Edisi Januari-Juli 2011
Daftar Isi Titik Toejoe: 1 Sastra Boemipoetra Polemik : DODOLIT DODOLTOLSTOY: .............. 2 Sejumlah Temuan dalam Telisik ............ 4 Tjatatan : Sastra Indonesia Mutakhir:.................... 6 Kritik Atas Coreng-morengnya TSI...... 8 13 Soeara : Surat Dunia MayaUntuk Ajip Rosidi 10 Sandjak : 11 Thomas Budi Santoso 12 Jumari HS Tjerpen : 13 Gregorio Lopez y Fuentes 14 Saut Situmorang 15 Bonari Nabonenar Opini “Disumbang Djarum Rp50 Juta............... 16
soesoenan redaksi
Pemred - Wowok Hesti Prabowo Redaktoer - Koesprihyanto Namma - Mahdi Duri - Saut Situmorang - Jumari HS - Gito Waluyo Perwadjahan - Idham Sirkoelasi - Sang Hyang Buana
Alamat Redaksi: Jl. Perum Sekneg No.46 Bona Sarana Indah Kebon Nanas Tangerang, Tlp. 085711200001. email:
[email protected]
Sastra S Boemipoetra
ASTRA hadir tidak semata untuk dirinya. Kerja bersastra bukanlah kerja pengrajin merangkai kata-kata, memetik kata-kata langka di kamus tanpa makna tanpa jiwa. Karya sastra bukanlah memusingkan pembaca
atau hura-hura mengeksploitir seks semata.
Kini kata-kata di tangan penguasa diperbudak menjadi alat pencitraan diri dan alat memanipulasi. Di tangan penguasa pula, kata-kata dilumpuhkan oleh tipu daya. Kata-kata yang sekilas nampak untuk menutupi korupsi dan ingkar janji sesungguhnya akan melukai dirinya sendiri. Ya, di tangan presiden yang tak berdedikasi, kata-
kata menjadi tiada arti. Sastra adalah senjata. Kepada penguasa korup dan manipulatif ia bisa
melukainya. Terhadap rakyat jelata yang diabai dan diperlakukan semena-mena ia gigih membelanya. Terhadap negara yang dibawa ke jurang kebangkrutan ia menjaganya. Sastrawan bukanlah kerja membebaskan kata-kata. Sastrawan mengendalikan dan memaknai kata-kata. Sastrawan tidak untuk dijajah kata-kata. Katakata tak cukup hanya untuk dirinya. Sastra tak cukup hanya untuk sastra. Untuk ke-
benaran dan harga diri sastra bisa menjadi belati atau melati.
Di saat kata-kata diperalat penguasa untuk menipu rakyatnya maka sastrawan harus mengorganisir, mengagitasi, mengendalikan, dan mengatur barisan kata-kata untuk melawannya. Sastrawan harus menjadikan sastra sebagai pang-
Oleh : Wowok H Prabowo
lima untuk menggerakan kesadaran rakyat merobohkan penguasa pendusta! Lebih dari itu, sastra dan sastrawan berkewajiban menjatuhkan penguasa yang tak berguna! Penguasa yang membangun negara kleptokrasi. Penguasa yang membrangkutkan negara. Penguasa yang memiskinkan rakyatnya. Penguasa yang gemar bersandiwara. Penguasa yang menjadi pusat segala mafia!
Sastra yang demikian itulah sebabnya boemipoetra ada!
djoernal sastra
boemipoetra 2
Edisi Januari-Juli 2011
Polemik
DODOLIT DODOLTOLSTOY: Pemerintah ngotot tidak mengakui keistimewaan seperti yang diinginkan mayoritas rakyat Yogya. Yakni Sultan dan Pakualam otomatis ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Siap-siap saja SBY dan mentrinya kualat. Dalam kultur jawa bentuk kualat itu bisa macam-macam. Akan menghadapi banyak persoalan/musibah, seret rejeki dan bahkan bisa terjatuh dengan tidak terduga. Ketua MUI bilang: Orang kaya haram hukumnya memberli premium. Weleh-weleh, fatwa kok dijadikan mainan ya. Sekarang ini banyak orang ngomong karena dibayar? Semoga para sastrawan yang diberi penghargaan oleh pemerintah lantas tidak bilang: pemerintah kita bersih dari korup lho. Aneka penghargaan tersebut (termasuk dari pengusaha) hanyalah lipstik demi pencitraan semata. Sebelum jadi anggota dan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum adalah ketua KPU yang memenangkan Partai Demokrat. Sebelum melompat menjadi Ketua Partai Demokrat, Andi Nurpati adalah Anggota KPU yang memenangkan partai Demokrat. Sekarang ketahuan : sama-sama memenangkan sama-sama bermasalah.
STOP PRESS!!! INI joernal beroepa Non-profit Oriented Media, dikerdjaken setjara gotong rojong dan didanai dari oeroenan sastrawan jang pedoeli akan perkembangan sastra Indonesia.Djadi bagi anda jang ingin berpartisipasi dan ataoe berlangganan bisa menghoeboengi itoe redaksi. REDAKSI menerima toelisan (Tjerpen, Sandjak, dan ataoe Essei, serta Drawing) jang mengandoeng itoe semangat nasionalisme dan anti imperialisme. Khoesoesnya semangat anti KUK, itoe naskah dikirim lewat email:
[email protected], dengan menyertaken gambar diri. (tiap toelisan jang dimoeat, redaksi beloem bisa menyediaken honororioem).
Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010 Oleh Akmal Nasery Basral I/ SEPASANG pembawa acara pada Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011 yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010. Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.
S
AAT Dodolit Dodolit Dodolibret (selanjutnya ditulis Dodolit) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu — selain saya juga belum membaca versi lengkap Dodolit – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusia, yang awalnya tidak saya yakini benar sehingga mulut saya bergumam ragu, “Tolstoy.” Rupanya istri saya mendengar gumaman lirih itu. “Kenapa Tolstoy?” Masih tidak terlalu yakin, saya menjawab. “Entahlah. Rasanya ada cerpen Tolstoy dengan cerita seperti itu,” “Judulnya?” “Tidak ingat. Nanti kita cek di rumah.” “Ceritanya seperti apa?” Lalu saya pun bercerita tentang isi cerpen Tolstoy yang saya kais dari ingatan saja. Seorang pendeta sedang dalam pelayaran bersama sejumlah orang, ketika mereka melintasi sebuah pulau dan orang-orang mulai bicara tentang adanya pertapa-pertapa misterius yang sudah sangat tua tinggal di pulau itu. Begitu misteriusnya, sampai tidak ada seorang pun yang pernah melihat mereka langsung, apalagi mengetahui cara para pertapa itu beribadah kepada Tuhan. Tergerak oleh rasa kasihan jika para pertapa itu mati dalam keadaan belum bisa beribadah dengan benar, maka sang pendeta meminta kapten kapal mengarahkan kapalnya sedekat mungkin ke pulau itu. Dia akan mengajari mereka sebentar cara berdoa yang benar. Sesampainya di pulau misterius, pendeta menemukan legenda tentang para pertapa itu benar adanya. Mereka sudah tua dan berdoa dengan cara mereka sendiri. Sang pendeta lalu mengajarkan cara berdoa yang benar, yang dihapalkan para pertapa tua dengan susah payah. Setelah mereka dilihatnya bisa menghafal dengan baik, pendeta kembali ke kapalnya dan meminta kapten melanjutkan perjalanan. Belum jauh kapal berlayar, tiba-tiba dari arah pulau terdengar suara air menderu. Pendeta dan
para penumpang kapal menyaksikan para pertapa tua mendekati kapal dengan berlari di atas laut! Mereka minta diulangi lagi doa-doa yang baru diajarkan pendeta. Mereka bilang karena umur mereka yang sudah renta, sehingga mudah lupa terhadap apa yang sudah diajarkan. Pendeta yang takjub dan lemas melihat keajaiban itu berkata mereka sudah tidak butuh lagi diajari cara berdoa, bahkan mereka yang seharusnya mengajarinya cara berdoa. Begitu yang saya ingat. Istri saya tidak berkomentar terhadap cerita yang saya ingat itu. Apalagi di atas panggung acara masih terus berlanjut, dengan para cerpenis mengelilingi sebuah peti “harta karun” yang dibuka perlahan oleh sastrawan kampiun Prof. Dr. Budi Darma. Di dalamnya ada sebuah benda seperti kitab yang ditutupi kain hitam. Begitu kain hitam disisihkan, terlihat sampul antologi dengan ilustrasi cerpen terbaik sebagai sampulnya, yang jatuh kepada cerpen Dodolit. Trofi kemenangan pun diberikan kepada SGA. Pembawa acara lalu meminta kritikus Arif B. Prasetyo naik ke atas panggung untuk menjelaskan ihwal kemenanganDodolit. Arif memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa dia bukan salah seorang juri. Dia hanya diminta panitia untuk melakukan pembacaan terhadap 18 cerpen terpilih. Menurutnya kemenangan Dodolit. adalah karena “dengan cerita yang isinya relatif singkat hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak lapisan makna yang disajikan Seno.” Selesai Arif memaparkan pembacaan, Teater Garasi naik ke panggung membawakan repertoar drama yang mereka olah dari Dodolit. Sungguh sebuah karya panggung yang indah dengan tata cahaya, kostum, dan efektifitas gerak anggota teater yang sangat inspiratif. Di sela-sela menikmati karya garapan Teater Garasi inilah, istri saya baru berkomentar agak panjang. “Setelah mendengar ringkasan cerpen Tolstoy tadi, dan melihat pertunjukan Teater Garasi sekarang, bagi saya yang awam dengan sastra, isi cerita Dodolit kok seperti sama dengan cerpen Tolstoy ya?” katanya. 2/ USAI kolaborasi kreatif dan menghibur dari Sujiwo Tedjo, Dewa Budjana, dan Soimah Pancawati yang menutup perhelatan malam itu, setiap undangan mendapatkan satu eksemplar antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010. Namun baru
Polemik setelah sampai di rumah, saya sempat membaca versi lengkap Dodolit yang ditempatkan pada urutan pertama dari 18 cerpen. Dan inilah inti kisah yang didongengkan SGA. Alkisah ada seorang lelaki bernama Kiplik yang menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama, bahwa orang yang doanya benar konon bisa berjalan di atas air. Sebab dalam pengamatan Kiplik, banyak sekali orang yang berdoa tidak benar. Padahal jika kata-kata dalam sebuah doa diucapkan salah, maka bukan saja maknanya bisa berbeda, malah bisa bertentangan. Saking seriusnya Kiplik menginginkan agar manusia berdoa dengan benar, sehingga dia selalu mengingatkan hal itu kepada banyak orang, yang lama-kelamaan memanggilnya Guru Kiplik. Semakin banyak orang yang menjadi pengikutnya dan bersedia mengikuti kemana pun Guru Kiplik pergi. Suatu ketika dalam perjalanannya, Guru Kiplik sampai di sebuah danau sangat luas yang di tengahnya ada sebuah pulau terisolir. Guru Kiplik pun mendatangi pulau itu. Ternyata ada satu kesalahan fatal para penduduk pulau yang jumlahnya hanya 9 orang, yakni “mereka berdoa dengan cara yang salah” (hal. 6). Maka Guru Kiplik pun tergerak untuk mengajari cara berdoa yang benar. Tetapi penduduk pulau itu selalu melakukan kesalahan berulang kali dalam menghapal doa yang ia ajarkan, sehingga Guru Kiplik berpikir, “Janganjangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu.” Namun berkat kesabaran Guru Kiplik, akhirnya bisa juga para penduduk itu berdoa dengan cara yang benar, sehingga Guru Kiplik memutuskan sudah waktunya meninggalkan pulau itu dan pergi ke tempat lain bersama para pengikutnya. Belum jauh perahu yang membawa Guru Kiplik pergi, awak perahu dengan terkejut memanggil Guru Kiplik dan menunjuk ke arah pulau. Kesembilan warga yang susah menghapal doa itu yang sedang mendekati perahu dengan berlari di atas air sambil berteriak-teriak. “Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!” Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (hal. 7). 3/ USAI membaca versi lengkap karya SGA itu, rasa penasaran saya bukannya terpuaskan, malah semakin besar. Sehingga saya cek ulang cerpen Leo Tolstoy (1828-1910) yang saya ingat samar-samar saat di BBJ, melalui dua versi: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dalam versi bahasa Indonesia yang saya miliki, cerpen itu berjudul “Tiga Pertapa” terdapat dalam antologi Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada (Serambi, Februari 2011) dengan penerjemah Atta Verin dan penyunting Anton Kurnia. Di bawah judul besar “Tiga Pertapa”, terbaca alinea pertama: Seorang uskup berlayar menuju sebuah biara yang jauh. Pada kapal yang sama terdapat sejumlah peziarah. Mereka juga hendak mengunjungi
tempat suci. Perjalanan itu berjalan lancar. Angin begitu kencang dan cuaca cerah. Selanjutnya cerita mengalir dengan struktur seperti yang saya ceritakankan kepada istri saya di BBJ. Sebagai penutup kisah, Tolstoy menulis bahwa ketiga pertapa yang berlari di atas air laut untuk mengejar kapal sang uskup, berkata, “Kami lupa apa yang tadi kau ajarkan, wahai pelayan Tuhan,” kata mereka kepada uskup. “Saat kami terusmenerus mengulanginya, kami ingat. Tapi saat kami berhenti mengatakannya suatu kali, satu kata terlupa. Kini doa itu tak bisa kami ingat lagi sedikit pun. Ajarilah kami sekali lagi.” Uskup itu membuat tanda salib di dadanya. Lalu ia bersandar ke tepi kapal. “Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini.” (hal. 57) 4/ DALAM versi bahasa Inggris yang dimuat dalam http://www.online-literature.com, di bawah judul “Three Hermits”, Tolstoy menuliskan semacam keterangan pengantar bahwa “Ini adalah sebuah legenda kuno yang terjadi di Distrik Volga” dilanjutkan dengan kutipan dari Surat Matius vi. ayat 7,8. Setelah itu baru alinea pertama yang berbunyi: A bishop was sailing from Archangel to the Solovetsk Monastery, and on the same vessel were a number of pilgrims on their way to visit the shrines at that place.The voyage was a smooth one.The wind favorable, and the weather fair. Ada sedikit perbedaan antara terjemahan dalam bahasa Inggris yang jelas menyebutkan nama biara Solovetsk sebagai tujuan pelayaran sang uskup, dengan versi bahasa Indonesia yang hanya menyebutkan “biara yang jauh”, tanpa menyebutkan nama biara secara spesifik. Tetapi perbedaan ini bukan hal besar yang mengurangi kedalaman isi cerita, sehingga bisa diabaikan. Sedangkan untuk penutup cerita, terjemahan Atta Verin praktis sama dengan yang terbaca dalam versi bahasa Inggris. 5/ BAGI saya kini ada dua pertanyaan yang muncul. Pertama, bagaimana menempatkan Dodolit Dodolit Dodolibret terhadap Three Hermits yang dipublikasikan Tolstoy untuk pertama kalinya di tahun 1886 dengan adanya kemiripan struktur cerita seperti itu? Memang pada akhir cerpennya, SGA sudah memasang semacam takrif (disclaimer) bahwa: Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi. Arif B. Prasetyo menulis dalam epilog yang diberi judul Pelajaran dari Guru Kiplik bahwa: Pada lapisan pertama … kisah Kiplik dapat dimaknai sebagai parabel religius yang mengabarkan pesan bahwa syariat tidak menggaransi tercapainya makrifat … Kita bisa membayangkan Kiplik sebagai rohaniwan ortodoks yang berpegang teguh pada aturan baku agama, sosok ahli agama yang memandang segala penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan aturan formal religi sebagai kesesatan, tapi kurang menghayati hakikat religius yang dinapasi penyerahan diri kepada Tuhan.
djoernal sastra
boemipoetra 3 Edisi Januari-Juli 2011
(hal. 180). Berbeda dengan SGA, Tolstoy sejak awal sudah secara afirmatif memasang takrif bahwa kisah Three Hermits berasal dari legenda yang berakar di masyarakat Volga, sebuah kawasan historis yang pernah berjuluk ‘main streets of Rusia’. Dus karena itu kisah ini lebih bertabur pada konsep Trinitas dalam ajaran Kristen dengan seluruh ekspresi teologinya, dan bukan dipinjam dari khasanah agama-agama lain. Ada dua konsekuensi yang mengikuti perbedaan takrif SGA dan Tolstoy itu, yakni jika takrif SGA valid, makaDodolit sama sekali tidak mengacu secara eksklusif kepada Three Hermits. Bahkan kisah Tolstoy pun ada kemungkinan juga menginduk pada, meminjam istilah SGA, ‘berbagai cerita serupa dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi’, Konsekuensi kedua adalah jika takrif SGA tak valid setelah ditelaah secara kritis, benarkah Dodolit sama sekali tak terpengaruh Three Hermits secara telak, untuk tak menyebutnya sebagai bentuk adaptasi langsung terhadap karya Tolstoy itu? Mengapa SGA, umpamanya, tak langsung memasang takrif: Cerita ini adalah adaptasi dari Three Hermits karya Leo Tolstoy? Sebab jika Dodolit (2009-2010) dan Three Hermits (1886) yang berselang umur lebih dari satu abad itu dibandingkan struktur penceritaan dan elemen-elemen kisahnya, saya temukan paling sedikit adanya 8 (delapan) kesamaan besar sebagai berikut: 1. Fokus cerita tentang seorang pemuka agama yang resah melihat cara berdoa masyarakat umum yang salah. (Guru Kiplik versi SGA, dan Uskup versi Tolstoy). 2. Sang pemuka agama pergi ke sebuah pulau. (Berlokasi di tengah danau luas versi SGA, berlokasi di tengah lautan luas versi Tolstoy). 3. Pemuka agama datang untuk membenahi cara berdoa warga pulau yang keliru. (Berjumlah 9 penduduk versi SGA, berjumlah tiga pertapa versi Tolstoy). 4. Meski sudah berulang kali diajarkan, seluruh warga pulau kesulitan mempraktekkan doa yang benar. (Tak ada perbedaan antara versi SGA dan Tolstoy. Perbedaan hanya menyangkut redaksional dialog antara Guru Kiplik/Uskup dengan warga pulau) 5. Akhirnya setelah warga mampu berdoa seperti diinginkan Guru Kiplik/Uskup, pemuka agama tersebut meninggalkan pulau terpencil dengan perasaan bahagia karena warga sudah bisa “berdoa dengan benar”. 6. Tapi kemudian Guru Kiplik/Uskup terkejut ketika melihat melihat para warga itu mengejar perahu/kapal mereka dengan berlari di atas air. 7. Mereka minta diajarkan lagi bagaimana cara menghafal doa-doa yang sudah diajarkan Guru Kiplik/Uskup 8. Kedua pemuka agama itu lalu berubah pikiran, jangan-jangan cara berdoa warga pulau yang mereka kira salah, sebetulnya yang lebih benar dibandingkan cara berdoa mereka selama ini (terlintas dalam pikiran Guru Kiplik versi SGA, dan diucapkan dalam kalimat langsung oleh sang Uskup versi Tolstoy). 6/ PERTANYAAN kedua adalah — meminjam gaya ungkap Arif B. Prasetyo – ‘dengan cerita yang
djoernal sastra
boemipoetra 4 Edisi Januari-Juli 2011
Polemik
isinya relatif singkat hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak kesamaan disajikan Seno’, apakah Dodolit tidak kehilangan kredibilitasnya sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2010? Sebab sependek pembacaan saya, SGA hanya menyisakan sedikit improvisasi detil cerita yang tidak begitu relevan dalam Dodolit. Contoh paling terang adalah menyangkut jumlah penduduk pulau terpencil. Tak jelas bagi saya mengapa jumlah penghuni “pulau Dodolit” hanya 9 orang, dan tidak digenapkan menjadi 10 orang? Atau bahkan dikurangi 8 orang? Padahal berapa pun jumlah penduduk pulau terpencil itu sepanjang mereka bisa berlari di atas air mengejar perahu Guru Kiplik, peristiwa inilah yang menjadi titik balik cara pandang Guru Kiplik, bukan? Bandingkan dengan jumlah warga dalam Three Hermits yang harus tiga pertapa tak bisa dikutak-
katik sedikit pun. Entah mau dijadikan 4 orang atau 2 orang. Sebab jumlah 3 pertapa itu sangat berkaitan dengan cara berdoa mereka seperti dikisahkan Tolstoy. “Tapi bagaimana cara kalian berdoa kepada Tuhan?” tanya sang uskup. “Kami berdoa seperti ini,” pertapa tua itu menjawab. “Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka kasihanilah kami.” – hal. 52). Di sini, Tolstoy menjadikan jumlah warga pulau bukan hanya sekadar ornamen penghias cerita, bukan pula sebagai angka penggembira, melainkan merupakan bagian integral dari kisah relijius yang lebih esensial dibandingkan dalam Dodolit.
kar pengaruh Three Hermits dalam memutuskan Dodolit Dodolit Dodolibret sebagai cerpen terbaik. Sebab kalau tidak — meminjam judul salah satu cerpen dalam antologi ini Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku karya Herman RN – bisa saja satu saat kelak ada warga Volga, Rusia, dan para penggemar setia Leo Tolstoy lainnya yang dengan getir berkata, “Guru Kiplik itu mencuri hikayat kami.”
7/ SEMOGA para dewan juri yang telah terbiasa menyelami samudera sastra dunia, sudah mena-
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150223628779246%29%28Dodoli
Cibubur, 28.06.11, 02.30 WIB
Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi atas Polemik Plagiarisme Taufiq Ismail Oleh Ilham Q. Moehiddin POLEMIK perihal dugaan plagiarisme yang dilakukan Taufik Ismail seketika merunyak akhir-akhir ini. Polemik ini seketika menjadi ‘hebat’ sebab ikut menyeret nama penyair besar sekelas Taufiq Ismail, yang oleh Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin, dikelompokkan ke dalam penyair angkatan ’66.
P
ADA mulanya, seorang cerpenis wanita, Wa Ode Wulan Ratna, memposting sebuah karya Douglas Malloch dalam catatan di akun Facebook-nya. Karya Malloch yang sejatinya berjudul ‘Be The Best of Whatever You Are’ itu terposting berupa terjemahan berjudul ‘Akar-akar Pohon’. Tak sengaja saya membaca puisi itu, dan merasa dejavu. Serasa saya pernah membaca atau mendengar puisi macam itu, entah dimana. Lalu saya teringat pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan stasiun TransTV yang ditayangkan sebelum berbuka puasa pada Ramadhan 2010. Pada tayangan itu, aktris Asri Ivo membacakan puisi ‘Kerendahan Hati’. Caption pada tayangan itu juga menampilkan nama Taufik Ismail sebagai pencipta puisi tersebut. Tanpa memuat prasangka apalagi tuduhan, sayapun ikut mem-posting dua entitas puisi itu ke akun Facebook saya, pada 25 Februari 2011, sekadar mengajak beberapa sastrais dan budayawan untuk berdiskusi perihal itu. Benar saja, postingan itu memancing diskusi dan debat. Semenjak itulah, ‘dugaan samar’ ini menyebar kemana-mana. Diskusi dan polemik seputar ini seketika menyeberang ke Twitter, dan menjadi ramai di sana. Telisik Literasi pada Kedua Puisi Menurut pendapat saya, akar polemik ini sungguh patut dipertanyakan. Jika benar seperti apa yang dituduhkan orang kebanyakan pada Taufik Ismail, maka upaya itu tidak bisa sekadar disebut meringkas, menyadur, ataupun mentranskrip. Jika diperhatikan secara saksama, apa yang tertulis sebagai puisi Douglas Malloch yang kemudian dituliskan sebagai milik Taufik Ismail, tak memenuhi ketiga unsur di atas. Jika dikatakan meringkas, maka perilaku meringkas sangat sukar dikenakan pada entitas puisi, sebab akan otomatis melanggar licentia poetica. Apa benar penyair besar Taufiq Ismail dengan sengaja melanggar licentia poetica? Saya tak sepenuhnya yakin dia melakukan itu. Kemudian, jika dikatakan menyadur, maka Taufik Ismail tak tampak sedang menyadur puisi Douglas Malloch. Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak
garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas, menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan terjemahan. Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi, sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama penulisnya.
Polemik Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas Malloch ini. If you can’t be a pine o the sop of the hill, Be a scrub in the valley – but be The little scrub by the side of the hill; (1) Be a bush if you can’t be a tree If you can’t be a bush be a bit of the grass And some highway happier make (2) If you can’t be a muskie then just be a bass But the leveliest bass in the lake We can’t all be captains, we’ve got to be crew (3) There’s something for all of us here There’s big work to do, and there’s lesser to do And the task you must do is the near If you can’t be a highway the just be a trail (4) If you can’t be the sun, be a star It isn’t by size you win or you fail Be the best of whatever you are (5) Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus. Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk ‘menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri’, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi. Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut. Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air Tidaklah semua menjadi kapten tentu harus ada awak kapalnya… Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu…. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada lariklarik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan, dan, atau menggantinya dengan larik berbeda. Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake// Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air// Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja. Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas Malloch. Inikah yang disebut penyaduran? Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. “Sebuah bentuk ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang. Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlaku—tetap mempertahankan ide dari naskah asli.” Tegas Keraf dalam buku Komposisi
djoernal sastra
boemipoetra 5 Edisi Januari-Juli 2011
(1984:262, Flores. Penerbit Nusa Indah). Yang Luput dari Taufik Ismail. Menarik disimak, adalah dua larik yang tadi telah dibahas di atas, yang entah mengapa luput oleh Taufik Ismail dimasukkan ke dalam puisinya. Dua larik itu adalah; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake// Sebagai satu kesatuan dari bunyi dan makna yang dikatakan Keraf, maka dua larik yang luput itu seharusnya tetap ada untuk mengikat dua larik sebelumnya; If you can’t be a bush be a bit of the grass/ And some highway happier make// Lemah dugaan saya, bahwa Taufik Ismail tidak mengetahui persis makna kata muskie dan bass dalam dua larik puisi Douglas Malloch itu. Dua kata dalam larik puisi Douglas Malloch itu memang tidak ditemukan dalam dalam kamus besar Bahasa Inggris (The Contemporary EnglishIndonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, M.A.). Rasa penasaran pada kata lake (danau), yang membawa saya pada dua jenis ikan yang berhabitat di danau primer dan sepanjang sungai besar di Amerika Serikat. Musky adalah sejenis ikan besar, yang masih satu genus dengan Arwana dari Amazon. Muskie adalah nama dalam bahasa pasar masyarakat setempat, untuk ikan Musky, yang hidup di danau-danau di Minnesota. Sedang Bass adalah nama setempat untuk ikan smallmouth (salmon). Ikan dengan ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dari ikan Muskie. Habitatnya di sungai-sungai primer di Amerika Utara. Itulah mengapa kata Muskie dan Bass tidak terdapat di dalam kamus. Sehingga untuk mengisi kekosongan dua larik yang terlanjur menggantung pada satu bait tersebut, Taufik Ismail kemudian menggantinya dengan; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air// Jika merujuk pada Keraf, maka penggantian ini jelas sekali telah mengubah secara drastis ide dan gagasan pengarang. Artinya, paham atau tidaknya Taufik Ismail pada dua kata tersebut, tidak dapat dijadikannya alasan untuk mengganti dua larik pada puisi Douglas Malloch dengan dua larik baru. Maka, terang saja, Taufik Ismail tidak saja gagal menyembunyikan fakta, bahwa dirinya tidak sekadar terinspirasi keindahan makna puisi Douglas Malloch, sehingga tanpa sadar atau tidak terperangkap dalam bentuk plagiarisme. Lalu, apakah ada kemungkinan penyair sekaliber Taufiq Ismail akan melakukan hal ini? Wallahu’alam. Bantahan dan Sejumlah Bukti Keterangan Redaktur Majalah Sastra, Horison, Fadli Zon, yang juga kemenakan Taufiq Ismail, dalam bantahan yang termuat pada PedomanNews.com, bahwa, Taufiq Ismail mengatakan padanya merasa pernah membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan SBSB atau MMAS di sekolah-sekolah, ikut membuktikan bahwa pernah ada terjadi persentuhan antara Taufiq Ismail dengan puisi Douglas Malloch. Selintas keterangan Taufiq Ismail itu dapat dibuktikan pada buku Terampil Berbahasa Indonesia Untuk SMP/MTs Kelas VIII, yang disusun oleh Dewaki Kramadibrata, Dewi Indrawati, dan Didik Durianto yang diterbitkan Pusat Perbukuan, Diknas RI. Pada Pelajaran 11, bagian C: Menulis Puisi Bebas dengan Memperhatikan Unsur Persajakan; halaman 198, dengan jelas dapat ditemukan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail. Tidak ada keterangan sumber di bawah puisi Taufik Ismail pada halaman tersebut. Rupanya para penyusun memasang puisi itu dan meninggalkan sumbernya pada daftar pustaka. Artinya, keterangan soal latar belakang dan darimana sumber yang digunakan hanya tim penyusun yang bisa menjawabnya. Apakah peneraan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail itu sepengetahuan Taufiq Ismail? Ini dengan terang sudah dijawab sendiri oleh Taufiq Ismail yang disampaikan oleh Fadli Zon, bahwa Taufiq Ismail memang terlibat dalam kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) atau MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) di sekolah-sekolah. Masih menurut Fadli, puisi Kerendahan Hati yang beredar, nama pengarangnya ditulis sebagai Taufik Ismail. Padahal, nama penyair itu memakai “q” pada nama Taufiq-nya, bukan “k”. Jadi bisa jadi apa yang digunjingkan itu salah orang. Demikian pembelaan Fadli, yang dikutip Tempo Interaktif, Jumat 1 April 2011. Kendati adalah penting menuliskan nama seseorang secara benar dalam sebuah literasi (khususnya pada pemberitaan), namun agaknya Fadli Zon tidak memeriksa dengan teliti sebelum melontarkan bantahannya. Keliru serupa ini kerap terjadi pada tera nama Goenawan Mohamad yang sering dituliskan
djoernal sastra
boemipoetra 6 Edisi Januari-Juli 2011
Tjatatan
orang dengan Gunawan Muhammad. Kendati dituliskan keliru, ingatan kolektif orang tetap merujuk pada satu sosok. Apalagi, baik Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail adalah dua nama besar penyair, sastrawan dan budayawan Indonesia. Pada puisi Kerendahan Hati yang termuat dalam buku Diknas di atas, nama penyair itu dieja dengan huruf akhir ‘k’. Pun pada beberapa terbitan Horison Sastra Indonesia sendiri, kerap dituliskan “Ismail, Taufik, dkk (penyunting). 2011. Horison Sastra Indonesia. Jakarta: The Ford Foundation”, sebagai salah satu contohnya. Kemudian pengejaan ‘Taufik Ismail’ juga ditemukan pada kata sambutan dalam buku The Lady Di conspiracy : Misteri Dibalik Tragedi Pont de L’Alma, karya Indra Adil, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007. Artinya, dalil Fadli Zon perihal huruf akhir pada nama penyair itu seketika patah. Sebab, apabila karakter penulisan nama tersebut dianggap penting, tentulah hal ini telah diperhatikan benar sejak lama. Tidak setelah polemik ini mengemuka. Pada berita yang sama, Fadli Zon juga meng-
ungkapkan dia tak temukan puisi Kerendahan Hati dalam empat buku karya-karya Taufiq Ismail. Salah satunya kumpulan puisi tahun 1953-2008 berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, (Mei, 2008) setebal 1076 halaman. “Di buku itu saya tidak menemukan puisi berjudul ‘Kerendahan Hati’,” katanya. Menurut Fadli, Taufiq Ismail juga menerjemahkan puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam buku “Rerumputan Dedaunan” dan hingga saat ini belum diterbitkan. Dalam terjemahan tersebut tak ada puisi Douglas Malloch. Keterangan Fadli ini bisa saja dipercaya, namun sebenarnya tidak berkorelasi langsung dengan isu yang sudah terpolemik. Buku kumpulan puisi MBML itu terbit pada 2008, sementara itu buku Terampil Berbahasa Indonesia itu terbit pada tahun yang sama. Sedang pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV. Program MMAS dan SBSB yang dimana Taufiq Ismail dan Majalah Horison terlibat langsung sudah dilaksanakan sejak tahun 1998 hingga 2008. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail sudah
Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman Oleh Katrin Bandel Apa kritik sastra itu? Menurut Budi Darma dalam makalahnya untuk TSI III ini “semua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra”. Saya kurang sepakat dengan definisi yang dikemukakan Budi Darma tersebut. Sebuah komentar sepintas tentang menarik atau tidaknya sebuah karya sastra yang sudah kita baca bukanlah kritik sastra. Komentar pendek di sampul buku, misalnya, juga bukan sebuah kritik sastra, meski ditulis oleh orang yang dianggap kritikus sastra sekalipun.
M
ENURUT pandangan saya, syarat minimal yang harus dipenuhi agar sebuah pembahasan dapat disebut kritik sastra adalah mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya sampai pada penilaian tertentu. Artinya, agar layak disebut “kritik sastra”, sebuah tulisan tidak boleh berhenti pada asumsi tentang, misalnya, baik atau buruknya sebuah karya sastra, tentang terobosan baru yang konon dicapai dalam karya tententu, tentang berhasilnya sastrawan tertentu, tentang kecenderungan tertentu dalam dunia sastra secara umum, dsb. Seorang kritikus sastra tidak boleh hanya berasumsi, tapi harus bisa menjelaskan bagaimana dia sampai pada pendapat tersebut. Kalau sebuah tulisan dinilai bermutu, harus dijelaskan di mana kelebihannya, kalau dianggap terobosan baru, harus dijelaskan tepatnya apa terobosan tersebut dan dibuktikan bahwa memang ada sesuatu yang baru di situ, dst. Di samping itu, sebagai pekerja intelektual seorang kritikus sastra tidak mungkin bekerja tanpa pengetahuan tertentu yang memberinya kemampuan bersikap kritis. Tanpa pengetahuan dasar tentang sejarah sastra (Indonesia) dan tentang teori sastra, seseorang tidak akan layak disebut kritikus sastra. *** Saya sepakat dengan Budi Darma bahwa sastrawan sangat tergantung pada segala bentuk pembahasan dan apresiasi terhadap karya mereka (meskipun saya tidak sepakat bahwa semua pembahasan dan apresiasi itu merupakan kritik sastra). Segala macam teks seputar sastra, dari eseiesei di jurnal akedemis hingga resensi di koran atau komentar di sampul buku, sangat besar perannya dalam menentukan sejauh mana sebuah karya berhasil menarik perhatian khalayak dan dalam mengarahkan pembacaan. Teks-teks seputar sastra Indonesia semacam itu diproduksi terutama oleh sastrawan Indonesia sendiri, oleh akademisi di fakultas-fakultas sastra, dan oleh kaum indonesianis di luar negeri. Dalam tulisan di bawah ini saya akan secara singkat menyoroti apa peran dan pengaruh jenis pembahasan sastra tersebut, dan bagaimana relasi kekuasaan antara ketiga kalangan itu. Dunia sastra Indonesia sendiri dan dunia akademis (fakultas sastra) relatif terpisah satu sama lain, masing-masing memiliki ruangnya sendiri. Menurut pengalaman saya, akademisi relatif jarang ber-
terposting di beberapa blog sejak 2006. Sejumlah sinyalemen ini secara tidak langsung membentuk premis terhadap kehadiran karya tersebut dalam kurun waktu 1998 hingga 2008. Dari telisik literasi ini, kini, siapapun boleh menarik kesimpulan masing-masing, perihal polemik pada entitas puisi karya Douglas Mulloch itu. Telisik literasi ini tidak hendak mencuatkan sebuah masalah yang selama ini kerap merisaukan kalangan sastrawan; plagiarisme Telisik literasi inipun tidak dalam posisi menuduh siapapun telah melakukan plagiat. Bahwa sebagai telisik literasi, ada baiknya ini dijadikan pembelajaran pada masa selanjutnya, bahwa penghargaan atas sebuah karya sastra/ literasi sebaiknya memang diberikan pada sosok pengkaryanya. Demikian. *** Sumber: http://www.facebook.com/notes/ilham-qmoehiddin/sejumlah-temuan-dalam-telisikliterasi-atas-polemik-plagiarisme-karyamalloch/10150202690620757
partisipasi dalam acara-acara sastra non-akademis di luar kampus. Sastrawan pun jarang menghadiri acara akademis. Media tempat menerbitkan tulisan dan bertukar pendapat pun berbeda. Jurnal-jurnal akademis yang menjadi wadah publikasi tulisan para dosen, sejauh yang saya ketahui hampir tidak pernah dikonsumsi oleh kalangan sastrawan. Media non-akademis yang menjadi tempat wacana seputar sastra berlangsung, yaitu koran, majalah sastra, media internet dsb, kadangkadang memuat tulisan akademisi, tapi dalam jumlah yang relatif terbatas. Tentu saja selalu ada individu yang melintas antara dua dunia yang relatif terpisah satu sama lain itu. Sejumlah sastrawan sekaligus menjadi dosen sastra. Di antara dosen lain (non-sastrawan) pun ada yang aktif melibatkan diri di dunia sastra di luar kampus. Namun tetap saja tampaknya mayoritas dosen sastra hanya aktif sebatas di dunia akademis. Di samping itu, kemungkinan untuk melintas dari dunia akademis ke dunia non-akademis dan sebaliknya tidak sepenuhnya terbuka dan tidak setara. Dunia akademis bersifat relatif lebih tertutup. Misalnya, acara-acara sastra yang nonakademis umumnya terbuka untuk umum dan gratis. Namun acara akademis, terutama acara formal seperti seminar atau konferensi, sering hanya dapat dihadiri kalangan terbatas dan dipungut biaya yang kerapkali cukup tinggi. Adanya hierarki antara acara akademis dan acara “biasa” (non-akademis) tersebut mungkin berdasar pada asumsi bahwa akademisi memiliki keahlian khusus dalam membahas sastra sehingga acara akademis mempunyai keistimewaan yang memang pantas dibayar mahal, dan terlalu sulit dan canggih untuk diikuti orang awam. Atau dengan kata lain, akademisi dianggap sebagai pekerja intelektual yang sudah memenuhi syaratsyarat seputar kemampuan menulis dan pengetahuan khusus yang membuatnya layak disebut “kritikus”. Sebagai orang yang biasa menghadiri kedua jenis acara tersebut, selama ini saya sama sekali tidak melihat bahwa keistimewaan semacam itu memang terwujud. Contohnya, kalau saya mem-
Tjatatan bandingkan acara Temu Sastrawan Indonesia II di Bangka (2009) dengan acara HISKI 2010 di Surabaya (kebetulan kedua acara itu saya hadiri), justru tampak ketimpangan yang sebaliknya antara dua acara tersebut. Dibandingkan dengan HISKI, acara TSI II menurut penilaian saya jauh lebih menarik, lebih bermutu, dengan diskusi-diskusi yang lebih intens dan bermanfaat. Padahal untuk menghadiri HISKI peserta harus mengeluarkan biaya tinggi, sedangkan TSI II gratis. Ketimpangan yang serupa tampak apabila kita membandingkan tulisan di jurnal akademis dengan tulisan di media lain. Sejauh yang saya amati, tulisan di jurnal-jurnal akademis sering justru bermutu lebih rendah daripada tulisan di koran, di majalah sastra atau di website sastra. Memang terkadang tulisan akademis pada pandangan pertama terkesan lebih “serius” karena menggunakan istilah-istilah yang tidak dikenal orang awam, mengutip buku-buku teori dan memakai struktur tulisan yang khas. Tapi tidak jarang semua itu bersifat superfisial saja, alias hanya tempelan. Namun meskipun adanya ketimpangan-ketimpangan semacam itu, akademisi tidak jarang mengambil peran penting dalam melegitimasikan dan mempromosikan karya sastra tertentu. Misalnya, kata pengantar atau komentar di sampul buku seakan-akan lebih absah apabila ditulis oleh seorang akademisi – gelar dan kedudukan penulisannya, dan kadang-kadang gaya tulis dan pilihan katanya, memberi kesan ilmiah dan bergengsi. Apalagi asumsi bahwa kerja ilmiah adalah kegiatan yang objektif, berjarak dan tidak politis (tanpa kepentingan), masih cukup kuat. Kalau respon sesama sastrawan terhadap karya rekannya diyakini bisa saja dipengaruhi kedekatan atau permusuhan pribadi, persaingan dsb, komentar dan pendapat akademisi diasumsikan dengan sendirinya bebas dari semua itu – akademisi dibayangkan mengabdi hanya pada ilmunya. Maka tampak dengan jelas bahwa hubungan antara dunia sastra (non-akademis) dan dunia akademis tidak bebas dari hierarki dan relasi kekuasaan yang timpang. Masih ada kelompok lain yang memberi perhatian pada sastra Indonesia dan memproduksi teks yang merespon dan membahas sastra Indonesia: para peneliti asing (indonesianis). Tulisan yang mereka produksi umumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya di jurnal-jurnal asing/ internasional atau berbentuk buku yang juga diterbitkan di luar Indonesia. Kendala penguasaan bahasa Inggris yang terbatas di kalangan sastrawan dan pengamat sastra Indonesia dan sulitnya akses terhadap buku dan jurnal asing membuat teks-teks tersebut tidak mungkin diresepsi secara luas di Indonesia. Meskipun mungkin saja secara individual sebagian indonesianis tidak bermaksud demikian, pada dasarnya harus diakui bahwa tulisan-tulisan indonesianis tentang sastra Indonesia bukanlah sebuah usaha untuk membangun dialog dengan sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, tapi bagian dari sebuah wacana tentang Indonesia antar indonesianis sendiri. Relasi yang hierarkis antara dunia para indonesianis dan dunia sastra maupun dunia akademis Indonesia tampak dengan sangat jelas. Bagi sastrawan Indonesia, diteliti dan dibahas oleh peneliti asing umumnya merupakan kebanggaan tersendiri – meskipun, mirisnya, tidak jarang hasil penelitian tersebut kemudian tidak dapat dibaca oleh
yang diteliti (disebabkan oleh kendala bahasa). Bagi akademisi Indonesia, publikasi tulisan dalam jurnal asing jelas menjadi prestasi yang dihargai jauh lebih tinggi daripada tulisan dalam jurnal akademis Indonesia. Hal yang sama tidak berlaku sebaliknya: Bagi indonesianis, menulis dalam jurnal akademis Indonesia atau dalam media lain di Indonesia bukan prestasi istimewa. Berikut sebuah anekdot kecil sebagai ilustrasi relasi kekuasaan yang timpang tersebut: Beberapa tahun yang lalu saya berpartisipasi sebagai pembicara dalam sebuah seminar akademis di Semarang. Saat sedang menyelesaikan administrasi dan mengambil honorarium setelah acara berakhir, saya menyampaikan sedikit unek-unek pada panitia: Mengapa dalam program seminar nama saya diberi keterangan “Jerman” dalam kurung, sedangkan nama pembicara lain dilengkapi dengan nama universitas tempat mereka mengajar? Bukankah agar seragam, seharusnya keterangan di belakang nama saya berbunyi “Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta”? Mengapa keterangannya malah “Jerman”? Diberi pertanyaan seperti itu, dengan polos perempuan muda yang menjadi panitia tersebut menjawab: “Kan lebih keren, Mbak.” Kita telah melihat bahwa jelas sekali terdapat hubungan yang hierarkis antara tiga jenis wacana seputar sastra Indonesia di atas. Kemungkinan bagi individu untuk melintas antara tiga dunia tersebut pun terbatas. Hal itu menurut penilaian saya cukup merugikan. Kerja akademis – baik di dalam maupun di luar negeri - tidak berhasil memberi kontribusi yang berarti dan menjadi stimulasi bagi dinamika pertumbuhan sastra Indonesia. Apa yang menyebabkan semua itu? Akan terlalu sederhana dan tidak adil kalau tanggung jawab atas kemandegan dunia akademis (terutama dunia akademis Indonesia) dan hierarki yang tidak sehat itu kita bebankan pada para akademisi secara perseorangan, misalnya dengan mengeluh betapa banyak dosen sastra kurang giat mengembangkan diri dan bersikap terlalu eksklusif, atau betapa para indonesianis jarang mau menulis dan berpublikasi dalam bahasa Indonesia. Akar persoalan adalah wacana-wacana yang lebih luas, misalnya wacana seputar ilmu pengetahuan yang konon objektif dan berjarak, tentang gelar dan status akademis sebagai gengsi dan bisa dibanggakan, dsb. Relasi kekuasaan global pun sangat jelas punya pengaruh yang besar, terutama dalam membentuk hubungan antara indonesianis dan dunia sastra Indonesia. Di samping itu, sistem akademis sendiri memang tampak kurang menguntungkan bagi perkembangan kritik sastra. Demi kemajuan karirnya dan kenaikan jabatan dan gaji, di Indonesia seorang dosen harus mengumpulkan nilai kum. Itu berarti bahwa dosen sebaiknya menulis di media-media yang diakui Dikti saja (yaitu jurnal-jurnal akademis yang saya sebut di atas), dan lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas tulisan. Indonesianis di luar negeri mengalami hal serupa: yang dianggap bergengsi dan bermanfaat untuk kemajuan karir terutama tulisantulisan yang dimuat di jurnal internasional, bukan tulisan di media-media Indonesia. Maka menurut pandangan saya bagi kita yang merasa resah dan kurang puas dengan kondisi sastra Indonesia beserta kritik sastranya, ada dua hal yang bisa dan perlu dilakukan. Pertama, bagaimanapun buruknya kondisi yang ada saat
djoernal sastra
boemipoetra 7 Edisi Januari-Juli 2011
ini, kita tidak terpaksa untuk tunduk kepadanya. Misalnya, seorang dosen fakultas sastra tetap bisa berusaha mengembangkan diri semaksimal mungkin meskipun tidak dituntut universitas tempat dia bekerja untuk melakukannya, tetap bisa mengikuti acara-acara sastra tanpa mempersoalkan tidak disediakannya sertifikat untuk nilai kum, dan tetap bisa berusaha menulis dengan sebaikbaiknya meskipun tak akan menhasilkan nilai kum yang lebih banyak daripada kalau menulis seadanya saja. Kedua, kita perlu mengkritik dan berusaha mengubah kondisi-kondisi yang menjadi halangan berkembangnya hubungan yang sehat antara sastra Indonesia dengan institusi akademis yang seharusnya memproduksi kritik sastra yang bermutu dan menggairahkan tersebut. Namun di luar semua itu masih ada hal lain yang menurut pandangan saya sangat perlu diperhatikan agar kritik sastra dapat tumbuh dengan sehat dan bukan malah sebaliknya menjadi momok bagi sastra Indonesia. Apabila disimak sepintas lalu, terkesan seakan-akan dalam hubungan dunia sastra Indonesia dengan dunia akademis, dunia sastra sepenuhnya menjadi korban: Karena dunia akademis terlalu eksklusif, menutup diri, dan kurang bermutu, maka sastra Indonesia tidak mendapat masukan dan stimulasi yang seharusnya. Namun keadaan tidak sesederhana itu. Dunia sastra Indonesia sendiri tidak bebas dari pergulatan kekuasaan. Seperti yang sudah banyak diutarakan terutama oleh Saut Situmorang, saya sendiri dan beberapa penulis lain, dan seperti yang terus-menerus disuarakan dalam jurnal boemipoetra, dunia sastra Indonesia penuh dengan permainan politik sastra. Yang paling sering kami kritik adalah Komunitas Utan Kayu (sekarang Salihara), dengan alasan bahwa komunitas tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar, dan bahwa pengaruh tersebut bersifat negatif dan menimbulkan ketidakadilan. (Hal itu tidak akan saya bahas lebih jauh di sini karena sudah banyak dibicarakan di tempat lain.) Politik sastra tersebut bukan tidak terkait dengan dunia akademis. Seperti yang sudah saya katakan di atas, akademisi seringkali berperan dalam mempromosikan sebuah karya, dalam melegitimasi terpilihnya karya sastra tertentu dalam sebuah lomba, dsb. Di samping itu, pilihan seorang akademisi untuk membahas karya sastra tertentu dan untuk tidak mengacuhkan karya lain beserta pendapat yang diutarakannya tentang karyakarya yang dibahasnya. tidaklah bebas nilai, tapi bersifat politis dan dipengaruhi oleh pertarungan politik sastra yang sedang berlangsung. Menurut pandangan saya, saat ini kondisi wacana seputar sastra Indonesia (pembahasan dan kritik sastra) cukup memprihatinkan. Kritik sastra sebagai kerja intelektual yang serius, berani dan bertanggung jawab masih sangat langka. Sebagai akibatnya, pembahasan dan telaah sastra yang pada dasarnya tidak layak disebut kritik sastra yang bermutu, tetap memiliki pengaruh yang cukup besar. Budi Darma dalam makalahnya menduga bahwa mungkin kurang berkembangnya kritik sastra di Indonesia selama beberapa dekade ini disebabkan oleh kurangnya karya sastra yang menarik dibahas. Artinya, menurut Budi Darma kritik sastra hanya dikambinghitamkan – sebetulnya sastra sendiri yang kurang maju. “Mana mungkin kritikus mau bergerak manakala objek
djoernal sastra
boemipoetra 8 Edisi Januari-Juli 2011
Tjatatan
yang dihadapinya tidak menggerakkan hatinya?”, tanyanya. Saya tidak sependapat. Menurut pandangan saya, tugas kritikus sastra bukan sekadar memuji karya yang dianggap bagus atau “menggerakkan hati”. Justru kalau memang perkembangan dunia sastra dianggap kurang sehat, tugas kritikuslah untuk menganalisis apa kendalanya. Di samping itu, menurut penilaian saya justru sangat banyak karya sastra Indonesia yang sangat menarik, tapi ternyata tidak mendapat perhatian dari kritikus. Apa yang kurang “menggerakan hati” pada puisi Nur Wahida Idris, TS Pinang,
Saut Situmorang dan Aslan Abidin, atau pada prosa Clara Ng dan Maria Bo Niok – untuk sekadar menyebut beberapa nama? Tapi selama ini hampir tidak ada yang memperhatikan karya mereka. Dan apakah karya penulis seperti Ayu Utami atau Goenawan Mohamad yang relatif lebih sering dibicarakan (dan dipuji), memang lebih bermutu dan menarik? Ataukah ada alasan lain mengapa karya itu yang dipilih untuk dibahas (dan dipuji)? *** Bagi saya, menyehatnya kritik sastra Indonesia tidak dapat dibayangkan tanpa lebih dahulu
mengakui adanya relasi-relasi kekuasaan yang timpang beserta sistem dunia akademis yang kurang menguntungkan seperti yang sudah saya bicarakan di atas, juga tanpa mengakui pengaruh politik sastra dalam setiap kerja penulisan seputar sastra Indonesia.***
*Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Yogyakarta **Makalah untuk Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010
Kritik Atas Coreng-morengnya TSI III dan Harapan Buat TSI IV TSI III (Temu Sastrawan Indonesia III) yang bertajuk Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman telah terlaksana di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada tanggal 28 hingga 31 Oktober 2010 lalu. Selepas terselenggaranya acara, patutlah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya serta yang tidak terlibat namun berminat terhadapnya, mengajukan pertanyaan perihal pencapaian maksud dan tujuan dari TSI III tersebut.
A
DAPUN maksud dari TSI III yang baru saja dilaksanakan itu adalah mengapresiasi dan mendiskusikan secara mendalam perkembangan Sastra Indonesia mutakhir. Sedangkan tujuan TSI III tak lain dari: menghimpun pemikiran-pemikiran ilmiah tentang sastra Indonesia mutakhir, baik dari kalangan akademis maupun kalangan pesastra, serta memunculkan kegairahan masyarakat sastra Indonesia (khususnya di Tanjungpinang) dan mendorong terjadinya penciptaan-penciptaan baru. Dalam sebuah situs beralamat Britannews.com tanggal 31 Oktober 2010, Edward Mushalli selaku Ketua Panitia TSI III menyatakan harapan atas terselenggaranya TSI III. “Mudah-mudahan hasil rembug kerja Temu Sastrawan Indonesia yang ke 3 ini memberikan hikmah dan manfaatnya bagi perkembangan Sastra Indonesia dan budaya di Kepulauan Riau ini khususnya”. Tak jauh beda dengan maksud dan tujuan diadakannya TSI III, Suryatati A. Manan selaku walikota Tanjung Pinang dalam Hileud.com tanggal 30 Oktober 2010 menyatakan harapan akan dihasilkannya pemikiran, rumusan, dan rekomendasi fundamental untuk tumbuh kembang sastra mutakhir; munculnya sastrawan muda untuk tumbuh kembang sastra Indonesia modern dan Tanjungpinang pada khususnya; serta adanya pelajaran berharga bagi generasi muda, para pelajar, guru, dan masyarakat luas di Kota Tanjungpinang. Harapan Edward dan Suryatati serta maksud dan tujuan TSI III tersebut di atas bisa jadi tidak tercapai. Mengapa? Karena sebagai sebuah acara, TSI III dinilai beberapa pihak tak berorientasi jelas. Sementara TSI III itu bermaksud “mengapresiasi dan mendiskusikan secara mendalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir”, pelaksaan acara diskusinya tak berjalan dengan efektif dan – secara keseluruhan – malah dianggap lebih banyak didominasi acara seremonial. Selaku pembicara dalam sebuah sesi ceramah, Katrin Bandel dalam menanggapi tulisan dinding Y. Thendra
B.P.[1]di grup facebook TSI III menyiratkan diskusi tidak berjalan intens dan serius di TSI III, “Yang seharusnya terjadi pada acara semacam itu adalah interaksi intens antarpeserta (terutama sastrawan) dan diskusi serius seputar sastra. Untuk itulah peserta repot2 datang dari seluruh Indonesia.” (dipasang pada tanggal 25 November 2010 pukul 19:15). Secara umum, Thendra selaku peserta memang menilai waktu diskusi yang diberikan sangat singkat. “Diskusi kok kayak ceramah,” celetuk Thendra. Waktu bagi pembicara untuk menyampaikan makalahnya juga dibatasi. Penyampaian materi yang singkat saat Putu Wijaya dan Nanang Suryadi menjadi pembicara diambilnya sebagai contoh. Keluhan atas jalannya diskusi tak hanya itu. Katrin menulis, “Sesi tanya jawab tidak selalu ada.” Tidak adanya waktu untuk tanya jawab ini menurut Thendra menyebabkan tidak terjadi dialog dalam TSI III. “Kesempatan untuk berdiskusi di luar diskusi resmi pun kurang dan suasana tidak mendukung,” tulis Katrin dalam komentarnya di facebook. Acara lain selain diskusi pun dinilai demikian. Hal ini tidak dibaca Isbedy Stiawan Z. S., peserta TSI III yang lain. Menurut Isbedy, diskusi telah berjalan dengan baik. Masih berhubungan dengan diskusi, Afrizal Malna selaku salah seorang pembicara TSI III berkomentar soal materi para pembicara di acara tersebut. Menurut Afrizal, para pembicara tampak tak punya waktu untuk riset dalam menulis makalah sehingga makalah yang ditampilkan tidak mendalam dan tidak memiliki ide baru. Hal ini dikontraskan Afrizal dengan honor para pembicara yang besar. Tarmizi dari Rumahhitam yang adalah peserta TSI III menilai sasaran acara diskusi di TSI III kurang terkonsep. Meski judulnya Temu Sastrawan Indonesia, dalam acara-acara diskusi banyak pula guru yang bergabung. Tarmizi melihat maksud baik dari diajaknya para guru tersebut, yakni untuk menciptakan apresiasi sastra yang lebih di dunia
pendidikan. Namun, pengaturan ruang dan waktunya kurang sehingga sastrawan sendiri malah tidak mendapat ruang diskusi yang cukup. “Saya sudah tidak berminat masuk ke dalam. Tempat duduk saja tidak ada,” ujar Tarmizi. “Banyak sastrawan yang (akhirnya berkumpul—red) di luar tempat diskusi,” tambahnya. Terlepas dari maksud dan tujuan TSI III, ruang bagi generasi muda dan perempuan dalam TSI III pun dinilai kurang. “Teman-teman muda itu dianggap kurang dapat tempat dalam acara itu baik pentas maupun penghargaan,” ujar Dea Anugrah, seorang peserta TSI III, pada MediaSastra.com. Kesempatan untuk menjadi pembicara yang menelaah karya dan dinamika generasi muda serta porsi pembacaan karya bagi sastrawan muda dinilai Thendra kurang. Menurut Saut, keterwakilan kaum muda dan perempuan dalam Dewan Kurator pun kurang. “Perempuan (dalam Dewan Kurator—red) hanya satu orang, Mezra E. Pollondou,” ujarnya. Tak hanya yang muda dan perempuan, keterwakilan wilayah juga dinilai Saut kurang. Kurang-keterwakilan ini memunculkan harap dari Isbedy bagi TSI IV. “Untuk TSI IV sederhana saja. Semua orang memiliki acara itu. semua golongan, semua jenis kelamin,semua kelompok, semua proses,” ujarnya. Bagaimanapun, kritik terhadap Dewan Kurator dari salah seorang kurator itu akhirnya menjadi pertimbangan panitia TSI IV sehubungan dengan pembentukan Dewan Kurator TSI IV. “Tentang kurator TSI IV, kami sampaikan bahwa apa yang dibincangkan telah kami jadikan pertimbangan dalam memilih para kurator TSI IV dengan mempertimbangkan unsur generasi, perempuan, maupun wilayah dari 11 orang yang telah kami pilih,” tulis Dino Umahuk, panitia TSI IV, via pesan facebook kepada reporter MediaSastra.com. Porsi pertunjukan khas Melayu pun dianggap terlalu mendominasi, sementara tema TSI III adalah Sastra Indonesia Mutakhir dan bukan Sastra Melayu. “Bukan berarti kita menolak etnisitas, akan tetapi porsinya yang tidak proposional. Masak acara Temu Sastrawan Indonesia, yang lebih banyak ditampilkan lokalitas?” ucap Thendra. Perihal porsi Melayu yang berlebihan itu, Tarmizi melihatnya sebagai suatu kewajaran. “Sebagai tuan rumah, Tanjungpinang punya misi untuk mempertegas kembali posisi Melayu di Indonesia,” ucapnya. Isbedy tak mempermasalahkan porsi Melayu yang
Tjatatan berlebihan dalam pertunjukan seperti diungkap Thendra. Mengomentari perihal pertunjukan, Isbedy menyatakan bahwa “[p]entas pada panggung utama di Anjung Cahaya sungguh-sungguh meriah dan disiapkan secara maksimal.” Hal yang disayangkan oleh Isbedy justru tidak diundangnya KUK (Komunitas Utan Kayu, sekarang berganti nama menjadi Komunitas Salihara), tak hanya pada TSI III, tapi juga sejak TSI I dan II. “Padahal sebagai warga sastra juga di Tanah Air, KUK juga punya peran yang sama dengan lainnya,” ucapnya. Tidak-diundangnya KUK itu dibantah Saut Situmorang selaku kurator TSI III. Menurut dia, Utan Kayu mendapat undangan. “Mereka aja yang nggak datang,” ujar Saut. Afrizal punya pendapat berbeda soal acara TSI III. Menurutnya TSI III malah jadi bagian dari proyek kampanye terselubung. Menurut Afrizal terdapat banyak foto gubernur dan bupati yang terpajang di jalan-jalan, hotel, hingga ke ruang diskusi. Perihal ini, Tarmizi berkomentar lain. “Saya kira tidak ada foto-foto. Cuma, (dalam, red) seremoninya memang ada banyak pejabat Tanjungpinang,” ucapnya. Sehubungan dengan kampanye terselubung, Saut dan Katrin pun melihat indikasinya. Namun, berbeda dengan Afrizal, banyaknya pejabat yang membacakan puisi pada acara pertunjukan Malam Apresiasi Pentas Sastra-lah yang ditafsir keduanya sebagai kampanye terselubung. Soal keseluruhan acara, Tarmizi dan Isbedy menganggap TSI III telah berhasil. Isbedy menilai TSI III sudah berlangsung baik dan sukses. “Menurut saya, terlaksana saja acara itu sudah berhasil,” ucap Tarmizi. Katrin punya pendapat lain. “Acaranya memang sangat mengecewekan, atau dengan kata lain, acaranya gagal,” tulis Katrin menyimpulkan keseluruhan acara TSI III. Reaksi Atas Kritik Kritik atas penyelenggaraan acara TSI III ternyata bukan baru muncul setelah acara usai. Kegelisahan beberapa peserta akan perhelatan tahunan tersebut ternyata telah muncul sejak hari kedua penyelenggaraan acara. Pada Jumat, 29 Oktober 2010, sejumlah sastrawan muda peserta TSI III berkumpul di pinggir kolam Hotel Pelangi Tanjungpinang, tempat TSI III diselenggarakan. Diawali baca puisi, mereka menumpahkan kegelisahan mereka sehubungan dengan ketidak-beresan pelaksanaan TSI III. Para sastrawan muda kembali berkumpul di pinggir kolam Hotel Pelangi pada Sabtu malam, 30 Oktober 2010. Malam itu, bertambah banyak sastrawan muda yang berkumpul. Lagi-lagi mereka mulai diskusi dengan baca puisi. Di tengah diskusi, Binhad Nurrohmat tiba-tiba muncul dan ikut mendengarkan obrolan para sastrawan muda itu. Beberapa saat kemudian, diskusi mulai serius. Pada pertemuan kedua mereka itu, Irianto Ibrahim akhirnya mengusulkan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan ketidakpuasan teman-temannya sebagai bentuk masukan bagi TSI mendatang, TSI IV. Setelah usulan itu, mulailah muncul poin-poin kritik baru bagi TSI III yang belum muncul pada malam sebelumnya. Tak berapa lama, Saut dan Katrin juga ikut bergabung tanpa diundang sebelumnya. Mengingat Saut pun adalah salah satu dari Dewan Kurator, para sastrawan muda itu kemudian menyampaikan beberapa poin kritikan untuk TSI III kepadanya. Saut kemudian menyarankan untuk mencatat poin-poin tersebut untuk
disampaikan pada para kurator dan panitia pada Minggu pagi sebelum mereka pulang ke daerah asal masing-masing. Salah seorang kurator bahkan sudah akan pulang jam 9 pagi. Dalam Jadwal Kegiatan TSI III memang tidak tertera adanya acara musyawarah, padahal Musyawarah Sastrawan itu sebenarnya merupakan rekomendasi dari TSI I. Ini berarti memang tak ada ruang untuk membicarakan poin-poin yang menjadi kritik para sastrawan muda itu kecuali mereka menghubungi pihakpihak yang terlibat dalam TSI III. “Tidak ada pertemuan semacam musyawarah antara peserta, panitia, dan kurator mengenai TSI selanjutnya,” ucap Thendra. Ragil Sukriwul adalah orang yang mencatat poin-poin tersebut di notebook milik Thendra. Selesai dicatat, poin-poin tersebut ditunjukkan pada semua yang hadir. Semua sepakat. Kurator dan panitia kemudian segera dihubungi oleh beberapa peserta di pinggir kolam itu untuk membicarakan masukan bagi TSI IV pada pukul 08.00 pagi di Ruang Makan Hotel. Menjelang subuh, forum pinggir kolam itu bubar. Akibat lelah dan ngantuk mereka yang berkumpul di pinggir kolam itu pulang ke kamar masing-masing. Minggu pagi yang dinanti tiba. Di Ruang Makan Hotel Pelangi, telah hadir Thendra dan Ragil yang mewakili sastrawan muda. Hadir pula Dewan kurator Joni Ariadinata dan Triyanto Triwikromo serta panitia TSI IV di Ternate: Dino Umahuk dan Rudi Fofid. Beberapa saat kemudian, muncul Bode Riswandi, Yopi Setia Umbara, Faizal Sahreza, dan Langgeng Prima A. yang juga mewakili sastrawan muda. Joni membuka forum Minggu pagi itu. Para sastrawan muda kemudian menyatakan beberapa poin kritikan bagi TSI III yang juga merupakan masukan bagi TSI IV. Beberapa poin itu antara lain adalah pernyataan bahwa orientasi TSI III tidak jelas dan tidak-adanya ruang (baik sebagai pembicara maupun pembaca karya) bagi sastrawan muda di TSI III. Berdasar pada dua poin tersebut para sastrawan muda itu menuntut perwakilan dari mereka nantinya dimasukkan dalam Dewan Kurator TSI IV. Di tengah penyampaian kritik dan masukan yang bisa juga disebut evaluasi itu, Dewan Kurator dan beberapa peserta lain kemudian menyusul hadir. Mereka adalah Tan Lioe Ie (Dewan Kurator), Indrian Koto, Mutia Sukma, Zen Hae (Dewan Kurator), dan Dea Anugrah. Irianto Ibrahim sempat masuk walau tak berapa lama dia keluar dari forum. Zen Hae pun kemudian keluar dari forum. Ada beberapa sastrawan muda yang juga ikut bergabung pada malam Minggu namun tak hadir pada Minggu pagi itu. “Dialog antara Tim kurator, Perwakilan Panitia TSI IV Ternate, Forum pinggir Kolam, berkesudahan dengan bisa saling memahami apa yang kami sampaikan itu sebagai sebuah masukan untuk kebaikan Temu Sastrawan Indonesia selanjutnya,” tulis Thendra lewan pesan surel kepada wartawan MediaSastra.com. Setelah saling pengertian itu, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib selaku kurator sekaligus Ketua Pelaksana TSI III sekaligus Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, dipanggil untuk ikut bergabung. Begitu mengetahui poin-poin kritikan itu, Akib, berdasar pada pernyataan Dea dan Thendra, tampak tersinggung dan marah. Akib menyatakan bahwa acaranya telah sukses meski pada hari kedua dia berniat menghentikan acara karena pada hari itu ia bentrok dengan salah seorang kurator. Menurut Akib, Tanjungpinang te-
djoernal sastra
boemipoetra 9 Edisi Januari-Juli 2011
lah berusaha menghargai sastra maupun sastrawan, telah mengangkat sastra Indonesia. Kritik tak semestinya dia dapat. Akib pun sempat berkata pada Dino selaku panitia TSI IV untuk tidak mengadakan TSI IV di Ternate karena TSI III baginya menyulitkan dan makan biaya besar namun bukan penghargaan yang dia dapat. Menurut Thendra dan Dea, kemarahan Akib sudah sampai pada titik ancaman. Reaksi Akib tersebut menimbulkan tanya pada diri Thendra. “Apakah sesuatu acara tidak boleh dipertanyakan?” ungkapnya. Akib, saat kami konfirmasi mengenai forum Minggu pagi itu, menolak menjawab pertanyaan kami sehubungan dengan kebenaran peristiwa tersebut. Acara ‘evaluasi’ pada Minggu pagi itu akhirnya berkesudahan pada pukul 9 karena situasi tak lagi kondusif untuk evaluasi, serta karena beberapa kurator sudah harus segera pulang. Tarmizi menyatakan, memang banyak peserta TSI III merasa tak puas dengan acara. Dia menilai hal ini disebabkan oleh kinerja panitia yang kurang koordinasi dan lemah dalam hal teknis. Pihak panitia dinilai Tarmizi tak melibatkan kawan-kawan yang memang bergelut di bidang kesenian sejak awal pelaksanaan TSI III. Bagi Saut, banyaknya kekurangan pada TSI III itu menjadi tanggung jawab Dewan Kurator. “Bagi aku, ya, Dewan Kurator itu lebih tinggi dari panitia,” ujarnya. Oleh karena posisinya yang paling tinggi itulah, menurut Saut, tanggung jawab terbesar ada di pundak para Dewan Kurator. “Dewan Kurator itu sudah digaji. Gajinya mahal,” ucap Saut membandingkan kemahalan gaji itu dengan kinerja Dewan Kurator yang menurutnya tak maksimal. Konfirmasi kepada para panitia dan kurator sehubungan dengan batas wewenang antara panitia dan kurator serta sistem evaluasi dan pertanggung-jawaban panitia TSI III atas acara belum dapat kami lakukan. Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua selaku Dewan Kurator lain menolak diwawancara soal apapun yang berhubungan dengan TSI III. Hingga berita ini diterbitkan, Akib selaku Dewan Kurator dan Ketua Pelaksana TSI III juga menolak memberikan keterangan, termasuk kontak para panitia lain yang ingin kami wawancarai. ______________________________________________________________________________________________ [1] Berikut ini adalah tulisan dinding Thendra di grup facebook TSI III pada tanggal 25 November 2010: Usulan Dari Saut Situmorang (Kurator TSI III) melalui SMS karena akun fesbuk doi dicekal beberapa bulan yang lalu. From: +6281668XXXX Received: Nov 24, 2010 17:03 Aku usulkan Tim Kurator yg ada sekarang DIBUBARKAN saja kerna tak berguna bagi Acara dan Peserta! Kalok memang dirasakan perlu utk membentuk Tim Kurator maka mereka harus dipilih secara terbuka dan mewakili semua golongan pengarang seperti pengarang perempuan dan pengarang muda. ________________ Reportase bersama mediasastra.com: Abram Widi Wibawa, Andry Cahyadi, Sita Magfira Sumber: http://mediasastra.com/berita/16/01/2011/pasca_tsi_iii_kritik_dan_harapan_buat_tumbuh_kembang_tsi
djoernal sastra
boemipoetra 10 Edisi Januari-Juli 2011
Soeara
Surat Dunia Maya Untuk Ajip Rosidi Bung Ajip yang baik, Tiga bulan setelah menerima surat Bung dari Pabelan, tertanggal 5 Januari 2011, dengan tanda tangan dan tera sketsa mungil berwarna merah yang menggambarkan wajah Ajip Rosidi yang sedang senyum, saya belum juga menemukan ajakan yang pas untuk membalas. “Tak menyangka samasekali Amak Baldjun mendahului hari ini.” Begitulah surat itu dibuka dengan sebuah kabar duka tentang aktor yang penampilannya di panggung teater mempesona saya. Semasa hidup, Amak gemar berolahraga jalan kaki. Beberapa kali kami bertemu di Senayan, sama-sama menikmati jalan dan lari-lari kecil menjelang tenggelamnya matahari. Kabar kemalangan mengenai Amak saya terima dari Bambang Bujono melalui pesan singkat (SMS), yang kemudian saya teruskan ke Ibu Empat di Pabelan dengan harapan disampaikan kepada sang suami. Surat Bung dari Pabelan itu bercerita pula tentang rencana Bung untuk membangun Pusat Studi Sunda yang akan diberi nama “Perpustakaan H. Ali Sadikin.” Nama itu dipilih untuk menghormati Bang Ali “yang telah banyak berbuat untuk kemajuan kebudayaan kita.” Sebagai penutup, Bung menyiratkan keadaan fisik Bung sendiri yang sudah tidak prima lagi untuk mondar-mandir PabelanBandung. Rapat Akademi Jakarta 21 Januari akan Bung loncati, karena harus berada di Bandung untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Padjadjaran, persis di hari ulangtahun Ajip Rosidi yang ke-73, tanggal 31 Januari 2011. Bung bilang, akan terlalu lelah buat badan yang mulai rapuh kalau sepulang dari Jakarta harus segera pula berangkat ke Bandung. Sekarang pun, kata Bung lagi seraya mengeluh, masih batuk-batuk sepulang menjadi saksi pernikahan anak almarhum Edi Ekadjati. “Mulai tahu dirilah,” begitu Bung menutup surat itu. Ya, mulai tahu dirilah…! Sungguh sebuah ajakan yang arif untuk diri sendiri. Dan, marilah kita tengok perjalanan kepengarangan Bung yang sudah melampaui kurun waktu lebih dari setengah abad, dengan jumlah judul buku atas nama Ajip Rosidi, yang kalau dideretkan dari atas ke bawah, agaknya lebih dari satu meter tingginya. Sebutkan segala sisi kesusastraan dan gerakan kebudayaan Indonesia, maka Ajip Rosidi ada di tiap kata yang diterakan. Tidak hanya di dalam dunia katakata, Bung juga sudah menancapkan tonggak dalam gerakan kesenian dan kebudayaan. Taman Ismail Marzuki yang menghampar di tengah deruderam pertumbuhan kota yang bengis sekarang ini, antara lain karena kesadaran yang muncul di dalam diri Bung pada penggal kedua 1960-an. Karena Bung dan teman-teman maka Taman ini dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin. Kalau tidak para seniman kita mungkin cuma bisa luntanglantung di taman-taman kota, di warung-warung yang dekil, atau di terminal-terminal bus yang riuhrendah dengan udara yang tercemar, dan dililit utang di mana mereka singgah. Belum lagi kalau diingat dari Jatiwangi, yang justru di tepi Tatar Sunda itulah Bung jatuh-bangun mempertahankan sastra dan budaya Sunda jangan sampai tergusur
zaman. Belasan tahun Bung mengajarkan Bahasa Indonesia di daratan jauh, Jepang. Sesungguhnya tak mengherankan buat saya kalau Bung memperoleh penghormatan yang begitu tinggi dari Universitas Padjadjaran, yang Bung terima dengan sikap seorang seniman tulen. Naik ke panggung mengenakan toga, sementara kaki cuma berhiaskan sepasang sandal. Unik, tiada duanya di dunia. [Ketika saya bisikkan apa yang saya lihat di panggung itu kepada istri saya di sebelah, tibatiba dari bangku depan A.D. Pirous menoleh kepada kami, menempelkan satu jari di depan bibirnya, dan pelukis tenar itu dengan sangat sopan bilang, “Sssst…”] Dan Bung menyampaikan pidato penerimaan dalam bahasa Sunda di depan Rektor dan seluruh jajaran petinggi Universitas serta sekitar 200 undangan, sesuai dengan syarat yang Bung patok. Tidakkah Bung catat, sebuah pusat pendidikan tinggi yang terpandang telah menyerahkan diri pada keinginan Bung! Sungguh pencapaian yang tak pernah saya bayangkan… Namun, dalam kesempatan yang baik ini, ada yang hendak saya utarakan. Bukan petuah, tidak pula peringatan. Hanya satu keinginan yang hendak saya katakan dalam bahasa yang lebih halus, sebagaimana yang Bung dapat katakan dalam bahasa Sunda yang paling sopan. Tapi, sayang, saya tak punya bendahara setinggi itu. Karena itulah saya harus meminta maaf terlebih dulu sebelum Bung memutuskan untuk terus membaca surat ini. Perkenankanlah saya membasuh tangan dan kaki, menyeka remah yang tertinggal di bibir, menghela napas dan berkata, “Mulai tahu dirilah…” katakata, yang maaf, saya kutip dari surat yang Bung layangkan dari Pabelan, dari rumah Bung yang kesekian itu. Mungkin sakit untuk menyadari, serupa menyiksa diri, barangkali, walau tak perlu sampai harakiri, bahwa pencapaian dalam pendakian Bung yang sudah sampai di tataran yang begitu terhormat, telah tercemar. Sudah ternoda! Hanya lantaran hasutan seseorang, Bung telah mengotori puncak yang telah Bung taklukkan. Semoga Bung tidak lupa, sebagaimana saya juga akan selalu ingat, di pagi sebelum matahari benar-benar telah bangun, Bung [yang bernama Ajip Rosidi] meminta saya dengan tekanan suara menyergah [dan didengar istri saya yang belum lepas telekungnya seraya menyiapkan teh buat seorang tamu sebesar Ajip] untuk membatalkan diskusi mengenai buku Asep Sambodja (sekaligus memperingati 100 hari wafatnya), yang akan diselenggarakan hari itu oleh kelompok mejabudaya di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Bung tentulah menyelami mata saya, yang dengan mulut terkatup menahan amarah bercampur sedih. Dan di situ Bung mungkin bisa membaca bahwa saya tidak percaya tokoh sekaliber Bung bisa datang bagai mengamangkan pedang panjang untuk membantai niat baik anak-anak muda yang berhasrat membahas sebuah buku. Sebuah kitab! Sebuah tanda peradaban! Ketakutan apa yang yang berada di belakang pedang yang Bung genggam itu? Bung yang telah menulis segunung buku, tiba-tiba [hanya karena hasutan Doktor Honoris Causa Taufiq Ismail – ehem pakai “q” ya..!] ber-
putus kata untuk membatalkan telaah untuk secuil tanda peradaban: buku yang ditulis oleh seorang sarjana yang belum lama meninggal setelah menderita kanker. Membatalkan diskusi buku! Kejahatan tingkat berapa ini? Bukankah itu hanya selangkah saja ke pembakaran buah pikiran dan penzaliman terhadap sikap seorang manusia?! Yang muncul di bendul pintu rumah saya itu memang cuma sebilah pedang yang abstrak, yang mengambil bentuk ancaman yang Bung humbalangkan di depan saya, muridmu yang daif ini... Kalau yang datang itu adalah kekuasaan dengan sebuah front raksasa bernama “front penyair Indonesia,” maka yang terjadi tentu bukan cuma pembatalan diskusi, tetapi pemberangusan, penangkapan, dan pemenjaraan terhadap “mulutmulut yang lancang,” yang hendak memahami Asep dengan baik-baik, dengan hati yang lapang, hati anak-anak muda yang ingin dibesarkan di sebuah meja peradaban di bawah tatapan H.B. Jassin. Diskusi buku itu hanyalah sebuah titik dalam rentang panjang peradaban kita. Kalau sebuah ukuran bisa ditarik, dia hanya secercah cahaya, barangkali. Jika ada yang beranggapan upaya pembatalan diskusi itu merupakan noda, apakah dia layak menerima pengampunan? Untuk penyair sekeras dan beringas semacam Saut Situmorang TIDAK! Dari Yogyakarta dia mengirimkan SMS: “Buat apalagi dibantu PDS, Bang? Biar yayasannya yang sampah itu mintak tolong ke Taufiq Ismail. Jogja udah memutuskan gak mau ikut bantu PDS sebelum pihak yayasan mintak maaf kerna menuruti Taufiq Ismail melarang acara diskusi buku Asep itu! Sorry, Bang.” Pesan singkat itu muncul di layar handphone saya sebagai tanggapan terhadap permintaan teman-teman muda yang menghendaki saya agar memohon kepada penyair berambut gimbal dan berewokan bak seorang pemberontak yang baru keluar dari hutan perlawanan itu, karena ada niat untuk, antara lain, melaksanakan lelang lukisan dan uangnya akan disumbangkan kepada PDS H.B. Jassin. Saut saya minta membujuk (temannya minum, kabarnya) pelukis Agus Suwage merelakan karyanya untuk disertakan dalam lelang. Barangkali salah dugaan saya bahwa Bung menyerah pada permintaan busuk untuk membatalkan diskusi buku Asep Sambodja itu karena Bung sedang berada di Jakarta. Kota yang sumpek, di mana pengendara sepeda motor boleh naik ke trotoar menggusur pejalan kaki, dan melawan arus lalulintas pula. Jika Bung berada di Pabelan, apalagi di sawung Ibu Empat yang laris manis sambil menatap stupa-stupa Borobudur yang tertulis di pucuk-pucuk daun, agaknya Bung tidak bakal hanyut dibawa lahar kedengkian untuk membabat diskusi buku Asep Sambodja. Bung Ajip yang baik, saya tak punya tanda mata untuk dibawa ke Pabelan. Tapi, kalau ada kesempatan untuk mampir lagi ke rumah Bung di sana, izinkanlah saya memegangi tangan Bung, sama-sama kita menatap Borobudur dan bersumpah tidak mengulangi kebengisan terhadap peradaban, sebagaimana terbaca pada arca candi yang lehernya telah ditebas oleh mereka yang kehilangan akal sehat. Memberangus sebuah kitab! Salam hormatku untuk Bung dan Ibu Empat, Martin Aleida
Sandjak Thomas Budi Santoso NEGERI EDST Di negeri EDST merah putih dilipat dalam kolong Berkibar atas aba-aba ketua rukun tetangga Saat tujuhbelasan dan hari sejarah yang terlupa Merahnya pucat, putihnya lesi Darahnya kering tak disusui ibu pertiwi
djoernal sastra
boemipoetra 11 Edisi Januari-Juli 2011
Mereka sebentar-sebentar menengok ke tengah alun-alun Seperti matador Madrid yang tak mau lengah Hora hore esok sore Esok dele sore tempe Begitulah semboyannya
Kutatap peta google, membentang fatamorgana Garuda pancasila menjelma panca warna Seperti batu akik, mulia dipandang Mati suri tak bernadi
Mengelilingi hamparan itu Berjajar orang-orang berpakaian biru Seperti satpam bertampang pramuka Bergerak berputar membentuk lingkaran kurusetra Mereka bernyanyi memunguti bendera yang jatuh diperbatasan Suaranya senyaring gong keratin: “ Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya” Lengkap sudah warna panjinya, berkobar menggelegar Seperti suara yang jatuh dari awan Wow wow, wow wow Hoo hoo, hoo hoo Hora hore esok sore Esok dele sore dele Begitulah sementara semboyannya
Kulihat bendera kuning menggapai matahari Orangnya juga kuning, bendera menyilau mata Kencingnya tajam menusuk bumi Konon mereka keturunan Jupiter Ada yang bilang mereka dari gender sakit kuning Mereka berbanjar, mengkilat seperti emas Serentak kidung agung berdengung: “ padamu negeri kami berbakti Padamu negeri kami mengabdi” Dan hamparan manusia mulai bergerak Hora hore esok sore Esok dele sore tempe Begitulah semboyannya
Di depan alun-alun menjulang angkuh gedung musyawarah ke arok Tiba-tiba peluit panjang membersit telinga Dan ramuan bendera bergerak ke pintu utama Siding pripurna segera dimulai , membahas nama negeri Mencari solusi demi citra sejagat EDST perlu diganti, samakan visi dan misi Mereka kaget, nafas dan semboyan telah sama Keputusan jadi ringan EDST jadi SDET : sore dele esok tempe Tambah amandemen pasal kesejahteraan rakyat Hasil kilat kajian ulang : esok tempe sore tempe
Di tengah alun-alun kulihat armada biru, anggun bagai laut Benderanya biru berbinar menyentuh langit Seperti arde, petir api lenyap ditelan bumi Dengan gemuruh samudera mereka menyanyi: “ nenek moyangku orang pelaut Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa” Syairnya menorah benua afrika Konon nyali itulah yang biang Lahirnya bajak laut Somalia Hora hore esok sore Esok dele sore tempe Begitulah semboyannya
Panggung ditutup, siding bubar Dirgahayu , mereka bernyanyi Alun-alun berdengung: “ berkibrlah benderaku” Merdeka! Kudus, 29 Mei 2011
Negeri EDST negeri seribu pulau Negeri konon yang sarat konon Gemah ripah loh jinawi Hora hore esok sore
Di pelataran kanan kulihat kerumunan manusia hijau Mirip hulk, ceria dan bersahabat Mereka berbaris di lapangan rumput Seperti pohon jati, kokoh menancap bumi Alun himne padamkan gemercik suara: “ satu nusa satu bangsa, satu bahasa kita” Kulihat ada bercak hitam kecil menggumpal Seperti kerak lumut, warna lain nafi di sana Dan sekelompok orang sibuk memolesnya Benderanya hijau, menyala tergantung di bulan Hora hore esok sore Esok dele sore tempe Begitulah semboyannya Di samping alun-alun terbuka padang lebar Seperti laut merah, bendera merah dimana-mana Karapan kerbau digelar, derap gendering membahana: “ garuda panca sila, akulah pendukungmu Patriot proklamasi, sedia berkorban untukmu” Dan secarik bendera merah raksasa dibentang menyerupai tenda Memayungi kerumunan orang di bawahnya Sedang lainnya berjingkat kepanasan
NEGERI DOBOL Di negeri tercinta ini Negeri konon, negeri adiluhung Negeri kini, adigang adigung Bahasa persatuan diganti omong dobol Hingga rakyatnya jadi bongol Tadi malam televise omong dobol Besok, koran pagi koran sore omong dobol Kemarin politisi omong dobol Sebelumnya wakil rakyat omong dobol Sebelumnya setelahnya petinggi Negara omong dobol Setelah sebelumnya ketok palu omong dobol OMG, negeriku….. OMD……. Jadinya negeriku Tak tahan aku! Kudus, 28 Mei 2011
Thomas Budhi Santoso, lahir di Pati 19 Nopember 1944. Menulis puisi sejak tahun 60-an.Beberapa puisinya dimuat di antologi puisi Masih ada Menar dan Sajak Kudus, koran Republika, Suara Pembaruan, Wawasan, dan Suara Merdeka. Ia adalah penasehat Dewan Kesenian Kudus, dan penasehat Keluarga Penulis KuduS. Kini tinggal di Kudus dan bekerja di PT Djarum sebagai Direktur Produksi.
djoernal sastra
boemipoetra 12 Edisi Januari-Juli 2011
Sandjak
Jumari HS NEGERI SAKIT Negeri sakit Undang-undang komat kamit Gigitannya seperti tukang kredit Mulut penguasa melilit Rakyat terjepit Inilah negeri sakit Hukum jumpulat jempalit Politisi di atas kursi suka berkelit Birokrat wajahnya bengal dan sengit Menebar walang sangit Inilah negeri sakit Negeri banyak penyakit Cari makan kian sulit Utangnya membelit Ini negeri sakit Kasus-kasus terungkit Dengan rapat dilempit Suara kebenaran rumit Amit-amit.
DPR
DUKA LIMA SILA
Di sini, Fraksi-fraksi berdiskusi Saling mengkaji negeri Suaranya benar-benar sakti Getarannya, menggelegar seperti tsunami : Koruptor mudah bersembunyi
Lima sila meratap duka Satu, Tuhan dilupa dan rumah peribadatan tinggal sekumpulan umat Yang bersembahyang kehilangan makna doa-doa, tolerasni bersembunyi dalam magma Dua, humanisme merana dan matanya kabur, samar-samar melihat Pembunuh, pencurian dan pengkhianatan di mana-mana Tiga, persatuan robek lalu menyebar menjelma kelompokkelompok angkuh Yang mementingkan kepentingannya Empat, musyawarah, rapat semakin hikmat meresap dalam lumpur tak peduli negeri Menangis atau rakyat sengsara dan kata-kata tinggal bualan semata Lima, keadilan dalam perwakilan siapapun atau apapun sudah lenyap ditelan penguasa Tak peduli airmata memerih bahkan sajak pun teriris
Di kursi, Partai-partai memamerkan diri di TV Merah, biru, kuning, dan hijau berseri Seperti pelangi memeluk bumi Tak peduli rakyat sulit mencari nasi Di gedung parlemen ini, Banyak pesulap saling beraksi Dengan dasi menjerat leher kaum sufi Kemeja mahal menutup hati Di sini, Wajah-wajah penuh janji Dan mengencingi demokrasi! Kudus. 2011
Lima sila meratap duka Menyaksikan Tuhan dijauhkan, humanisme remuk, persatuan terberai, Musyawarah bualan kata-kata dan keadilan menangis Lima sila meratap duka Duka Indonesia!
RAKYAT Kudus, Juni 2011.
Inilah negeri sakit Negeri demit! Kudus, 2011
BERKIBARLAH Berkibarlah Di setiap jantung Merah, berani Putih, suci Berkibarlah, ya berkibarlah Aku malu! Berkibarlah Di siang malam Tebarkan pesona di jiwa Berkibarlah, ya berkibarlah Aku perih!
Di bawah, Mata mendongak Langit mengabur pandang Tipu daya berlintasan Di atas, Kaki berdiri Tanah berjurang Sengsara menggumam Di sini, Keringat lautan Ikan dijaring Garam dikeruk Minyak dieksplor Ombak dan gelombang Menggelayutkan buih Memerih di dada Mulut terbungkam! Kudus, 2011
Berkibarlah Sepanjang zaman Bangkitkan heroik Bangunkan keterlelapan Berkibarlah, ya berkibarlah Aku gamang! Berkibarlah, ya berkibarlah Airmataku tersayat! Kudus, 2011
KPK Seperti sniper Mengincar burung hantu Anehnya, emprit-emprit Yang kena peluru Seperti pemburu Masuk belukar hutan Anak panahnya meluncur Menembus ketakberdayaan
JAKSA Di meja eksekusi Keadilan terlipat kain kafan Mata melihatnya samar Kebenaran di palu kesakitan Kudus, 2011
Seperti sniper Matanya juling Jalannya miring Lupa century, maling!
Kudus,2011
PSSI Di atas rumput, Bola saling diperebutkan Dan kaki saling menendang Penonton bersorak kegirangan Ketika gawang lawan kemasukan Tak peduli uang APBD kebobolan Bentuk bola yang bulat Ditaruh di atas meja, penuh hasrat Di antaranya saling sikat Tak peduli prestasi sekarat Angin merintih melarat Politis pun ikut ke lapangan Mengelus bola untuk kepentingan Agar bendera mereka terpasang Dan kekuasaannya memanjang Seperti ular mematuk hati Kesakitan Di atas rumput, Keringat dicat warna kelam Menetes, mengalir ke sungai bayang-bayang. Kudus, 2011 Jumari HS. Lahir di Kudus,24 November 1965. Karyakarya puisi banyak bertebaran di berbagai media masa daerah dan nasional antara lain Republika, The Jakarta Post, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Wawasan, Pikiran Rakyat, Swadesi, Solo Pos, Yogya Pos, dan lainlain. Penyair ini sekarang terlibat dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Bendahara Keluarga Penulis Kudus (KPK) dan pernah menjadi ketua KPK, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus, Pergerakkan Sastra buruh di Kudus, Ketua Teater Djarum Kudus, Kegiatan sastra yang diikuti yaitu hadir dalam litelery Art International Aceh, Pertemuan Penyair Nusantara di Brunie Darusalam, Pertemuan penyair Nasional di Tanjung Pinang, Membaca puisi buruh di TIM. Penyair ini pernah menjadi wartawan lokal Muria Pos. Sekarang menjadi Wartawan Tabloid Serapo Balikpapan, kini tinggal di Desa Loram Kulon, Rt. 04/01. Kec, Jati- Kudus.
Tjerpen
Surat untuk Tuhan Cerpen Gregorio Lopez y Fuentes
R
UMAH itu – satu-satunya di lembah itu – terletak di puncak sebuah bukit yang rendah. Dari situ nampak sungai dan, setelah tempat kandang binatang, nampak ladang jagung yang sudah matang diselang-selingi bunga-bunga kacang yang menjanjikan musim panen yang baik. Hanya satu saja yang dibutuhkan ladang itu saat itu: turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Sepanjang pagi Lencho, yang akrab dengan setiap lekuk ladangnya itu, tak henti mengamati langit bagian timur laut. “Hujan pasti akan segera turun sebentar lagi.” Istrinya yang sedang menyiapkan makan malam menjawab: “Ya, mudah-mudahan.” Anak-anak laki-lakinya sedang kerja di ladang sementara yang masih kecil-kecil bermain-main di dekat rumah waktu perempuan itu memanggil mereka: “Makan malam sudah siap...” Waktu mereka sedang makan malam hujan lebat pun turun, tepat seperti yang diramalkan Lencho. Di langit sebelah timur laut nampak awan-awan sebesar gunung berarakan mendekat. Udara sejuk dan segar. Lencho beranjak ke luar rumah menuju kandang binatang hanya untuk merasakan nikmat air hujan di tubuhnya, dan waktu kembali ke dalam rumah dia berseru: “Bukan air hujan yang sedang turun dari langit ini tapi uang! Gumpalan-gumpalan air yang besar adalah uang limapuluh ribuan, dan yang kecilkecil sepuluh ribuan...” Dengan wajah puas dipandanginya ladang jagungnya yang penuh bunga kacang diselimuti tirai hujan. Tapi tiba-tiba angin kencang berhembus dan bersama hujan mulai turun pula batu-batu es yang besar-besar. Batu-batu es itu kelihatan seperti uang perak benaran. Anak-anak laki-lakinya menghambur ke luar rumah dan mengutipi mutiaramutiara beku itu. “Hujan ini sudah mulai merusak sekarang!” teriak Lencho, cemas. “Semoga segera berhenti.”
Hujan tidak segera berhenti. Selama satu jam hujan batu es itu turun menghajar rumah, kebun, bukit, ladang jagung, seluruh daerah lembah. Ladang jadi putih seperti ditutupi garam. Tak satu pun daun tertinggal di ranting pohonan. Jagung semuanya rusak. Bunga-bunga tanaman kacang musnah. Lencho betul-betul sedih. Setelah badai itu berlalu, dia berdiri di tengah-tengah ladangnya dan berkata pada anak-anaknya: “Wabah belalang pun masih menyisakan lebih daripada ini... Hujan es telah merusak semuanya. Tahun ini kita bakal tak punya jagung atau kacang...” Malam itu adalah malam yang sangat menyedihkan. “Semua kerja kita sia-sia.” “Tak ada yang bisa menolong kita.” “Kita akan kelaparan tahun ini...” Tapi dalam hati mereka yang tinggal di rumah terpencil di tengah lembah itu ada satu harapan yang tinggal: pertolongan dari tuhan. “Jangan terlalu bersedih walau semuanya ini seperti sebuah kehilangan total. Ingat, tak ada yang mati kelaparan!” “Begitulah kata mereka: tak ada yang mati kelaparan.” Sepanjang malam Lencho hanya berpikir tentang satu-satunya harapannya itu: pertolongan tuhan, yang menurut apa yang diajarkan padanya melihat segalanya termasuk apa yang ada dalam hati nurani manusia. Lencho adalah seorang pekerja keras, dan dia juga tidak buta huruf. Hari Jumat berikutnya setelah matahari terbit dan setelah berhasil meyakinkan dirinya akan keberadaan suatu zat yang akan memberikan pertolongan, Lencho pun mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota untuk diposkan. Surat itu tidak tanggung-tanggung ditujukannya kepada TUHAN. “Tuhan,” tulis Lencho, “kalau Kau tidak menolong aku, keluargaku dan aku akan kelaparan tahun ini. Aku perlu satu juta rupiah untuk menanami ladangku kembali dan untuk biaya hidup sampai panen tiba, karena badai hujan es....”
djoernal sastra
boemipoetra 13 Edisi Januari-Juli 2011
Dia menulis “KEPADA TUHAN” di amplop, memasukkan surat itu ke dalamnya dan, masih merasa sedih, berangkat ke kota. Di kantor pos ditempelkannya perangko dan dimasukkannya surat itu ke kotak surat. Salah seorang pegawai kantor pos menemui atasannya sambil ketawa geli dan menunjukkan surat untuk tuhan itu. Belum pernah dalam sejarah karirnya sebagai tukang pos dia mengalami hal seaneh ini. Kepala kantor pos yang gemuk dan ramah itu juga terpingkal-pingkal dibuatnya tapi tiba-tiba dia jadi serius dan sambil meletakkan surat itu di atas meja, dia berkata: “Betapa kuat imannya! Seandainya saja aku punya iman seperti orang yang menulis surat ini. Seandainya saja aku punya keyakinan sebesar keyakinannya ini. MENULIS SURAT KEPADA TUHAN!!!” Untuk tidak mengecewakan iman luar biasa yang ditunjukkan sepucuk surat yang tak mungkin dikirimkan itu, kepala kantor pos itu mendapat satu ide: balas surat itu. Tapi waktu amplop surat dibukanya, ternyata untuk membalasnya, maksud baik, tinta dan kertas belaka tidaklah cukup. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Dia lalu minta sumbangan uang dari para pegawainya dan dia sendiri menyumbangkan setengah dari gajinya, sementara beberapa kawannya dengan sukarela juga menambah “sumbangan kemanusiaan” itu. Tapi tak mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak satu juta rupiah, maka dia mengirimkan hanya sedikit lebih daripada setengah yang dibutuhkan petani itu. Dimasukkannya uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dengan disertai secarik kertas yang hanya bertuliskan satu kata sebagai tanda tangan si pengirimnya: TUHAN. Hari Jumat berikutnya Lencho datang lebih cepat dari biasanya ke kantor pos dan bertanya kalau ada surat untuknya. Tukang pos itu sendiri yang menyerahkan surat itu padanya sementara kepala kantor pos yang merasa bahagia telah melakukan sebuah perbuatan mulia mengintip dari pintu kantornya. Lencho sama sekali tidak menunjukkan rasa heran waktu melihat uang dalam amplop itu – begitulah besarnya imannya – tapi dia malah jadi marah setelah menghitung jumlah uang tersebut... Tuhan pasti tidak membuat kesalahan, atau menolak apa yang dimintanya! Cepat-cepat Lencho mendatangi loket dan minta kertas dan tinta. Di meja yang khusus disediakan untuk umum di kantor pos itu dia pun segera mulai menulis, sambil mengerutkan keningnya karena berusaha keras untuk mengutarakan isi pikirannya. Setelah selesai, dia pergi membeli perangko di loket yang lalu dijilat dan dilekatkannya ke amplop dengan pukulan tinjunya. Begitu surat itu masuk ke dalam kotak surat, kepala kantor pos segera mengambil dan membukanya. Beginilah isinya: “Tuhan, dari jumlah uang yang aku minta itu, hanya tujuhratus ribu saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya karena aku betulbetul membutuhkannya. Tapi jangan kirim uang itu lewat pos karena para pegawai kantor pos bajingan semuanya. Lencho.” (Diindonesiakan oleh Saut Situmorang dari READER’S DIGEST GREAT SHORT STORIES OF THE WORLD)
djoernal sastra
boemipoetra 14 Edisi Januari-Juli 2011
Tjerpen
Kotbah Hari Minggu Cerpen: Saut Situmorang
H
ARI Minggu pagi. Tak ada mendung di langit, matahari bulat penuh kemerahmerahan seperti telor matasapi tergantung di ranting pohon jambu di depan rumah. Tiga ekor burung kutilang ribut di pucuk ranting jambu yang tinggi, sementara di bawahnya di tanah ayam-ayam kampung berebutan makan jagung. Terdengar suara anak menangis dari dalam rumah. “Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan asap di atas meja. Dia baru saja bangun. Cuci muka dulu, lalu dia duduk menghadapai kopi panasnya. Sudah jadi kebiasaannya begitu. Bangun pagi, cuci muka, lalu minum kopi. Tanpa baju, hanya pakai sarung. Sudah jadi kebiasaan istrinya pula untuk bangun pagi, cuci muka, masak air, dan membuat kopi untuk dia, suaminya. Tentu saja dia pakai baju dan sarung. “Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan asap di atas meja, di depannya. Suara tangisan anak tadi masih terus terdengar. Berasal dari kamar mandi di belakang rumah. Kadang-kadang terdengar juga suara perempuan, istri Pak Pendeta, sedang membujuk-bujuk anak yang menangis itu. Pak Pendeta baru tiga tahun kawin. Punya anak satu, laki-laki. Dan di rumah ini tidak ada orang lain yang tinggal bersama mereka kecuali mereka bertiga saja. Itulah sebabnya suara anak yang menangis di kamar mandi itu adalah suara anaknya dan yang sedang membujuk-bujuk anaknya yang menangis di kamar mandi itu adalah istrinya yang baru tiga tahun dikawininya. “Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meletakkan gelas kopinya yang sudah kosong ke meja di depannya. Meja itu terbuat dari kayu jati dan diberi taplak Ulos Batak. Sekarang matahari sudah agak tinggi dan anaknya sudah selesai mandi dan Pak Pendeta bangkit dan pergi ke kamar mandi. Seekor lalat terbang mengitari permukaan gelas kopi yang sudah kosong itu, hanya di dasarnya nampak sisa kopi, dan terus terbang mengitarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya hinggap di tepi mulut gelas kopi yang sudah kosong di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu. Di kamar istri Pak Pendeta sedang sibuk membantu anaknya berpakaian. Mereka hendak ke gereja dan mereka masih punya banyak waktu untuk berpakaian. Dia sendiri belum mandi, hanya cuci muka dulu lalu masak air dan membuat kopi untuk suaminya, Pak Pendeta. Sudah jadi kebiasaannya juga, dia baru mandi setelah anak lakilakinya yang menangis di kamar mandi tadi dan suaminya selesai mandi. Sekarang dia, istri Pak
Pendeta, sedang sibuk membantu anaknya berpakaian di kamar anaknya itu. Pak Pendeta sudah selesai mandi. Wajahnya berseri-seri, rambutnya agak basah, dan dia cuma memakai sarung saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat pada gelas kopi kosong yang ada lalat merayapi dalamnya untuk minum sisa kopi di dasar gelas di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu. Dia tersenyum. Pagi yang indah, gumamnya sambil masuk ke kamarnya. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini. Giliran istrinya sekarang mandi. Anak laki-lakinya sudah selesai berpakaian dan tidak menangis lagi. Dia duduk di ruang tamu menunggu orangtuanya siap berangkat ke gereja. Tak berapa lama kemudian mereka bertiga sudah berada dalam mobil. Pak Pendeta mengenakan pakaian barunya yang tadi malam disetrika rapi oleh istrinya. Sepatunya tersemir mengkilat. Rambutnya yang dipangkas pendek tersisir rapi ke samping. Dia nampak gagah. Dia tersenyum. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini. Istrinya juga berpakaian rapi. Wajahnya juga berseri-seri. Dia nampak jauh lebih muda dan sangat cantik. Anak laki-laki mereka merasa bangga sekali melihat kedua orangtuanya itu. Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya. Mobil itu tidak baru, tapi karena dirawat baik oleh pemakai sebelumnya, yaitu pendeta lama yang digantikannya, jadi nampak seperti baru dibeli saja. Memang mobil itu sebenarnya baru dibeli oleh gereja untuk dipakai pendeta lama tadi. Jadi bisa dibilang mobil itu mobil baru juga. Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya jadi dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan untuk membeli kendaraan untuk dipakainya sehari-hari. Tentu saja dia tahu menyetir mobil. Ayahnya almarhum adalah bekas pendeta dan sama seperti dia sekarang juga disediakan mobil untuk dipakai sehari-hari oleh gereja tempatnya bekerja. Waktu itulah dia belajar nyetir dan setelah bisa nyetir dia sering menyupiri ayahnya ke tempatnya kerja. Mengingat itu semua Pak Pendeta tersenyum lebar dan menoleh pada anak laki-lakinya. Karena hari ini hari Minggu jalanan nampak lengang. Tak banyak kendaraan lalu lalang seperti waktu hari-hari kerja. Kayaknya orang merasa malas keluar rumah dan memilih nonton tv saja di rumah bersama keluarga. Mungkin juga karena berpikir kalau keluar rumah pasti keluar uang maka
lebih baik menghabiskan liburan sehari di rumah saja. Tapi sudah beberapa kali Pak Pendeta melihat anak-anak muda ke gereja. Mereka berjalan di trotoar jalan dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Kebanyakan mereka anak-anak yang masih sangat muda usianya. Pak Pendeta gembira sekali melihat ini semua. Mulutnya terus menerus menyunggingkan senyuman lebar. Wajahnya berseri-seri. Tiba-tiba dibayangkannya bagaimana nanti meriahnya sambutan orang di gereja terhadap dirinya, pendeta baru mereka. Mereka akan dengan tekun mendengar kotbahnya. Dan setelah selesai acara kebaktian mereka akan datang menyalaminya sambil mengucapkan selamat datang. Mungkin juga bakal ada semacam acara selamat datang yang khusus untuknya. Bukankah dia juga mendapatkan hal yang sama waktu keberangkatannya dulu dari gerejanya yang lama? Pagi yang indah, gumamnya dan tersenyum-senyum. Di jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Pak Pendeta jadi ingin cepat-cepat sampai ke gereja barunya. Dia sudah tak sabar untuk melihat domba-dombanya. Dia sudah tak sabar untuk memberi makan domba-dombanya… Waktu itulah kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor muncul dari belakang dan menyalipnya. Untunglah dia seorang pengemudi yang berpengalaman. Walaupun kaget setengah mati dia masih dapat menguasai dirinya dan berhasil merem mobilnya meski tetap saja mereka terdorong cukup keras ke depan. Istrinya menjerit dan nampak pucat. Untunglah saat itu tak ada kendaraan lain di belakang mereka. Sulit dibayangkan apa yang bakal terjadi kalau ada satu atau tiga kendaraan lain membuntuti mereka waktu dia merem mobilnya dengan tiba-tiba tadi. Tapi sebentar kemudian perhatiannya sudah beralih ke arah muka. Rupanya sepeda motor tadi mengalami kecelakaan. Satu mobil sedan tiba-tiba muncul di persimpangan jalan dan meskipun mobil itu berjalan pelan kecelakaan tak terhindarkan lagi. Si pengendara sepeda motor terlempar dari sepeda motornya dan terbanting dengan keras ke aspal jalan dan sepeda motornya sendiri terseret sampai ke pinggir jalan. Mobil sedan yang tiba-tiba muncul di persimpangan jalan tadi melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Di depannya sekarang di jalan berserakan kaca bercampur darah dan si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak dan sepeda motornya hancur dan berlepotan darah. Istri Pak Pendeta pucat wajahnya. Anak laki-laki mereka diam tak berani bertanya apa-apa. Di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengahtengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Pak Pendeta dan mobil mereka mulai bergerak pelan-pelan ke muka. Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit dan matahari bulat penuh kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di atas jalan dan di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Di trotoar jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Wellington 1993
Tjerpen
Mbah Rus Cerpen: Bonari Nabonenar
N
AMA aslinya Rusmini. Itu nama yang cu kup keren. Bahkan saya masih juga belum percaya penuh, apakah betul memang itu nama aslinya. Sebab, untuk orang seangkatannya, nama yang populer ialah yang berakhiran: nem, yem, kem, yah, jah. Maka, saya malahan tidak akan pernah bertanya-tanya seandainya ia mengaku bernama lengkap Rusmiyem atau Rusminem. Ia bungsu dari tiga bersaudara, secara urut dari yang tertua: Painah, Jemani, Rusmini. Kedua kakaknya itu sudah meninggal dengan urutan waktu terbalik. Maksudnya, kakak laki-lakinya, Jemani, meninggal lebih dahulu, baru sekitar sepuluh tahun berikutnya disusul si sulung Painah. Mengapa saya seperti sangat mengenal tiga orang bersaudara itu? Asal tahu saja, saya adalah generasi ketiga dari garis Painah. Ya, saya adalah cicit Painah, Suami Mbah Kakung (nama aslinya Karsareja Jamun) yang ketika beliau sakit paman menjadi sedemikian gelisah bukan lantaran kakeknya sakit, tetapi karena terlalu besar harap dan kecemasannya karena Mbah Kakung belum juga mewariskan ilmu sengkerannya kepadanya. [Maka kemudian, untuk mengolokolok paman, saya menulis sebuah cerita pendek berjudul Mbah Kung. Anehnya, teman saya yang mencoba menjadi kritikus malah mengira saya sedang mengolok-olok presiden! Dan saya lebih memilih menjadi besar kepala daripada membantah penilaian itu]. Baik Mbah Kakung, Mbah Painah, maupun Mbah Jemani meninggal dalam usia yang benar-benar sudah matang (untuk sebuah kematian). Ibarat buah, mereka rontok ketika benar-benar telah matang usia, ketika bahkan generasi di bawahnya pun sudah berguguran. Tetapi, hal itu juga membuat kami, keluarga besar kami, semakin merasa kehilangan. Di seluruh kampung, tidak ada lagi narasumber yang bagus yang bisa membantu kami mengeja sejarah keluarga besar kami, terutama untuk sekian banyak detail yang makin hari makin menyodor untuk diketahui. Mbah Rus, kini memang masih hidup. Tetapi ia sudah sedemikian renta. Pun, sejak masih perkasa, ia bukanlah narasumber yang bagus justru
karena ia paling gede nafsu berceritanya dibandingkan dengan kedua kakaknya yang kini telah tiada. Tak hanya doyan bercerita, Mbah Rus juga piawai mengarang-ngarang cerita dan mencampuradukkan begitu saja dengan fakta. Kira-kira saya baru berumur sekitar enam tahun ketika mendapati Mbah Rus sudah tinggal sendirian di rumah yang sangat klasik, sebuah rumah gebyog, rumah peninggalan orangtuanya. Tampaknya dialah memang ang terpilih atau terpaksa mendiami rumah warisan itu, sementara Mbah Painah membangun rumah sendiri bersama Mbah Kakung, dan Mbah Jemani menjadi kontholkinthil. Kini, Mbah Rus tinggal bersama keluarga Jaelani (saya harus memanggilnya: paman) laki-laki yang lahir dari garis Mbah Painah pula. Keluarga Jaelanilah yang ketiban sampur merawat Mbah Rus yang sudah renta itu dengan jaminan tunggu watang berupa sebuah pekarangan seluas kira-kira setengah hektar. Artinya, berapapunlah nilai jual tanah pekarangan itu adalah nilai untuk tukar guling dengan ongkos perawatan Mbah Rus selama sisa hidupnya hingga entah kapan nanti ia dapat panggilan. Bahkan, setelah beberapa tahun menikah dan dikaruniai seorang anak, Jaelani telah mendirikan pula sebuah rumah di dalam pekarangan itu. Waktu itu Mbah Rus masih perkasa, masih tinggal sendirian di rumah warisannya. Setiap kali saya menengok kampung halaman saya itu, hampir selalu saya sempatkan untuk menjenguk Mbah Rus. Sebenarnya bukan semata-mata karena Mbah Rus, kadang lebih karena faktor kesenangan bernostalgia. Saat menginjakkan kaki di kawasan itu, di pekarangan itu, saya akan dapat memutar kembali ingatan ke masa kanak-kanak dengan gampang. Ada sensasi: rindu, haru, yang sedemikian hebat setiap saya mendapatkan kesempatan itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sensasi itu, walau masih samasama bertema kerinduan dan keharuan, seolah warnanya selalu berganti, selalu berbeda antara kesempatan yang satu dengan yang lain. Memang hanya sekitar setengah hektar luas pekarangan itu. Dulu, waktu saya kecil pagarnya perdu, kantil, dengan bunga-bunganya yang sangat indah. Pagar itu dibuat sangat rapi dan rapat, sehingga itik dan ayam yang dilepas di dalam pekarangan itu tidak bakal melompat ke luar. Itik dan ayam orangtua Mbah Rus, dulu, konon, tidak terbilang, seperti sapi dan kerbau juga tak terbilang. Saya percaya, karena banyak orang kampung
djoernal sastra
boemipoetra 15 Edisi Januari-Juli 2011
menceritakan kekayaan orangtua Mbah Rus bersaudara itu. Dan saya makin percaya karena sewaktu saya besar, di kampung lain yang jauh, masih ada orang kaya model seperti itu, yang sapi dan kerbaunya dibiarkan lepas di hutan selain dititip-titipkan orang kampung yang mau memeliharanya dengan sistem gadhuh. Mbah Rus, selain lahir dari keluarga terkaya di kampung, pasti ia sangat cantik waktu mudanya, sehingga seorang guru dari kampung yang jauh melamarnya. Itu sungguh luar biasa. Guru, pada zaman itu, nyaris seperti berdarah biru. Ia adalah golongan priyayi, sangat dihormati di masyarakat. Dan Mbah Rus berhasil mendapatkannya. Tetapi, nasib buruk menimpa guru itu, suami Mbah Rus itu. Ia menjadi buta. Ini adalah salah satu dari sekian banyak detail yang belum pernah terungkap. Mengapa guru itu menjadi buta, mengapa lalu Mbah Rus bercerai dengannya. Dan hingga kini pun saya tidak pernah tahu, bagaimana kemudian Mbah Rus yang hingga kini tak memiliki seorang pun anak itu bisa dipersunting seorang laki-laki yang boleh dimasukkan ke dalam daftar laki-laki paling tampan dan perkasa di kampung. Ada beberapa fragmen kisah mengenai kehebatan laki-laki suami kedua Mbah Rus itu. Sebagai laki-laki, ia sebegitu memesona para perempuan, sehingga perempuan-perempuan yang sudah bersuami pun akan memimpikannya. Kalau ia melenggang di jalanan, mungkin, para perempuanlah yang akan menyiulinya, bukan sebaliknya. Ada yang pernah bercerita, seorang preman kampung menjajal kehebatanya dengan menantangnya untuk membawa ke hadapannya, hanya membawa saja, seorang perempuan tercantik di kampung. Malam makin merambat. Udara dingin. Tetapi tantangan itu cukup memanaskan. ’’Kalau kau mengaku hebat, bawa dia ke sini sekarang juga.’’ Maka, laki-laki itu pun bergegas menuju rumah perempuan itu, menunggunya di halaman sampai perempuan itu keluar dari rumah. Ia berbatuk kecil dan memanggil lirih ketika perempuan itu ternyata benar-benar kencing di luar rumah. ’’Oh…!’’ perempuan itu terkejut, dan menyebut nama si laki-laki. ’’Maaf, ada yang penting, Jangan berteriak, ya?’’ Dan belum sempat melontarkan reaksi, baik kata-kata maupun isyarat, perempuan itu telah mendapati dirinya di pundak si laki-laki. Ia telah dipikul, benar-benar dipikul seperti kayu, dibawa ke hadapan preman kampung yan menunggunya di pos ronda. ’’Sudah, sekarang aku antarkan kau pulang. Keperluannya sudah cukup,’’ kata laki-laki yang kelak menjadi suami kedua Mbah Rus kepada perempuan tercantik di kampung itu. Perempuan itu benar-benar tampak bengong. Mungkin masih juga belum jernih pikirannya ketika ia berucap, ’’Aku berani kok pulang sendiri,’’ sambil ngeloyor begitu saja. Dalam hal keperkasaan fisik, jangan tanya pula. Lepaskanlah seekor rusa di hadapannya, maka ia akan mengejarnya dan menangkapnya dengan tangannya. Maka, perempuan mana yang tidak tunduk di hadapan laki-laki yang memesona, tampan, dan secepat itu? Pun Mbah Rus. Ia boleh dijuluki anak orang terkaya di kampung, perempuan tercantik di kampung, tetapi pada akhirnya
djoernal sastra
boemipoetra 20 Edisi Januari-Juli 2011
“Disumbang Djarum Rp50 Juta PPN Palembang tak Mampu Kasih Tiket Pemaklah” Aku prihatin dgn kondisi PDS HB Jassin. Pemerintah KORUP jelas gak tertarik menjaga sastra. Ayo kita selamatkan bersama. 085678xxxxx Di tv aku lihat Sujiwo Tejo dgn gagah bilang, bila perlu kita turunkan SBY. Mantab! Rakyat sepakat. Dari pada negera bangkrut karena pemimpin memble to! 087871xxxxxx Jokowi Wali Kota Solo melarang bangunan cagar budaya dibongkar dan dibangun mall. Bibit si gubernur bilang Jokowi bodoh! Tapi rakyat tau, siapa sebenarnya yg bodoh. Ya gubernurnyalah hahahahahaha
Taufik Ismail berang PDS HB Jassin dipakai diskusi ttg Lekra. Rupanya Taufik gak pernah ke PDS selama ini ya? Lebih dari itumah biasa.... 0821137xxxxx Datuk Kemala dr Malysia marah-marah karena sbg pemakalah di PPN Palembang tiket pesawat dibatalkan panitia. Bagitu juga dengan pemakalah dr Brunei. Jangan memalukan Indonesia dong. 0813806xxxxx Pertemuan penyair nusantara terancam kacau spt di Kediri dan Brunei? Isunya peserta diinapkan di rumah penduduk dan pemakalah tak dapat tiket? Bukankah Djarum sudah nyumbang Rp50 juta?
081513xxxxxx
091911xxxxxx (menurut Ahmadun pemakalah tetap mendapat penggantian tiket-Redaksi)
Di sela-sela acara koin sastra di PSD HB Jassin, orang-orang berbincang tentang gejala plagiat di kalangan akademisi dan sastrawan kita.
SEPULANG dari Temu Sastrawan Indonesia di Tanjung Pinang, di atas kapal, para sastrawan berbincang sambil menikmati birunya laut.
Novelis : Apa yang ada di kepala dia itu sampai-sampai harus menjiplak karya orang lain dan mengakui sebagai karyanya. Esais : Mungkin dia kira tak ada yang baca tulisan itu. Novelis : Tapi sungguh memalukan sastrawan sekelas dia bisa-bisanya jadi plagiator. Esais : Mungkin dia baru sial saja kali ini. Novelis : Maksudnya, selama ini jangan-jangan karyanya jiplakan semua dan tidak ketahuan?
Penyair Cerpenis
Keduanya ngakak bersama sembari melempar tulisan kedua sastrawan itu ke tempat sampah.
Penyair Cerpenis Penyair Cerpenis
: Di tengah laut begini kita nampak begitu kecil ya. : Maksudmu bila kita tercebur dan tidak bisa berenang dan tidak ada yang menolong pasti mati? : Itu pulakah yang ada di pikiran ketua panitia TSI ketika mengancam Saut Situmorang? : Memangnya ada apa dengan Saut? : Kau enggak tau? Saut kan diancam akan diceburkan ke laut karena sikap kritisnya itu! : Wah gini hari masih ada pejabat kolot begitu ya.
Sambungan Cerpen Mbah Rus tertaklukkan juga. Oh, tidak. Mbah Rus adalah perempuan perkasa. Kalau kemudian ia menikah dengan laki-laki yang kemudian jadi suami keduanya itu, pastilah bukan dalam rangka taklukmenaklukkan. Buktinya, beberapa tahun kemudian Mbah Rus bisa bersikap tegas ketika mendapati seorang perempuan yang bukan dirinya mendesah di dekat laki-laki itu. ’’Itulah yang terjadi, saya lupa tahun berapa. Yang pasti, itu kejadiannya di siang bolong yang tiba-tiba menjadi gelap karena Gunung Kelud meletus,’’ tutur Mbah Rus pada suatu kesempatan. Mbah Rus segera bercerai dengan suami keduanya itu. Setelah itu Mbah Rus memilih hidup sendiri di rumah dan mencari nafkah sendiri dari pekarangan warisan yang menjadi bagiannya. Orangtua yang kaya raya sudah menjadi sejarah. Tiga orang bersaudara itu, ini juga detail yang hilang, tidak meneruskan tradisi hidup dalam gelimang harta-benda seperti orangtua mereka. Sudah jatuh miskin, hidup tanpa suami tanpa anak pula.
Itu dialami Mbah Rus hampir persis setengah abad lamanya, sebelum kemudian tubuhnya takluk kepada kerentaan dan terpaksa menumpang pada keluarga Jaelani yang membangun rumah menumpang di pekarangannya. Kini Mbah Rus benar-benar sudah renta. Dan mulai sakit-sakitan pula. Beberapa bulan lalu kakinya bengkak karena penyakit gula. Saya mulai cemas, karena jarak kami yang sangat jauh, harus beberapa kali oper pesawat untuk sampai ke hadapan Mbah Rus. Saya sudah kehilangan Mbah Kakung, Mbah Jemani, dan Mbah Painah dengan cara yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilagan orang-orang tercinta. Saya tidak punya kesempatan untuk mengantarkan mereka ke kuburan. ’’Bagaimana, apakah Mbah Rus masih sehat?’’ begitulah pertanyaan yang hampir tak pernah lupa saya selipkan saat ada, atau saya, yang menelepon. Saya tahu, akan semakin banyak kehilangan detail sejarah saya sendiri. Saya tahu satu per satu orang-orang tercinta saya akan
DI SINI ANDA BEBAS TERTAWA:
berguguran. Dan saya pasti akan belajar mengarang-ngarang agar sejarah itu bisa dibaca. Mungkin saya harus menyampur-adukkan karangan saya dengan fakta. Tetapi itu tidak begitu menjadi soal bukan? Maka, saya harus banyak belajar kepada Mbah Rus. Belajar menikmati kesepian.[] kamus kecik: konthol-kinthil = laki-laki yang menikah dan kemudian tinggal di lingkungan keluarga sang istri). gadhuh = buruh memelihara ternak dengan imbalan sebagian (biasanya separo) ternak hasil pemeliharaan itu. gebyog = rumah adat Jawa, berdinding papan/kayu sengkeran = simpanan tunggu watang = (harfiah: penjaga batang), harta/benda, biasanya berupa sebidang tanah yang akan diberikan sebagai imbalan bagi siapa yang merawat hari tua hingga mengurusi pemakamannya jika si pemilik meninggal dunia.
DIJAMIN BERTANGGUNG JAWAB