BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan”. Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesehatan emosional, fisik dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari puas dengan hubungan interpersonal dan dari mereka sendiri (Videbeck, 2004). Orang di anggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku mereka pantas dan adaptif, sebaliknya seseorang di anggap sakit jika gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab atau perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat sangat mempengaruhi nilai dan keyakinan masyarakat tersebut, sehingga definisi ini mempengaruhi definisi sehat dan sakit. Perilaku yang dapat diterima dan pantas dalam suatu masyarakat dapat di anggap mal-adaptif atau tidak pantas di masyarakat lain. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami gangguan jiwa. Hingga saat ini diyakini terdapat tiga faktor utama sebagai penyebabnya. Pertama, faktor organobiologi seperti faktor keturunan (genetik), adanya
1
ketidakseimbangan zat-zat neurokimia di dalam otak. Kedua, faktor psikologis seperti adanya mood yang labil. rasa cemas berlebihan, gangguan persepsi yang ditangkap oleh panca indera kita (halusinasi). Dan yang ketiga adalah faktor lingkungan (sosial) baik itu di lingkungan terdekat kita (keluarga) maupun yang ada diluar lingkungan keluarga seperti lingkungan kerja atau sekolah (http:// FreeLists - nasional_list - [nasional_list] [ppiindia], diunduh 11 Nopember 2011). Berdasarkan data hasil RISKESDAS tahun 2007, persentase gangguan jiwa mencapai 11,6 persen dari sekitar 19 juta penduduk yang berusia di atas 15 tahun. Hal ini menjadikan masalah kesehatan jiwa sebagai prioritas bagi Kementerian Kesehatan kerena merupakan tantangan yang besar dengan kompleksitas tinggi di berbagai lapisan dan aspek kehidupan. Profesi kesehatan jiwa diharapkan dapat proaktif dalam mencari solusi untuk penanggulangan masalah kesehatan jiwa baik di institusi pelayanan maupun di komunitas, seperti meningkatkan jumlah psikiater dan pemerataan pendistribusiannya, dokter plus yang terlatih di bidang kesehatan jiwa, mendorong penyediaan layanan tersier spesialistik, mendidik masyarakat dalam mengurangi stigma negatif masyarakat tentang rumah sakit jiwa, serta mampu menghasilkan inovasi, rekomendasi profesi atau institusi pendidikan dalam menciptakan pedoman penanggulangan masalah kesehatan jiwa di Indonesia (Riskesdas, Maret 5, 2012 | 13.30).
2
Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995, mendapatkan bahwa 185 dari 1000 anggota rumah tangga mempunyai gejala gangguan jiwa. Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga 1995, banyak gangguan mental emosional penduduk usia > 15 tahun adalah 140 per 1000 anggota rumah tangga (ART). Pola usia penduduk semakin lanjut dengan angka harapan hidup 66,2 tahun. Hal ini memerlukan penyediaan sarana pelayanan yang baik termasuk pelayanan kesehatan mental. Beban akibat gangguan jiwa yang bersifat kronik dan ketidak mampuan yang diakibatkannya dihitung dengan indikator DALY (Disability Adjusted Life Year) atau hilangnya waktu produktif dalam setahun, dimana pada tahun 1995 adalah 8,1% lebih tinggi dari pada dampak yang diakibatkan TBC (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), maupun malaria (2,6%). Angka tersebut pada tahun 2000 menjadi 12,3% dan diproyeksikan menjadi 15% pada tahun 2020. Ketidakmampuan yang terjadi disebabkan oleh depresi, cemas, gangguan penyalahgunaan zat atau narkoba, skizofrenia, epilepsi, penyakit Alzheimer, retardasi mental, serta gangguan jiwa pada anak dan remaja (Kusumawati & Hartono, 2010). Keperawatan sebagai bentuk pelayanan professional merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang salah satunya adalah asuhan keperawatan jiwa. Asuhan keperawatan jiwa memiliki peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas mental, intelektual, emosional, social, dan fisik serta ekonomi sebagai sumber kesejahteraan klien. Sistem asuhan keperawatan jiwa berbeda dengan 3
asuhan keperawatan pada orang sakit fisik dan orang normal pada umumnya (Nurjanah, 2004). Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional di dasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatn jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang mal adaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan, dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebai manusia (Suliswati, dkk 2005). Keperawatan jiwa merupakan proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkontribusi pada fungsi yang terintregasi pada individu, keluarga dan kelompok. Keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri secara terapeutik. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Perilaku kekerasan biasanya dilakukan oleh pasien skizofreina jenis paranoid, hebepfrenik, residual, dan akut, karena pada jenis ini pasien seolah mendapatkan ancaman, tekanan psikologi, dan menganggap orang 4
lain sebagai musuh, reaksi yang spontan karena halusinasi juga bisa berupa pukulan, ancaman dan ekspresi marah yang lain (Maramis, 2004). Hasil penghitungan data jumlah pasien pada tahun 2010 di rumah sakit jiwa Dr. Amino Gondohutomo Semarang (jumlah gangguan jiwa: 3914) perilaku kekerasan : 1534 = 39,2%, halusinasi: 1606 = 41%, isolasisosial: 457 = 11,7%, waham: 111 = 2,8%, harga diri rendah: 82= 2,1%, depresi : 662 = 16,9%, bunuh diri : 116 = 2,3%, laki-laki : 2357, perempuan : 1557. Jenis pelayanan kesehatan yang dilakukan pada penanganan pasien dengan perilaku kekerasan diatas adalah isolasi ruangan, pemberian medikamentosa (pengobatan), pengikatan, dan pembentukan tim krisis. Kasus diatas masih mengarah pada aspek keselamatan pada pasien dan juga orang lain disekitarnya. Salah satu pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa adalah komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan klien dengan gangguan jiwa. Komunikasi terapeutik merupakan media untuk saling memberi dan menerima antar perawat dan klien. Komunikasi terapeutik berlangsung secara verbal dan non-verbal (Wahyu & Ina, 2009). Hasil survey dan wawancara yang dilakukan oleh penulis diruang arimbi Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr. Amino Gondohutomo Semarang selama dua minggu tanggal 6 Maret sampai 19 Maret, tercatat pasien yang dirawat sebanyak 20 orang. dengan masalah utama perilaku kekerasan. Hal ini
5
membuktikan bahwa masih banyaknya pasien dengan masalah utama perilaku kekerasan. Dari gambaran diatas, penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah dengan mengangkat judul ‘Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Resiko Perilaku Kekerasan pada Ny. Y di Ruang I (Arimbi) Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr. Amino Gondohutomo Semarang”. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Memberikan gambaran nyata tentang pemberian asuhan keperawatan pada Ny.Y dengan gangguan resiko perilaku kekerasan diruang arimbi RSJD Dr.Amino Gondo Hutomo. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan pengkajian keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. b. Mendeskripsikan diagnosa keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. c. Mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. d. Mendeskripsikan tindakan keperawatan yang telah diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan. e. Mendeskripsikan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. 6
f. Mendeskripsikan faktor penghambat dan pendukung dalam perawatan pasien dengan masalah perilaku kekerasan.
7
C. Metode Penulisan Metode yang dipakai adalah deskriptif dengan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi. Deskriptif merupakan gambaran kasus yang dikelola dengan cara pengumpulan data yang diperoleh saat pengkajian sampai dengan evaluasi. Adapun teknik pengambilan yang digunakan yaitu: 1. Wawancara Mengadakan tanya jawab dengan pihak yang terkait pasien, keluarga maupun tim kesehatan mengenai data pasien gangguan konsep diri harga diri rendah, wawancara dilakukan selama proses keperawatan berlangsung. 2. Observasi Dengan mengadakan pengamatan dan melaksanakan Asuhan Keperawatan secara langsung pada pasien selama di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo Semarang. 3. Dokumentasi Dokumentasi ini diambil dan dipelajari dari catatan medis, catatan perawatan maupun pengobatan. 4. Studi kepustakaan Menggunakan dan mempelajari literatu-literatur medis maupun perawatan yang menunjang sebagai pedoman toritis untuk menegakkan diagnosa dan perencanaan keperawatan.
8
D. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai Karya Tulis Ilmiah ini penulis menggunakan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu : BAB I
Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah
BAB II
Tinjauan teori meliputi pengertian, rentang respon, penyebab, tanda dan gejala, mekanisme koping, faktor predisposisi, faktor presipitasi, masalah
keperawatan
pohon
masalah,
diagnosa
keperawatan,
intervensi keperawatan dan evaluasi. BAB III
Tinjauan kasus meliputi pengkajian, analisa data, pohon masalah, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan.
BAB IV
Pembahasan
BAB V
Penutup meliputi kesimpulan dan saran tentang kasus yang di bahas dan dapat menjadi pemikiran selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
9