1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu kelainan dengan karakteristik berupa kolaps secara berulang saluran napas atas baik sebagian maupun total yang terjadi pada saat tidur. Kolaps saluran napas berhubungan dengan penurunan atau berhentinya aliran udara meskipun masih terdapat effort untuk bernapas (DeBacker, 2006). Kolaps saluran napas atas yang terjadi berhubungan dengan terjadinya episode tidur yang terfragmentasi dan penurunan berulang saturasi oksihemoglobin (White, 2006). Gejala tersering OSA adalah mendengkur, kelelahan atau mengantuk sepanjang hari (excessive daytime sleepiness/EDS) (Patil et al., 2007). Gold standard untuk memastikan diagnosis OSA saat ini menggunakan pemeriksaan polisomnografi/PSG (American Academy of Sleep Medicine , 1999). Prevalensi OSA di masyarakat diperkirakan terjadi pada 1 dari 20 populasi dewasa (Young et al., 2002). Obstructive sleep apnea terjadi setidaknya pada 4% laki-laki dan 2% perempuan (McNicholas, 2008). Prevalensi OSA di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5-10% populasi (Hiestand et al., 2006). Penelitian di wilayah Asia (China) menemukan prevalensi OSA pada populasi usia 30-60 tahun sekitar 4,1% laki-laki dan 2,1 % perempuan (Ip et al., 2001; Ip et al., 2004). Data prevalensi OSA pada populasi di Indonesia sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
2
Sebuah penelitian pada salah satu perusahaan taksi di Jakarta menunjukkan sekitar 25% pengemudi kemungkinan menderita OSA (Wiadnyana et al., 2010). Hal ini menunjukkan potensi besarnya masalah OSA di Indonesia. Konsekuensi OSA terbagi atas 2 hal yaitu disfungsi neurokognitif dan masalah kardiovaskular. Disfungsi neurokognitif timbul sebagai akibat tidur yang terfragmentasi dan hipoksemia yang terjadi selama tidur (White, 2006; Durmer et al.,2005; Bucks et al.,2013). Sleep Apnea secara jelas meningkatkan rasa mengantuk (sleepiness) sepanjang hari/EDS (George, 2007). Berbagai kondisi tersebut pada subjek OSA berimplikasi pada kecenderungan tertidur (microsleep), penurunan kesiagaan dan kewaspadaan, penurunan koordinator psikomotor dan akhirnya terjadi perlambatan waktu reaksi (Scott,2003; Durmer et al.,2005; Bucks et al.,2013). Waktu reaksi subjek dengan OSA umumnya lebih lambat (memanjang) dibandingkan subjek tanpa OSA (Mazza et al.,2005; Stoohs, 2013; Gelir
et al., 2014). Perlambatan waktu reaksi pada OSA
kemungkinan
berhubungan
(sleepiness),
kecenderungan
dengan
kelelahan,
tertidur
rasa
mengantuk
(microsleep),
penurunan
kewaspadaan, gangguan psikomotor serta disfungsi kognitif lainnya (Durmer et al.,2005; Bucks et al.,2013). Kondisi OSA berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih rendah, termasuk kualitas tidur yang kurang, fungsi kognitif yang kurang,
3
penurunan kesiagaan dan kewaspadaan serta produktivitas yang rendah (Scott, 2003; Eckert & Malhotra, 2008). Kondisi tersebut disertai peningkatan
rasa
mengantuk
(sleepiness)
pada
OSA
akhirnya
meningkatkan risiko kecelakaan kendaraan bermotor (George, 2007). Data kecelakaan lalu lintas di Indonesia sampai tahun 2009 sebanyak 57.726 kasus yang melibatkan 204.534 kendaraan (Direktorat Jenderal
Perhubungan
Darat
Kementerian
Perhubungan
Republik
Indonesia, 2010). Data kecelakaan di Jakarta yang melibatkan kendaraan komersial dalam hal ini angkutan umum tahun 2009 melebihi angka 2 ribu kasus. Berdasarkan catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, sepanjang tahun 2009 tercatat 2687 kecelakaan yang melibatkan angkutan umum termasuk taksi di dalamnya (Noviansyah, 2010). Risiko kecelakaan selama mengemudi dapat disebabkan oleh faktor manusia, faktor kendaraan dan faktor lingkungan. Carter (2006) menyatakan bahwa lebih dari 95% kasus kecelakaan kendaraan bermotor disebabkan oleh faktor manusia (pengemudi) dan kurang dari 5% disebabkan oleh faktor kendaraan atau lingkungan. Intervensi pada faktor manusia
(pengemudi)
mengurangi
risiko
menjadi
kecelakaan.
sangat
penting
Beberapa
faktor
dilakukan manusia
untuk yang
diindikasikan sebagai penyebab kecelakaan adalah usia, status gizi, tingkat agresivitas, perilaku tidak aman, keterampilan mengemudi, penggunaan obat-obatan atau alkohol selama mengemudi dan kondisi kesehatan (University Health and Safety Policy Committee, University of
4
Ballarat
Australia, 2007). Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan
salah satu kondisi kesehatan yang terkait dengan kejadian kecelakaan transportasi (Scott, 2003; Carter, 2006). Faktor kendaraan merupakan penyebab yang bersifat langsung pada kejadian kecelakaan kendaraan. Faktor tersebut antara lain kondisi kendaraan, perawatan kendaraan, peralatan keselamatan dan faktor ergonomi. Lingkungan juga mempengaruhi terjadinya kecelakaan seperti cuaca, kondisi jalan, mengemudi malam hari, kemacetan, rute perjalanan, jarak tempuh dan lama mengemudi serta pengaturan shift kerja ataupun schedule kerja (Health and Safety Executive Department for Transport UK, 2000; University Health and Safety Policy Committee, University of Ballarat Australia, 2007) Prevalensi OSA pada pengemudi kendaraan
bermotor cukup
tinggi. Data epidemiologis menunjukkan kejadian OSA pengemudi komersil bervariasi 15,8-17,6% (George, 2004). Risiko kecelakaan 2-10 kali lebih tinggi pada pengemudi dengan OSA dibandingkan tanpa OSA (Hartenbaum, 2006). The National Commission On Sleep Disorder Research di Amerika Serikat tahun 1994 melaporkan OSA menjadi penyebab langsung pada 36% kecelakaan yang berakibat fatal, serta 42% hingga 54% dari total kecelakaan yang terjadi (Leger, 1994). Penelitian
terkait
OSA
pada
pengemudi
umumnya
pada
pengendara sepeda motor, pengemudi komersil seperti truk dan bus (George, 2007). Penelitian OSA khusus pada pengemudi taksi masih
5
sangat sedikit dan umumnya menggunakan kuesioner. Gulbay et al. (2003) melaporkan 5,9% pengemudi taksi menunjukkan gejala OSA dan 23,7% menunjukkan excessive daytime sleepiness (EDS). Sebanyak 67,8 % pengemudi taksi mempunyai riwayat kecelakaan dan terdapat hubungan signifikan antara kecelakaan lalulintas yang terjadi dengan EDS dan gejala OSA. Firestone et al. (2009) memperkirakan prevalensi OSA sedang dan berat pada pengemudi taksi di Wellington, Selandia Baru sekitar 18%. Penelitian Wiadnyana et al. (2010) melaporkan kejadian kemungkinan OSA pada pengemudi taksi X di Jakarta sekitar 25%. Berdasarkan hasil penelitian di atas terlihat bahwa potensi kejadian OSA pada pengemudi taksi cukup tinggi sehingga meningkatkan risiko kecelakaan. Kecelakaan pada taksi akan berdampak pada pengemudi, penumpang dan perusahaan. Taksi adalah salah satu moda transportasi yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat di kota-kota besar di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (2010) menunjukkan armada taksi di Indonesia tahun 2009 berjumlah 53.113 dengan 20.642 armada (38,9%) berada di Jakarta. Perusahaan PT. X adalah salah satu perusahaan taksi terbesar di Jakarta dengan jumlah pengemudi taksi meter
sampai Januari 2011
berjumlah 13.042 orang. Pengamatan peneliti dari data rekapitulasi kecelakaan pada pengemudi taksi pool B PT. X
selama tahun 2009
menunjukkan telah terjadi sekitar 3.253 kecelakaan. Data training centre Pool B PT.
X
menunjukkan 60% dari kecelakaan yang terjadi
6
diperkirakan karena mengantuk (sleepiness). Mengantuk bisa terjadi antara lain karena kurang tidur ataupun kualitas tidur yang menurun dan kelelahan. Kondisi tersebut bisa terjadi pada seseorang dengan OSA. Hasil evaluasi pada kasus kecelakaan pengemudi taksi PT X tahun 2009 menunjukkan cukup banyak pengemudi yang mengalami kecelakaan berat terdapat gejala OSA. Penelitian Wati (2010) di PT X menunjukkan bahwa 27,5% pengemudi taksi mengalami kelelahan sebelum kerja dan 43,44% kelelahan sesudah bekerja. Penelitian tersebut menunjukkan telah terjadi penurunan waktu reaksi pengemudi taksi PT X sebelum bekerja yang ditunjukkan dengan waktu reaksi yang memanjang > 240 milidetik. Melihat besarnya masalah OSA dan risiko kecelakaan yang ditimbulkannya,
diperlukan
pengendalian
OSA
pada
pengemudi
kendaraan pada umumnya dan khususnya pada profesi pengemudi taksi. Tatalaksana OSA pada pengemudi taksi dengan OSA diharapkan terjadi perbaikan fungsi kognitif, performa mengemudi, kewaspadaan selama mengemudi meningkat dan angka kecelakaan menurun. Berbagai modalitas terapi OSA tersedia mulai dari modifikasi pola hidup, continuous positive airway pressure (CPAP), oral appliance dan pembedahan. Pemilihan modalitas terapi bersifat individual, tergantung pada beratnya OSA dan karakteristik masing-masing individu (Scottish Intercollogiate Guidelines Network, 2003).
7
Penggunaan CPAP merupakan pilihan utama (treatment of choice) terapi pasien OSA (Ballester, 1999). Penggunaan secara aktif CPAP pada pengemudi dengan OSA menunjukkan perbaikan bermakna performans mengemudi dan perbaikan waktu reaksi (George, 1997). Penggunaan CPAP juga terbukti menurunkan kejadian kecelakaan pada pasien OSA. Findley et al. (2000) melaporkan bahwa pasien OSA yang diterapi nasal CPAP mempunyai rata-rata kecelakaan lebih rendah dibanding sebelum diterapi (0,07 vs 0 kecelakaan per pengemudi pertahun). Sampai saat ini CPAP merupakan pilihan utama terapi pasien OSA (Ballester,1999), tetapi mempunyai keterbatasan terkait kepatuhan penggunaan (compliance) dan ketidaknyamanan (Ballard RD, 2008) serta relatif mahal (Collop et al.,2007;Boughton, 2010). Peneliti berpendapat bahwa penggunaan CPAP sangat baik untuk pengemudi taksi dengan OSA, tetapi akan sulit dilaksanakan terutama masalah biaya. Pengendalian OSA yang mudah dan aplikatif pada profesi pengemudi dalam hal ini perlu dipikirkan untuk menurunkan risiko kecelakaan. Salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan adalah penyiapan sebelum dan selama bekerja atau penyiapan kerja. Penyiapan kerja berupa modifikasi pola hidup (lifestyle programme) pada pengemudi baik bersifat fisis dan mental termasuk didalamnya modifikasi pola hidup untuk OSA. Hasil pengamatan peneliti pada pengemudi taksi PT X menunjukkan cukup banyak pengemudi tidak melakukan penyiapan kerja
8
berupa modifikasi pola hidup dengan baik disamping terdapat keluhan kelelahan kerja dan kecelakaan kerja. Modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA ringan terbukti menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup (Tuomilehto et al., 2009). Hal ini sejalan dengan pernyataan Yamaguchi bahwa total health promotion plan keberhasilan
mengendalikan
kecelakaan
dalam
merupakan kunci kerja
melalui
pengendalian kelelahan (Setyawati, 2009). Total health promotion plan dapat dilakukan melalui lifestyle programme antara lain menjauhi asap rokok, nutrisi, minum air minimal 2 liter perhari, olahraga teratur, kontrol berat badan ideal, cukup tidur, konsultasi dengan dokter apabila stress dan ada gangguan kesehatan disamping untuk pemeliharaan kesehatan (Setyawati, 2009). Lifestyle programme merupakan bentuk penyiapan kerja yang baik. Lifestyle programme diharapkan dapat meningkatkan fungsi kognitif sehingga perhatian, waktu reaksi selama mengemudi menjadi lebih baik dan risiko kecelakaanpun menurun. Kecelakaan
pada taksi
akan
berdampak pada pengemudi,
penumpang dan perusahaan. Kecelakaan dapat terjadi karena faktor kendaraan, lingkungan dan terutama faktor manusia dalam hal ini pengemudi. Faktor pengemudi yang terkait dengan risiko kecelakaan adalah usia, status gizi, keterampilan mengemudi, perilaku mengemudi, penggunaan obat-obatan atau alkohol saat mengemudi, mengantuk (sleepiness) saat mengemudi serta kondisi kesehatan. Obstructive sleep
9
apnea (OSA) merupakan salah satu kondisi kesehatan pada pengemudi yang terkait dengan kejadian kecelakaan kendaraan pada umumnya. B. Rumusan Masalah Kejadian OSA pada pengemudi taksi yang cukup tinggi ini berpotensi menurunkan waktu reaksi pengemudi yang pada akhirnya berisiko kecelakaan saat mengemudi. Pengendalian OSA yang mudah dan aplikatif pada pengemudi taksi dengan OSA dan tanpa OSA diperlukan untuk memperbaiki fungsi kognitif sehingga dapat memperbaiki waktu reaksi dan menurunkan risiko kecelakaan. Melihat latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah adalah : 1. Apakah penyiapan kerja yang baik pada pengemudi taksi dengan obstructive sleep apnea (OSA) dan tanpa OSA memperbaiki waktu reaksi ? 2. Apakah penyiapan kerja yang baik pada pengemudi taksi dengan obstructive sleep apnea (OSA) dan tanpa OSA menurunkan risiko kecelakaan ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Diketahuinya peran penyiapan
kerja pengemudi taksi dengan
obstructive sleep apnea (OSA) dan tanpa OSA pada waktu reaksi. 2. Diketahuinya peran penyiapan
kerja pengemudi taksi dengan
obstructive sleep apnea (OSA) dan tanpa OSA pada risiko kecelakaan.
10
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pengemudi, perusahaan, masyarakat, institusi pendidikan dan instansi terkait. 1. Manfaat bagi pengemudi a. Menjadi masukan bagi pengemudi secara umum dan pengemudi dengan OSA ataupun kemungkinan OSA tentang hal-hal yang harus dipersiapkan diri sebelum dan selama bekerja. b. Penyiapan kerja membuat pengemudi lebih segar dan performa mengemudi menjadi lebih baik. 2. Manfaat bagi perusahaan a. Merupakan pengemudi
bahan sehingga
masukan
tentang
kejadian
dapat
dilakukan
deteksi
OSA dini
pada
ataupun
pencegahan. b. Merupakan bahan masukan perlunya penyiapan kerja yang baik pengemudi taksi dengan OSA atau kemungkinan OSA dalam rangka meminimalkan risiko kecelakaan. c. Merupakan bahan masukan untuk menyusun program kesehatan kerja dalam rangka meminimalkan risiko kecelakaan. 3. Manfaat bagi masyarakat a. Pengguna taksi/penumpang akan lebih tenang dan nyaman apabila naik taksi . b. Kerugian baik fisis ataupun material akibat kecelakaan taksi berkurang.
11
4. Manfaat bagi institusi a.
Memperkaya informasi tentang OSA pada pengemudi.
b.
Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain di bidang OSA.
c.
Sebagai bahan masukan Kementerian Perhubungan tentang perlunya aturan terkait kemungkinan OSA pada pengemudi dan dampaknya terhadap kecelakaan khususnya pada pengemudi taksi serta angkutan umum lainnya. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang OSA pada pengemudi taksi sangat sedikit.
Tercatat ada tiga penelitian pada pengemudi taksi
yang hanya
menggunakan kuesioner untuk menilai OSA yaitu dua di luar negeri oleh Gulbay et al. (2003) dan Firestone et al. (2009) serta satu di dalam negeri yaitu Wiadnyana et al. (2010). Sampai saat ini belum ada data penelitian OSA pada pengemudi taksi dengan menggunakan pemeriksaan gold standard yaitu polisomnografi (PSG). Sampai saat ini telah terdapat sejumlah penelitian yang menilai pengaruh tatalaksana OSA dalam memperbaiki waktu reaksi dan penurunan
kecelakaan.
Sebagian
besar
penelitian
menggunakan
intervensi CPAP atau pembedahan. Beberapa penelitian mengenai modifikasi pola hidup pada OSA hanya menilai perbaikan kualitas hidup , gejala OSA dan derajat OSA. Penelitian yang sudah ada, umumnya dilakukan di luar negeri.
12
Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran penyiapan kerja berupa modifikasi pola hidup (lifestyle programme) pada pengemudi taksi dengan OSA ataupun tanpa OSA dalam hubungannya dengan waktu reaksi dan risiko kecelakaan. Berdasar penelusuran ilmiah yang dilakukan, terdapat beberapa penelitian yang menilai talalaksana OSA dalam hubungannya dengan waktu reaksi dan risiko kecelakaan. Beberapa penelitian tersebut di antaranya adalah : 1.
George et al. (1997) melakukan penelitian pengaruh penggunaan CPAP aktif pada pengemudi dengan OSA terhadap kemampuan mengemudi dan waktu reaksi. Pengemudi dengan OSA mendapat terapi CPAP aktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan secara
aktif
CPAP
terjadi
perbaikan
bermakna
kemampuan
mengemudi, performans selama mengemudi dan waktu reaksi. Waktu reaksi menurun dari 3,2 detik sebelum terapi menjadi 2,8 detik setelah terapi CPAP. 2.
Munoz et al. (2000) melakukan penelitian pengaruh CPAP pada sleepiness, kewaspadaan dan waktu reaksi pasien sleep apnea syndrome (SAS). Penilaian dilakukan setelah penggunaan CPAP selama 1 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi CPAP jangka panjang pada pasien SAS terjadi perbaikan minimal waktu reaksi.
3.
Orth et al. (2005) melakukan penelitian performa pasien OSA pada simulator mengemudi dan tes neuropsikologi dengan terapi CPAP.
13
Parameter waktu reaksi menunjukkan perbaikan dari 432,1 + 90,5 milidetik sebelum terapi menjadi 391,9 + 56,8 milidetik setelah terapi CPAP selama 42 hari. 4.
Mazza et al. (2006) melakukan penelitian tentang kemampuan mengemudi dan waktu reaksi pasien OSA sebelum dan sesudah terapi CPAP. Hasil penelitian menunjukkan perbaikan waktu reaksi pengemudi dengan OSA dari 380,09±49,11 milidetik menjadi 377,52±42,95 milidetik setelah terapi CPAP.
5.
Woodson et al. (2003) menilai peran pembedahan dengan temperature-controlled radiofrequency tissue ablation (TCRFTA) pada subjek OSA terhadap kualitas hidup, sleepiness dan waktu reaksi. Teknik pembedahan TCRFTA pada pasien OSA terbukti memperbaiki kualitas hidup, sleepiness dan waktu reaksi.
6.
Haraldsson pembedahan
(1995)
melakukan
uvulophalatoplasty
penelitian pada
terkait
pasien
OSA
pengaruh terhadap
kemampuan mengemudi dan risiko kecelakaan. Hasil penelitian menunjukkan uvulophalatoplasty pada pasien OSA berhubungan dengan
perbaikan
kewaspadaan,
performa
mengemudi
dan
menurunkan risiko kecelakaan di jalan raya. 7.
Cassel et al. (1996) menilai efektivitas CPAP pada risiko kecelakaan pasien dengan OSA. Terapi CPAP terbukti menurunkan risiko kecelakaan dari 0,8 per 100.000 km sebelum diterapi menjadi 0,15 per 100.000 km setelah diterapi.
14
8.
Krieger et al. (1997) melakukan penelitian pengaruh penggunaan CPAP pada pasien OSA terhadap kecelakaan. Penilaian kecelakaan dilakukan 1 tahun sebelum dan 1 tahun sesudah terapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan CPAP berhubungan dengan penurunan risiko kecelakaan. Rata-rata kecelakaan tiap pasien selama 1 tahun menurun dari 1,57 kali menjadi 1,11 kali setelah terapi CPAP.
9.
Findley et al. (2000) melakukan penelitian tentang penggunaan CPAP pada pasien OSA dan hubungannya dengan kecelakaan di Colorado.
Penilaian
kecelakaan
dilakukan
2
tahun
sebelum
diagnosis dan 2 tahun setelah diagnosis. Pasien OSA yang mendapatkan terapi nasal CPAP secara terus menerus menunjukkan penurunan kecelakaan dibanding sebelum diterapi yaitu 0,07 kali kecelakaan pertahun menjadi tidak mengalami kecelakaan selama 1 tahun. 10. Horstmann et.al. (2000) melakukan penelitian pengaruh terapi CPAP pada pasien OSA terhadap risiko kecelakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama terapi nasal CPAP pada 85 pasien sleep apnea syndrome, rata-rata kecelakaan kendaraan bermotor menurun dari 10,6 per juta km menjadi 2,7 per juta km. 11. George (2001) melakukan penelitian risiko kecelakaan pasien OSA setelah mendapat terapi CPAP. Kecelakaan dinilai selama 3 tahun sebelum terapi dan 3 tahun sesudah terapi. Hasil penelitian
15
menunjukkan
rata-rata
kecelakaan
tiap
pengemudi
pertahun
menurun dari 0,18 sebelum terapi menjadi 0,06 setelah terapi. Modifikasi pola hidup merupakan tatalaksana medis pada OSA. Penelitian modifikasi pola hidup pada OSA umumnya menilai dampaknya terhadap kualitas hidup, gejala OSA dan parameter derajat OSA. Beberapa penelitian tersebut antara lain : 1.
Kansanen et al. (1998) melakukan penelitian pengaruh modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan melalui diet ketat terhadap derajat OSA. Hasil penelitian menunjukkan perbaikan oksigenasi malam hari dan penurunan respiratory disturbance index (RDI).
2.
Kajaste et al. (2004) melakukan penelitian modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA dengan atau tanpa CPAP. Parameter hasil yang dinilai adalah penurunan berat badan dan indeks desaturasi oksigen / oxygen desaturation index (ODI). Modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan terbukti memperbaiki indeks desaturasi oksigen pasien OSA.
3.
Kemppainen
et
al.
(2008)
melakukan
penelitian
prospektif,
randomized controlled parallel dengan konseling diet dan intervensi pola hidup (lifestyle) selama lebih dari 3 bulan pada pasien OSA. Intervensi menunjukkan perubahan nilai AHI lebih besar (3,2 kali/jam) dibandingkan kelompok kontrol (1,3 kali/jam).
16
4.
Tuomilehto et al.( 2009) melakukan penelitian modifikasi pola hidup pada OSA ringan dan hubungannya dengan gejala OSA, kualitas hidup dan derajat OSA. Modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA ringan terbukti menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup.
5.
Johansson et al. (2009) melakukan penelitian modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan melalui diet pada OSA sedang dan berat. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan apnea hypopnea index (AHI), perbaikan oksigenasi di
malam hari dan
pengurangan rasa mengantuk di siang hari. 6.
Nerfeldt et al. (2010) melaporkan hasil penelitian terkait modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan selama lebih dari 2 tahun pada pasien OSA. Hasilnya adalah tidak ada perubahan bermakna pada AHI, terjadi penurunan ODI, indeks arousal dan skor Epwort Sleepines Scale (ESS). Dibandingkan dengan penelitian yang sudah ada, penelitian ini
memiliki beberapa nilai kebaruan (novelty), yaitu : 1.
Penelitian
ini
menggunakan
program
penyiapan
kerja
yang
merupakan gabungan modifikasi pola hidup pada OSA sebagai penyiapan kerja khusus dan pola hidup sehat sebagai penyiapan kerja umum. Berdasarkan penelurusan berbasis internet dan datadata jurnal penelitian hingga saat ini belum ada program penyiapan
17
kerja yang merupakan gabungan penyiapan kerja umum dan penyiapan kerja khusus pada pengemudi dengan OSA. 2.
Sepanjang yang diketahui peneliti, sampai saat ini belum ada penelitian di dunia dan di Indonesia yang menilai peran atau pengaruh penyiapan kerja yang merupakan modifikasi pola hidup pada pengemudi taksi dengan OSA terhadap waktu reaksi dan risiko kecelakaan.
Penelitian
yang
ada
menilai
terapi
CPAP
dan
pembedahan terhadap waktu reaksi dan kecelakaan. Penelitian terkait
modifikasi
pola
hidup
pada
OSA
yang
sudah
ada
berhubungan dengan gejala, kualitas hidup dan parameter derajat OSA. 3.
Penerapan penyiapan kerja pada pengemudi taksi menggunakan modul penyiapan kerja. Modul penyiapan kerja berisi hal-hal pokok yang harus dilakukan pengemudi taksi terkait penyiapan kerja umum dan penyiapan kerja khusus untuk OSA dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Sejauh yang diketahui, penggunaan modul penyiapan kerja pada pengemudi taksi dengan OSA belum pernah dilakukan.