BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang semakin meningkat prevalensinya. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 171 juta penduduk dunia mengidap DM dan diperkirakan akan menjadi 366 juta pada tahun 2030 (Wild dkk., 2004). DM merupakan suatu penyakit kelainan metabolisme glukosa dalam tubuh yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, maupun keduanya (ADA, 2010). DM dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan, kecacatan, bahkan kegagalan pada beberapa organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2010). Data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa 7.8% penduduk Amerika mengidap DM pada tahun 2007. Total biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika untuk mengatasi DM pada tahun 2007
1 sebesar 174 milyar dolar (CDC, 2007). Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, perlu dikembangkan suatu terapi untuk menanggulangi DM. Solusi-solusi yang pernah ditawarkan antara lain penggunaan antidiabetic oral maupun injeksi insulin, namun terapi tersebut dirasa kurang efektif untuk mengatasi DM dikarenakan masih banyaknya efek samping yang ditimbulkan dan penggunaan yang memerlukan teknik khusus, oleh karena itu dikembangkan alternatif terapi lain seperti penggunaan hormon insulin melalui membran mukosa dan oral. Diantara berbagai sistem penghantaran obat yang dikembangkan, pemberian per oral merupakan
1
2
pemberian obat yang lebih praktis, mudah, dan tidak membahayakan bagi pasien, tetapi efisiensi rute per oral dalam menyerap makromolekul obat seperti insulin sangat rendah, yaitu sekitar 3% dari jumlah insulin yang dikonsumsi (Frokjaer dan Otzen, 2005). Hal itu dikarenakan kerentanan insulin terhadap degradasi enzimatik protease. Berbagai pendekatan telah diusulkan untuk mengatasi hambatan dan mencapai bioavailabilitas oral yang lebih baik, termasuk penggunaan surfaktan, pemberian enhancer, inhibitor protease, pelapisan/enkapsulasi enterik, dan sistem pembawa (Nakashima dkk., 2004). Salah satu strategi yang potensial untuk mengatasi hambatan tersebut adalah menggunakan formulasi nanopartikel. Nanopartikel Insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin dan kitosan-karagenan dilaporkan dapat melindungi insulin dari degradasi enzimatik protease (Rosyidi, 2015; Daud, 2015). Penggunaan nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin dan kitosankaragenan secara per oral merupakan suatu terobosan baru, sehingga untuk mengetahui efektivitas polimer pembawa kitosan-pektin dibanding kitosankaragenan dalam melindungi insulin dari degradasi enzimatik protease dan untuk mengetahui aktivitas sediaan nanopartikel insulin, perlu dilakukan pengukuran kadar insulin dalam serum darah selama waktu tertentu untuk mendapatkan data profil kadar insulin dalam serum darah tiap satuan waktu. Parameter kadar insulin dalam serum darah tiap satuan waktu digunakan untuk menentukan efektivitas polimer pembawa kitosan-pektin dan kitosan-karagenan serta menentukan aktivitas nanopartikel insulin karena semakin banyak insulin yang mencapai peredaran darah sistemik, maka dapat dikatakan semakin baik polimer pembawa tersebut untuk
3
melindungi insulin dari degradasi enzimatik protease, sehingga diperkirakan aktivitas nanopartikel insulin akan meningkat.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pemberian per oral suspensi nanopartikel insulin menunjukkan kadar insulin dalam serum darah tikus betina Wistar yang lebih tinggi jika dibandingkan pemberian per oral suspensi insulin tanpa formulasi nanopartikel? 2. Apakah pemberian per oral suspensi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin menunjukkan kadar insulin dalam serum darah tikus betina Wistar yang berbeda jika dibandingkan pemberian per oral suspensi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-karagenan?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Membandingkan kadar insulin dalam serum darah tikus betina Wistar setelah pemberian per oral insulin dengan formulasi dan insulin tanpa formulasi nanopartikel
2.
Membandingkan kadar insulin dalam serum darah tikus betina Wistar setelah pemberian per oral nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosanpektin dan nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-karagenan.
4
D. Urgensi Penelitian Penggunaan nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin dan kitosan-karagenan secara per oral merupakan suatu terobosan baru, sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas polimer pembawa nanopartikel insulin untuk melindungi insulin dari degradasi enzimatik protease dan untuk mengetahui aktivitas nanopartikel insulin yang digunakan secara per oral. Data yang didapat adalah profil kadar insulin dalam serum darah tiap satuan waktu. Data ini nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan terapi insulin secara per oral menggunakan polimer pembawa yang lebih baik dan sebagai bahan pertimbangan pemilihan terapi sehingga terapi DM menjadi lebih praktis, efisien, efek samping minimal, sistem lebih tertarget, dan mempunyai aktivitas yang lebih baik dibandingkan terapi DM lain.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kelainan metabolik yang
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah atau hiperglikemia hingga ≥ 126 mg/dL saat puasa dan ≥ 200 mg/dL setelah makan atau postprandial. Meningkatnya kadar glukosa darah ini akibat dari kelainan sekresi insulin, aksi insulin, maupun keduanya (ADA, 2010). Peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia ditandai dengan beberapa gejala, diantaranya adalah sering buang air kecil (polyuria), sering haus
5
(polidipsia), penurunan bobot tubuh, kadang disertai dengan rasa lapar berlebihan (polyphagia) dan mata buram (ADA, 2010). Estimasi prevalensi DM pada orang dewasa di seluruh dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta (6,4%) dan nilai ini diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 439 juta (7,7%) pada tahun 2030 (Shaw dkk., 2010). Sedangkan berdasarkan riset kesehatan dasar 2013, prevalensi DM di Indonesia sebesar 2,1% (Balitbangkes, 2013). DM dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan, kelainan, maupun kegagalan beberapa organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2010). Selain itu, penderita DM memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit kardiovaskular, vaskular perifer, dan cerebrovascular (Alberti dkk., 1999). Beberapa kondisi patologis dapat memicu terjadinya DM, seperti penyakit autoimun. Sistem imun yang biasanya mengeliminasi antigen asing, dalam keadaan autoimun justru akan menyerang pankreas sehingga akan menyebabkan rusaknya sel beta-pankreas dan terjadi defisiensi insulin. Akibatnya, insulin yang di sekresi tidak mampu mengimbangi jumlah glukosa dalam darah sehingga terjadi penumpukan glukosa darah dan terjadi DM (ADA, 2010). Secara umum terdapat dua jenis utama DM, yaitu: a. Diabetes mellitus tipe 1, juga disebut Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
6
b. Diabetes mellitus tipe 2, juga disebut Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM), disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap insulin atau sering juga disebut resistensi insulin (Ozougwu dkk., 2013). DM tipe 1 disebabkan karena gangguan autoimun pada sel beta pancreas dan terjadi pada 5-10 % dari total kasus DM. Gangguan autoimun menyebabkan kerusakan sel β pankreas yang mengakibatkan defisiensi absolut insulin, sehingga penderita akan sangat tegantung pada suntikan insulin dari luar (ADA, 2010). DM tipe 1 ini umumnya berkembang sejak masa kanak-kanak atau remaja. DM tipe 2 merupakan tipe DM yang lebih umum dengan jumlah penderita lebih banyak dibandingkan dengan DM Tipe 1. Berbeda dengan DM tipe 1, jumlah insulin pada fase awal patologis DM tipe 2 cukup dapat dideteksi di dalam darah. Artinya pada awal patofisiologis, DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin dan kerusakan sel beta pankreas, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini sering disebut sebagai Resistensi Insulin (Departemen Kesehatan RI, 2005). Berikut ini adalah karakteristik klinis pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2: Tabel I. Karakteristik Klinis dari Pasien DM Tipe 1 dan Tipe 2 (Guyton dan Hall, 2006)
Perihal Onset (umur) Berat badan Insulin plasma
DM Tipe 1 Biasanya < 20 tahun Rendah hingga normal Rendah atau tidak ada
Glukagon plasma
Tinggi dapat ditekan
Glukosa plasma Sensitivitas insulin Terapi
Meningkat Normal Insulin
DM Tipe 2 Biasanya > 30 tahun Obesitas Normal hingga tinggi awalnya Tinggi tidak dapat ditekan Meningkat Menurun Penurunan berat badan, tiazolidindion, metformin sulfonilurea, insulin
7
Terapi yang biasa digunakan pada IDDM adalah injeksi insulin intermediate sebanyak 2 kali sehari, dikombinasikan dengan insulin short acting sebelum sarapan dan makan siang, injeksi glargine pada malam hari dan preprandial lispro atau aspart, serta pemberian insulin secara kontinyu melalui subkutan mengguanakan alat infus. Pasien dengan NIDDM dapat diatasi dengan mengatur diet dan olah raga saja atau dengan tambahan obat penurun glukosa oral, insulin, atau kombinasi obat oral dan insulin (Kasper dkk., 2005).
2.
Hormon Insulin Insulin adalah hormon polipeptida pankreas yang disekresi oleh sel-sel β
pankreas sebagai respon terhadap berbagai rangsangan seperti glukosa, karbohidrat, arginin, sulfonilurea, serta berbagai agen saraf, endokrin dan farmakologi, meskipun glukosa secara fisiologis adalah penentu utama (Joshi dkk., 2007). Insulin terdiri dari 51 residu asam amino yang terbentuk sebagai hasil pemotongan proinsulin melalui reaksi enzimatik sehingga menghasilkan protein dimer, tersusun dari rantai A dan rantai B yang dihubungkan melaui jembatan disulfida (Gambar 1) (Krentz, 2008). Pada struktur sekunder, rantai A terdiri dari dua α-helix yang antiparalel sedangkan rantai B membentuk satu α-helix diikuti oleh suatu tekukan dan sebuah β-sheet. Susunan insulin dalam struktur tersier sangat penting dalam menentukan aktivitas biologisnya (Whittingham dkk, 2002).
8
Gambar 1. Struktur Primer Insulin (Krentz, 2008)
Insulin memiliki titik isoelektrik 5,3 dan bermuatan -2 hingga -6 pada pH 7-11. Insulin sangat mudah membentuk dimer, hexamer, dan agregat yang lebih besar. Insulin berada dalam bentuk monomer yang aktif pada konsentrasi rendah di dalam plasma (<10-3 uM). Insulin tersedia di dalam tubuh dengan proporsi yang konstan untuk menyimpan glukosa darah yang berlebih menjadi glikogen. Tubuh akan menggunakan glukosa yang tersimpan melalui proses glikogenolisis ketika kadar glukosa dalam darah turun hingga mencapai level tertentu. Sekresi insulin memiliki ritme diurnal dimana sekresi insulin akan meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari (Boden dkk., 1996). Sel-sel β pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama, sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan (postprandial). Insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel β dan siap pakai. Sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya (Joshi dkk., 2007; Merentek, 2006).
9
Melalui Radioimmunoassay, diketahui bahwa sekresi insulin pada keadaan normal diregulasi dan paralel dengan perubahan kadar glukosa darah. Pada saat konsumsi makanan, insulin dalam plasma meningkat tiga 3 - 5 kali dengan puncak pada 30 - 60 menit setelah makan dan akan kembali ke level sebelumnya dalam 2 3 jam. Aksi biologis insulin dimulai ketika insulin berikatan pada reseptornya. Insulin merupakan hormon anabolik, dan ketika berikatan pada reseptornya akan menyebabkan berjalannya jalur aktivasi protein yaitu: translokasi transporter glukosa pada membran plasma dan influks glukosa, sintesis glikogen, glikolisis dan sintesis asam lemak. Insulin diketahui menghambat pelepasan asam lemak bebas dan gliserol dari jaringan adiposa (Chien, 1996).
Gambar 2. Mekanisme Sekresi Insulin pada Sel Beta Pankreas (Dodson dan Steiner, 1998)
Sekresi insulin oleh sel beta pankreas secara umum dirangsang oleh glukosa. Glukosa diangkut kedalam sel beta melalui glukosa transporter tipe 2 (GLUT-2), yang nantinya difosforilisasi oleh heksokinase menjadi glukosa-6-P yang akan dimetabolisme lebih lanjut menghasilkan ATP. Peningkatan ATP akan
10
menghambat ATP-sensitive-K-channel. Hal ini akan mengakibatkan depolarisasi membran sel beta dan merangsang kanal ion kalsium terbuka sehingga kalsium akan masuk ke dalam sel beta. Kalsium yang masuk akan merangsang pelepasan insulin melalui proses eksositosis (Gambar 2) (Dodson dan Steiner, 1998). Sekresi insulin juga dapat dirangsang oleh lemak, asam lemak bebas, badan keton, asam amino tertentu, asetilkolin, dan vasoactive intestinal polypeptide (VIP) (Belfiore dan Iannello, 2000). Insulin pertama kali ditemukan oleh Banting dan Best pada tahun 1921. Insulin kemudian tersedia untuk pasien DM pada 1922, diekstraksi dari pankreas porcine dan bovine yang memiliki perbedaan terhadap insulin manusia sebanyak satu dan tiga asam amino. Sediaan insulin pertama berupa larutan dengan kemurnian rendah (1 unit/mL) dan beraksi pendek. Pasien harus melakukan injeksi sendiri sebanyak 4 hingga 6 kali sehari dengan volume yang cukup besar sehingga cukup menyakitkan dan dapat menyebakan reaksi pada kulit berupa inflamasi akibat adanya kontaminan. Karena sediaan bersifat antigenik, tubuh dapat memproduksi antibodi insulin yang dapat menunda onset dan memperlama durasi (Bliss, 2007). Dengan berkembangnya teknologi, sediaan insulin dapat terstandarisasi dan tersedia dalam konsentrasi 40 dan 80 unit/mL, hingga sekarang terdapat sediaan dengan konsentrasi 100 unit/mL dan waktu paruh insulin setelah dinjeksikan adalah sekitar 40 menit (Joshi dkk., 2007). Sejak tahun 1950an, dikembangkan sediaan insulin yang memiliki aksi lebih lama dengan menambahkan senyawa-senyawa kimia pada dapar untuk membentuk insulin mikrokristal yang diabsorpsi secara
11
lambat dari subkutan menuju darah. Zinc ditambahkan pada sediaan Lente dan Ultralente, sedangkan protamine dan sejumlah kecil zinc ditambahkan pada NPH (Neutral Protamine Hagedorn) (Deckert, 1980). Pembuatan insulin manusia menggunakan teknologi rekombinan DNA mulai dilakukan pada akhir tahun 1980an sehingga penggunaan insulin dari hewan mulai ditinggalkan. Insulin manusia memiliki onset yang sedikit lebih cepat dan durasi yang lebih pendek (Bliss, 2007). Insulin manusia berbentuk serbuk mikrokristal kering dengan berat molekul 5808 Da. Insulin mengendap pada pH isoelektriknya 5,3 dan larut pada pH 2-3. Untuk tujuan terapi, dosis insulin dinyatakan dalam International Unit (IU). Satu IU insulin setara dengan 38,5 μg bahan kering (World Health Organization, 1987). Satu IU merupakan jumlah insulin yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar gula darah kelinci sehat dengan berat 2 kg yang telah dipuasakan selama 24 jam hingga 2,5 mmol/L (45 mg/dL) dalam 5 jam. Sediaan homogen human insulin mengandung 25-30 IU/mg (Departemen Kesehatan RI, 2005). Insulin tidak memiliki efek hipoglikemik yang signifikan ketika diberikan secara peroral dikarenakan insulin mengalami inaktivasi dalam saluran gastrointestinal. Absorpsi insulin melalui injeksi intramuskular lebih cepat dibandingkan melalui injeksi subkutan. Insulin manusia dapat diabsorpsi sedikit lebih cepat pada jaringan subkutan dibandingkan insulin porcine atau bovine. Insulin dimetabolisme secara cepat terutama di dalam hati serta di ginjal dan jaringan otot. Di ginjal, insulin direabsorpsi pada tubula proksimal kemudian dikembalikan ke dalam aliran darah atau dimetabolisme dan hanya sebagian kecil yang diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh (Sweetman, 2009). Insulin
12
memiliki struktur yang halus sehingga proses formulasi dapat mempengaruhi stabilitasnya (Bilati dkk., 2005). Reaksi degradasi yang paling sering terjadi pada insulin adalah deamidasi dan polimerisasi. Deamidasi yang cukup besar terjadi pada residu Asn A21 dalam larutan asam. Pada suasana netral, deamidasi terjadi pada residu Asn B3 dengan kecepatan degradasi yang relatif lebih rendah (Brange dkk., 1992b). Temperatur yang tinggi dapat mempercepat pembentukan dimer dan polimer insulin secara kovalen (Brange dkk., 1992a).
3.
Nanopartikel Nanopartikel didefinisikan sebagai dispersi partikel atau partikel - partikel
padatan dengan ukuran dalam rentang 10-1000 nm (Mohanraj dan Chen, 2007). Skala nano juga dapat diartikan ketika partikel pada skala ukuran tersebut memiliki sifat yang secara umum berbeda dengan partikel besar skala makro (McNeil, 2011). Ukuran nanomaterial mirip dengan sebagian besar molekul biologis tubuh yang berukuran kurang dari 100 nm (McNeil, 2005). Nanomedisinal merupakan salah satu aplikasi teknologi nano dibidang medis dan memiliki rentang aplikasi yang luas meliputi diagnosis biomedik hingga terapi dan penghantaran obat. Nanomedisinal dihasilkan dari manipulasi atom atau molekul yang pada umumnya memiliki rentang ukuran 1-100 nm, meskipun partikel untuk penghantaran obat dan diagnosis dapat memiliki rentang ukuran 2-1000 nm (Bawarski dkk., 2008). Pengembangan partikel <100 nm lebih diutamakan karena memiliki sifat fisika yang unik sehingga memiliki sifat biologis yang berbeda dan bermanfaat. Untuk mencapai partikel ukuran <100 nm lebih mudah dilakukan pada material
13
yang keras dibandingkan pada obat dan polimer (lebih lunak). Material-material o
yang keras dengan titik lebur di atas 1000 C seperti silika, logam oksida, dan berlian telah dibuat nanopartikel dalam ukuran 1 - 100 nm. Molekul obat pada o
umumnya merupakan material yang lunak dengan titik lebur di bawah 300 C sehingga lebih sulit untuk dibuat nanopartikel dengan ukuran 1-100 nm. Karena alasan tersebut biasanya nanopartikel obat dan polimer dibuat pada ukuran < 300 nm (Gupta, 2006). Banyak sistem penghantaran obat skala nano yang dapat dibuat dengan mengkombinasikan berbagai material dan molekul nano. Pembawa pada sistem penghantaran obat skala nano dapat dimanipulasi sehingga bekerja pada jaringan yang spesifik. Nanopartikel dapat menghantarkan obat hasil rekayasa bioteknologi melewati berbagai anatomi tubuh yang ekstrim seperti sawar otak, cabang saluran sistem pernafasan pada paru-paru, tight junction sel epitelial usus serta dapat berpenetrasi secara baik pada tumor yang memiliki pori-pori dengan diameter 1001000 nm (Rawat dkk., 2006). Menurut Mohanraj dan Chen (2007), beberapa keuntungan penggunaan nanopartikel dalam penghantaran obat diantaranya adalah: 1. Ukuran
partikel
dan
karakteristik
permukaan
nanopartikel
mudah
dimanipulasi untuk memperoleh penghantaran obat yang tertarget baik secara aktif maupun pasif. 2. Dapat mengontrol dan memperlama pelepasan obat pada lokasi spesifik sehingga merubah distribusi obat pada organ serta klirens sehingga dapat meningkatkan efikasi dan mengurangi efek samping.
14
3. Karakteristik pelepasan dan degradasi partikel dapat diatur dengan pemilihan penyusun matriks yang digunakan. 4. Dapat memuat obat dalam jumlah relatif banyak tanpa reaksi kimia. 5. Dapat digunakan pada target tempat yang spesifik dengan menempelkan ligan tertentu pada permukaan partikel atau menggunakan pemandu magnetik. 6. Dapat digunakan untuk berbagai macam rute pemberian obat meliputi oral, nasal, parenteral, dan intra-okular. 7. Akses yang mendalam pada sel dan organela. 8. Mudah tersuspensi dalam cairan. 9. Partikel yang berukuran kurang dari 200 nm dapat dengan mudah disterilisasi dengan filtrasi menggunakan filter 0,22 um.
Gambar 3. Skema Teknik Umum Produksi Nanopartikel (Gupta, 2006)
Produksi material nano dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu secara “top-down” dan “bottom-up”. Pendekatan “top-down” dilakukan melalui pengecilan ukuran secara fisika sehingga didapatkan ukuran partikel pada skala nanometer sedangkan pendekatan “bottom-up” dilakukan melalui reaksi kimiawai
15
seperti presipitasi agar diperoleh ukuran partikel yang lebih besar dari dispersi molekular (Sanguansri dan Augustin, 2006). Penumbukan atau penggilingan merupakan metode paling lama yang digunakan untuk mengecilkan ukuran partikel padat dalam jumlah banyak. Pada metode ini, penekanan diberikan pada material yang menyebabkan pecahnya partikel. Dengan menurunnya ukuran partikel, sifat plastis material akan meningkat sehingga semakin sukar untuk dipecah. Dibutuhkan energi yang cukup besar untuk memecah material hingga mencapai ukuran nano. Sebagian besar proses pengecilan ukuran obat menggunakan penggilingan basah dengan kecepatan tinggi untuk memperoleh nanopartikel. Waktu yang dibutuhkan pada proses penggilingan basah mencapai hitungan jam hingga hari sehingga obat harus memiliki stabilitas yang cukup. Masalah yang lain pada proses penggilingan adalah kemungkinan kontaminasi dari media penggiling (Gupta, 2006). Pada proses presipitasi suatu larutan untuk memperoleh nanopartikel, obat dilarutkan pada pelarut yang sesuai untuk mendapatkan larutan molekuler. Kemudian presipitasi nanopartikel dicapai dengan menghilangkan pelarut secara cepat atau dengan menambahkan antisolvent pada larutan sehingga mengurangi kekuatan pelarutan. Pada tahap awal akan terbentuk nuklei yang akan tumbuh karena kondensasi dan koagulasi sehingga menghasilkan partikel nano (Gupta, 2006). Metode yang paling sering digunakan untuk membuat nanopartikel adalah metode gelasi ionik, yaitu metode untuk membuat formulasi nanopartikel menggunakan polimer polisakarida. Pada metode ini, polisakarida dilarutkan dalam
16
air atau medium asam lemah. Larutan ini kemudian ditambahkan dengan cara diteteskan pada larutan lain yang mengandung counter ion dalam pengadukan yang konstan. Adanya perbedaan muatan antara polisakarida dan counter ion menyebabkan terjadi kompleksasi dan presipitasi yang menghasilkan partikel sferis (Tiyaboonchai, 2003).
4.
Nanopartikel Insulin Nanopartikel insulin dalam penelitian ini dibuat dengan metode gelasi ionik,
yaitu metode yang umum digunakan untuk membuat formulasi nanopartikel menggunakan polimer polisakarida. Pada metode ini, polisakarida dilarutkan dalam air atau medium asam lemah. Larutan ini kemudian ditambahkan dengan cara diteteskan pada larutan lain yang mengandung counter ion dalam pengadukan yang konstan. Adanya perbedaan muatan antara polisakarida dan counter ion menyebabkan terjadi kompleksasi dan presipitasi yang menghasilkan partikel sferis (Tiyaboonchai, 2003). Polimer polisakarida yang digunakan untuk membuat nanopartikel insulin adalah polimer kombinasi kitosan dan pektin maupun kombinasi kitosan dan karagenan (Daud, 2015; Rosyidi, 2015). Nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan dan cross linker pektin telah berhasil diformulasikan dan dioptimasi oleh Daud dalam tesisnya tahun 2015 yang berjudul “Formulasi dan Karakterisasi Nanopartikel Insulin Menggunakan Polimer Kitosan Bobot Molekul Rendah dan Pektin dengan Metode Gelasi Ionik”. Sedangkan nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan dan cross linker karagenan telah berhasil
17
diformulasikan dan dioptimasi oleh Rosyidi dalam tesisnya tahun 2015 yang berjudul “Formulasi Nanopartikel Insulin Menggunakan Kitosan Bobot Molekul Sedang dan Karaginan dengan Teknik Gelasi Ionik”. Kitosan ditemukan pertama kali oleh C. Roughet pada tahun 1859 yang diperoleh dengan memasak kitin dalam basa (Aranaz dkk., 2009). Kitosan (2Amino-2-deoxy-(1,4)-b-D-glucopyranan; chitosani hydrochloridum; deacetylated chitin; deacetylchitin; b-1,4-poly-D-glucosamine; poly-D- glucosamine; poly-(1,4b-D-glucopyranosamine)) (Gambar 4) merupakan polisakarida turunan kitin yang terdapat pada cangkang krustasea dan serangga. Struktur kitosan terdiri dari unitunit glukosamin dan N-asetil-glukosamin yang tersusun secara berulang. Gugus amina pada kitosan memiliki pKa 6,5 sehingga tidak larut pada pH netral tetapi akan larut dan bermuatan positif pada pH asam (Hejazi dan Amiji, 2003; Singla dan Chawla, 2001).
Gambar 4. Struktur Molekul Kitosan (Rowe dkk., 2009)
Kitosan memiliki sifat mukoadhesif (Deacon dkk., 2000). Muatan positif pada kitosan akan berinteraksi secara elektrostatis dengan residu asam sialat pada
18
mucin yang bermuatan negatif (pKa= 2,6) pada pH fisiologis (Deacon dkk., 2000; Wang dkk., 2000). Kitosan dalam bentuk partikel mikro atau nano juga menunjukkan sifat mukoadhesif (Behrens dkk., 2002; Dhawan dkk., 2004; Kockisch dkk., 2003). Kitosan mendapat perhatian besar sebagai sumber material yang sesuai dikarenakan sifat biologisnya yang menguntungkan yaitu biokompatibel, biodegradabel dan non-toksik dengan LD50 peroral lebih dari 16 g/kg (Hirano, 1996). Sifat kitosan yang relatif aman, kemampuan untuk memperlama waktu tinggal pada saluran cerna akibat sifat mukoadhesif, serta kemampuan untuk meningkatkan absorpsi melalui peningkatan permeabilitas selular menyebabkan kitosan sangat berpotensi digunakan sebagai bahan sediaan oral. Meskipun kitosan ditoleransi baik secara klinis, akan tetapi disarankan untuk tidak diberikan kepada individu yang alergi terhadap udang-udangan yang mungkin dapat menyebabkan reaksi alergi dan efek samping serius, walaupun hingga sekarang belum tersedia informasi tentang reaksi alergi yang berkaitan dengan produk ini. Ikatan β-(1,4) glikosidik dari kitosan hanya akan terdegradasi oleh mikroflora β-glycosidase di bagian bawah dari usus besar dan menghasilkan produk degradasi yang tidak beracun (Aranaz dkk., 2009) Karakteristik kimia kitosan yang dapat mempengaruhi sifat dan aplikasinya di antaranya adalah derajat deasetilasi (DD), berat molekul, kelarutan dan muatan. a.
Derajat Deasetilasi (DD) Derajat deasetilasi (DD) kitosan adalah persentasi gugus asetil yang dapat
dihilangkan dari kitin untuk membuat kitosan. Nilai DD yang tinggi menunjukkan
19
bahwa gugus asetil pada kitosan rendah. Semakin rendah gugus asetil, maka interaksi antara ion-ion dengan ikatan hidrogen dari kitosan akan menjadi lebih kuat (Winarti dkk., 2008). Nilai DD penting untuk sifat biokompatibilitas dan kelarutan kitosan (Kumar, 2000). Nilai DD untuk kitosan komersial biasanya 70-95% dan untuk aplikasi medis 70-100%. Untuk tujuan penghantaran gen nilai DD yang sesuai adalah ≤ 80%, sedang untuk sistem penghantaran obat nilai DD harus lebih tinggi (Aranaz dkk., 2009). b. Bobot Molekul Rentang bobot molekul (BM) kitosan yang sangat luas yaitu antara 5-2000 kDa, dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu kitosan BM rendah (5-20 kDa), kitosan BM medium (sekitar 100 kDa) dan kitosan BM tinggi (> 300 kDa). Disebutkan bahwa kitosan BM rendah memiliki bioaktivitas lebih tinggi dari pada kitosan BM medium dan BM tinggi (Chien dkk., 2007). Untuk tujuan penghantaran gen disarankan menggunakan kitosan BM rendah (sekitar 10 kDa). Sedang untuk sistem penghantaran obat, kitosan BM tinggi lebih disukai (Aranaz dkk., 2009). c. Kelarutan dan Muatan (Charge) Kitosan bersifat basa lemah dan larut di dalam pelarut asam seperti asam asetat, asam format dan asam laktat yang mempunyai nilai pKa di bawah pKa kitosan (6,0-6,5). Kelarutan kitosan umumnya meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH pelarut. Hal ini terjadi karena pada pH rendah dapat mengubah unit glukosamin (-NH2) menjadi bentuk terprotonasi ammonium kuartener (-NH3+), sebuah polielektrolit kationik yang mudah larut air. Pada kondisi
20
ini muatan permukaan nanopartikel kitosan menjadi positif, sehingga dapat berinteraksi dengan permukaan yang bermuatan negatif. Sedang pada pH yang lebih tinggi ketika pH mendekati pKa kitosan, karena gugus amino menjadi deprotonasi dan kehilangan muatannya maka terbentuklah polimer kitosan netral yang tidak larut. Kelarutan kitosan tergantung pada asal biologisnya, berat molekul dan derajat deasetilasinya (Kumar, 2000; Amani, 2012; Uma dan Shilpa, 2013) Pektin adalah kompleks dari kelompok heteropolisakarida yang menjadi bagian utama dari dinding sel tumbuhan dikotil dan beberapa monokotil, berperan penting pada pertumbuhan, perkembangan dan penuaan tumbuhan (Morris dkk., 2010). Pektin diekstraksi dari beberapa produk citrus yang berbeda seperti buah apel, zaitun dan jeruk di bawah kondisi sedikit asam. Pektin adalah polimer alami yang dikenal karena sifat biodegradabel dan biokompatibelnya yang sangat baik. Pektin telah diteliti perannya dalam sistem penghantaran obat tertarget dan potensi aplikasi biomedis lainnya (Mishra dkk., 2012). Pektin merupakan polisakarida anionik yang tersusun atas unit asam Dgalakturonik yang terhubung melalui ikatan 1-4 glikosidik. Unit asam galakturonik ini memiliki gugus-gugus karboksil yang beberapa di antaranya secara alami terdapat dalam bentuk asam karboksilat, metil ester, atau amida, dapat direaksikan dengan ammonia menghasilkan gugus karboksiamida (Mishra dkk., 2012). Perbandingan unit galakturonik yang teresterifikasi terhadap unit galakturonik total pada pektin disebut dengan derajat esterifikasi (DE). Semakin banyak gugus karboksil yang tidak teresterifikasi berarti DE-nya semakin rendah.
21
Derajat esterifikasi residu asam galakaturonik dari pektin adalah parameter yang paling penting yang mempengaruhi kelarutan pektin dan kemampuan pektin membentuk gel dan film (Liu dkk., 2007). Derajat esterifikasi (DE) didefinisikan sebagai persentase gugus karbonil yang diesterifikasi dengan metanol atau asam asetat.
Gambar 5. Struktur Molekul Pektin (Hastuti dkk., 2013)
Pektin terutama terbagi ke dalam kelompok pektin metoksil tinggi atau High Metilation (HM) dan pektin metoksil rendah atau Low Metilation (LM). Pektin dengan derajat metil esterifikasi > 50% diketahui sebagai pektin metoksil tinggi, sebaliknya pektin metoksil rendah mempunyai nilai DE < 50%. Umumnya pektin komersial, memiliki DE tinggi sekitar 65% dengan pKa 3,55(Morris dkk., 2010). Pektin diketahui terdegradasi dengan cepat oleh mikroorganisme di kolon yang menjadikan pektin berpotensi sebagai pembawa bagi penghantaran obat tertarget pada kolon. Pektin juga memiliki keuntungan lainnya yaitu pektin dapat dengan mudah disesuaikan dalam formulasi hidrogel, selaput film, mikrosfer dan nanopartikel yang dapat digunakan untuk membawa berbagai protein dan obat (Mishra dkk., 2012). Karagenan (carrageenan, chondrus extract, E407, Gelcarin, Genu, Grindsted, Hygum TP-1, Irish moss extract, Marine colloids, SeaSpen PF,
22
Viscarin) merupakan hidrokoloid yang diperoleh melalui ekstraksi menggunakan air atau air alkali dari beberapa anggota kelas ganggang merah (Rhodophyceae). Karagenan merupakan kopolimer ester kalium, natrium, kalsium, magnesium, dan amonium sulfat dari galaktosa dan 3,6- anhidrogalaktosa (Gambar 6) (Rowe dkk., 2009).
Gambar 6. Struktur Molekul Karagenan (Rowe dkk., 2009)
Karagenan dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi, basis gel, agen penstabil, agen pensuspensi, agen sustained-release, serta agen peningkat viskositas. Karagenan telah digunakan dalam formula berbagai bentuk sediaan
23
nonparenteral diantaranya adalah suspensi, emulsi, gel, krim, lotion, tetes mata, suppositoria, tablet, dan kapsul (Rowe dkk., 2009). Karagenan dibedakan dalam tiga famili berdasarkan posisi dari gugus sulfat dan keberadaan anhidrogalaktosa (Gambar 6). Karagenan-λ merupakan polimer yang tidak membentuk gel, mengandung 35% ester sulfat dan tidak terdapat 3,6anhidrogalaktosa. Karagenan-ɩ merupakan polimer yang membentuk gel, mengandung 32% ester sulfat dan sekitar 30% 3,6- anhidrogalaktosa. Karagenan-κ merupakan polimer yang sangat membentuk gel, mengandung 25% ester sulfat dan sekitar 34% 3,6-anhidrogalaktosa (Rowe dkk., 2009). Karagenan memiliki daya mukoadhesi yang baik dan dapat digunakan pada formulasi penghantaran obat secara oral dan bukal. Karagenan telah digunakan dalam mikroenkapsulasi protein dan bakteri probiotik (Kailasapathy, 2002; Patil dan Speaker, 2000). Karagenan juga dapat digunakan dalam nanoenkapsulasi molekul obat secara spontan serta mengatur pelepasan obat (Oliva dkk., 2002). Formulasi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin dihasilkan melalui reaksi gelasi ionik, diawali dengan interaksi antara muatan positif kitosan (NH3+) dengan muatan negatif insulin. Setelah terjadi enkapsulasi insulin dalam matriks kitosan, maka akan terbentuk suatu nanopartikel. Gugus (NH3+) yang tersisa pada polimer kitosan dalam satu kompleks partikel akan saling tolak menolak satu sama lain yang menyebabkan ketidakstabilan kompleks. Penambahan pektin yang bermuatan negatif dengan adanya gugus (COO -) akan mengaitkan polimer kitosan satu dengan yang lain, membentuk kunci yang akan mencegah kitosan yang sudah mengenkapsulasi insulin untuk terburai/terlepas. Hal
24
ini akan meningkatkan kestabilan nanopartikel terbentuk sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Ilustrasi Pembentukan Nanopartikel Insulin yang Terenkapsulasi Matriks Polimer Kitosan-Pektin (Daud, 2015)
Formula optimal nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosanpektin didapat dengan perbandingan konsentrasi insulin : kitosan : pektin sebesar 0,1% : 0,05% : 0,4%; menghasilkan entrapment efficiency sebesar 63,59% ± 2,17% dan ukuran partikel sebesar 228,3 nm ± 26,3 nm (Daud, 2015).
Gambar 8. Serbuk Nanopartikel Insulin Hasil Liofilisasi (Daud, 2015)
25
Hasil liofilisasi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan pektin berbentuk serbuk kasar dengan warna coklat muda. Insulin bovine pancreas yang digunakan berwarna putih, sehingga warna tersebut berasal dari kombinasi warna polimer kitosan yang berwarna krem dan pektin yang berwarna coklat muda (Gambar 8) Nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin memiliki nilai indeks polidispersitas (IP) sebesar 0,354 ± 0,042 (Daud, 2015). Nilai IP menentukan homogenitas dispersi atau distribusi ukuran partikel dengan rentang 0-1. Nilai mendekati 1 mengindikasikan memiliki distribusi ukuran partikel yang luas/heterogen (polidispers), sedangkan yang kurang dari 0,7 menunjukkan distribusi ukuran partikel yang homogen (monodispers) (Nidhin dkk., 2008). Hal ini berarti distribusi ukuran nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosanpektin seragam dan homogen. Nanopartikel insulin ini juga cukup stabil. Hal ini terlihat dari nilai zeta potensial nanopartikel menunjukkan angka lebih dari (+/-) 30 mV, yaitu sebesar -49,40 ± 11,59 mV (Daud, 2015). Formulasi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan karagenan dihasilkan melalui reaksi gelasi ionik, diawali dengan interaksi antara muatan positif kitosan (NH3+) dengan muatan negatif insulin. Setelah terjadi enkapsulasi insulin dalam matriks kitosan, maka akan terbentuk suatu nanopartikel. Gugus (NH3+) yang tersisa pada polimer kitosan dalam suatu kompleks partikel akan saling tolak menolak satu sama lain yang menyebabkan ketidakstabilan kompleks (Daud, 2015). Penambahan karagenan yang bermuatan negatif dengan adanya gugus (SO4-) akan mengaitkan polimer kitosan satu dengan yang lain,
26
membentuk kunci yang akan mencegah kitosan yang sudah mengenkapsulasi insulin untuk terurai/terlepas (Rosyidi, 2015)
Gambar 9. Ilustrasi Pembentukan Nanopartikel Insulin yang Terenkapsulasi Matriks Polimer Kitosan-Karagenan (Rosyidi, 2015)
Formula optimal nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosankaragenan didapat dengan perbandingan konsentrasi insulin : kitosan : karagenan sebesar 0,1% : 0,1% : 0,01%; menghasilkan entrapment efficiency sebesar 46,07% ± 1,09% dan ukuran partikel sebesar 169,5 nm sampai 179,5 nm (Rosyidi, 2015).
Gambar 10. Serbuk Nanopartikel Insulin Hasil Liofilisasi (Rosyidi, 2015)
27
Hasil liofilisasi berupa material nanopartikel padat berwarna putih yang memiliki tekstur seperti jaring yang menempel pada alas dan dinding wadah (Gambar 10). Tekstur seperti jaring yang terbentuk dikarenakan masih terdapat polimer kitosan BM sedang yang tidak berinteraksi dengan karagenan membentuk nanopartikel. Polimer kitosan BM sedang tersebut saling terangkai sehingga membentuk struktur seperti jaring (Rosyidi, 2015) Nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-karagenan cukup stabil. Hal ini terlihat dari nilai zeta potensial nanopartikel menunjukkan angka lebih dari (+/-) 30 mV, yaitu sebesar +38,8 mV. Potensial zeta bernilai positif menunjukkan bahwa permukaan partikel yang terbentuk didominasi oleh muatan positif yang berasal dari kitosan BM sedang dan insulin. Sebagian besar muatan negatif dari karagenan diperkirakan telah berinteraksi dengan muatan positif kitosan BM sedang dan insulin untuk membentuk tautan silang sehingga terbentuk nanopartikel yang kompak. (Rosyidi, 2015).
5.
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay) adalah suatu metode analitik
kuantitatif yang memanfaatkan reaksi antara antigen dan antibodi untuk memperoleh perubahan warna yang dapat diukur intensitasnya dengan menggunakan konjugat terikat enzim dan substrat enzim untuk mengidentifikasi keberadaan suatu senyawa dalam cairan biologis (Aydin, 2015). Metode ELISA ditemukan pertama kali pada tahun 1941, namun baru digunakan untuk analisis kuantitatif pada tahun 1960 oleh Yalow dan Berson untuk mendeteksi kadar insulin
28
dalam plasma darah. Istilah ELISA pertama kali dicetuskan oleh Carlson pada tahun 1972 (Aydin, 2015). Prinsip kerja ELISA adalah mendeteksi suatu senyawa berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Antigen yang digunakan dalam metode ELISA diikat dalam suatu fase padat, seperti microplate yang terbuat dari polistirena, polivinil, dan polipropilen. Kemudian ditambahkan suatu antibodi yang sudah diikat dengan suatu enzim. Enzim yang biasa digunakan adalah beta galaktosidase, glukosa oksidase, peroksidase, dan alkalin fosfatase. Selanjutnya ditambahkan suatu substrat enzim agar terjadi perubahan warna. Warna yang terbentuk inilah yang selanjutnya diukur intensitasnya pada ELISA plate reader untuk diperoleh nilai Optical Density (OD). Jumlah senyawa dalam sampel akan sebanding dengan intensitas warna yang terbentuk (Aydin, 2015).
Gambar 11. Jenis ELISA (Aydin, 2015)
29
Secara umum, ELISA dibagi menjadi 2 kategori yaitu Homogeneous Enzymatic Immunoassay dan Heterogeneous Enzymatic Immunoassay (Gambar 11). Pada Homogeneous Enzymatic Immunoassay, enzim menjadi inaktif saat berikatan dengan antibodi, dan tidak ada tahap pencucian ketika memisahkan antigen dari medium. Homogeneous Enzymatic Immunoassay dirancang untuk mengukur senyawa dalam jumlah yang relatif kecil, seperti kadar obat dalam cairan biologis. Sedangkan Heterogeneous Enzymatic Immunoassay adalah metode immunoassay yang lebih sering digunakan. Pada metode ini dilakukan tahap pencucian untuk menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan. Metode ini lebih sensitif dari Homogeneous Enzymatic Immunoassay dan digunakan untuk menetapkan kadar antigen atau antibodi yang terlarut dalam cairan biologis. Metode Heterogeneous Enzymatic Immunoassay dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu Direct ELISA, Indirect ELISA, Sandwich ELISA, dan Competitive ELISA (Aydin, 2015). Direct ELISA adalah metode ELISA yang pertama kali ditemukan, yaitu pada tahun 1971 oleh Engvall dan Perlmann. Metode ELISA ini cocok digunakan untuk menetapkan kadar antigen yang mempunyai BM besar. Ke dalam plate yang sudah mengandung sampel antigen terlarut, ditambahkan suatu antibodi terikat enzim. Kemudian ditambahkan substrat yang sesuai agar terjadi perubahan warna. Warna yang terbentuk inilah selanjutnya diukur untuk didapatkan nilai OD (Aydin, 2015). Indirect ELISA dikembangkan tahun 1978 oleh Lindström dan Wager yang terinspirasi dari metode direct ELISA untuk menetapkan kadar IgG babi. Metode
30
ini disebut metode ELISA tidak langsung karena untuk menetapkan kadar sampel tidak digunakan antibodi primer, melainkan menggunakan antibodi sekunder yang terikat enzim. Antigen yang terlarut dalam medium ditambahkan suatu antibodi primer dan diinkubasi selama waktu tertentu, kemudian ditambahkan antibodi sekunder yang terikat oleh enzim. Selanjutnya ditambahkan substrat yang sesuai agar terjadi perubahan warna. Warna yang terbentuk inilah selanjutnya diukur untuk didapatkan nilai OD (Aydin, 2015). Sandwich ELISA adalah metode yang dikembangkan pada tahun 1977 oleh Kato. Pada metode ini, plate ELISA yang akan digunakan telah dilapisi dengan suatu antibodi. Kemudian sampel antigen ditambahkan agar terjadi reaksi antigen dan antibodi. Antigen yang sudah berikatan dengan antibodi tidak dapat hilang karena pencucian. Selanjutnya ditambahakan suatu antibodi sekunder yang terikat enzim. Kemudian ditambahkan substrat yang sesuai agar terjadi perubahan warna. Warna yang terbentuk inilah selanjutnya diukur untuk didapatkan nilai OD. Metode ini 2 – 5 kali lebih sensitif dari metode ELISA lainnya (Aydin, 2015). Competitive ELISA dikembangkan oleh Yorde pada tahun 1976. Pada metode ini antibodi ditambahakan ke dalam plate, lalu ditambahakan sampel antigen dan antibodi yang telah terikat enzim. Selanjutnya antibodi yang terikat enzim dan antibodi yang tidak terikat enzim saling berkompetisi untuk berikatan dengan antigen. Setelah plate dicuci, ditambahkan substrat yang sesuai agar terjadi perubahan warna. Warna yang terbentuk inilah selanjutnya diukur untuk didapatkan nilai OD. Kelemahan metode ini adalah intensitas warna yang terbentuk cukup
31
rendah dan terkadang tidak menggambarkan jumlah antigen dalam sampel (Aydin, 2015).
Gambar 12. Urutan Prosedur ELISA: (A) Direct ELISA (B) Indirect ELISA (C) Sandwich ELISA (D) Competitive ELISA (Aydin, 2015)
Kelebihan metode ELISA adalah sensitif dan spesifik untuk mendeteksi sampel berupa protein dan peptida. Kelebihan dan kekurangan untuk masing – masing metode ELISA dapat dilihat pada Tabel II.
32
Tabel II. Kelebihan dan Kekurangan Metode ELISA (Aydin, 2015)
Tipe Direct
Indirect Sandwich Competitive
Fungsi Menetapkan kadar antibodi Menetapkan kadar antigen/antibodi Menetapkan kadar antigen Menetapkan kadar antibodi
Kekurangan Kemungkinan posistif palsu tinggi Tidak spesifik -Intesitas warna yang terbentuk kurang
Kelebihan --
Sensitivitas tinggi Sensitivitas sangat tinggi Sensitivitas tinggi
F. Landasan Teori Diabetes Mellitus (DM) dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan, kelainan, maupun kegagalan beberapa organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2010). Selain itu, penderita DM memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit kardiovaskular, vaskular perifer, dan cerebrovascular (Alberti dkk., 1999). Solusi – solusi yang pernah ditawarkan untuk mengatasi DM antara lain penggunaan antidiabetic oral maupun injeksi insulin. Namun terapi tersebut dirasa kurang efektif untuk mengatasi DM dikarenakan masih banyaknya efek samping yang ditimbulkan dan penggunaan yang memerlukan teknik khusus. Pemberian insulin secara per oral merupakan terobosan baru yang dapat dikembangkan untuk terapi DM yang efektif dan mempunyai efek samping minimal. Selain itu, rute pemberian per oral merupakan rute pemberian obat yang lebih praktis, mudah, dan tidak membahayakan bagi pasien. Akan tetapi efisiensi rute per oral dalam menyerap makromolekul obat seperti insulin sangat rendah,
33
yaitu sekitar 3% dari jumlah insulin yang dikonsumsi (Frokjaer dan Otzen, 2005). Hal itu dikarenakan kerentanan insulin terhadap degradasi enzimatik protease. Salah satu strategi yang potensial untuk mengatasi hambatan tersebut adalah menggunakan formulasi nanopartikel. Nanopartikel Insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin dan kitosan-karagenan dilaporkan dapat melindungi insulin dari degradasi enzimatik protease (Rosyidi, 2015; Daud, 2015). Menurut Damge (2007) ketika nanopartikel insulin diformulasikan dengan kitosan dan diberikan secara oral, konsentrasi insulin dalam plasma meningkat. Hal tersebut membuktikan bahwa polimer kitosan dapat meningkatkan kestabilan insulin dalam saluran cerna. Kitosan adalah polimer yang banyak digunakan dalam pembuatan nanopartikel insulin. Kombinasi sifat mukoadesif dan kemampuan membuka sementara tight junction, dapat melindungi insulin dari degradasi enzimatik protease dan meningkatkan absorpsi insulin (Tiyaboonchai, 2003; Vigi, 2009). Kitosan dan karagenan merupakan polimer alam yang telah diteliti dapat digunakan untuk membentuk nanopartikel dengan ukuran 400-600nm (Grenha dkk., 2010). Pektin adalah polimer anionik yang memiliki muatan negatif pada kondisi pH > pKa (3,55) karena adanya gugus karboksil bebas yang berasal dari asam D-galakturonik yang dapat bertindak sebagai counter ion (Hastuti dkk., 2013; Mishra dkk., 2012). Muatan negatif tersebut dapat berinteraksi dengan muatan positif kitosan menghasilkan nanopartikel dengan metode gelasi ionik. Rosyidi (2015) telah berhasil membuat nanopartikel insulin menggunakan polimer pembawa kitosan dan karagenan dengan perbandingan konsentrasi insulin
34
: kitosan : karagenan sebesar 0,1% : 0,1% : 0,01%, sedangkan nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan dan pektin telah berhasil dibuat oleh Daud (2015) dengan perbandingan konsentrasi insulin : kitosan : pektin sebesar 0,1% : 0,05% : 0,4%. Berdasarkan konsentrasi komponen penyusun nanopartikel, insulin yang diformulasikan dengan menggunakan polimer kitosan dan cross linker pektin mempunyai konsentrasi cross linker yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan insulin yang diformulasikan menggunakan polimer kitosan dan cross linker karagenan. Hal ini memungkinkan insulin yang diformulasikan menggunakan kitosan – pektin akan lebih terlindungi dan memberikan kadar insulin dalam serum darah yang jauh lebih tinggi dibanding dengan insulin yang diformulasikan menggunakan kitosan – karagenan pada menit yang sama bila dilakukan uji secara in vivo karena cross linker dapat meningkatkan interaksi ionik antara polimer pembawa nanopartikel (Rosyidi, 2015; Daud, 2015).
G. Hipotesis 1.
Pemberian suspensi nanopartikel insulin per oral menunjukkan kadar insulin dalam serum darah tikus betina Wistar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemberian suspensi insulin per oral tanpa formulasi nanopartikel.
2.
Pemberian per oral suspensi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-pektin menunjukkan kadar insulin dalam serum darah tikus betina Wistar yang lebih tinggi jika dibandingkan pemberian per oral suspensi nanopartikel insulin dengan polimer pembawa kitosan-karagenan.