BAB I PENDAHULUAN A. Warga Berdaya: Wujud Kebangkitan Nyata Modal Sosial “Yogyakarta Istimewa” nampaknya bukanlah tagline semata. Keistimewaan Yogyakarta dapat kita lihat dari banyak aspek mulai dari pendidikan, pemerintahan, budaya hingga kehidupan sosialnya. Salah satu sisi positif dari kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta ialah semangat gotong royongnya yang tinggi. Bahkan dibeberapa daerah di Yogyakarta, yang sedikit banyak telah menunjukkan ciri kekotaan, masih terlihat semangat bahu-membahu didalamnya. Hal tersebut nampak dari kegiatan rutin kemasyarakatan seperti; musyawarah RT/RW, ronda malam, kerja bakti dan lain-lain. Perjalanan panjang penanaman dan aplikasi nilai-nilai keguyuban, kebersamaan, bahu-membahu khas Jawa inilah yang menghasilkan fondasi kuat bagi modal sosial dalam kelompok masyarakat Yogyakarta selama lebih dari puluhan tahun. Namun perjalanan panjang ini nampaknya berbanding terbalik dengan jargon tersebut, ketika di tahun 2001 terdapat hasil riset yang menyatakan bahwa modal sosial di Yogyakarta belum termanifestasi secara baik lewat institusi dan mekanisme yang mewadahi1. Riset yang dilakukan oleh FISIPOL UGM bekerjasama
dengan
Kantor
Eks
Menteri
Negara
Masalah-Masalah
Kemasyarakatan tersebut menarik kesimpulan bahwa modal sosial di Yogyakarta tidak memiliki institusi dan mekanisme yang baik karena kerukunan dan keguyuban yang selama ini tercipta hanyalah dikarenakan kepatuhan masyarakat
1
Pratikno dkk, 2001, Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian NilaiNilai Kemasyarakatan (Social Capital) Untuk Integrasi Sosial, (laporan akhir), Yogyakarta. Hlm 117
1
terhadap kekuatan Kraton, dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono IX, semata2 (semu). Hal tersebut juga menjadi bukti nyata bahwa nilai masyarakat Jawa (prinisp harmoni dan kerukunan) yang dijunjung selama ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Kraton yang dominan. Lebih lanjut, penelitian tersebut juga melihat bahwa kerukunan yang tercipta antara penduduk asli dengan pendatang ialah karena adanya penerimaan kultural kelompok minoritas terhadap nilai-nilai etnis mayoritas. Kondisi inilah yang menjadi dilematis karena penelitian mengasumsikan bahwa apabila terdapat peningkatan keberagaman kelompok pendatang secara kualitatif yang disertai penolakan terhadap nilai-nilai etnis mayoritas (Jawa) ataupun penurunan etnis Jawa secara kuantitaif, maka akan berpotensi menurunkan kadar modal sosial3. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut berpotensi menciptakan konflik yang lebih besar. Namun demikian, asumsi penelitian tersebut dipenghujung tahun 2012 lalu terbantahkan. Pasalnya, ketika itu, kelompok kaum urban yang berasal dari beragam daerah yang tergabung dalam asosiasi (komunitas-komunitas) di Yogyakarta seperti komunitas pesepeda (Jogja Last Friday Ride), komunitas mural (Street Art Community), komunitas lingkungan (Reresik Sampah Visual), komunitas difabel, komunitas pejalan kaki dan lain-lain4 justru membangkitkan potensi modal sosial yang ada melalui aksi kolektif merawat kota. Adapun cara yang digunakan Warga Berdaya untuk memantik kembali modal sosial masyarakat Yogyakarta dilakukan melalui dua media. Pertama, aksi 2
Ibid. Hlm 109 Ibid. hlm 96 4 Si(apa) Warga Berdaya, diakses melalui https://wargaberdaya.wordpress.com/about/, pada 15 Juli 2015 3
2
turun langsung kejalan secara damai. Kedua, aksi kampanye melalui jejaring sosial media wordpress untuk menghimpun perhatian publik yang lebih luas. Kedua cara ini dilakukan Warga Berdaya sebagai metode yang dianggap paling tepat sesuai dengan perkembangan zaman. Warga Berdaya sejatinya hadir sebagai respon atas krisis pemerintahan yang pada saat itu dinilai tidak mampu menciptakan tata kelola kota yang nyaman bagi penghuninya. Kota dalam kacamata Warga Berdaya, merujuk pada pendefinsian Bintarto yang melihatnya sebagai wilayah yang berstrata ekonomi heterogen, dengan kepadatan penduduk tinggi dan bercorak matrealistis5. Sehingga ketika terdapat krisis tata ruang di Yogyakarta yang bercorak kekotaan sekalipun secara administratif tidak termasuk, wilayah tersebut pun akan turut diresponnya. Dengan melihat fenomena ini, dapat dipahami bahwa asumsi penelitian sebelumnya yang menyebutkan akan terdapat kecenderungan penurunan modal sosial akibat keheterogenitasan kaum urban, justru terbantahkan karena modal sosial di justru dibangkitkan oleh kaum urban itu sendiri. Lebih lanjut, apabila fenomena Warga Berdaya direfleksikan pada konsep modal sosial Putnam, maka dapat dikatakan bahwa saat ini modal sosial di Yogyakarta kembali mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan Warga Berdaya yang terdiri dari komunitas-komunitas urban (beragam), mampu melakukan praktek trespassing (pertukaran nilai-nilai yang substansial) dan berujung pada aktifasi aksi kolektif. Selain itu, melalui Warga Berdaya dapat pula dilihat bahwa pembangunan nilai modal sosial di Yogyakarta tidak lagi hanya dikarenakan kekuatan kulutral
5
Bintarto, R. 1977. Pengantar Geografi Kota. U.P. Spring: Yogyakarta
3
(Jawa) tetapi minoritas urban (Batak dan Jawa Timur-an) juga turut mengambil bagian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modal sosial yang terbentuk lebih substansial karena inisiatif untuk menggagas aksi kolektif lahir dari masyarakat. Oleh karena itu, pengkajian fenomena kebangkitan modal sosial di Yogyakarta ini penting dan menarik untuk dilakukan lebih jauh dikarenakan dua hal; Pertama, penelitian dapat mengeksplorasi gelagat modal sosial yang tumbuh secara substansial di Yogyakarta (bukan hanya dikarenakan dominasi kultural). Kedua, penelitian dapat melihat proses aktifasi modal sosial tersebut secara komperhensif yaitu secara langsung (asosiasi fisik) dan tidak langsung (jaringan internet).
B. Rumusan Masalah Bagaimana proses aktifasi modal sosial oleh Warga Berdaya sebagai respon atas permasalahan tata ruang di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini setidaknya memiliki tiga tujuan utama yaitu; -
Mengetahui proses aktifasi modal sosial oleh Warga Berdaya.
-
Mengetahui proses pemanfaatan sarana-sarana (jaringan fisik dan non fisik) aktifasi modal sosial oleh Warga Berdaya.
-
Mendokumentasikan secara analitis fenomena aktifasi modal sosial di Yogyakarta yang dipioniri oleh Warga Berdaya.
4
D. Kerangka Teori D.1 Logika Modal Sosial: Elemen Pembentuk, Asosiasi, Proses Bekerja Seiring dengan perubahan zaman dan pemikiran disetiap era, upaya mendefinisikan modal sosial juga kerapkali dilakukan dengan cara yang berbedabeda.Dari beragam definisi yang ada, dua diantaranya yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah definisi modal sosial Fukuyama dan Putnam. Hal ini dikarenakan kedua definisi tersebut mencakup beberapa aspek dalam kehidupan masyarakat luas. Dalam pendefinisiannya, Fukuyama menyatakan modal sosial sebagai kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas6. Sedangkan Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai “features of social organization, such as trust, norms, and networks, that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated action7. Lebih jauh, Putnam mendefinisikan
modal
sosial
sebagai
kemampuan
masyarakat
untuk
menyelesaikan permasalahan publik dalam iklim demokratis. Dari pemaparan yang dikemukakan Putnam, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga elemen yakni; jaringan, norma dan kepercayaan sebagai unsur utama pembentuk modal sosial. Untuk dapat mengulasnya lebih lanjut maka pemahaman terkait unsur-unsur tersebut akan diuraikan dibawah ini
6
Inayah. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal Pengembangan Humaniora. Vol.12 No.1. 2012. Hlm 43. Diakses melalui http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper 6%20apr%202012.pdf, pada tanggal 15 Januari 2015 7 Putnam, Robert D,1993, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy, United Kingdom: Princetoon University Press. Hlm 167
5
-
Jaringan: Jaringan sosial yang memiliki nilai dan kontak sosial yang mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok8.
-
Norma: adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial9.
-
Kepercayaan: adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, atau setidaknya yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya10. Dalam pemaparan logika Putnam terkait proses pembentukan modal sosial,
elemen-elemen tersebut tidaklah terbentuk begitu saja. Dalam penelitiannya di dua daerah; Italia Utara dan Selatan, Putnam menemukan bahwa pembentukan modal sosial yang terdiri dari jaringan, norma dan kepercayaan terjadi dalam kehidupan berasosiasi masyarakat diluar negara. Asosiasi yang dimaksud salah satunya ialah yang berdasarkan hobi, contohnya asosiasi pencinta burung (birdwatching club)11. Dalam aktivitas asosional inilah, orang-orang yang relatif asing (berasal dari latarbelakang yang berbeda) dapat saling bertemu dan berinteraksi.
8
Field, John. 2011. Modal Sosial. Kreasi Wacana: Yogyakarta. Hlm 51 Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta. Hlm 13 10 (Robert D.Putnam, 1993,1995 dan 2002) Ibid. Hlm 7 11 Putnam Op.cit. hlm.90 9
6
Kondisi inilah yang mewadahi proses pertukaran nilai antar individu dan memfasilitasi terciptanya modal sosial dalam entitas masyarakat. Melalui kegiatan asosional ini pula jaringan antar individu yang multikultur dan multietnis dapat terbangun, terpelihara dan berkembang menjadi lebih luas. . Lebih lanjut, kehidupan asosional tersebut
pada akhirnya akan
mengarahkan modal sosial menjadi dua bentuk yaitu: modal sosial terikat (bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) 12. Karakteristik modal sosial terikat ialah orientasinya yang bersifat ke dalam (inward looking), sehingga konteks, ide, perhatian dan relasi lebih difokuskan ke dalam. Selain itu, pihak-pihak yang terlibat juga merupakan kelompok yang homogen sehingga berasal dari suku, ras, golongan yang sama. Lebih lanjut, kelompok ini juga lebih memfokuskan diri untuk menjaga nilai atau tradisi turun-temurun yang umumnya bersifat konservatif. Sedangkan, modal sosial yang menjembatani ialah modal sosial yang berorientasi keluar (outward looking). Dengan demikian, ide, perhatian dan pemikiran yang ada difokuskan untuk pihak-pihak diluar kelompok. Selain itu, modal sosial tipe ini juga terbuka dan heterogen. Hal tersebut dapat dilihat dari anggotanya yang beranggotakan lintas ras, suku dan golongan. Prinsip yang mendasari tipe modal sosial ini ialah prinsip-prinsip umum tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Dalam bentuk modal sosial ini, prinsip persamaan dijunjung melalui kesamaan hak dan kewajiban antar anggota. Kemudian prinsip-prinsip tersebut ditegakkan melalui kebebasan setiap anggota dalam mengemukakan pendapat. Terakhir, yang 12
Op.cit. Hlm 25-32
7
menjadi salah satu ciri terpenting dari kelompok tipe modal sosial ini ialah dimensi “fight for”-nya yang berarti berjuang untuk mencari pemecahan masalah bersama. “A convenient shorthand for what makes societies works”13 merupakan penafsiran yang tepat bagi peran modal sosial. Hal ini dikarenakan, dengan keberadaan modal sosial, aksi kolektif demi mencapai tujuan bersama dapat diwadahi. Modal sosial dapat dilihat sebagai roh pemantik semangat masyarakat sipil dalam mewujudkan kepentingan bersama. Kondisi ini tidak lain dikarenakan modal sosial berperan sebagai elemen penstimulus kerjasama antar individu dalam aksi-aksi kolektif. Dalam hal ini, modal sosial berperan sebagai penstimulus karena modal sosial bekerja mengikat masyarakat yang terdiri dari kumpulan dari jaringan sosial dan institusi, norma-norma sosial dan nilai-nilai atau atribut sosial14. Proses mengikat masyarakat inilah yang pada akhirnya membangun rasa kepedulian dan kebersamaan antar individu dalam kelompok, sehingga menghasilkan rasa keterikatan (bounding) satu sama lain. Rasa keterikatan ini memfasilitasi kerjasama yang menyenangkan sehingga membuat individu dalam kelompok merasa wajib berperan untuk meraih tujuan bersama. Berbekal perasaan tersebutlah maka tiap-tiap individu akan terdorong untuk terus-menerus terlibat dan berkontribusi secara aktif. Dengan demikian, secara garis besar modal sosial akan mendorong kelompok masyarakat untuk terus bergerak dikarenakan dua hal: pertama, ikatan yang memfasilitasi
13
Edward (1999) dalam Suharko.Ibid. Suharko. Masyarakat Sipil, Modal Sosial dan Tata Pemerintahan yang Demokratis. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol 8 No. 3. 2005. Hlm 274. Diakses melalui http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/206/201 14
8
kerjasama yang baik antar individu sehingga menghasilkan keakraban dan rasa memiliki satu sama lain. Kedua, perasaan bertanggung jawab untuk berperan dalam upaya pencapaian tujuan publik dalam kelompok karena adanya kepedulian terhadap persoalan bersama yang dihadapi. Lebih jauh, modal sosial ini juga penting untuk terus diregenerasi karena modal sosial hanya akan tumbuh dan berkembang kalau digunakan bersama dan akan mengalami kepunahan kalau tidak dilembagakan secara bersama15. D.2 Kehidupan Asosiasi Masyarakat Urban dalam Jaringan Internet Menurut S.R Steinmetz masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang meliputi pengelompokan manusia-manusia yang lebih kecil, yang mempunyai perhubungan yang erat dan teratur16. Sedangkan urban sendiri adalah sesuatu yang berkenaan dengan kota atau perkotaan. Sehingga masyarakat urban merupakan sekelompok besar manusia yang menempati sebuah daerah yang memiliki ciri kekotaan (kota). Ciri kelompok masyarakat urban ini berkaitan erat dengan ciri masyarakat modern karena umumnya kelompok masyarakat modern merupakan produk dari interaksi kelompok masyarakat dengan kota. Adapun enam ciri masyarakat modern yang melekat pada masyarakat urban merujuk pada teori Talcott Parsons17 antara lain; netral afektif (lebih mementingkan rasionalitas), orientasi diri (individualistik), universialisme, heterogen (wadah melting point pertemuan beragam suku ras agama adat), dan berorientasikan prestasi.
15
Inayah. Op.cit. Hlm 44 Harsojo. 1967. Pengantar Antropologi, Jakarta: Binatjipta. Hlm 145 17 H.E Kosim. 1996. STBA Yapari Bandung. Hlm 97 16
9
Dengan adanya kebutuhan untuk berfikir rasional dan berprestasi mendorong kelompok masyarakat urban yang modern lebih “melek” teknologi bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Selain itu, dengan kebutuhan tersebut, tanpa disadari kelompok masyarakat ini masuk kedalam dunia baru yaitu dunia teknologi jaringan yang dinamakan internet. Melalui jaringan ini, kelompok masyarakat akan terhubung satu sama lain dengan sangat cepat, lintas batas dan sekat antar negara. Sebelum lebih jauh membahas mengenai jaringan internet, pemaparan akan didahului dengan pemahaman mengenai jaringan dan internet itu sendiri. Jaringan apabila merujuk pada pendefinsian Castells dilihat sebagai simpul titik-titik yang saling berkaitan. Sedangkan internet merupakan jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang terorganisasi di seluruh dunia melalui telepon atau satelit. Sehingga jaringan internet ialah set tititk-titik yang saling berkaitan yang dihubungkan oleh komunikasi elektornik keseluruh dunia. Jaringan ini dapat menentukan jarak (atau intensitas dan frekuensi interaksi) antara dua titik (atau posisi sosial) lebih dekat (atau lebih sering atau lebih intens) jika kedua poin dalam titik berada dalam jaringan yang sama daripada tidak didalam jaringan sama sekali18. Lebih jauh, pada masyarakat modern, proses inklusi dan ekslusi dalam jaringan ditentukan oleh kecepatan teknologi informasi yang mampu mengaitikan satu titik dengan titik lainnya tanpa batasan 19. Dengan adanya
18
Castells, Manuel. 2010. The Rise of the Nerwork Society: Second Edition With a new preface. United Kingdom: Willey-Blackwell. Hlm 501 19 ibid
10
perkembangan teknologi jaringan yang menghubungkan individu tanpa sekat ini, tanpa disadari telah memunculkan model komunikasi baru. Menurut Castells model komunikasi baru yang terbentuk dengan adanya teknologi komunikasi di era digital ini ialah “mass-self communication”. Model komunikasi ini berbeda dengan mass communication yang pada awalnya dibentuk satu arah untuk menyiarkan informasi secara luas kepada publik dengan tujuan tertentu seperti pada surat kabar, radio dan televisi.
Pada mass-self
communication komunikasi yang dilakukan ialah ditujukan secara luas/ massa karena berpotensi menjangkau audiens global secara luas melalui video di Youtube, blog di RSS atau email massif melalui e-mail list. Namun yang membedakannya dengan mass communication ialah kata “self” yang dalam hal ini merujuk pada produksi pesan yang dibuat secara mandiri oleh pengirim pesan20. Dalam hal ini, proses pembuatan pesan mulai dari pengambilan data (salah satunya dari world wide web), perumusan pesan hingga pemilihan jaringan komunikasi dilakukan secara mandiri oleh pembuat pesan. Dengan adanya model komunikasi baru, masyarakat yang biasanya berkomunikasi secara langsung (tatap muka) menjadi berpindah pada layar digital masing-masing. Kondisi ini juga yang membawa perubahan pada bentuk asosiasi (perkumpulan) yang ada dimasyarakat yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka, kini dapat pula dilakukan melalui tekonologi perangkat lunak komunikasi massa seperti Facebook, Youtube, Wordpress, Blog, E-mail dll.
20
Castells, Manuel. 2009. Communication Power. New York: Oxford University Press. hlm. 55
11
Dengan demikian, teknologi jaringan internet tersebut dapat dikategorikan sebagai elemen pelengkap dari perkumpulan fisik (tatap muka) kelompok masyarakat urban. Hal ini dikarenakan melalui jejaring teknologi yang dimiliki, seseorang tetap dapat berkomunikasi dengan orang banyak tanpa harus bertemu secara langsung. Kondisi inilah yang memfasilitasi proses pertukaran nilai-nilai yang pada awalnya dilakukan pada perkumpulan/asosiasi fisik menjadi tidak langsung (melalui jaringan internet). Disisi lain, melalui jaringan internet ini pula proses pertukaran nilai-nilai antar individu terfasilitasi, sehingga mewadahi proses pembentukan semangat modal sosial pada kelompok masyarakat. Selain itu, melalui model komunikasi ini pula, asosiasi-asosiasi secara fisik yang sudah terbentuk, dapat diperkuat seiring dengan tingginya intensitas komunikasi yang dilakukan. Model komunikasi ini memperkuat jaringan dan bersifat komplementer terhadap asosiasi-asosiasi yang secara langsung telah membangkitkan semangat modal sosial dalam sebuah kelompok masyarakat. Konsep mass-self communication yang digadang oleh Castells ini penting digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan dinamika masyarakat urban di era digital yang tidak hanya menggunakan tatap muka sebagai sarana pertukaran nilai. Selain itu, keberadaan teori ini juga digunakan sebagai pelengkap atas teori utama yaitu modal sosial Putnam. Sebelumnya, telah dipaparkan bahwa dalam konsep Putnam, modal sosial terbentuk dari wadah asosiasi-asosiasi masyarakat. Namun, asosiasi yang dilihat Putnam hanyalah yang berbentuk fisik. Hal ini, tentunya sangat beralasan karena pada saat penelitian dilakukan, perkembangan teknologi informasi belum secanggih saat ini. Namun, seiring dengan perubahan zaman, kecenderungan menunjukkan proses pertukaran nilai tidak lagi hanya dilakukan 12
dengan berasosiasi secara langsung (tatap muka) namun juga melalui jaringan digital (jaringan internet). Oleh karena itu, teori Castells juga akan digunakan dalam penelitian ini sebagai pelengkap (komplementer) terhadap teori besar modal sosial ala Putnam. Dalam perpaduannya, teori modal sosial ala Putnam akan digunakan untuk menjelaskan wadah besar terbentuknya modal sosial pada fenomena, yaitu melalui asosiasi/perkumpulan secara langsung antar komunitas. Melalui teori Putnam ini, akan disoroti bagaimana jaringan, norma dan kepercayaan dalam sebuah perkumpulan (asosiasi) mampu membentuk modal sosial dalam kelompok. Disisi lain, teori mass-self communication ala Castells akan digunakan untuk menjelaskan proses aktifasi modal sosial yang dilakukan melalui media jaringan internet seperti Whatsapp, Youtube, Facebook, Wordpress, dan Twitter. Hal ini dikarenakan, konsep Castells mampu menggambarkan dinamika fenomena penelitian, dimana melalui pesan yang dibuat secara pribadi dan dikirimkan ke khalayak luas, mampu mempengaruhi pola pikir serta cara pandang penerima pesan tersebut. Melalui kondisi inilah sarana baru pembentukan nilai dalam kelompok masyarakat pengguna mass-self communication terbentuk. Pembentukan nilai-nilai inilah yang akhirnya menjadi bekal untuk mengaktifkan dan menguatkan potensi modal sosial yang ada. Apabila konsep mass-self communication yang diusung Castells ini dianalogikan dalam konsep Putnam, maka mass-self communication dapat diibaratkan sebagai asosiasi/perkumpulan non fisik dalam kelompok masyarakat yang mewadahi proses terbentuknya modal sosial. Hal ini dikarenakan melalui
13
media mass-self communication, proses komunikasi/ pertukaran nilai antar pihak dalam kelompok dapat tetap terjadi meskipun tidak dilakukan secara langsung (tatap muka). Untuk itu, teori Castells ini akan digunakan sebagai pelengkap bagi teori utama terbentuknya modal sosial ala Putnam. E. Definisi Konseptual E.1 Modal Sosial Modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial --jaringan, norma dan kepercayaan— yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. E.2 Asosiasi Adalah sebuah perkumpulan yang didasarkan pada kepentingan bersama yang menghasilkan tautan/ hubungan antar satu sama lain. E.3 Masyarakat Urban Sekelompok besar manusia yang menempati sebuah daerah yang memiliki ciri kekotaan (kota) dengan karakteristiknya yang modern seperti; netral afektif (mengutamakan rasionalitas), orientasi diri (individualistik), universialisme, heterogen dan berorientasikan prestasi. E.4 Aktifasi Langsung Adalah proses pembangkitan reaksi yang dilakukan secara langsung dimana diantara dua atau lebih pihak bertemu secara langsung/tatap muka.
14
E.5 Aktifasi Tidak Langsung Adalah proses pembangkitan reaksi yang dilakukan secara tidak langsung dimana diantara dua atau lebih pihak tidak bertemu secara langsung melainkan melalui media lain, dalam hal ini media jaringan internet. F. Definisi Operasional F.1 Proses Aktifasi Modal Sosial Proses aktifasi modal sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini ialah proses mengaktifkan potensi modal sosial secara substansial. Fenomena tersebut akan digali melalui dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Aktifasi langsung dimaksudkan
untuk
menjelaskan
proses
mengaktifkan
reaksi
yang
membangkitkan modal sosial secara langsung. Proses tersebut terjadi melalui pertemuan ataupun asosiasi (perkumpulan), dimana antar pihak yang terkait saling bertemu dan saling berhubungan. Sedangkan, proses pengaktifasian tidak langsung dimaksudkan untuk menjelaskan proses mengaktifkan reaksi yang membangkitkan modal sosial melalui jaringan internet, dimana antara pihak terkait tidak saling bertemu satu sama lain namun saling berkomunikasi untuk menyalurkan urgensi dari nilai-nilai yang diusung. Dalam penelitian ini, pengkajian proses aktifasi modal sosial secara langsung dilakukan untuk melihat dinamika kegiatan asosional Warga Berdaya yang memfasilitasi proses terbentuknya modal sosial secara fisik (tatap muka). Sedangkan, penggalian proses aktifasi modal sosial secara tidak langsung dilakukan untuk mengkaji lebih dalam mengenai pemanfataan jaringan internet
15
(sosial media) dalam memfasiltiasi proses aktifasi modal sosial di lingkup yang lebih luas. F.1.1 Proses Aktifasi Secara Langsung Dalam melacak aspek aktifasi modal sosial secara langsung beberapa aspek yang digali antara lain: 1. Jaringan a. Bagaimana jaringan antar aktor dapat terbentuk dan mewadahi proses aktifasi kembali modal sosial 2. Kepercayaan (trust) a. Bagaimana kepercayaan antar aktor dapat terbentuk dan mewadahi proses pengaktiviasian kembali modal sosial 3. Norma dan Nilai-Nilai a. Bagaimana norma antar aktor dapat terbentuk dan mewadahi proses aktifasi kembali modal sosial 4. Momentum a. Bagaimana sebuah konteks sosial/politik/ekonomi/alam mampu membuka struktur kesempatan bagi para aktor dalam sebuah kelompok untuk bekerjasama sehingga memantik lahirnya potensi modal sosial. F.1.2 Proses Aktifasi Secara Tidak Langsung (Jaringan Internet) Untuk mengkaji proses aktifasi modal sosial secara tidak langsung di dunia maya oleh Warga Berdaya dilihat melalui:
16
a. Bagaimana jaringan internet/ sosial media yang mewadahi proses aktifasi modal sosial dapat terbentuk b. Bagaimana jaringan tersebut dapat dijadikan sarana perluasan modal sosial
G. Metodologi Penelitian G.1.Kualitatif: Studi Kasus Dikarenakan fokus penelitian yang diangkat berkaitan dengan modal sosial dalam aksi kolektif yang terbungkus dalam Warga Berdaya, maka penelitian kualitatif dianggap menjadi pendekatan yang paling tepat. Hal ini dikarenakan kualitatif ditujukan untuk meneliti area kehidupan sosial seperti sejarah, perilaku manusia, peran dalam organisasi, hubungan timbal balik dan gerakan sosial 21. Selain itu, Menurut Bogdan dan Taylor, dengan metode penelitian kualitatif, akan didapatkan pula data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati22. Dengan demikian, proses penafsiran data akan lebih mudah bagi penulis karena fokus yang diangkat adalah modal sosial yang melibatkan banyak lisan dan perilaku aktor-aktor terkait. Kemudian, alasan penting lain mengapa metode kualitatif juga dipilih dalam penelitian ini karena menurut Strauss dan Corbin penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-
21
Anselm Strauss dan Juliet Corbin.2003.Dasar-dasar penelitian kualitatif: Tata Langkah dan Teknik- teknik Teorisasi Data.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 22 (Bogdan dan Taylor 1975:5) dalam Lexy J Meoleong. 1999. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm 3
17
cara lain dari kuantifikasi (pengukuran)23. Hal ini senada dengan fokus penelitian yang diangkat yakni mengenai modal sosial yang tidak dapat diukur dinamikanya dalam takaran kuantifikasi. Oleh karena itu, berdasarkan fenomena dan kebutuhan penelitian, maka metode pisau analisis kualitatiflah yang dirasakan paling sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Kemudian, dari beragam metode dalam penelitian kualitatif, penulis memilih studi kasus. Studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan pelbagai sumber informasi24. Pendefinisian tersebut sesuai dengan penelitian ini yang akan mengeksplorasi Warga Berdaya dengan batasan waktu terperinci. Batasan waktu eksplorasi akan dimulai sejak akhir tahun 2012- 2015 (periode awal gerakan- akhir penelitian ini dilakukan). Selain itu, penelitian ini juga tentunya akan mengambil data yang mendalam dengan mengeksplorasi sumber informasi sebaik-baiknya demi menyajikan penelitan yang komperhensif. Selanjutnya, tipe studi kasus yang diterapkan dalam penelitian ini ialah single case design dengan single unit analysis (Holistic)25 dimana kasus tunggal yang menjadi sorotan ialah dinamika (proses aktifasi) modal sosial oleh Warga Berdaya sebagai respon atas kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta yang dinilai merugikan publik. Sedangkan unit analisis dalam penelitian ini juga tunggal yakni Warga Berdaya itu sendiri. 23
(Strauss dan Corbin 1998:24) dalam Pupu Saeful Rahmat. Penelitian Kualitatif. Jurnal Equilibrium,Vol.5, No.9. Januari-Juni 2009, hal 2. Diakses melalui http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf, pada tanggal 15 Januari 2015 24 Ibid. hlm 6 25 Robert K Yin.2009. Case Study Research Design and Methods: Second Edition. London: SAGE Publications. Hlm 46
18
G.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan akan dikategorikan dalam dua macam yakni primer dan skunder. Data primer penulis dapatkan dari in-depth interview dan observasi dalam aksi-aksi Warga Berdaya. In-depth interview dilakukan dengan beberapa tokoh kunci Warga Berdaya diantaranya; Yoan Vallone (aktif di komunitas Jogja Last Friday Ride), Elanto Wijoyono (Joyo) (Pemerhati Cagar Budaya dan aktif di komunitas Jogja Last Friday Ride), Bunje Kristianto (aktif di komunitas Jogja Last Friday Ride), dan Priyo A. Sancoyo. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan beberapa pihak yang terlibat dalam aksi gerakan namun bukan merupakan tokoh kunci yakni Yoga Liberian (Mahasiswa Sosiologi UGM) dan masyarakat yang terdampak dengan kebijakan pemerintah yaitu Ibu Ketua RT 01 RW 24 Plemburan, Sleman. Kemudian, wawancara mendalam juga dilakukan dengan komunitas mahasiswa yang secara tidak langsung terpantik oleh Warga Berdaya untuk mendirikan komunitas pengkaji isu spasial yaitu Sekolah Spasial. Adapun pihakpihak yang diwawancarai antara lain; Elson, Fikri, Lala dan Agus. Kemudian mitra yang secara institusional memiliki kesamaan isu dengan gerakan Warga Berdaya yakni Petarung (Pemuda Tata Ruang) sebuah komunitas pengkaji tata ruang di jurusan Perencanaan Tata Wilayah Kota UGM, yang diwakili Angger K. Khamaisya juga menjadi informan dalam wawancara mendalam. Adapun tujuan dari mewawancarai pihak diluar Warga Berdaya ialah untuk mengetahui bagaimana praktik bekerjanya modal sosial sehingga mendorong Warga Berdaya mengaktifkan sumberdaya jaringan yang dimilikinya.
19
Kemudian, data skunder didapatkan dari dokumen resmi gerakan seperti: video, audio, foto, catatan-catatan aksi dan rencana gerakan, situs resmi gerakan dan surat kabar (cetak maupun elektronik) yang meliput gerakan. Selain itu, untuk mendukung data primer dan data sekunder yang dimiliki, sumber skunder lain yang berbentuk literature seperti buku, jurnal, dan karya ilmiah terkait modal sosial dan gerakan sosial juga dijadikan bahan acuan agar fenomena dapat dirangkum secara analitis. H. Sistematika BAB Untuk memudahkan pembaca memahami pemamparan dalam tulisan, penulis akan membagi pembahasan kedalam beberapa BAB. Dalam BAB kedua penulis akan memaparkan fenomena kemunculan dan dinamika Warga Berdaya yang lahir sejak tahun 2012 dan berkembang hingga saat ini. Selanjutnya, dalam BAB ketiga penulis akan memaparkan bagaimana proses aktifasi modal sosial yang dilakukan melalui dua cara yakni langsung dan tidak langsung. Selain itu penulis juga akan memaparkan bentuk modal sosial Warga Berdaya dan ragam pencapaian sebagai hasil dari aktifasi modal sosial. Terakhir, dalam BAB keempat yaitu bagian penutup, penulis akan menyimpulkan keseluruhan penelitian dan memberikan refleksi akhir.
20