profesi?”, menyebutkan ada banyak ilmuwan yang memiliki versi tersendiri tentang karakteristik profesi:8
Terence J. Johnson, menyebutkan bahwa profesi memiliki enam kriteria, yaitu keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoretis,
penyediaan
pelatihan
dan
pendidikan,
pengujian
kemampuan anggota, organisasi, kepatuhan kepada suatu aturan main profesional, dan jasa pelayanan yang sifatnya altruistik.
B. Barber, menyatakan bahwa profesi memiliki empat ciri, yakni pengetahuan
umum
yang tinggi,
lebih
berorientasi
kepada
kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi melalui kode etik yang dihayati dalam proses sosialisasi pekerjaan, serta melalui asosiasiasosiasi sukarela yang diorganisasikan dan dijalankan oleh para 8
Dr. Atwar Bajari & Drs. S. Sahala Tua Saragih. 2011. Komunikasi Kontekstual: Teori dan Praktik Komunikasi Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal: 491-493.
13
pekerja spesialis itu sendiri, dan sistem balas jasa (berupa uang dan kehormatan) yang merupakan lambang prestasi kerja, sehingga menjadi tujuan, bukan alat untuk mencapai tujuan kepentingan pribadi.
Brandeis, berpendapat bahwa pekerjaan yang disebut profesi adalah pekerjaan yang memiliki dukungan berupa: ciri-ciri pengetahuan, diabdikan untuk kepentingan orang lain, keberhasilannya bukan didasarkan pada keuntungan finansial, didukung oleh organisasi (asosiasi) profesi yang tugasnya, antara lain: menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik serta bertanggung jawab dalam memajukan dan menyebarkan profesi yang bersangkutan, dan ditentukan adanya standar kualifikasi profesi. Jika disimpulkan maka yang disebut sebagai profesi adalah sebuah
pekerjaan yang menuntut pengetahuan yang tinggi, didedikasikan pada masyarakat umum, diwadahi dalam sebuah organisasi profesi yang bisa mengatur kode etik profesi. Wartawan, setidaknya memenuhi dua unsur profesi diatas, yakni pekerjaannya didedikasikan pada masyarakat umum dan dinaungi sebuah organisasi profesi. Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional.9
Profesionalisme merupakan sikap dari seorang
profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Konsep
profesionalisme,
seperti
dalam
penelitian
yang
dikembangkan oleh Hall, banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari 9
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 897.
14
sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu:10 -
Pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
-
Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus.
-
Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
-
Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen
10
Sumardi. 2001. Tesis: Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja. Undip. Terarsip dalam http://eprints.undip.ac.id/8851/ , diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, Pkl. 22.25 WIB.
15
pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi. -
Kelima, kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna. Sehingga diperoleh inti dari profesional, yaitu: Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya. Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu. Hidup dari pekerjaanya. Bangga akan pekerjaannya. Adapun untuk karakteristik profesi yang pertama yakni menuntut pengetahuan
yang tinggi,
meskipun
benar
adanya,
namun
harus
dipertanyakan lebih jauh karena kadang ada juga wartawan yang berpengetahuan dan beretika rendah. Hal inilah yang kemudian akan membuat perbedaan antara wartawan profesional dan wartawan asal-asalan. Ada beberapa pengertian wartawan profesional. Menurut Budiman S Hartoyo, wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.11 Wartawan profesional memiliki beberapa karakteristik yakni:12 1. Menguasai keterampilan jurnalistik. Seorang wartawan mesti memiliki keahlian (expertise) menulis berita sesuai kaidah-kaidah jurnalistik. Ia harus menguasai teknik menulis berita, juga feature 11
Terarsip dalam http://suaramuhibbuddin.blogdetik.com/2010/06/16/bagaimana-menjadiwartawan-profesional/, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, Pkl. 22.51 WIB. 12 Terarsip dalam http://romeltea.wordpress.com/2007/10/02/kode-etik-jurnalistik-etikaprofesional-wartawan/, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, Pkl. 23.12 WIB.
16
dan artikel. Untuk itu, seorang wartawan mestilah orang yang setidaknya pernah mengikuti pelatihan dasar jurnalistik. Ia harus terlatih dengan baik. Keterampilan jurnalistik meliputi antara lain teknik pencarian berita dan penulisannya, di samping pemahaman yang baik tentang makna sebuah berita. Ia harus memahami apa itu berita, nilai berita, macam-macam berita, bagaimana mencarinya, dan kaidah umum penulisan berita. 2. Menguasai bidang liputan (beat). Idealnya, wartawan menjadi seorang “generalis”, memahami dan menguasai segala hal, sehingga mampu menulis dengan baik dan cermat apa saja. Namun, yang terpenting ia harus menguasai bidang liputan dengan baik. Wartawan olahraga harus menguasai istilah-istilah atau bahasa dunia olahraga. Wartawan ekonomi harus memahami teori-teori dan istilah ekonomi. Demikian seterusnya. 3. Memahami serta mematuhi etika jurnalistik. Wartawan yang profesional memegang teguh etika jurnalistik. Untuk wartawan Indonesia, etika itu terangkum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang sudah ditetapkan Dewan Pers sebagai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) bagi para wartawan di Indonesia. Kepatuhan pada kode etik merupakan salah satu ciri profesionalisme, di samping keahlian, keterikatan, dan kebebasan. Dengan pedoman kode etik itu, seorang wartawan tidak akan mencampuradukkan antara fakta dan opini dalam menulis berita; tidak akan menulis berita fitnah, sadis, dan cabul; tidak akan “menggadaikan kebebasannya” dengan menerima amplop; hanya menginformasikan yang benar atau faktual; dan sebagainya. Jika disimpulkan maka wartawan profesional adalah wartawan yang memahami tugasnya, dengan kata lain wartawan profesional adalah wartawan yang memiliki keterampilan untuk melakukan reportase dan mengolah karya-karya jurnalistik sesuai dengan nilai yang berlaku, memiliki independensi dari objek liputan dan kekuasaan, memiliki hati nurani serta
17
memegang teguh kode etik jurnalistik yang diatur oleh organisasi profesi yang diikutinya.
A.8. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah organisasi wartawan, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Keduanya dipilih karena beberapa alasan, yaitu: PWI dipilih karena merupakan organisasi wartawan pertama yang lahir di Indonesia. Saat rezim Orba runtuh, lahir PWI reformasi, yaitu organisasi wartawan yang terintegrasi dengan seluruh komponen masyarakat dengan banyak elemen progresif, dan laskar-laskar untuk mendukung revolusi kemerdekaan.13 Komitmen PWI yang terpenting adalah pengurus PWI tidak boleh merangkap jabatan pada pengurus partai politik.14 AJI dipilih karena merupakan organisasi wartawan yang lahir dari “pasungan” pemerintah dan PWI. AJI lebih terfokus pada penolakan terhadap keseragaman yang diterapkan melalui wadah tunggal. Selain itu, AJI memiliki tingkat konsistensi pada prinsipnya untuk menolak pemaksaan informasi sepihak yang mengatasnamakan kepentingan bangsa untuk kepentingan pribadi dan golongan, serta menolak penyelewengan hukum yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.15 PWI dan AJI yang dipilih sebagai fokus penelitian adalah PWI dan AJI Jogja. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan organisasi wartawan yang dianggap cukup “sehat”, memenuhi persyaratan dari Dewan Pers, dan masih aktif hingga saat ini. Keduanya dipilih sebagai wakil dari banyaknya organisasi wartawan yang memiliki cabang di daerah. Walaupun sama-sama sebagai 13
AN Ismanto, dalam Taufik Rahzen, et.al. 2007. Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Jakarta: Iboekoe. Hal: 188. 14 Terarsip dalam http://pwi.or.id/index.php/presspediapwi/787-p-dari-ensiklopedi-pers-indonesiaepi, diakses pada tanggal 1 Desember 2013 Pkl. 04.30 WIB. 15 Arahman Ali, dalam Taufik Rahzen, et.al. Op.Cit., Hal: 385.
18
organisasi wartawan, namun keduanya “bersebrangan” dalam memegang azasazas atau prinsip dalam organisasinya. Sehingga nantinya dapat dilihat perbedaan peran dari masing-masing organisasi wartawan, khususnya dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan.
A.9. Metodologi Penelitian A.9.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah jenis penelitian yang memberikan suatu gambaran yang mendetail mengenai latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus atau peristiwa.16 Tujuan penggunaan studi kasus sebagai metode penelitian adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu, kelompok lembaga atau masyarakat. Metode studi kasus mempunyai banyak variabel dan banyak kondisi pada sampel yang kecil.17 Esensi dari studi kasus menurut Schramm, adalah mencoba menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi kasus tersebut dipilih, bagaimana mengimplemtasikannya, dan apa hasilnya. Sehingga studi kasus digunakan untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan how dan why terhadap serangkaian peristiwa kontemporer yang menjadi objek penelitian.18 Why dalam studi kasus ini adalah tentang seberapa pentingnya profesionalisme wartawan dalam menjalankan profesinya. Sedangkan untuk how dalam studi kasus ini adalah tentang peran dari organisasi wartawan, yakni PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan. Untuk menjawab how dan why tersebut, studi kasus deskriptifeksploratoris lah yang akan digunakan dalam penelitian ini. Studi kasus 16
Muhammad Nazir. 1992. Metode Penelitian. Jakarta: PT.Ghalia Indonesia. Hal: 6. Cholid Narbuko & Abu Achadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 46. 18 Robert K. Yin. 2002. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal: 1. 17
19
deskriptif digunakan karena mampu memberikan gambaran yang mendetail dan menyeluruh mengenai pentingnya profesionalisme wartawan dalam menjalankan profesi sebagai seorang wartawan dan juga tentang peran dan cara PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan.
Sedangkan
studi
kasus
eksploratoris
digunakan
untuk
mendapatkan jawaban mengenai alasan dibuatnya program-program tertentu yang berkaitan dengan usaha peningkatan profesionalisme wartawan.
A.9.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua kantor organisasi wartawan di Indonesia, yaitu: 1) Kantor Pusat PWI Jogja, yang beralamat di Jalan Gambiran No.45, Yogyakarta, 55161. 2) Kantor Pusat AJI Jogja, yang beralamat di Jalan Pakel Baru UH 6/1124, Umbulharjo, Yogyakarta. A.9.3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan penelitian, akan didapatkan dengan cara mengumpulkan beberapa data, sebagai berikut: Observasi non partisipan Observasi non partisipan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk melihat langsung ke lapangan, tanpa membutuhkan keterlibatan langsung dalam kegiatan yang diteliti. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan data yang mendetail, peneliti akan berada di lokasi penelitian
tanpa
mengganggu
kegiatan-kegiatan
yang
sedang
berlangsung, atau disebut sebagai pengamat saja. Wawancara Wawancara sangat dibutuhkan dalam penelitian ini, karena merupakan sumber data yang paling utama dan esensial dalam studi kasus, sehingga nantinya akan diperoleh informasi dan keterangan secara langsung
20
mengenai data yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini, wawancara yang dilakukan dengan jenis wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur dipilih karena pelaksanaannya yang bebas dilakukan kapan saja dan lebih mengalir. Interview guide (daftar pertanyaan) disusun untuk memudahkan saat proses berjalannya wawancara, tetapi tidak menutup kemungkinan diajukan beberapa pertanyaan tambahan yang masih relevan dengan topik penelitian. Untuk memilih informan yang dapat memberikan data secara efektif, maka akan digunakan teknik penggalian data, yaitu sebagai berikut:19 1. Sudah cukup lama dan intensif bergabung dengan organisasi wartawan serta menghayati keterlibatannya dalam organisasi tersebut. 2. Punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai. 3. Informan tidak cenderung mempersiapkan jawaban terlebih dahulu. Wawancara dilakukan bersama narasumber yang terpilih. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari lima orang, yaitu: 1. Anang Zakaria (Koordinator Divisi Sekolah Jurnalistik, AJI Jogja) 2. Bambang MBK (Anggota AJI Jogja) 3. Hendrawan Setiawan (Ketua AJI Jogja) 4. Kresna (Koordinator Divisi Serikat Pekerja, AJI Jogja) 5. Tomy C. Guntoro (Sie Seni dan Budaya, PWI Jogja) 6. Edy M. Ya‟kub (Sie Bidang Ekonomi dan Bisnis, PWI Jogja) 7. Swadesta Aria Wasesa (Anggota Wartawan Muda, PWI Jogja) Studi Pustaka Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data berupa data-data dan teori atau pemikiran para ahli yang tertulis, mengenai informasi-informasi yang berkaitan dan relevan dengan penelitian ini. Sumber yang digunakan dalam studi pustaka adalah buku, jurnal, makalah, tulisan dari situs web, serta dokumen serta arsip yang berkaitan dengan focus penelitian.
19
Burhan Bungin. 2007. Analisa Data Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press.
21
A.9.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengujian data, pengkategorian dan pentabulasian transkrip wawancara, serta pengkombinasian bukti-bukti yang merujuk kepada proporsi awal penelitian. Analisis pada penelitian ini mendasarkan pada proposisi teoritis dan hasil pengamatan dan wawancara dilapangan. Data-data yang diperoleh dicari korelasinya dengan proposisi-proposisi yang ada pada bab sebelumnya. Proposisi disini mengacu pada temuan awal yang diperoleh peneliti. Pada penelitian ini, proposisi teoritisnya adalah peran dan cara yang dilakukan oleh organisasi wartawan, apakah memiliki pengaruh atau efek yang besar bagi anggotanya dalam usaha peningkatan profesionalisme wartawan. Sehingga nantinya proposisi-proposisi itulah yang akan membantu peneliti dalam mengarahkan hasil penelitiannya dan membuat analisis dalam bentuk tabel perbandingan antara program-program yang dibuatdari PWI dan AJI Jogja dalam usaha meningkatkan profesionalisme wartawan. Hal ini dilakukan agar hasil komparasi dapat dijabarkan secara lugas dan jelas, serta mendapatkan kesimpulan yang komprehensif.
22