BAB I PENDAHULUAN A. Judul “Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli di Yogyakarta (Studi tentang Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli yang tergabung dalam Deaf Art Community Yogyakarta)”
B. Alasan Pemilihan Judul Pengkajian mengenai modal sosial menunjukkan bahwa modal sosial memiliki pengaruh penting terhadap penyelesaian masalah sosial terkait kelompok difabel (Different Abilities People). Unsur – unsur modal sosial seperti kepercayaan, jaringan dan norma merupakan elemen sosial yang esensial bagi kesejahteraan dan pengembangan masyarakat difabel (Chenoweth dan Stehlik, 2012). Hal ini dikarenakan kondisi difabel yang tidak mudah untuk mengakses sumberdaya sosial serta posisi difabel yang masih termarginalkan. Social capital has the potential to play an important role in the lives of individuals with disabilities who are at high risk of being marginalized (Gotto et al., 2012).
Difabel (Different Abilities People) merupakan bagian masyarakat yang memiliki karakteristik perbedaan pada kondisi fisik dan atau mental. Atas dasar perbedaan fisik dan atau mental tersebut, maka pemahaman kata difabel
1
berangkat dari penerimaan atas perbedaan kemampuan tiap masyarakat, bagaimanapun kondisi fisik, mental dan latar belakang mereka (Fakih, 1999). Perhatian mengenai pentingnya jaringan sosial bagi difabel telah muncul sejak 30 tahun yang lalu. Penelitian mengenai pentingnya jaringan sosial bagi difabel menunjukkan bagaimana dukungan sosial seperti pertemanan, partisipasi dalam masyarakat, jaringan dengan masyarakat yang beragam memberi pengaruh positif terhadap kehidupan difabel dibandingkan dengan menempatkan difabel di rumah (isolasi), pada shelter rehabilitasi maupun pelayanan segregasi (Falvey et al., 1994). Jaringan sosial sebagai unsur modal sosial merupakan bentuk dukungan sosial yang sangat berpengaruh pada kondisi kesejahteraan difabel dalam bermasyarakat serta dapat berkontribusi dalam perbaikan keadaan ekonomi (Bates dan Davis, 2004). Rintangan yang dihadapi difabel pada umumnya juga dialami masyarakat tuli. Salah satunya ialah pandangan patologis yang memberikan identitas masyarakat tuli sebagai kelompok dengan ketidakmampuan, ketunaan maupun kecacatan. Dalam pandangan sosiokultural penggunaan huruf kapital ‘T’ pada kata Tuli menandai suatu kelompok sosial-budaya masyarakat Tuli yaitu sebagai kelompok minoritas bahasa. Perspektif sosiokultural mengenai masyarakat Tuli ialah pandangan yang lebih kontekstual dalam kajian sosial dibanding perspektif patologis. Identitas sosial-budaya sebagai kelompok minoritas bahasa merupakan bagian penting dalam memahami pergerakan sosial dan upaya pengembangan masyarakat Tuli.
2
Masyarakat Tuli menghadapi rintangan eksklusi yang cukup kompleks terkait akses bahasa dan informasi yang terkait erat dengan isu kesejahteraan masyarakat Tuli. Ketiadaan jaringan baik secara struktural maupun sosial menghambat perbaikan kualitas hidup masyarakat Tuli. Dalam pandangan medis (medical model), orang dengan ketulian mengalami masalah keterbatasan pendengaran dikarenakan tidak berfungsinya organ – organ pendengaran. Keterbatasan fungsi pendengaran berakibat pada kemampuan bahasa dan berbicara (Sudjadi, 2000). Sedangkan dalam pandangan sosial, keterbatasan tersebut berimplikasi serius pada interaksi sosial masyarakat Tuli dengan masyarakat umum (mainstream). Interaksi sosial masyarakat Tuli dengan masyarakat umum merupakan bagian penting bagi pengembangan sosial masyarakat Tuli (Batten et al., 2013). Jaringan sosial yang potensial untuk mendukung proses interaksi suatu masyarakat yang mengalami eksklusi disebut sebagai modal sosial penghubung (bridging social capital) (Putnam, 1995). Tipe modal sosial penghubung yang digunakan dalan penelitian ini fokus kepada jenis modal sosial yang menjembatani (bridging) dan tidak menyinggung modal sosial linking sebagai tipe modal sosial lain yang didefinisikan sebagai penghubung suatu kelompok masyarakat pada lembaga institusi. Peneliti memandang modal sosial penghubung yang menjembatani dapat berdampak positif terhadap perbaikan relasi kelompok Tuli dalam bermasyarakat. 1. Aktualitas
3
Penelitian mengenai modal sosial penghubung komunitas Tuli, Deaf Art Community Yogyakarta merupakan penelitian yang aktual terkait dengan kesejahteraan dan pengembangan masyarakat Tuli. Pengkajian mengenai aspek dan nilai sosial masyarakat merupakan isu yang kontekstual terkait dengan kesejahteraan sosial masyarakat yang mengalami eksklusi. Beberapa upaya dan kebijakan sosial yang dibangun oleh negara menekankan pada pentingnya nilai – nilai modal sosial bagi kesejahteraan masyarakat Tuli. Adanya perubahan Undang – Undang No. 4 tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat kepada ratifikasi konvensi Hak – Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang – Undang No. 19 tahun 2011 merupakan penanda perubahan pendekatan dalam melihat masalah terkait difabel. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi bagi difabel tidak hanya terpusat pada akses institusional tetapi juga menekankan pada pentingnya nilai sosial masyarakat seperti partisipasi, toleransi dan relasi sosial bagi difabel. Kebijakan pembangunan tersebut didukung
pembangunan sosial
internasional atas isu mengenai difabel diantaranya, Strategi Incheon untuk “Mewujudkan Hak” Penyandang Disabilitas di Asia dan Pasifik tahun 2012, Disability-Inclusive Development SDGs (Sustainable Development Goals) framework 2015 dan Deklarasi Kopenhagen pada World Summit for Social Development 1995.
4
Posisi kelompok Tuli dalam masyarakat di Indonesia menggambarkan masih banyaknya rintangan yang dihadapi masyarakat Tuli untuk mengakses nilai modal sosial seperti jaringan, partisipasi, resiprositas, kepercayaan dan norma dalam masyarakat umum. Dapat dibayangkan bagaimana posisi kelompok Tuli yang merupakan bagian dari masyarakat akan semakin jauh dari lingkungan sosialnya, mengalami hambatan dalam mengembangkan kemampuan diri dan sosialnya. Lebih jauh lagi, keadaan tersebut berdampak pada peminggiran warga Tuli dari akses penting penghidupan seperti pendidikan, kesehatan, peluang ekonomi, kerjasama dalam masyarakat yang dikemudian hari menjebak masyarakat Tuli dalam siklus disabilitas – kemiskinan. Disabilitas merupakan sebab dan akibat dari kemiskinan: orang yang mengalami kemiskinan lebih cenderung menjadi difabel dan sebaliknya, difabel rentan mengalami kemiskinan (UNESCO, 2013). Disabilitas sendiri merupakan ‘payung’ terminologi yang dimaknai sebagai suatu keadaan yang dihadapi difabel baik berupa hambatan fungsional tubuh maupun hambatan partisipasi sosial dalam masyarakat (WHO, 2011). Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang dapat berimplikasi positif terhadap kehidupan sosial masyarakat Tuli. Jaringan sosial, kepercayaan dan norma – norma yang dikembangkan dalam masyarakat Tuli dapat
mendorong
terbukanya
kesempatan
perbaikan
kualitas
hidup
masyarakat Tuli mulai dari relasi sosial dengan masyarakat umum hingga perbaikan ekonomi.
5
2. Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga konsentrasi kajian yaitu, Kebijakan Sosial, Pemberdayaan Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (CSR). Pengkajian mengenai modal sosial penghubung (bridging social capital) pada komunitas Tuli, Deaf Art Community Yogyakarta berhubungan erat Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mengingat unsur modal sosial penghubung seperti jaringan sosial, kepercayaan dan norma bagi komunitas Tuli merupakan isu penting bagi kesejahteraan sosial kelompok rentan yang mengalami eksklusi dan merupakan potensi bagi pemberdayaan masyarakat Tuli. Perhatian terhadap pengkajian modal sosial penghubung (bridging) di DAC merupakan proses bernilai untuk mendapatkan deskripsi pengembangan suatu masyarakat yang membangun pergerakan melalui organisasi dengan tujuan bersama membangun kembali jaringan, pemahaman dan ikatan sosial dengan masyarakat umum. 3. Orisinalitas Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan modal sosial dipaparkan sebagai pembanding untuk menunjukkan keaslian penelitian, yaitu : Pertama, Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pemulihan Kondisi Sosial dan Ekonomi Pasca Bencana oleh Alfian Ahmad Akbar (2014). Penelitian ini mengkaji modal sosial perempuan pelaku usaha di Desa Wukirsari dalam
6
melakukan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi pasca bencana. Metode yang digunakan adalah metode campuran dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan pelaku usaha di Wukirsari memanfatkan bentuk-bentuk modal sosial untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi secara mandiri. Adanya spirit altruisme untuk berbagi dan saling dukung dimanfaatkan untuk membangun modal sosial bonding, bridging, dan linking dalam pemulihan pasca bencana. Penelitian kedua berjudul Modal Sosial di Komunitas Coin a Chance Yogyakarta oleh Elisabeth Dikna (2014). Penelitian ini mengkaji modal sosial pada komunitas Coin a Chance Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara,
observasi
dan
dokumentasi.
Hasil
penelitian
mengungkapkan bahwa komunitas Yogyakarta Coin A Chance membangun modal sosialnya melalui unsur kepercayaan, pembentukan jaringan dan penegakan norma di masyarakat. Unsur kepercayaan dibangun berdasarkan kepedulian pendiri komunitas, kemudian membuat gerakan melalui pembentukan jaringan yang didukung peran media sosial online dan upaya penegakan norma. Penelitian ketiga, berjudul Modal Sosial dalam Pengembangan Industri Batik di Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi oleh Qholb Ginanjar (2014). Penelitian ini mengkaji mengenai modal sosial pada industri batik yang berhasil melewati krisis 1998
7
dan perkembangannya hingga tahun 2013. Penelitian menggunakan metode metode kualitatif dan data diperoleh dari wawancara dan observasi. Hasil penelitian mengungkapkan modal sosial dilihat dari unsur kepercayaan yang dibangun atas dasar kejujuran, jaringan dan norma agama yang diaplikasikan dalam kelompok. C. Latar Belakang Penelitian mengenai modal sosial yang telah ada mengungkapkan kontribusi positif modal sosial bagi pengembangan masyarakat (Putnam, 1995; Fukuyama, 1995). Unsur modal sosial seperti trust (kepercayaan), jaringan, resiprositas dan norma merupakan sumber daya sosial yang dapat mendorong tindakan kolektif masyarakat dalam menyelesaikan suatu masalah dan memperkuat ikatan sosial masyarakat (bonding social capital). Selain sebagai perekat ikatan sosial, modal sosial juga berfungsi sebagai penghubung (bridging dan linking social capital) antara kelompok masyarakat yang terpisah akibat adanya perbedaan sosialbudaya seperti, kekuasaan, konflik, eksklusi dan bentuk – bentuk masalah sosial yang menyebabkan terpisahnya kelompok masyarakat tertentu dari masyarakat mainstream (umum). Enzo Mingione menyebut istilah fragmented society untuk menggambarkan keadaan masyarakat sipil yang terfragmentasi, terpisah dari organisasi sosialnya dan memiliki jaringan asosiatif yang rendah (Patulny dan Svendsen, 2007). Hall dan Midgley mengatakan bahwa kondisi dan mekanisme eksklusi sosial dapat menjadi penyebab kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat
8
(Soetomo,
2013).
Soetomo
(2013:84)
mengungkapkan
bahwa
eksklusi
menyebabkan kondisi kehidupan suatu kelompok masyarakat cenderung lebih rendah dibanding dengan masyarakat lapisan lain. Upaya pemberdayaan mendorong kondisi sebaliknya, yaitu inklusi sosial dimana terdapat perubahan pola relasi sosial dalam struktur sosial masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, modal sosial penghubung (bridging sosial capital) dipandang memiliki pengaruh positif untuk mendorong perbaikan pola relasi kelompok masyarakat yang tereksklusi. Kelompok masyarakat Tuli merupakan salah satu contoh kelompok minoritas yang selama ini menghadapi rintangan keterpisahan jaringan sosial, dengan rendahnya kepercayaan dan norma yang dapat dijangkau dalam masyarakat umum. Masyarakat Tuli mengalami kondisi eksklusi yang cukup kompleks terkait akses informasi, bahasa dan komunikasi yang menyebabkan kelompok ini termasuk dalam kelompok rentan dalam kehidupan sosial. Penelitian mengenai keadaan masyarakat Tuli di negara – negara berkembang menunjukkan bahwa rintangan utama yang dihadapi masyarakat Tuli ialah akses dan penghargaan terhadap Bahasa Isyarat termasuk penerimaan atas identitas sosiokultural sebagai kelompok minoritas bahasa (linguistic minority group). Data mengenai masyarakat Tuli mengungkapkan bahwa 90% anak - anak dan dewasa belum pernah bersekolah sehingga berdampak pada tingginya angka buta huruf masyarakat Tuli. Masalah yang cukup ironis ialah masyarakat Tuli tidak menyadari hak-hak mereka dan hidup sebagai kelompok yang sangat
9
marjinal. Rendahnya akses media, bahasa dan informasi merintangi upaya perbaikan kualitas hidup masyarakat Tuli (Haualand dan Allen, 2009). Di Indonesia, rintangan serupa juga dihadapi masyarakat Tuli. Akses pelayanan sosial seperti pendidikan bilingual, akses informasi publik, seperti akses Bahasa Isyarat dalam media, fasilitas pelayanan sosial pendidikan, Rumah Sakit dan transportasi terbilang belum memadai (Bharoto, 2015). Dalam pendidikan, ketiadaan akomodasi pendidikan bilingual mengakibatkan anak Tuli tidak dapat memahami bahasa nasional, tidak dapat membaca dan menulis. Dalam memahami kondisi masyarakat Tuli, sudut pandang yang digunakan tidak hanya dalam pandangan medis tetapi juga sosiokultural bahwa masyarakat Tuli merupakan kelompok minoritas bahasa yang memiliki hak dan identitas untuk menggunakan bahasanya sendiri serta bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dalam kehidupan sosialnya. Sejalan dengan pernyataan Vienna Declaration and Programme of Action 1993, The persons belonging to minorities have the right to enjoy their own culture, to profess and practise their own religion and to use their own language in private and in public, freely and without interference or any form of discrimination. Measures to be taken, where appropriate, should include facilitation of their full participation in all aspects of the political, economic, social, religious and cultural life of society. Kegagalan memahami perbedaan kebutuhan masyarakat Tuli berdampak pada sulitnya proses integrasi masyarakat Tuli dalam lingkungan sosial sebagai bagian masyarakat maupun sebagai warganegara. Hal ini jelas mempengaruhi kesejahteraan dan proses pengembangan masyarakat Tuli. Masyarakat Tuli
10
tersingkir dari kehidupan sosial karena perbedaan mereka tidak dikenali (Bharoto, 2015). Menurut Lani Bunawan, penanggung jawab Kelompok Kerja Pendidikan Luar Biasa (KKPLB), terdapat 8,75 juta jiwa masyarakat Tuli pada tahun 2010 dan
hanya
700.000
(http://www.kompasiana.com,
orang
yang
02/02/2011).
mengerti Untuk
Bahasa
wilayah
Isyarat
Provinsi
D.I.
Yogyakarta, jumlah masyarakat Tuli diperkirakan sekitar 3.425 jiwa pada tahun 2011 (Dinas Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta, 2011). Penelitian mengenai masyarakat Tuli di Yogyakarta mengungkapkan bahwa masih adanya stigma dan sikap negatif terhadap masyarakat Tuli yang mengakibatkan masyarakat Tuli memilih untuk tidak terlibat dan menghindari kontak sosial dengan masyarakat (CIQAL, 2013). Adanya stigma dan sikap negatif yang dialami masyarakat Tuli juga berdampak pada kepercayaan masyarakat Tuli terhadap masyarakat umum. Proses menarik diri dari lingkungan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Tuli tidak cukup mempercayai masyarakat umum. Menurut Uslaner, adanya jarak akibat rendahnya kepercayaan dalam masyarakat menandakan karakteristik low-trust society. Masyarakat dengan kepercayaan rendah juga tidak cukup menghargai keberagaman dan kesetaraan (Rothstein, 2005). Masyarakat Tuli yang berkelompok, membangun kebersamaan dan tujuan bersama melalui sebuah pergerakan organisasi memiliki kekuatan untuk melakukan aksi bersama dalam mengatasi masalah yang dihadapi kelompok.
11
Komunitas Tuli yang terorganisir dalam Deaf Art Community Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pergerakan masyarakat sipil yang berupaya mengatasi masalah eksklusi yang dihadapi komunitas Tuli. Komunitas Tuli di DAC mengalami bentuk – bentuk eksklusi yang juga dialami kelompok minoritas dan difabel lainnya seperti marginalisasi dan diskriminasi dalam akses institusional dan sosial. Bentuk – bentuk eksklusi yang dihadapi DAC sebagai penanda rendahnya modal sosial pengubung ialah ketiadaan jaringan yang menjembatani DAC dengan masyarakat umum. Masalah dan rintangan eksklusi yang dialami DAC ialah rendahnya kontak sosial dengan masyarakat umum yang menyebabkan komunitas ini tidak mudah untuk mengakses informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan kapasitas diri dan sosial anggota komunitas. Ketiadaan jaringan sosial juga merintangi komunitas membangun kerjasama, pertemanan dan relasi sosial dengan masyarakat umum. Selain itu, rendahnya jaringan berdampak pada tantangan tumbuhnya kepercayaan dan norma masyarakat kepada komunitas Tuli di DAC. Komunitas Tuli di DAC belum mendapat kepercayaan penuh untuk bekerjasama baik dalam hal peluang ekonomi maupun sosial seperti kesempatan pekerjaan, kerjasama usaha ekonomi dan kegiatan kemasyarakatan. Beberapa contoh lain menggambarkan masalah kepercayaan dan minimnya toleransi bagi masyarakat Tuli di Yogyakarta seperti pendampingan dan penyediaan Bahasa Isyarat kasus hukum tidak diakomodir oleh penyidik karena keterangannya dianggap meragukan. Padahal regulasi peradilan memberikan
12
penyediaan
penerjemah
Bahasa
Isyarat
(http://www.cnnindonesia.com/,
30/06/2015). Kemudian, akses informasi dalam media televisi misalnya, fitur Bahasa Isyarat tidak diakomodir oleh hampir sebagian besar media mulai dari tayangan showbiz, jurnalistik hingga edukasi. (http://www.kompasiana.com, 02/02/2011). Dapat dibayangkan ketiadaan akses bahasa dan informasi akan semakin menjauhkan kelompok Tuli dari masyarakat dan menghambat kesejahteraan masyarakat Tuli. Keseluruhan realitas eksklusi masyarakat Tuli terkait dengan nilai modal sosial (low trust society, rendahnya jaringan sosial dan norma toleransi) merintangi integrasi masyarakat Tuli dalam masyarakat umum. Kerangka pembangunan sosial di Indonesia sebenarnya telah meletakkan perhatian atas pentingnya nilai modal sosial bagi kesejahteraan kelompok rentan. Dalam regulasi Undang – Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (KHPD), secara tegas disebutkan perlindungan kelompok rentan sebagai warganegara yang berbasis HAM (Hak Asasi Manusia) untuk mendapat kesempatan partisipasi, toleransi dan kerjasama sebagai bagian dari masyarakat. Selain itu, pada lingkup pembangunan daerah, Provinsi Yoyakarta termasuk pioneer yang mengaplikasikan ratifikasi konvensi KHPD dalam peraturan daerahnya melalui Peraturan Daerah DIY Nomor 4 tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang isinya disesuaikan dengan hasil ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
13
Kerangka kebijakan tersebut sejalan dengan kerangka pembangunan sosial internasional Deklarasi Kopenhagen pada World Summit for Social Development 1995, Commitment to promote social integration through fostering inclusive societies that are stable, safe, just and tolerant, and respect diversity, equality of opportunity and participation of all people, including disadvantaged and vulnerable groups and persons. Members of society must have the confidence to engage and interact with each other, and build mutual trust while acknowledging their differences (UNDESA, 2009).
Dalam kerangka pembangunan tersebut disebutkan unsur – unsur modal sosial seperti kepercayaan, partisipasi dalam masyarakat dan toleransi sebagai bagian penting untuk mendorong integrasi kelompok rentan dan membangun masyarakat yang inklusif. Setiap masyarakat harus mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun ikatan sosial, berinteraksi dengan masyarakat dan membangun mutual trust (kesaling-percayaan) serta meningkatkan pemahaman masyarakat atas perbedaan yang mereka miliki. Namun, perhatian negara untuk mengembangkan nilai modal sosial masyarakat yang akomodatif terhadap kelompok Tuli terbilang belum maksimal. Ditengah upaya sulitnya membangun nilai modal sosial yang dapat dijangkau kelompok Tuli, potensi modal sosial penghubung di Deaf Art Community (DAC) Yogyakarta dapat berkembang secara impresif. DAC membangun interaksi, memperlihat eksistensi komunitas dan membuka pemahaman masyarakat mengenai komunitas Tuli. Komunitas menyebarkan pesan pentingnya kesetaraan,
14
Hak dan Budaya Tuli serta Bahasa Isyarat baik kepada masyarakat Tuli, orang tua yang memiliki anggota keluarga Tuli maupun masyarakat umum. Dalam setiap pementasan kesenian baik teater, tari, puisi isyarat dan lain lain, komunitas memberi atmosfer berbeda dalam ruang sosial dimana dua kelompok yang terpisah dengan tingkat kontak sosial yang rendah, dapat saling mengenal, bertukar informasi dan membangun kesalingpahaman. Kebanyakan bentuk – bentuk eksklusi yang yang menghambat interaksi sosial suatu kelompok masyarakat dikarenakan kelompok tersebut ‘tidak terlihat’ dalam masyarakat. Upaya membuat kelompok ‘terlihat’ dalam masyarakat dapat mengatasi masalah ketidaktahuan dan diskriminasi yang terjadi (UNICEF, 2013). Sejak berdiri tahun 2004, komunitas Deaf Art Community telah aktif terlibat dalam pertunjukkan kesenian di D.I.Yogyakarta, tampil mengisi acara dalam berbagai kegiatan seminar dan workshop yang diadakan oleh masyarakat umum, organisasi masyarakat, organisasi kemahasiswaan, secara kontinu tampil di Taman Budaya Yogyakarta, serta kota – kota besar di Indonesia hingga luar negeri. Hal yang cukup menarik, komunitas secara aktif dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat mainstream. Padahal, komunitas Tuli merupakan kelompok yang mengalami rintangan eksklusi yang cukup kompleks dalam masyarakat umum, komunitas Tuli di DAC justru memperlihatkan adanya simpul – simpul jaringan sosial yang dibangun dengan masyarakat umum, seperti yang dikemukakan Putnam (1995) sebagai modal sosial penghubung (bridging
15
network). Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji mengenai modal sosial bridging dalam DAC. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah yang akan diteliti ialah : Bagaimana modal sosial penghubung menjembatani integrasi Deaf Art Community Yogyakarta dalam masyarakat umum ? E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui modal sosial penghubung di Deaf Art Community Yogyakarta 2. Manfaat Penelitian : Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif dalam berbagai bidang terkait, yaitu:
a. Hasil penelitian dapat memberi kontribusi berupa kajian mengenai modal sosial penghubung dan komunitas Tuli dalam sudut pandang sosial yang menambah khasanah pengembangan Ilmu Sosial dan Politik terkhusus Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. b. Hasil penelitian merupakan saran untuk pemberdayaan masyarakat Tuli bagi berbagai pihak terkait baik akademisi, praktisi, lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
16
c. Hasil penelitian dapat digunakan bagi studi dan penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai modal sosial penghubung dan komunitas Tuli. F. Tinjauan Pustaka 1. Modal Sosial Robert D. Putnam (1995) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Kepercayaan (trust) memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan suatu kenyataan bagaimana keterkaitan orang-orang yang memiliki rasa saling percaya (mutual trust) dalam suatu jaringan sosial memperkuat norma-norma mengenai keharusan untuk saling membantu. Kemudian, jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama anggota masyarakat. Semantara Cox (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma dan kepercayaan sosial, memungkinkan efektif dan efisiennya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Menurut Kawachi et al. (2004) modal sosial adalah sumber-sumber daya yang diakses oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam sebuah struktur sosial, yang memudahkan kerjasama, tindakan kolektif, dan
17
terpeliharanya norma-norma. Hasbullah (2006:3) mendefinisikan modal sosial sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesaling percayaan dan kesaling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Modal sosial akan memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai pihak karena dapat mendorong masyarakat secara swadaya untuk mencapai tujuan yang maksimal. Hanifan mengatakan modal sosial merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syahra, 2003). Menurut Fukuyama (1995), modal sosial dalam suatu komunitas berupa kebaikan dan perilaku koperatif yang didasarkan norma bersama akan membantu memperkuat entitas masyarakat. Menurut Woolcock (1998) terdapat beberapa contoh wujud nyata modal sosial yaitu, hubungan sosial, adat dan nilai budaya lokal, toleransi, resiprositas, kesediaan untuk mendengar, kejujuran, kearifan lokal dan jaringan sosial. Bourdieu mengungkapkan bahwa modal sosial melekat (embedded) dalam jaringan sosial dan disebut sebagai investasi hubungan sosial dengan harapan adanya timbal balik hubungan (resiprositas). Bourdieu juga mengungkapkan bahwa resiprositas dapat memfasilitasi individu maupun kelompok pada sumber informasi, akses jaringan personal dan kelompok yang luas dan pengaruh positif
18
atas kontak sosial seperti kebersamaan dalam komunitas (Gerich dan Fellinger, 2011) Fukuyama (1995) menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal sosial. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial. Fukuyama menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Modal sosial juga diartikan sebagai simpati dari seseorang atau suatu kelompok orang kepada seseorang atau kelompok lainnya. Perasaan simpati itu dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli, empati, penghargaan, rasa tanggungjawab, atau kepercayaan terhadap seseorang atau sekelompok orang (Robison et al., 2002: 5). a) Unsur Modal Sosial : Kepercayaan, Jaringan dan Norma 1). Kepercayaan Menurut Fukuyama, kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Fukuyama juga mengklaim bahwa kepercayaan merupakan dasar paling dalam dari tatanan sosial (Field, 2010). Eric Uslaner mengungkapkan dua jenis kepercayaan, yaitu kepercayaan partikuler (particular trust) dan
19
kepercayaan general (general trust). Kepercayaan partikuler ialah kepercayaan yang dibangun dalam lingkungan sempit (seperti klan, etnik). Seseorang dengan kepercayaan partikuler, tidak mempercayai orang diluar komunitasnya dan merasa pesimis tentang masa depan terutama peluang memperbaiki kehidupannya. Pemahaman yang dibangun ialah bahwa dunia luar berbahaya dan dan orang asing adalah kompetitor, pada tingkat tertentu dapat disebut sebagai ‘kehati-hatian yang ekstrem’. Sebaliknya, seseorang dengan kepercayaan general merasa optimis terhadap masa depan dan kapasitas memperbaiki kehidupannya. Kepercayaan dan nilai normanya ialah bahwa seseorang harus membangun kepercayaan kepada orang lain (general) dan tidak hanya pada lingkungan dekat. Kepercayaan general lebih toleran terhadap orang yang berbeda. Orang asing dianggap sebagai kesempatan untuk belajar sesuatu atau untuk membangun hubungan kerjasama yang saling menguntungkan (Rothstein, 2005:95). Kepercayaan general ialah kepercayaan yang melampaui rasionalitas dan nilai moral serta berarti ‘melakukan sesuatu dengan benar’ (Uslaner, 2002). Sementara Patulny dan Svendsen (2007) berpendapat bahwa kepercayaan general merupakan hal normatif terkait nilai moral dan kepercayaan kepada orang lain. Sedangkan kepercayaan partikuler merupakan kepercayaan yang terhubung dengan suatu informasi
20
pengetahuan dan pengalaman (Uslaner, 2002). Ahn et al. (2003), menggambarkan kepercayaan sebagai nilai yang tertanam dalam diri (intrinsic values) dan motivasi dalam diri (intrinsic motivation) seseorang untuk selalu bertindak secara kooperatif, selalu bekerjasama. Kepercayaan berhubungan dengan kejujuran dan kerjasama yang ada di antara orangorang dalam sebuah komunitas. Putnam (1995) menyatakan kepercayaan ialah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubunganhubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. 2.) Jaringan Ridell mengatakan bahwa jaringan merupakan infrastruktur dinamis yang berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut
memfasilitasi
terjadinya
komunikasi
dan
interaksi,
memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Jaringan memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerjasama satu sama lain dan tidak sekedar dengan orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh manfaat timbal balik (Field, 2010).
21
Menurut Mawardi (2007) modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu
tipologis khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi
kelompok. Pada kelompok sosial biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis turun temurun (repeated sosial experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi kebutuhan (religious beliefs) cenderung memiliki kohesif tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. 3). Norma Menurut Putnam dan Fukuyama, norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerja sama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerja sama (Field, 2010). Menurut Fukuyama (1995), norma merupakan bagian dari modal sosial yang terbentuknya tidak diciptakan oleh birokrat atau pemerintah. Norma terbentuk melalui tradisi, sejarah, tokoh kharismatik yang membangun sesuatu tata cara perilaku seseorang atau sesuatu kelompok masyarakat, didalamnya kemudian akan
22
timbul modal sosial secara spontan dalam kerangka menentukan tata aturan yang dapat mengatur kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Namun, norma dan nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkahlaku belum secara otomatis menjadi modal sosial. Hanya norma dan nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust) yang dapat mengembangakan modal sosial. Ridell
mengutarakan
bahwa
norma-norma
(norms),
terdiri
pemahaman-pemahaman, nilai-nlai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma merupakan sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya ter-institusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar (Hasbullah, 2006). b) Tipe Modal Sosial 1.) Modal Sosial Pengikat (Bonding Social Capital) Putnam (1995) menjelaskan bahwa modal sosial bonding sebagai hubungan kerjasama dan saling percaya antara anggota-anggota sebuah jejaring, yang memiliki kesamaan sosio-demografis, identitas, sejarah dan kesamaan nilai kultur, persepsi etnik dan tradisi atau adat istiadat
23
(custom). Modal sosial ini dapat ditemukan pada ikatan seperti keluarga dekat, teman akrab atau dalam satu kesamaan etnik. Modal sosial bonding merupakan ikatan ‘kedalam’ atau ‘inward looking’ sehingga cenderung tertutup namun memiliki kohesivitas yang tinggi. 2.) Modal Sosial Penghubung (Bridging Social Capital) Modal sosial penghubung (bridging) merupakan modal sosial dengan jaringan yang bersifat horizontal, seperti antara individu maupun kelompok yang memiliki perbedaan sosio-demografis, identitas sosial, kelas sosial, antara komunitas etnik satu dengan yang lainya maupun komunitas adat atau organisasi yang berbeda latar belakang (Putnam, 2000). Modal sosial bridging merupakan modal sosial yang menjembatani dan mengarah pada nilai sosial untuk membangun jaringan kerjasama dengan pihak diluar kelompoknya ‘outward looking’. Modal sosial ini menjembatani suatu kelompok untuk berkembang dan membangun norma bersama yang mengarah pada nilai yang lebih general serta menghubungkan potensi – potensi yang ada antar kelompok masyarakat (Gotto et al., 2012). 3.) Modal Sosial Penghubung (Linking Social Capital) Modal sosial linking merupakan modal sosial yang dibangun atas jaringan lintas institusi formal, otoritas kekuasaan dan gradien
24
kekuasaan kepada akses – akses pemerintahan. Modal sosial linking merefleksikan bagaimana komunitas secara vertikal membangun jaringan dengan institusi dan struktur politik (Woolcock, 1998). Hal ini memungkinkan suatu komunitas mendapatkan akses institusional politis dan berdampak pada perubahan besar bagi komunitas 2. Komunitas Tuli Dalam literatur kajian kontempoter, ketulian dibahas dalam dua perspektif. Pertama, sebagai sebuah kondisi patologis yang memandang masyarakat tuli dengan kondisi penyakit atau kerusakan dalam mekanisme pendengaran. Definisi ini mengimplikasikan bahwa masyarakat tuli memerlukan perlakuan medis khusus seperti implan dan terapi pendengaran, alat bantu dengar dan lain - lain. Perspektif kedua ialah pandangan sosiokultural, dimana masyarakat Tuli dilihat sebagai kelompok sosial-budaya khas yaitu kelompok minoritas linguistik (linguistic minority group) karena penggunaan Bahasa Isyarat sebagai identitas sosial-budayanya. Identitas tersebut merupakan telah menjadi bagian penting untuk pengembangan masyarakat Tuli (Baell dan Ruiz, 2000). Ladd (2003) menyebut istilah Deafhood untuk menggambarkan bagaimana komunitas Tuli menggali identitas mereka dengan berbagai prioritas variabel yang berhubungan dengan kewarganegaraan, budaya dan keadaan sosial dan ekonomi.
25
Atas identitas sosial-budaya tersebut, komunitas Tuli dipandang memiliki kekhasan identitas tersendiri dalam lingkup sosial masyarakat. Adaya stigma negatif dan diskriminasi yang dihadapi komunitas Tuli mendorong komunitas menggali etnisitas dan menjaga martabat sebagai kelompok minoritas budaya untuk menghadapi marginalisasi (Lane, 2005). Perubahan permaknaan tuli (patologis) menjadi Tuli (sosiokultur) mengindikasi bahwa ketulian merupakan sebuah identitas sosial-budaya yang memiliki karakteristik tertentu, karena itu pula masyarakat Tuli memilih istilah Tuli daripada tuna rungu, karena tuna rungu mengindikasi adanya kekurangan atau kerusakan (Lintangsari, 2014). Gertz
(2002)
mengutarakan
istilah
Dysconscious
Audism
(DA)
(Ketidaksadaran atas Paham Audio) dalam menganalisis komunitas Tuli. Gertz (2002) mengatakan bahwa dibutuhkan ‘kesadaran’ untuk menjadi bagian penuh dari masyarakat. Hanya melalui kesadaran kolektif maka komunitas Tuli mendapatkan posisi dalam masyarakat. Gertz (2002) lebih jauh mengungkapkan bahwa bentuk – bentuk paham (ideologi) audio yang secara diam – diam menerima norma ‘kemampuan mendengar’ sebagai hak istimewa dalam masyarakat. Masalah tersebut bukan karena absennya kesadaran dalam masyarakat tetapi kesadaraan yang ada telah terdistorsi. Hal ini dikarenakan adanya hagemoni ‘kemampuan mendengar’ yang menekan komunitas Tuli (Haggerty, 2006). a.) Kelompok Minoritas Bahasa (Linguistic Minority Group)
26
Komunitas Tuli memiliki tempat tersendiri dalam kajian sosial sejak awal abad 19 M. Dalam pandangan sosial, komunitas Tuli tidak diartikan sebagai kumpulan orang dengan keterbatasan pendengaran tetapi sebagai kelompok sosial yang memiliki identitas kelompok minoritas bahasa, sebuah pergerakan masyarakat sipil dan pemberdayaan bagi komunitas Tuli (Ladd, 2003). Shapiro (1993) mengatakan bahwa komunitas Tuli telah membangun budayanya sendiri. Mereka memiliki bahasa, ekpresi dan nilai sosial tersendiri dengan ikatan kesamaan (commonalities) yang khas. Ikatan komunitas Tuli melahirkan apa yang disebut Deaf Culture. Deaf Culture merupakan simbol identitas pembebasan bahwa Tuli menerima komunitasnya sebagai sebuah kebanggaan karena kekhasan dalam berkomunikasi yaitu penggunaan Bahasa Isyarat. Bahasa Isyarat sendiri dikemukakan telah ada jauh sebelum abad ke 14 dan memiliki struktur linguistik sebagai bahasa (Vygotsky dalam Zaitseva et al., 1999). Bahasa Isyarat merupakan bahasa gestur-visual sementara bahasa verbal adalah bahasa
vokal-auditori
(Jokinen
dalam
Bharoto,
2014).
Layaknya
pemahaman budaya pada umunya, Budaya Tuli memiliki identitas, bahasa, sejarah, sistem nilai, sistem kepercayaan, sistem sosial kemasyarakatan, tradisi, perjuangan dan kesenian (Ladd, 2003). Hal ini menjadikan komunitas Tuli memiliki posisi yang unik dalam kajian sosial. Komunitas Tuli dipandang memiliki ikatan sosial yang kuat atas penggunaan Bahasa Isyarat (Burch, 2001).
27
Paulmier mengatakan bahwa eksistensi komunitas Tuli ditopang oleh Bahasa Isyarat dan menjadi jembatan komunikasi antara komunitas Tuli dan masyarakat yang mendengar (hearing people) (Quartararo, 1995). Hal ini merefleksikan adanya nilai tambah komunitas Tuli dalam perbaikan kualitas relasi sosial dengan masyarakat umum (McIlroy dan Storbeck, 2010). Leigh mengatakan identitas etnik minoritas bahasa mendorong social outcome berupa manfaat pengembangan sosial bagi masyarakat Tuli (Batten et al., 2013). Komunitas Tuli umumnya mendapat pengaruh positif dengan identitas tersebut (Ladd, 2003). b.) Kesenian Tuli (Deaf Art) Deaf Art merupakan kekayaan kesenian (art heritage) yang digunakan komunitas Tuli sebagai sarana pergerakan sosial. Kesenian memiliki kemampuan unik dalam mendorong koneksi intelektual dan emosional dalam mengangkat narasi historis dan menciptakan solidaritas sosial (McCaughan, 2012). Deaf Art merupakan eksplorasi kesenian untuk mengangkat
eksistensi
komunitas
Tuli
dan
kontribusinya
dalam
masyarakat. Dalam Deaf Art, terdapat pula Deaf View/Image Art atau De’Via yang berkembang pada tahun 1980an di Eropa dan Amerika sebagai sebuah gerakan masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak komunitas Tuli. Deaf Art mengangkat sudut pandang potensi visual kelompok Tuli dalam gerakan tubuh seperti teater, tarian, pantomim, dll. Kemampuan
28
visual dalam kesenian komunitas Tuli dikenal sebagai kapasitas yang mendorong pengembangan masyarakat Tuli dan digunakan sebagai salah satu exchange value dalam membangun relasi sosial dengan masyarakat umum. Hingga saat ini, Deaf Art telah dipergunakan sebagai elemen perubahan sosial bagi komunitas Tuli di dunia. Kesenian mengangkat eksistensi komunitas Tuli kedalam masyarakat mayoritas (Haggerty, 2006). Kesenian ini disebut sebagai ruang dimana komunitas Tuli dapat mengembangkan kapasitas diri, mengutarakan ‘suara’ nya, merupakan ruang untuk memperluas jaringan sosial dan mengembangkan rasa kebersamaan sosial (West, 2001). Kesenian juga dipandang sebagai sarana efektif bagi komunitas Tuli untuk membangun ikatan dan dengan masyarakat mainstream (Durr, 2000). 3. Komunitas sebagai Organisasi Masyarakat Sipil Menurut Faverbee, seseorang yang terlibat dalam komunitas mencari kebutuhan atas perasaan aman, rasa kebersamaan (sense of belonging) dan identitas bersama. Setiap individu dalam interaksinya memiliki pengaruh bagi komunitas yang memungkinkan terjadinya hubungan resiprokal (Kožuh, 2014). Komunitas ditandai dengan adanya perasaan kebersamaan (sense of belonging) dan adanya norma sosial yang mengikat (Soekanto, 1992). Komunitas merupakan bagian dari organisasi masyarakat sipil, namun memiliki karakteristik berbeda. Komunitas memiliki struktur yang lebih fleksibel karena merupakan asosiasi dari masyarakat sipil. Peruzotti
29
mengungkapkan bahwa asosiasi masyarakat sipil mewakili kelompoknya merujuk pada dimensi asosiasi dari kewargaan, artinya terbentuk dari warga – warga yang membentuk perserikatan baik gerakan sosial, sukarelawan maupun advokasi (Laodengkowe, 2010). Susetiawan mengatakan bahwa organisasi masyarakat sipil merupakan wujud dari asosiasi masyarakat sipil. Tujuan masyarakat sipil sebagai masyarakat madani dibangun atas asas peradaban (civilized) kebudayaan manusia. Peradaban kebudayaan dimana kemanusiaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak-hak sesama menjadi sesuatu yang etis serta melahirkan nilai yang benar-benar tampak dalam tata kehidupan sosial (Setiawan, 2000:221). Masyarakat sipil yang bergabung membentuk organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization) merupakan wadah untuk melakukan perubahan sosial terorganisasi dengan sukarela dan lahir secara mandiri (Suharko, 2005). Organisasi masyarakat sipil dibangun atas nilai - nilai masyarakat sipil secara otonom berswadaya dengan seperangkat nilai bersama (Januarty, 2013). 4. Modal Sosial Penghubung (Bridging Social Capital) untuk Mendorong Integrasi Sosial Cox (1995) menyatakan bahwa modal sosial yang kuat berasal dari jaringan sosial yang menjembatani dan memfasilitasi informasi serta mempengaruhi tindakan ketika komunitas menghadapi konflik, masalah dan tantangan. Granovetter (1983) mengungkapkan jaringan bridging dapat
30
mendorong integrasi komunitas yang tereksklusi dalam masyarakat. Selain itu, pentingnya jaringan heterogen disebut sebagai strength of weak ties yang terbangun dari ikatan lemah namun memiliki kekuatan karena dapat memberikan peluang keterbukaan akses dan informasi serta embeddedness dengan peluang ekonomi. Putnam (2000) secara antusias mengutarakan bahwa modal sosial penghubung (bridging) merupakan kekuatan untuk menggerakkan masyarakat sipil. Modal sosial penghubung (bridging) berguna sebagai jembatan jaringan kolaboratif dengan komunitas lain untuk melakukan kerjasama. Putnam mengungkapkan pentingnya suatu kelompok masyarakat bergerak (moving beyond) dari identitas sosial yang sama dan terhubung dengan kelompok yang berbeda. Hal ini mengarahkan pada upaya untuk membangun kepercayaan umum dan norma bersama yang baru diatas pemahaman yang lebih luas. Szreter and Woolcock mengutarakan bahwa modal sosial bridging berkompromi untuk membangun hubungan atas penghargaan dan kerjasama yang mutual antara individu dan kelompok yang berbeda (Poortinga, 2012). Modal sosial penghubung (bridging) merupakan jaringan asosiasi dengan beragam identitas kelompok untuk memperoleh manfaat bersama (Gotto et al., 2012). Varshney mengungkapkan contoh asosiasi interetnik kelompok Hindu dan Muslim di India yang mampu membangun jaringan bridging dan mengembangkan kesalingpercayaan (mutual trust) (Patulny dan Svendsen, 2007).
31
Dalam modal sosial bridging, kepercayaan yang dibangun antara ikatan heterogen memiliki nilai yang lebih general karena mengakomodasi nilai dari individu dan kelompok yang berbeda. Hal ini mendorong integrasi melaui kerjasama yang mutual dalam kerangka penghargaan keberagaman (Paltulny dan Svendsen, 2007). Leonard mengatakan, modal sosial bridging diperkuat ketika komunitas homogen secara sosial tersegregasi dan terisolasi dari lingkungan sosial. Modal sosial bridging menjadi jembatan yang mendorong integrasi kelompok yang tereksklusi dalam masyarakat (Gerich dan Fellinger, 2011). Karsidi mengungkapkan mengenai wujud integrasi yang dapat diamati melalui kerjasama dan akomodasi perbedaan suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain (Retnowati, 2004). Nilai yang mengakomodasi perbedaan
dapat
berupa
toleransi,
pemahaman
(understanding)
dan
penghargaan (respect) terhadap kelompok yang berbeda (Witenberg, 2000). Sunyoto Usman (1995), menyebutkan integrasi adalah suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling memelihara dan menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan sosial. Usman (1995) mengungkapkan pentingnya nilai – nilai fundamental sebagai prasyarat integrasi kelompok yang berbeda. Sementara Kartasasmita (1996) mengungkapkan keterhubungan manusia atas dasar sukarela, tidak hanya secara fisik tetapi juga adanya keterkaitan batiniah. 5. Kerangka Pemikiran
32
Komunitas Tuli (Deaf Art Community) memilih untuk berkumpul dan melakukan aksi bersama. Kondisi eksklusi yang dialami komunitas Tuli pada umumnya merupakan akibat rendahnya modal sosial dalam masyarakat. Ketiadaan akses jaringan sosial baik dalam masyarakat maupun akses jaringan struktural menyebabkan komunitas Tuli tidak dapat membangun relasi sosial maupun mengakses hak dari institusi negara. Ditengah sulitnya mengembangkan modal sosial dalam masyarakat, DAC memperlihatkan potensi modal sosial yang dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk mendorong integrasi DAC dalam masyarakat mainstream (umum). Putnam (1995) menyebut potensi tersebut sebagai modal sosial bridging yang menekankan kepada perluasan jaringan dan kerjasama dengan kelompok yang berbeda di luar ikatan kesamaan komunitas. Adanya perluasan jaringan yang dibangun DAC dengan masyarakat umum dapat berpengaruh pada perubahan kepercayaan dan norma dalam suatu komunitas. Patulny dan Svendsen (2007), mengatakan bahwa kepercayaan yang dibangun dalam modal sosial bridging dapat semakin meningkat dengan adanya orientasi bersama. Kepercayaan justru akan menjadi norma dan nilai baru yang general karena mengakomodasi kerjasama ikatan heterogen. Kerjasama dan jaringan yang dibangun dalam kepercayaan general dapat menghasilkan mutual respect dalam melakukan tindakan bersama.
33
Uslaneer mengatakaan bahwa un nsur kepercaayaan generral mendoronng suatu komunitas untuk peercaya kep pada kelom mpok lain diluar linngkungan nya. Keperccayaan geneeral dalam komunitas memandanng orang kelompokn asing dan orang berb beda sebagaai seseorangg yang mem mungkinkan mereka untuk belajjar sesuatu atau a untuk membangun m hhubungan keerjasama yanng saling menguntun ngkan (Rothstein, 2005). Dengan n terbentukn nya jaringan n dan keperrcayan kepaada kelompook diluar ikatan semula makaa norma yang terbeentuk meruupakan nilaai yang mengakom modasi pentin ngnya kerjassama dengann pihak luar atau disebutt sebagai norma gen neral. Jarin ngan, keperccayaan dan norma yaang dibanguun DAC menjadi jeembatan yaang mendoro ong integraasi DAC dii dalam maasyarakat umum. Ga ambar 1.1 Modal M Sosiall Penghubung DAC Terbataasnya Interaks si
DAC
Modal SSosial Bridgin g General Trrust, Bridging Network, General Norm
DA AC interaksi
Masy umu um
Ma asy umum
mmunity (Kom munitas Tuli)) DAC : Deaf Art Com u Masyaarakat umum Masy umum:
34