BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dewasa ini perilaku konsumtif menjadi sebuah fenomena sosial yang melanda seluruh lapisan masyarakat. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin pesat dan mengglobal menjadikan perpindahan transisi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak terkecuali di kalangan para remaja. Terlebih lagi dengan gaya hidup modern seperti sekarang ini seorang remaja cenderung untuk melakukan berbagai macam cara agar dapat tetap “eksis” sebagai wujud agar tetap diakui dan diterima di lingkungan sekitar. Remaja yang jika dilihat dari segi finansial belum bisa dikatakan memiliki finansial yang cukup kuat karena hampir sebagian besar remaja secara finansial masih bergantung pada orang tua mereka. Mengingat akan hal ini tentunya sangat kontras dengan kehidupan para remaja masa kini dalam kesehariannya. Sebagai individu yang masih belum mandiri secara finansial hendaknya menggunakan uangnya dengan penuh kehati-hatian, dimana seharusnya faktor kebutuhan dikedepankan terlebih dahulu daripada faktor keinginan. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak dari remaja yang lebih mengedepankan faktor keinginan daripada faktor kebutuhan, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah pada remaja. Sarwono (1997) mengemukakan remaja masa kini sudah sangat jauh berbeda dengan remaja terdahulu, dimana remaja masa kini lebih mementingkan gaya hidup yang serba enak dan glamor bahkan hal ini sudah terjadi ketika seorang individu masih dalam usia sekolah sehingga memungkinan hal ini sangat berpengaruh pada individu di masa mendatang.
1
2 Kemajuan jaman dan teknologi yang berkembang semakin pesat memberi dampak secara signifikan terhadap kehidupan para remaja. Hal ini tidak jarang mengakibatkan remaja dijadikan sebagai sasaran pemasaran industri, mengingat bahwa masa remaja merupakan masa dimana kondisi dan karakteristiknya masih labil dan mudah dipengaruhi sehingga pada akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala membeli yang tidak wajar. Untuk itu hal inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan pada umumnya untuk memasarkan hasil produksinya dengan remaja sebagai target pemasaran. Membeli dalam hal ini tidak dilakukan karena membutuhkan akan barang tersebut akan tetapi membeli dilakukan karena berbagai alasan, di antaranya mengikuti arus mode, sekedar mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial, dan lain-lain (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Tambunan (2001) yang mengemukakan bahwa bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian besar produsen untuk memasuki pasar remaja. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sekarang ini sudah terjadi transisi dari yang semula orang membeli barang atas dasar kebutuhan, tetapi untuk saat ini seseorang membeli barang karena berbagai macam alasan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Membaiknya kondisi ekonomi di Indonesia akhir-akhir ini tidak dapat terlepas dari meningkatnya daya beli masyarakat. Hal ini ditandai dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang menuju ke arah hidup glamor, boros, dan lebih mengejar pemenuhan keinginan daripada pemenuhan kebutuhan. Di lingkungan kota-kota besar pada khususnya, dengan tersedianya berbagai macam fasilitas dapat mendorong perilaku remaja yang cenderung untuk bersikap boros, baik itu mulai dari membeli pakaian, makanan maupun
3 minuman, dan juga barang-barang lainya. Gaya hidup yang tidak sewajarnya telah menjamur dalam kehidupan para remaja terutama remaja yang tinggal di kota-kota besar yang rentan kemungkinan besar dapat berperilaku konsumtif. Hal ini tidak dapat terlepas juga dari faktor status sosial seseorang. Seorang remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi menengah ke atas, dapat dengan mudah membeli barang dengan lebih mengedepankan faktor keinginan daripada kebutuhan. Sehingga hal ini juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan seorang remaja dalam bergaya hidup yang tidak sewajarnya. Munculnya pusat perbelanjaan baru di kota-kota besar pada umumnya, khususnya di kota Yogyakarta menjadi salah satu faktor penyebab perubahan gaya hidup masyarakat pada masyarakat luas dalam hal ini para remaja ke arah gaya hidup glamor dan boros. Bahkan menjelang akhir pertengahan bulan di tahun 2014, akan berdiri sejumlah pusat perbelanjaan baru yang akan segera mulai beroperasi. Menurut kompas.com, berkembangnya jumlah pusat belanja di wilayah Yogyakarta tidak lain karena faktor Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang terus meningkat. Pada triwulan II-2013 tercatat sebesar 110,47. Ini artinya, kondisi ekonomi konsumen mengalami peningkatan dibanding triwulan sebelumnya. Membaiknya kondisi ekonomi masyarakat/konsumen Yogyakarta terutama didorong oleh peningkatan pendapatan konsumen dan relatif rendahnya pengaruh inflasi terhadap tingkat konsumsi, sehingga tingkat konsumsi masyarakat mengalami kenaikan. Salah satu gaya hidup remaja perkotaan yang rentan memicu perilaku konsumtif adalah “Shopping Mall”, yang tidak jarang para remaja melakukannya hanya demi mengejar sebuah trend fashion. Tidak dapat dipungkiri bahwa remaja selalu ingin mengikuti trend fashion yang sedang berlaku. Trend fashion akan selalu berubah, dan remaja akan selalu mengikutinya tanpa adanya rasa puas dengan alasan takut ketinggalan mode. Perilakuperilaku yang selalu mengikuti trend fashion, dan tuntutan sosial cenderung menimbulkan pola konsumsi yang berlebihan (Agustia, 2012). Hal ini tidak dapat terlepas dari fasilitas-
4 fasilitas yang tersedia dan memadai seperti pusat perbelanjaan, distro-distro, dan cafe-cafe menjadi salah satu tempat favorit bagi para remaja untuk menghabiskan waktu bersama dengan teman sebayanya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Zamroni (2007) mengemukakan kehadiran Shoping Mall sebagai representasi ekonomi kapitalis mampu mendorong terciptanya perubahan sosial, seperti merebaknya budaya konsumerisme, perubahan perilaku sosial, mode pakaian, dan gaya hidup. Di kalangan usia muda, budaya pop (pop culture) menjadi trand yang berkiblat pada barat. Di samping itu juga terdapat kemudahankemudahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik material maupun non material. Faktor kebutuhan rekreatif mampu menjadi dasar bagi hasrat untuk berbelanja di Shopping Mall. Oleh karenanya, mengkonsumsi barang tidak hanya didasarkan oleh logika kebutuhan semata, akan tetapi juga ranah emosi seseorang. Kota Yogyakarta sebagai kota budaya sekaligus kota pelajar menjadikan kota tersebut memiliki daya tarik yang cukup kuat untuk menarik minat baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan menikmati kenyamanan di Yogyakarta. Hal ini terbukti di seluruh penjuru kota dapat dijumpai berbagai orang dari latar belakang yang beraneka ragam, terlebih bagi kaum muda khususnya, bagi para remaja kota Yogyakarta merupakan kota yang dirasa paling tepat untuk mencari ilmu mengingat dengan tersedianya sarana dan prasana pendidikan yang memadai mulai dari pendidikan usia dini hingga tingkat akhir perguruan tinggi. Tidak hanya fasilitas pendidikan saja yang memadai, fasilitas-fasilitas penunjang hidup yang lain juga tersedia cukup baik di kota Yogyakarta sehingga kota tersebut dijadikan sebagai surga dunia mengingat bahwa berbagai macam fasilitas yang tersedia baik untuk masalah fashion, makanan, dan berbagai macam hiburan lainya, sehingga banyak anak muda khususnya pelajar yang terjebak dalam gaya hidup yang konsumtif.
5 Kata konsumtif digunakan untuk menunjukkan kecenderungan seseorang dalam memakai atau mengkonsumsi barang atau produk. Sedangkan menurut The Concise Oxford Dictionary mendefinisikan bahwa kata konsumsi lebih ditunjukan untuk membeli atau menggunakan suatu barang atau produk. (dalam Miles, 2006). Sumartono (2002), mengemukakan munculnya perilaku konsumtif disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang menyebabkan individu dapat berperilaku konsumtif adalah motivasi, harga diri, observasi, proses belajar, kepribadaian, dan konsep diri. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi individu dalam berperilaku konsumtif adalah kebudayaan, kelas sosial, kelompok-kelompok sosial, dan referensi serta keluarga. Menurut Loc (dalam Sumartono, 2002), pada faktor eksternal pembentuk perilaku konsumtif ini khususnya pada pengaruh yang dihasilkan oleh kelompok referensi, seorang akan melakukan perilaku konsumtif dengan mengacu pada apa yang ditentukan oleh kelompok referensinya. Kelompok referensi ini sangat kuat dalam mempengarui individu, hal ini terkait dengan akan adanya pengakuan dari kelompok tersebut terhadap individu yang ada di dalamnya. Dalam hal ini sangat sesuai dengan pendapat Schiffmann dan Kanuk (2004), dalam buku Consumer Behavior yang memperjelas bahwa kelompok referensi memiliki pengaruh kuat, dikarenakan kelompok referensi ini merupakan tempat bagi individu untuk melakukan perbandingan, memberi nilai, informasi, dan menyediakan suatu bimbingan ataupun petunjuk untuk melakukan konsumsi. Dengan kata lain bahwa kelompok referensi menjadi sebuah tolok ukur bagi seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang. Hal ini sejalan dengan pendapat Maulana (2013) yang dimuat dalam kompasnia.com menunjukkan bahwa remaja yang kini banyak terjebak dalam kehidupan konsumtif, dengan rela mengeluarkan uangnya untuk menuruti segala keinginan, bukan kebutuhan, dalam keseharianya remaja menghabiskan uang mereka untuk membeli makanan, pakaian,
6 perangkat elektronik, hiburan seperti menonton film, dan sebagainya. Semua ini dilakukan remaja kebanyakan hanya untuk ajang pamer dan gengsi, karena remaja merupakan fase dimana mereka masih dalam situasi labil, remaja yang dalam pergaulanya dikelilingi oleh remaja lain yang juga berperilaku konsumtif, maka remaja itu akan mengikuti gaya, penampilan, seolah tidak mau kalah dari temanya. ketika individu memasuki masa remaja keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group) cenderung meningkat, oleh sebab itu kebanyakan remaja berpikir untuk dapat diterima oleh kelompok mainya harus menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut, termasuk dalam segi penampilan, dan gaya hidup. Seorang remaja yang tidak diterima di dalam kelompok sebayanya, maka ia akan merasa terasingkan, dan lebih memilih untuk menyendiri. (diakses pada tanggal 23 Oktober 2013). Menurut Sukari, dkk. (2013) menjelaskan kecenderungan remaja terutama pelajar atau siswa di Yogyakarta berperilaku konsumtif karena didukung sarana dan prasarana seperti pusat perbelanjaan, waung makan, cafe, restoran yang mengalami peningkatan atau bertambah pusat perbelanjaan tersebut antara lain Malioboro Mall, Ambarukmo Plaza, Jogjatronik Mall, Shapir Square, Ramai Family Mall, Galeria Mall, Gardena, dan Mirota Kampus Departemen Store. Pada umumnya pusat perbelanjaan ini menyediakan atau menjual barang dan jasa seperti makanan, pakaian, asesoris dan alat komunikasi. Selain pusat perbelanjaan tersebut di beberapa tempat terdapat pertokoan yang menjual barang dan jasa serta kuliner. Tempat-tempat tersebut di antaranya di Sunday Morning (Sunmor) kampus UGM, Alun-Alun Kidul (Alkid), jalan Gejayan, Babarsari, Distro Saloka dan Jolie. Remaja merupakan usia peralihan dari usia anak-anak menuju usia dewasa (Hurlock, 1997). Remaja adalah seorang individu yang berada pada rentang usia 12-21 tahun dengan pembagian dalam tiga masa, yaitu remaja awal 12-15 tahun masa remaja tengah 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun (Monk, dkk, 2002). Sedangkan menurut Stanley Hall
7 (dalam Panuju & Umami, 1999) masa remaja merupakan masa “Stress and Strain” yang artinya bahwa pada masa remaja merupakan masa kegoncangan dan kebimbangan dimana pada tahap ini seorang individu akan bersifat sentimentil, mudah tergoncang dan bingung. Sedangkan menurut Mönk, dkk. (2002) masa remaja merupakan masa dimana seorang individu melakukan usaha ke arah originalitas, pada satu pihak dapat dipandang sebagai suatu pernyataan emansipasi sosial, yaitu pada waktu remaja membentuk suatu kelompok dan melepaskan dirinya dari pengaruh orang dewasa, pada lain pihak hal ini tidak dapat terlepas dari adanya bahaya terutama bila mereka lalu bersatu membentuk kelompok. Dilihat dari sisi sosial, remaja juga mengalami transisi sosial dimana individu mengalami perpindahan dari yang semula segala sesuatunya berpusat dalam keluarga beralih ke peer group atau kelompok teman sebayanya. Dalam hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2007), mengemukakan bahwa tekanan untuk konform terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat seiring individu berada dalam masa remaja. Untuk itu peran teman sebaya menjadi sangat signifikan karena remaja akan lebih mendengarkan teman sebayanya dari pada keluarganya. Dalam tahap ini peran teman sebaya menjadi kelompok referensi dimana menjadi sebuah kerangka acuan bagi remaja dalam bersosialisasi dengan dunia luar. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia tidak dapat hidup seorang diri. Mengingat konsekuensi akan
makhluk sosial tersebut, untuk itu dalam
kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari pengaruh sosial. Pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap manusia itu sendiri dalam menjalani kehidupan. Dalam kehidupan sosial, proses interaksi tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia, oleh karenanya manusia selalu berinteraksi antara individu satu dengan individu lainya dan bahkan individu dengan kelompok. Sehingga dalam interaksi tersebut terjadi proses berbagi informasi satu sama lain yang terkadang dapat mempengaruhi individu atau kelompok dalam bertindak dan menjadikanya sebagai referensi dalam berperilaku. Di kalangan para remaja
8 biasanya menjadikan kelompok referensi sebagai suatu standar berperilaku agar supaya dapat menyelaraskan diri sesuai dengan tuntutan sosial. Peter & Olson (1999) dalam bukunya Consumer Behaviour berpendapat bahwa seorang individu dapat terlibat dalam berbagai jenis grup yang berbeda. Sebuah grup terdiri dari dua atau lebih individu yang yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan yang sama. Bentuk grup yang penting diantaranya keluarga, teman dekat, mitra kerja, grup sosial formal ( asosiasi profesional), grup hobi, dan tetangga. Sebagian dari grup tersebut menjadi grup referensi. Group referensi (reference group) melibatkan satu atau lebih orang yang dijadikan sebagai dasar pembanding atau titik referensi dalam membentuk tanggapan afeksi dan kognisi serta menyatakan perilaku seseorang. Pada dasarnya setiap individu adalah anggota dari sebuah grup, sehinggga banyak individu menggunakan beberapa grup untuk dijadikan sebagai grup referensi karena pada dasarnya grup referensi tersebut mempengaruhi afeksi, kognisi, dan perilaku konsumen. Pada dasarnya seseorang memihak atau bergabung dengan grup referensi untuk tiga alasan: untuk mendapatkan pengetahuan yang berharga, untuk mendapatkan penghargaan atau menghindari hukuman, dan untuk mendapatkan makna yang digunakan untuk membangun, memodifikasi, atau memelihara konsep pribadi mereka. Hal ini juga yang terjadi pada remaja, dimana remaja menggunakan grup referensi sebagai acuan dalam berperilaku agar dapat memenuhi tuntutan dari luar atau yang sering disebut dengan peer preessure. Dalam kehidupan remaja grup referensi sangat erat kaintannya dengan peer group. Hal inilah yang menjadikan remaja untuk selalu mengikuti tren yang sedang berlaku, terlebih lagi pada remaja pengaruh peergroup sangat dominan sehingga disinilah peran peergroup dapat mempengaruhi remaja dalam berperilaku konsumtif dengan alasan untuk mendapatkan pengakuan dari teman sebayanya. Oleh karena itu banyak kasus dari remaja
9 yang bergaya hidup tidak sewajarnya dan cenderung hanya untuk sekedar mengikuti arus apa yang dilakukan oleh peergroup. Vysekalova (dalam Turcinkova, 2011) berpendapat bahwa remaja yang berada pada rentan usia 13-18 tahun merupakan paling tertarik dengan bujuk rayu iklan karena pada periode ini merupakan usia dimana perilaku konsumtif seseorang itu terbentuk yang dapat mengarahkan seseorang memiliki loyalitas terhadap barang/produk. Dalam tahap ini, menurut Tarkanyi and Laszlo (dalam Turcinkova, 2011) peer group memainkan peran khusus sebagai poin referensi dan sekaligus mengganti peran keluarga dalam pengambilan keputusan dan proses membeli. Penelitian dari Turcinkova dan Moisidis (2011) menunjukkan adanya perbedaan perilaku membeli pada remaja antara kelompok usia 13-15 dengan 16-19 di Republik Ceko. Kelompok usia remaja 13-15 tahun lebih mementingkan brand dari sebuah pakaian sebagai kriteria pembelian akan tetapi lain halnya dengan kelompok usia remaja 16-19 tahun yang menunjukkan bahwa pengaruh teman sangat signifikan dalam proses pemilihan dan pembelian pakaian. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang berada pada rentan usia 16-19 tahun mendapat pengaruh teman sebaya yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi dalam berperilaku konsumtif. Dari hasil penelitian sebelumnya dari Sihotang (2009) tentang hubungan konformitas dengan pembelian impulsif menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara konformitas terhadap pembelian impulsif. Ini menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya memegang peranan yang cukup besar dalam diri remaja. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang masih labil, mudah terpengaruh, dan ingin mencoba hal-hal yang baru. Berdasarkan artikel dalam websites American University melaporkan bahwa remaja Amerika Serikat memiliki daya beli hampir $ 200 milyar, dimana sebagian besar uangnya
10 berasal dari orang tua mereka. Daya beli yang dilakukan oleh remaja tidak serta merta hasil dari pemasaran perusahaan yang menargetkan remaja sebagai sasarannya melalui media cetak, televisi, dan jejaring sosial saja akan tetapi dalam hal ini kelompok teman sebaya juga ikut ambil bagian, dimana sebagian besar remaja dipengaruhi oleh kelompok teman sebayanya.(http://everydaylife.globalpost.com/adolescent-consumer-behavior-3266.html). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Cahyani (1995) dimana iklan hanya mampu mempengaruhi remaja sebesar 17 % sedangkan 83 % remaja lebih terpengaruh oleh lingkungan sosial remaja. Selanjutnya penelitian dari Zebua dan Nurdjayanti (2001) menunjukkan bahwa 15,8 % perilaku membeli remaja dipengaruhi oleh konformitas. Dari beberapa fakta-fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peran teman sebaya pada kehidupan remaja tidak dapat dipisahkan karena pada dasarnya keduanya merupakan satu kesatuan yang saling berpengaruh satu sama lain. Di sisi lain berdasarkan fakta yang ada membuktikan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kenyataan dan harapan. Masa remaja yang sebenarnya secara segi finansial masih lemah akan tetapi pada kenyataannya justru berperilaku tidak sewajarnya dan cenderung berperilaku konsumtif. Hal tersebut wajar terjadi mengingat bahwa pada masa remaja individu masih dalam proses pencarian jati diri, akan tetapi hal ini memungkinkan terjadinya kesenjangan terlebih lagi apabila gaya hidup konsumtif sudah terbentuk ketika usia remaja dan hal ini akan terbawa oleh individu hingga dewasa. Permasalahanya adalah ketika individu kelak sudah menjadi orang dewasa dan gaya hidup konsumtif tersebut terus dibawa, maka akan banyak menimbulkan masalah terlebih lagi apabila individu mengalami kesulitan finansial, sudah barang tentu akan melakukan berbagai macam cara yang ditempuh agar keinginannya terpuaskan. Oleh sebab itu hal ini menarik untuk diteliti mengingat segi finansial remaja yang masih lemah dimana seharusnya berperilaku dengan sewajarnya dan tidak berperilaku konsumtif dan penelitian ini bertujuan
11 untuk melihat seberapa besar pengaruh teman sebaya terhadap perilaku konsumtif pada remaja.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “apakah terdapat hubungan antara konformitas terhadap teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada remaja?”
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan antara konformitas terhadap teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada remaja.
D. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan yang dapat memperkaya teori dan kajian psikologi konsumen dan industri, serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pada penelitian-penelitian selanjutnya. 2) Manfaat Praktis Memberikan masukan bagi orang tua khususnya dalam rangka melakukan bimbingan terhadap putra putrinya, dengan adanya penelitian ini diharapkan para orang tua lebih peduli dalam melakukan pengawasan akan pergaulan putra-putrinya sehingga tidak terjerumus ke dalam kehidupan yang konsumtif.