20
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setengah dari penduduk di dunia tinggal di daerah dengan risiko malaria, pada tahun 2006 diperkirakan 3.3 milyar orang berisiko tertular malaria. Dari seluruh penduduk tersebut, 2,1 milyar orang tinggal di daerah risiko rendah tertular malaria (< 1 per 1000 penduduk), 1,2 milyar orang tinggal di daerah risiko tinggi tertular malaria (> 1 per 1000 penduduk), yaitu di Afrika (49%) dan di Asia Tenggara (37%). Dalam tahun 2006 diperkirakan 247 juta orang positif malaria dan 212 juta penderita (86%) berasal dari wilayah Afrika, sedang diantara kasus malaria yang berasal dari luar wilayah Afrika, 80% berasal dari India, Sudan, Myanmar, Banglades, Indonesia, Papua Nugini dan Pakistan. Pada tahun 2006, sebanyak 881.000 orang meninggal karena malaria, dimana 91% tinggal di Afrika dan 85% dari penderita malaria yang meninggal adalah kelompok balita (WHO, 2008a). Saat ini 108 negara sudah bebas dari malaria, 100 negara masih berlanjut penularan malaria dan 39 negara diantaranya sudah menuju eliminasi malaria (Feachem, et al., 2009a). Sejak pencanangan program Roll Back Malaria (RBM) oleh WHO tahun 1998, pemberantasan malaria menjadi agenda utama di dunia dan dalam beberapa tahun kemudian terjadi peningkatan upaya dan komitmen politis nasional untuk memberantas malaria di beberapa negara endemis malaria. Hal ini juga mendapat
21
dukungan yang kuat dalam bentuk sumber dana dan asistensi teknis dari WHO dan UNICEF, serta mitra lainnya. Sebagai hasil dari upaya pemberantasan malaria di seluruh dunia, saat ini 80 negara sedang dalam fase pemberantasan malaria, 12 negara sedang memasuki fase pre-eliminasi, 11 negara sudah memasuki fase eliminasi dan 6 negara dalam fase mencegah masuknya kembali malaria di daerah fokus penularan. Dalam tahun 2007, Uni Emirates Arab telah mendapat sertifikat bebas malaria dari WHO. 11 negara lainnya yaitu Algeria, Argentina, Armenia, Korea Utara, Korea Selatan, Egypt, El Salvador, Iraq, Paraguay, Saudi Arabia dan Turkmenistan sedang dalam fase eliminasi. Eliminasi malaria adalah kondisi dimana terputusnya penularan malaria setempat sehingga tidak diketemukan penderita baru dalam suatu wilayah geografi, walaupun kasus import masih ditemukan dan intervensi penanggulangan masih tetap diperlukan (WHO, 2008b). Malaria juga menjadi masalah kesehatan dan pembangunan di kawasan Asia Tenggara, 687 juta orang tinggal di wilayah berisiko tinggi tertular malaria, diperkirakan 90-160 juta penduduk di kawasan ini terinfeksi malaria dan lebih dari 120.000 meninggal karena malaria setiap tahunnya. Penyakit malaria seringkali menyebabkan terjadinya wabah yang menyerang semua kelompok umur sehingga merupakan masalah serius bagi kesehatan masyarakat (Narain, J.P., 2008) Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini
mempengaruhi
tingginya angka kematian bayi, balita dan ibu hamil. Pada tahun 2007 di
22
Indonesia terdapat 396 (80%) Kabupaten endemis dari 495 Kabupaten yang ada, dengan perkiraan sekitar 45% penduduk berdomisili di daerah yang berisiko tertular malaria (Depkes RI., 2009c). Penduduk yang tinggal di daerah risiko penularan tinggi ( 1/1000) sebanyak 83.536.000 jiwa (37%), penduduk yang tinggal di daerah dengan risiko penularan rendah (< 1/1000) sebanyak 30.760.000 (14%) jiwa, sedang sisanya (49%) tinggal di daerah bebas malaria (WHO, 2009a). Selama periode praeradikasi situasi penyakit malaria di Indonesia sangat buruk, diperkirakan di Pulau Jawa-Bali saja terdapat sekitar 30 juta penderita malaria dan 120.000 kematian karena malaria terjadi setiap tahunnya. Setelah periode eradikasi pada tahun 1964, Jawa-Bali praktis bebas dari penyakit malaria. Tahun 1965 angka kesakitan malaria mulai meningkat kembali. Pada tahun 1965 tercatat 10.011 penderita malaria, yang meningkat menjadi 117.056 penderita malaria pada tahun 1970 dan meningkat tajam menjadi 346.233 penderita pada tahun 1973 dan 229.693 pada tahun 1974 karena terjadinya letusan di Jawa dan Bali. Kemudian jumlah penderita malaria dilaporkan kembali menurun sampai 78.854 orang pada tahun 1979 dan pada periode tahun 1990 jumlah penderita malaria statis pada angka 20.000 orang pertahun bahkan turun hingga mencapai 7.089 orang pada tahun 1995. Sejak tahun 1996 terjadi peningkatan jumlah penderita malaria di Indonesia, jumlah penderita malaria meningkat mencapai 101.852 pada tahun 2000 (WHO, 2009b). Situasi angka kesakitan malaria selama tahun 2000-2008 relatif cenderung menurun, yaitu pada tahun 2000 angka kesakitan malaria sebesar 51,6 per 1.000 penduduk dan menurun menjadi 15,05 per 1.000 penduduk pada tahun
23
2008. Angka kematian malaria selama tahun 2000-2008 juga cenderung menurun, tahun 2000 angka kematian malaria sebesar 2,69% dan menurun menjadi 0,01% pada tahun 2008. Selama tahun 2000-2008 angka kesakitan malaria cenderung fluktuatif, pada tahun 2004 angka kesakitan malaria sebesar 0,15 per 1.000 dan meningkat menjadi 0,19 per 1.000 pada tahun 2006, kemudian menurun kembali menjadi 0,16 per 1.000 pada tahun 2008 (Depkes RI., 2009a).
Sumber : Depkes RI, 2009a Gambar 1. Trend API di Jawa-Bali tahun 2004-2008
Data dari Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan bahwa di wilayah Jawa-Bali program pengendalian penyakit malaria lebih berhasil dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia sehingga prevalensi malaria Jawa-Bali < 0,5%. Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria diatas prevalensi nasional yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Depkes RI., 2008).
24
Secara epidemiologis wilayah kepulauan di Indonesia dibagi dalam 2 wilayah yaitu Jawa-Bali dengan jumlah penduduk sekitar 70% dari seluruh populasi di Indonesia merupakan daerah hypo-endemik area dan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua penderita malaria lebih banyak diketemukan merupakan daerah antara hypo-endemik ke hyper-endemik area (WHO, 2009b). Tujuan dari pemberantasan malaria adalah menurunkan angka kesakitan malaria sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Ketika angka kesakitan malaria < 5 per 1.000 penduduk di suatu negara atau kabupaten atau ketika Slide Positivity Rate (SPR) < 5% diantara penderita demam yang datang ke pelayanan kesehatan, maka negara atau kabupaten tersebut harus memulai transisi dari program pemberantasan malaria ke program eliminasi, tahap ini disebut fase pre-eliminasi. Setelah itu, apabila angka kesakitan malaria pada suatu negara atau kabupaten sudah mencapai < 1 per 1000 penduduk, maka program pemberantasan harus menyesuaikan ke strategi fase eliminasi. Pada fase eliminasi strategi pemberantasan malaria terutama ditujukan pada pencapaian cakupan populasi dalam berbagai upaya pencegahan dan akses ke pelayanan pengobatan. Strategi pemberantasan dalam program eliminasi
malaria secara garis besar meliputi
deteksi kasus, pencegahan terjadinya penularan, pengelolaan fokus malaria dan pengelolaan kasus malaria import, dengan tujuan utama mencegah terjadinya penularan setempat dan eliminasi fokus penularan. Apabila jumlah penderita sudah menurun sangat rendah, maka pencegahan malaria import dari luar wilayah dan pencegahan masuknya kembali malaria dari luar menjadi sesuatu yang sangat
25
penting untuk ditingkatkan. Setelah 3 tahun fase eliminasi apabila tidak ditemukan kasus malaria dari penularan setempat dibuktikan dengan surveilans yang baik maka tahap selanjutnya adalah fase pencegahan masuknya kembali malaria dan pemberian sertifikat eliminasi oleh WHO (Depkes RI., 2009b).
Gambar 2. Tahapan eliminasi malaria (Sumber: Depkes RI, 2009b) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang eliminasi malaria di Indonesia. Sasaran Eliminasi Malaria di Indonesia secara bertahap, yaitu eliminasi malaria di Kepulauan Seribu (Provinsi DKI), pulau Bali dan pulau Batam pada tahun 2010, eliminasi malaria di pulau Jawa, NAD dan Kepulauan Riau pada tahun 2015, eliminasi malaria di pulau Sumatera (kecuali NAD dan Riau), Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Sulawesi pada tahun 2020 dan eliminasi malaria
26
di Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku pada tahun 2030. Yang dimaksud dengan eliminasi malaria adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam suatu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus import serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap diperlukan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali. Untuk mencapai fase eliminasi malaria tersebut perlu dilakukan 4 kegiatan utama, yaitu: 1) pencegahan dan pengendalian faktor risiko malaria, 2) penemuan penderita dan penatalaksanaan kasus, 3) penguatan surveillance epidemiology dan penanggulangan wabah, 4) penguatan upaya komunikasi informasi edukasi tentang pencegahan dan eliminasi malaria (Depkes RI., 2009b). Surveilans merupakan kegiatan yang mengaplikasikan pengumpulan, pengolahan, penyajian dan penyebarluasan data kepada mereka yang memerlukan. Kemudian definisi surveilans berkembang menjadi suatu kegiatan sistematis, terus menerus
dalam pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data yang
dipergunakan untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi upaya kesehatan masyarakat. Dalam hal ini tindakan kesehatan masyarakat sebagai hasil interpretasi data masih belum masuk dalam bagian surveilans. Sistem surveillans-respons merupakan suatu kegiatan utama dalam setiap fase menuju eliminasi malaria. Dengan sistem surveillans-respons maka dapat dilakukan penemuan dan pengobatan dini penderita malaria, penyelidikan epidemiologi dan tindakan pemberantasan yang tepat serta pemantauan dan evaluasi hasil kegiatan selanjutnya dapat ditetapkan angka kesakitan malaria
27
masing-masing wilayah, sehingga dapat dilakukan stratifikasi dan pemetaan wilayah menurut fase eliminasi. Status eliminasi malaria tidak mungkin dapat ditetapkan begitu saja dalam suatu negara, provinsi, pulau atau kepulauan tanpa mengetahui status eliminasi malaria di tingkat kabupaten/kota, sehingga pengembangan strategi untuk mencapai eliminasi malaria di tingkat kabupaten/kota sangat diperlukan agar dapat dipergunakan untuk menetapkan status eliminasi malaria di tingkat provinsi, kepulauan/pulau dan akhirnya pemberian sertifikat eliminasi malaria oleh WHO untuk Indonesia. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sudah lebih dari satu dekade ”berperang” melawan malaria. Berdasarkan data diketahui bahwa penyakit malaria di Kabupaten Kulon Progo, angka kesakitannya fluktuatif . Sejak tahun 1989 sampai dengan 1992 dengan bantuan JICA dilakukan intensifikasi program pemberantasan malaria, hasilnya insidens menurun dari 0,30 pada tahun 1998 dan menjadi 0,19 per 1000 penduduk pada tahun 1992. Pada tahun 1993 insidens malaria meningkat lagi karena terjadinya KLB di Kecamatan Kokap. Pada tahun 1994 angka kesakitan malaria menjadi 5,54 per 1000 penduduk, tahun 1995 sebesar 2,56 dan tahun 1996 sebesar 3,54 per 1000 penduduk (Dinas Kesehatan Kab. Kulon Progo, 1996). Peningkatan penderita penyakit malaria di Kabupaten Kulon Progo terjadi lagi sejak tahun 1998, dan puncaknya pada tahun 2000 diketemukan 37.967 penderita positif malaria. Pada dekade terakhir, melalui berbagai upaya pengendalian malaria yang intensif, khususnya melalui upaya pengendalian malaria terpadu di
28
kawasan Bukit Menoreh bersama 2 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo, terjadi penurunan yang sangat tajam angka angka kesakitan malaria di Kabupaten Kulon Progo (Dinas Kesehatan Kab. Kulon Progo, 2009). Tahun 2000 masih diketemukan 37.967 penderita positif malaria, tetapi pada tahun 2009 hanya ditemukan 93 penderita positif malaria, bahkan dari 88 desa di Kabupaten Kulon Progo, 82 desa (93%) sudah bebas malaria dan sisanya 6 desa (7%) adalah desa Low Case Incidence(LCI). 40000
35000
30000
25000
Penderita pos malaria
20000
15000
10000
5000
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 3. Trend penderita positif malaria 2000-2009 (Sumber: Dinas Kesehatan Kab. Kulon Progo, 2009) Walaupun sudah terjadi penurunan angka kesakitan malaria dalam 5 tahun terakhir, kasus penularan setempat dan kasus import masih merupakan masalah utama. Dalam periode tahun 2007-2009 dari 88 desa yang ada, setiap tahun rerata 10% desa merupakan desa dengan kasus indigenous. Dalam tahun 2009 berdasarkan klasifikasi, diantara 93 penderita positif malaria, 73 orang (78,5%)
29
merupakan kasus import dan 15 orang (16%)
merupakan kasus indigenous
(Dinkes Kab. Kulon Progo, 2009). Dalam tahun 2010 penderita positif malaria di Kabupaten Kulon Progo menurun menjadi 32 kasus (API 0,03 %o), berdasarkan data klasifikasi , 18 orang (56,3%) merupakan kasus indigenous dan 14 orang (43,7%) merupakan kasus import. Jumlah sediaan darah yang diperiksa hanya 12.038 sediaan darah (ABER 2,46%). Tahun 2011 penderita positif malaria di Kabupaten Kulon Progo kembali meningkat tajam tiga kali lipat bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2010. Sampai dengan Oktober 2011 sudah diketemukan 76 penderita positip malaria (API 0,15%o), berdasarkan data klasifikasi 45 orang (60%) merupakan kasus indigenous dan 31 orang (40%) merupakan kasus import. Jumlah sediaan darah yang diperiksa menurun hanya 4.495 sediaan darah (ABER 1%) (Dinkes Kab. Kulon Progo, 2011). Jumlah sediaan darah yang diperiksa jumlahnya sangat kurang, sehingga sebetulnya patut diduga adanya kasus malaria yang tersembunyi yang belum terjangkau oleh aktifitas surveilans malaria di Kabupaten Kulon Progo. Dugaan ini diperkuat dengan tingginya angka plasmodium dalam bentuk gamet yang diketemukan dalam pemeriksaan mikroskopis yaitu, tahun 2010 sebanyak 11 kasus (34%) dan tahun 2011 sebanyak 35 kasus (46%). Tingginya angka plasmodium dalam bentuk gamet yang diketemukan menunjukkan rendahnya kinerja penemuan penderita yang berdampak meningkatnya potensi penularan setempat. Jumlah Juru Malaria Desa (JMD) menurun dari tahun ke tahun, tercatat 84 orang pada tahun 2006 dan hanya 30 orang pada tahun 2011. Mobilitas penduduk penduduk di wilayah Kabupaten Kulon Progo cukup tinggi,
30
sehingga berpotensi terjadinya kasus import dari daerah endemis malaria. Mobilitas penduduk yang tinggi ini disebabkan oleh karena mata pencaharian sebagian penduduk yang bekerja sebagai pengebor minyak didaerah endemis malaria (Kalimantan, Sumatera dan Papua) dan tingginya mobilitas penduduk transmigran diluar Jawa yang pulang kampung. Data hasil surveilans malaria di Kabupaten Kulon Progo telah dikumpulkan dan diolah dengan baik, tetapi pemanfaatannya masih terbatas hanya untuk keperluan pelaporan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu Dinas Kesehatan Provinsi dan Pusat. Bentuk pengolahan data hasil surveilans malaria di Kabupaten Kulon Progo sebagian besar berupa format pelaporan, belum terarah untuk menghasilkan informasi yang penting yang terkait dengan distribusi dan determinan penyakit malaria yang sangat berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya penularan setempat. Hal ini dapat terjadi karena lemahnya kemampuan untuk melakukan analisis dan interpretasi data malaria sehingga menghasilkan informasi epidemiologis yang penting untuk proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masih tingginya kejadian penularan setempat penyakit
malaria di
Kabupaten Kulon Progo antara lain disebabkan oleh kurang efektifnya pelaksanaan sistem surveilans respons malaria yang berakibat masih terjadinya penularan malaria setempat yang dapat memicu munculnya KLB malaria. Sehingga untuk menuju status eliminasi malaria di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dikembangkan prototipe surveilans respons malaria yang dapat menghasilkan informasi epidemiologi malaria, yang
31
diperlukan untuk perencanaan dan tindakan pemberantasan yang efektif dan efisien menuju eliminasi malaria.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan surveilans malaria dan kondisi menjelang tahun 2015 di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Bagaimana pola penularan malaria dan mengapa masih terjadi penularan setempat di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Bagaimana pengembangan prototipe surveilans-respons dalam program eliminasi malaria di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang eliminasi malaria belum banyak dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa penelitian tentang eliminasi malaria yang telah dilakukan antara lain: a. Lee P.W., et al. (2010) melakukan penelitian tentang pre-eliminasi malaria di pulau Principe, Republik Sao Tome’ dan Principe (STP). Strategi menuju preeliminasi
malaria
meliputi
penyemprotan
rumah
(Indoor
Residual
Spraying/IRS), penggunaan kelambu berinsektisida Long Lasting Insecticide Nets/LLINs) diagnosis dini dan pengobatan segera dengan Artemicinine Combination Therapy/ACT. Setelah 5 tahun (2003-2008) melalui upaya
32
penanggulangan yang efektif, melalui kombinasi IRS, LLINs, pengobatan dengan ACT berhasil mencapai tingkat malaria yang rendah dan stabil di pulau Principe, dengan catatan harus ditindak lanjuti dengan surveilans aktif untuk mengikuti dan memantau penderita malaria tanpa gejala dan kasus import. b. Penelitian tentang pre-eliminasi malaria dilakukan juga di Sri Lanka oleh Rajakaruna R.S., et al. (2010) di 2 kabupaten dengan riwayat endemis malaria, yaitu kabupaten Arunadhapura dan Kurunegala. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai besarnya prevalensi kasus malaria yang tersembunyi, setelah beberapa tahun dalam keadaan penularan rendah di wilayah tersebut. Metodenya dengan mengambil sampel darah penduduk yang tinggal di 2 kabupaten tersebut berumur 5-55 tahun tanpa gejala demam yang dipilih secara acak. Pemeriksaan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan untuk mengetahui adanya Plasmodium falsiparum dan Plasmodium vivak secara bersamaan. Hasilnya dari 1.322 sampel yang diperiksa dengan PCR ternyata tidak ada satu pun sampel yang mengidap parasit malaria. c. Atkinson M., et al. (2010) melakukan penelitian tentang partisipasi masyarakat untuk mencapai eliminasi malaria di wilayah Provinsi Tafea, Republik Vanuatu. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam dan lokakarya di 3 desa untuk mengetahui persepsi masyarakat dan praktek sehari-hari masyarakat dalam mencegah penularan malaria, khususnya dalam penggunaan kelambu berinsektisida. Hasilnya pada daerah dengan katagori penularan rendah untuk
33
tetap mempertahankan partisipasi masyarakat menuju eliminasi malaria perlu dilakukan pemantauan kualitatif di daerah sentinel meliputi kultur sosial masyarakat, kebiasaan, praktek sehari-hari masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan malaria, jejaring sosial, kerjasama lintas sektor, kampanye media dan motivasi terus menerus pada masyarakat untuk mendapatkan partisipasi masyarakat menuju eliminasi malaria. d. Hedi, et al. (2010) melakukan penelitian tentang data dasar penyebaran malaria di Pulau Tanna, Republik Vanuatu menuju eliminasi malaria. Survei parasit dilakukan dan melibatkan 4.716 orang yang berasal dari 220 desa, dengan menggunakan Global Position System (GPS). Kesimpulan dari penelitian ini di Pulau Tanna, Republik Vanuatu terdapat fokus penularan malaria. Peta daerah risiko malaria sangat penting dalam penyusunan rencana strategis untuk intervensi malaria di pulau Tanna. Penelitian Pengembangan Prototipe Surveilans Respons dalam Program Eliminasi malaria yang akan dilakukan menggunakan pendekatan surveilansrespons seperti konsep WHO. Pengembangan prototipe surveilans respons dibuat untuk lebih meningkatkan kemampuan melakukan analisis dan interpretasi data malaria sehingga menghasilkan informasi epidemiologi yang penting untuk proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Lee P.W., et al., (2010) melakukan penelitian tentang strategi menuju pre-eliminasi malaria dari segi respons kesehatan masyarakat saja, sedang Rajakaruna R.S., et al., (2010) melakukan penelitian tentang metode deteksi kasus untuk menuju pre-eliminasi malaria. Atkinson M., et al. (2010) melakukan penelitian tentang partisipasi masyarakat
34
untuk mencapai eliminasi malaria, sedangkan Hedi, et al., (2010) melakukan penelitian tentang perlunya data dasar penyebaran malaria tanpa upaya respons kesehatan masyarakat, berupa respons segera atau respons terencana. Penelitan pengembangan prototipe surveilans-respons dalam program eliminasi malaria ini akan menggunakan tekhnologi informasi dengan pendekatan ilmu epidemiologi yaitu sistem sureveilans respons dan ilmu geografi yaitu sistem informasi geografi. Dalam penelitian ini wilayah desa/kelurahan akan digunakan sebagai unit analisis untuk menetapkan status eliminasi malaria suatu wilayah kabupaten. Dengan unit analisis wilayah desa/kelurahan diharapkan diperoleh informasi yang lebih akurat untuk menetapkan eliminasi ke tingkat administratif yang lebih tinggi, kecamatan, kabupaten, pulau dan provinsi. Selain itu dalam penelitian ini untuk tingkat puskesmas akan digunakan wilayah dusun sebagai unit analisis, sehingga akan menghasilkan informasi yang lebih akurat D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan Umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan
prototipe
surveilans-respons dalam program eliminasi malaria di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta . 2. Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengetahui bagaimana pelaksanaan surveilans malaria dan kondisi menjelang tahun 2015 di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Daerah Istimewa
35
2. Mengetahui bagaimana pola penularan malaria dan mengapa masih terjadi penularan setempat di Kabupaten Kulon Progo,
Daerah Istimewa
Yogyakarta. 3. Mengetahui bagaimana prototipe surveilans-respons dalam program eliminasi malaria,
di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Program Pemberantasan Malaria Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai strategi menuju eliminasi malaria dan wacana pengembangan prototipe surveilansrespons untuk kabupaten/kota dalam mencapai eliminasi malaria. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar penelitian lebih lanjut untuk pengembangan prototipe Sistem Surveilansrespons dalam program eliminasi malaria yang lokal spesifik.