BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah kesehatan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap saat 450 juta orang di seluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa, saraf maupun perilaku (Siswandi, Triyono, & Yuliastuti 2011). Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No 3 tahun 1996, adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah suatu keadaan sejahtera yang optimal secara subyektif, dalam penilaian diri, kemampuan pengendalian diri serta sehat secara mental, psikologis, jiwa yang minimal dan tidak merasa tertekan atau depresi (Purwanto & Riyandi, 2009). Masalah kesehatan jiwa di Indonesia cenderung terus meningkat, sehingga memerlukan
tindakan
dan
penanggulangan
yang
komprehensif
dan
berkesinambungan. Pelayanan dan keperawatan kesehatan jiwa mempunyai falsafah, ciri dan misi yang mengacu pada paradigma keperawatan tentang fenomenal sentral yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan untuk dapat memberikan keperawatan kesehatan jiwa yang holistik, komprehensif dan berkesinambungan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu sangat diperlukan perawat dengan pengetahuan dan keterampilan khusus tentang keperawatan kesehatan jiwa sehingga memungkinkan mereka untuk dapat bekerja pada tiap tatanan pelayanan kesehatan (Keliat, 1998). Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung dan asuhan keperawatan tidak langsung yang berkualitas untuk membantu pasien beradaptasi terhadap stress yang dialami dan bersifat terapeutik (Dalami, 2010). Komunikasi dalam keperawatan disebut juga dengan komunikasi terapeutik, merupakan komunikasi yang dilakukan perawat pada saat melakukan intervensi keperawatan sehingga memberikan terapi untuk proses penyembuhan pasien dan membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan, dan menghargai keunikan pasien (Nurhasanah, 2009). Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak hanya akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, tetapi juga mencegah terjadinya masalah ilegal, memberikan kepuasaan profesional dalam pelayanan keperawatan, dan meningkatkan citra profesi keperawatan, serta citra rumah sakit (Nasir, A. dkk, 2009). Komunikasi yang dilakukan perawat pada pasien halusinasi adalah untuk membina hubungan interpersonal, saling percaya sehingga perawat dapat mengekspresikan perasaan secara terbuka, jujur, dan secara langsung untuk memberikan umpan balik tentang perilaku pasien halusinasi pendengaran (Stuart & Sudeen, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Perawat tidak cukup mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam berkomunikasi. Adapun sikap
perawat
untuk
menghadirkan
diri
secara
fisik
yaitu,
berhadapan,
mempertahankan kontak mata, membungkuk kearah pasien, mempertahakan sikap terbuka serta dalam keadaan tetap rileks (Mundakir, 2006). Hasil observasi penelitian yang dilakukan di RSJD Kota Surakarta menunjukkan masih banyak perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien skizofrenia, sikapnya kurang sabar, kurang ramah, kurang perhatian, kurang semangat, dan kurang bersedia menolong (Sunaryanti, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Rina (2010) di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu menyatakan motivasi berprestasi dalam melaksanakan asuhan keperawatan bahwa perawat mempunyai motivasi 37,7%. Hal ini berarti dalam melakukan asuhan keperawatan perawat belum sepenuhnya melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik. Belum ada yang melaporkan tentang pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu, sehingga saya sebagai peneliti tertarik untuk meneliti gambaran pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di rumah sakit jiwa daerah pemprovsu. Penelitian ini penting dilakukan untuk pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU. Sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain, sarana dalam
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan ilmu keperawatan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Sehingga masyarakat tidak merasa ragu apabila menjalani perawatan di rumah sakit tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka, dapat dirumuskan pertanyaan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan Diharapkan dapat memberikan penambahan pengetahuan dan acuan bagi ilmu keperawatan tentang pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU.
Universitas Sumatera Utara
1.4.2 Bagi Praktek Keperawatan Memberikan
masukan
kepada
perawat
tentang
pelaksanaaan
komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU.
1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini digunakan sebagai data tambahan untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan pelaksanaaan komunikasi terapeutik perawat dengan pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu.
Universitas Sumatera Utara