BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di negaranegara maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan diseluruh dunia, penyakit kardiovaskuler akan meningkat prevalensinya pada tahun 2020 dan menjadi pembunuh pertama tersering yaitu 36% dari seluruh kematian. Penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Gejala klinis penyakit kardiovaskular diantaranya silent iskemia, angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan kematian mendadak (Hamm dkk., 2011). Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2001 melaporkan bahwa dari tiga orang diseluruh dunia, satu orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Penyakit jantung iskemik dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyakit arteri koroner kronik atau chronic coronary artery disease (CAD) yang sering disebut sebagai angina pektoris stabil (stable angina), dan sindrom koroner akut (SKA) atau acute coronary syndromes (ACS). Sindrom koroner akut merupakan salah satu manifestasi penyakit jantung koroner yang paling utama dan paling sering menyebabkan terjadinya kematian (Lumban Raja, 2013). Sindrom koroner akut disebabkan karena ketidakseimbangan antara pasokan oxigen dan kebutuhan oxigen oleh miokard. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan karena adanya robekan plak ateroskerotik dan berkaitan dengan proses
1
inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil /Unstable angina pectoris (UAP), non-ST Elevation myocardial infarction (NSTEMI) maupun ST elevation myocardial infarction (STEMI) (Dipiro dkk., 2008). Management terapi pada sindrom koroner akut (SKA) dilakukan berdasarkan karakteristik SKA yang terjadi yaitu NSTEMI maupun STEMI. Pada STEMI biasanya terjadi karena adanya oklusi/sumbatan mayor pada arteri koroner yang disebabkan oleh trombus, sehingga tujuan terapi pada STEMI yaitu memperbaiki reperfusi jaringan dengan menggunakan trombolisis dan secara mekanik yaitu dengan melakukan PCI (Percutaneous coronary intervention). Sebaliknya pada kasus NSTEMI, biasanya terjadi karena obstruksi pada koroner tidak lengkap atau intermitten, sehingga penggunaan trombolisis tidak direkomendasikan pada keadaan NSTEMI (Latour-Perez dan de-Miguel-Balsa, 2009). Berdasarkan ESC guideline terapi sindrom koroner akut meliputi anti iskemik, antiplatelet, antikoagulan, dan revaskularisasi koroner (Hamm dkk., 2011). Antikoagulan yang direkomendasikan berdasarkan ESC dan ACC/AHA guideline yaitu UFH, fondaparinux, LMWHs, dan direct thrombin inhibitor (bivalirudin). Antikoagulan dapat menghambat aktivitas trombin, dan mencegah terjadinya trombus, namun antikoagulan yang paling efektif masih diperdebatkan (2007). Penggunaan antikoagulan pada sindrom koroner akut masih kontroversial karena adanya indeks terapi yang sempit, dan adanya risiko efek samping
2
terjadinya perdarahan sehingga diperlukan monitoring yang sangat hati-hati (Murphy dkk., 2007). Unfractionated Heparin (UFH) merupakan antikoagulan standar yang digunakan pada sindrom koroner akut. Namun UFH memiliki indeks terapi yang sempit sehingga diperlukan monitoring terhadap nilai a-PTT secara hati-hati. UFH juga tidak dapat menghambat clot-bound trombin
dan berkaitan erat dengan
terjadinya peningkatan aktivitas platelet. Low
Molecular
Wieght
Heparin
(LMWH)
merupakan
bentuk
depolimerisasi dari heparin babi. LMWH memiliki efek lemah terhadap trombin. LMWH memiliki profil farmakokinetika yang lebih mudah diprediksi daripada UFH (Unfractionated Heparin), selain itu LMWH juga memiliki risiko yang lebih rendah daripada UFH dalam menyebabkan terjadinya trombositopenia (Steg dan Juliard, 2004). LMWH juga memiliki risiko terjadinya osteoporosis lebih rendah dibandingkan dengan UFH (Cohen, 2003). Beberapa LMWH yang sering digunakan antara lain enoxaparin, nadroparin, dalteparin, dan generasi terbaru LMWH sintetik yaitu fondaparinux. Efektitivitas penggunaan antikoagulan masih diperdebatkan, namun berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan LMWH terbukti lebih efektif dalam mengurangi risiko terjadinya kematian, stroke, dan infark miokard berulang. Penelitian yang dilakukan oleh Sherman et all mengenai The Efficacy and safety of Enoxaparin versus UFH for The Prevention of Venous Thrmboembolism after Acute Ischaemic Stroke (PREVAIL STUDY): an Open Label Randomised Comparison menunjukkan bahwa enoxaparin menurunkan
3
risiko terjadinya tromboembolisme vena sebesar 43% dibandingkan dengan UFH. Risiko perdarahan yang terjadi pada kelompok enoxaparin dan UFH tidak berbeda signifikan (2007). Dalam penelitian A-Z Trial yang membandingkan antara enoxaparin dengan UFH sebagai terapi tambahan pada pasien sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST yang mendapatkan terapi tirofiban menunjukkan bahwa pada kelompok pasien yang mendapatkan terapi tambahan enoxaparin dapat menurunkan RR sebesar 1% kematian, kejadian MI atau iskemik yang berulang pada 7 hari penggunaan dibandingkan dengan UFH (Steg dan Juliard, 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Goodman et all mengenai Randmized Evaluation of Safety and Efficacy of Enoxaparin Vs UFH in High Risk Patients With Non-ST Segment Elevation ACS Receiving The Glycoproten Iib/IIIa Inhibitor Eptifibatide, menunjukkan bahwa luaran primer yang diukur setelah 96 jam yaitu perdarahan yang terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan bypass arteri koroner pada kelompok eptifibatide dan enoxaparin lebih rendah dibandingkan dengan kelompok eptifibatide dan UFH (1.8 % vs 4.6%). Risiko terjadinya perdarahan mayor pada kelompok eptifibatide dan enoxaparin juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok eptifibatide dan UFH (1.1% vs 3.8%) (2003). Penelitian lainnya yang juga membandingkan antara LMWH (enoxaparin) dengan UFH pada pasien dengan elevasi segmen ST infark miokard yang juga mendapatkan terapi klopidogrel yang dilakukan oleh Sabatine et all menunjukkan bahwa enoxaparin secara signifikan dapat menurunkan risiko kematian, kejadian
4
infark miokard berulang, iskemik, dan stroke dibandingkan dengan UFH selama penggunaan 30 hari (2007). Antikoagulan lainya yang seringkali digunakan pada pasien sindrom koroner akut selain LMWH dan UFH adalah fondaparinux. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan fondaparinux memiliki efektivitas yang sama dengan enoxaparin. Yusuf et all dalam penelitiaan mengenai Comparison of Fondaparinux and Enoxaparin in Acute Coronary Syndromes menunjukkan bahwa luaran primer yang diukur diantara kelompok fondaparinux dan enoxaparin menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan, sedangkan kejadian perdarahan setelah 9 hari terapi menunjukkan bahwa fondaparinux memiliki kejadian perdarahan yang lebih rendah dibandingkan dengan enoxaparin (2006). Sebuah penelitian lain yang membandingkan antara fondaparinux dengan enoxaparin menunjukkan bahwa efektivitas fondaparinux dan enoxaparin hampir sama, akan tetapi keamanan fondaparinux lebih besar dibandingkan dengan enoxaparin ditunjukkan dengan adanya terjadinya perdarahan mayor maupun minor pada kelompok fondaparinux lebih rendah dibandingkan dengan enoxaparin. Penelitian ini juga melakukan analisis biaya antara fondaparinux dengan enoxaparin setelah 6 bulan terapi dengan hasil fondaparinux lebih menghemat biaya terapi dibandingkan dengan enoxaparin (Sculpher dkk., 2009). Latour-Perez et all melakukan sebuah penelitian cost-effevtiveness antara fondaparinux dengan enoxaparin dengan hasil yang serupa yaitu bahwa efektivitas fondaparinux dengan enoxaparin hampir sama, dan fondaparinux lebih
5
menghemat biaya berkaitan dengan terjadinya risiko perdarahan yang lebih rendah (2009). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, ada perbedaan antara LMWH dengan UFH dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mencegah
terjadinya
kematian,
stroke,
infark
miokard
berulang
pada
pengggunaan enoxaparin dan fondaparinux, akan tetapi masih belum adanya penelitian yang membandingkan efektifitas dan biaya fondaparinux dan enoxaparin di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan yaitu: 1. Bagaimana perbandingan efektivitas enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut, dinilai berdasarkan luaran klinis yaitu tidak adanya infark miokard, tidak adanya iskemik dan tidak adanya kematian. 2. Bagaimana perbandingan keamanan enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut, dinilai berdasarkan perdarahan mayor dan minor yang terjadi. 3. Bagaimana perbandingan biaya terapi total pada kelompok enoxaparin dan fondaparinux. C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbandingan efektivitas antara enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut dinilai berdasarkan luaran klinis
6
yaitu tidak adanya infark miokard, tidak adanya iskemik dan tidak adanya kematian. 2. Mengetahui perbandingan keamanan antara enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut dinilai berdasarkan perdarahan mayor dan minor yang terjadi. 3. Mengetahui perbandingan biaya terapi total antara enoxaparin dengan fondaparinux. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi tenaga medis dapat memberikan masukan khususnya tenaga medis yang bekerja di bagian jantung dalam pemilihan antikoagulan yang lebih efektif, dan aman. 2. Bagi rumah sakit sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan pemilihan antikoagulan di rumah sakit pada era BPJS sehingga akan mempermudah pemilihan terapi yang paling tepat dengan biaya terapi total lebih rendah. 3. Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan terkait efektifitas, keamanan, dan biaya terapi total pada pasien sindrom koroner akut E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai efektivitas dan analisis biaya enoxaparin dan fondaparinux yang pernah dilakukan pada beberapa negara yang berbeda seperti terlihat pada.
7
Tabel 1. Penelitian mengenai efektivitas dan analisis biaya enoxaparin dan fondaparinux Nama
Judul
Metode dan
Peneliti dan
Penelitian
Subyek
Tahun
Hasil Penelitian dan Kesimpulan
Penelitian
Penelitian (Yusuf dkk., 2006)
Comparison of Fondaparinux and Enoxaparin in Acute Coronary Syndromes (OASIS 5)
(Sculpher dkk., 2009)
(Marcoff dkk., 2009)
Randomized Control Trial (RCT) Subyek: 20.078 pasien yang diacak untuk mendapatkan
Fondaparinux versus Enoxaparin in non–STelevation acute coronary syndromes: Short-term cost and long-term analisis biaya using data from the Fifth Organization to Assess Strategies in Acute Ischemic Syndromes Investigators (OASIS-5) trial
Randomized Controled Trial (RCT)
CostEffevtiveness of Enoxaparin in Acute STSegment Elevation Myocardial Infarction
Rndomized double blind control (RCT)
Subyek penelitian 20.078 pasien SKA TEST(OASIS-5) pada 41 negara.
Subyek 20.506 pasien dengan STEMI diacak untuk mendapatkan enoxaparin atau UFH
8
- Outcome primer pada pasien yang mendapatkan fondaparinux dan enoxaparin yaitu 5,8 % dan 5,7 %. - Kejadian perdarahan mayor pada hari ke-9 pada fondaparinux lebih rendah dibandingkan enoxaparin yaitu 2,2 % dan 4,1 %. - Fondaparinux dan enoxaparin setara dalam menurunkan risiko kejadian iskemik pada hari ke-9, tetapi fondaparinux menurunkan risiko terjadinya perdarahan mayor dan meningkatkan mortalitas dan morboditas pada pemakaia jangka panjang - Pada hari ke-180 dengan analisis biaya terapi menunjukkan bahwa fondaparinux secara umum dapat menghemat biaya sebesar $ 547 untuk setiap pasien. - Pada hari ke-180 fondaparinux secara dominan lebih cost-effective, dengan biaya lebih rendah dan lebih efektif dalam QOL pasien
- Kejadian kematian atau infark miokard pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan UFH yaitu 9,9 % dan 12 %. - Kejadian perdarahan mayor pada kelompok enoxaparin lebih besar dibandingkan dengan UFH yaitu 2,1 % dan 1,4 %. - ICER enoxaparin dibandingkan dengan UFH adalah $ 5,700 /tahun, dan menggunakan analisis probabilitas menunjukkan bahwa enoxaparin lebih cost-effetive. - Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas enoxaparin dalam
Tabel.1.Lanjutan Nama
Judul Penelitian
Peneliti dan
Metode dan
Hasil Penelitian dan Kesimpulan
Subyek Penelitian
Tahun Penelitian
menurunkan kematian, stroke, perdarahan mayor dan minor lebih baik dibandingkan UFH. (Lumban Raja, 2013)
Analisis Efektivitas Biaya Terapi Heparin dan Fondaparinux Pada Penderita Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST
Kohort prospektif
- Jumlah kematian kelompok heparin vs fondaparinux adalah 6,4% vs 3,2%. - Jumlah yang mengalami stroke kelompok heparin vs fondaparinux adalah 3,2% vs 0%.
Subyek: 62 pasien SKA TESST (31 pasien heparin dan 31 pasien fondaparinux
- Jumlah pendarahan mayor kelompok heparin vs fondaparinux adalah 6,4% vs 0%. - Jumlah pendarahan minor kelompok heparin vs fondaparinux adalah 32,2% vs 6,4%. - Average analisis biaya ratio (ACER) kelompok fondaparinux dibanding heparin adalah Rp. 8.833.736,- vs Rp. 10.878.243, - Fondaparinux lebih cost-effective dibanding heparin
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dalam hal terapi yang dibandingkan yaitu enoxaparin dengan fondaparinux, pemilihan subyek penelitian juga berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu pada pasien dengan sindrom koroner akut (STEMI, dan STEMI), dan pemilihan lokasi penelitian.
9