Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi Ratih Pahlesia,1 Faisal Yunus,1 Budhi Antariksa,1 Ratnawati,1 Dody Widodo1 1
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan, Jakarta 2
Departemen THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan, Jakarta
Abstrak
Latar Belakang: Pasien dengan PPOK mungkin memiliki sleep apnea yang dapat memperburuk pertukaran gas mereka saat tidur.Berisiko terhadap pengembangan insufisiensi pernapasan hiperkapnia, hipoksemia nokturnal dan hipertensi pulmonal. Jika tidak terdiagnosis dan tidak diobati akan mengakibatkan komplikasi seperti cor pulmonale, gagal napas, hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, stroke, gangguan kognitif, hilangnya produktivitas kerja, dan peningkatan risiko kecelakaan kendaraan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui prevalensi OSA pada pasien PPOK stabil dengan ringan sampai tingkat berat. Metode: Studi cross sectional dengan 68 pasien PPOK stabil ringan sampai tingkat berat diwawancarai di poliklinik paru RSUP Persahabatan bulan Juni 2010 menggunakan kuesioner Berlin. Pasien yang memiliki risiko tinggi sleep apnea dilakukan pemeriksaan polisomnografi untuk mendeteksi keberadaan OSA. Pemeriksaan THT terakhir untuk menentukan kelainan anatomi yang diderita oleh pasien. Hasil: Ada 17 (25%) dari 68 pasien PPOK yang memiliki risiko OSA, sementara berdasarkan pemeriksaan polisomnografi pada 17 pasien ditemukan 5 pasien (31,25%) atau 7,35% dari 68 subjek OSA. Berat badan, IMT, dan lingkar leher sebagai faktor risiko untuk OSA. Lingkar leher secara statistik signifikan sebagai faktor risiko untuk OSA. Tidak ada korelasi antara tahap PPOK, riwayat merokok, dan tingkat OSA. Kesimpulan: Studi menemukan bahwa prevalensi OSA pada pasien dengan ringan sampai PPOK berat adalah 7,35% dan lingkar leher merupakan faktor risiko untuk OSA. (J Respir Indo. 2016; 36: 182-91) Kata kunci: PPOK, obstruktif sleep apnea, kuesioner Berlin, Polisomnografi
Prevalence of Obstructive Sleep Apnea (OSA) in Patients with Mild to Severe COPD Based on Berlin Questionnaire and Polysomnography Abstract
Background: Patients with COPD may have a concomitant sleep apnea that can further exacerbate their gas exchange during sleep. They have an increased risk of developing hypercapnic respiratory insufficiency, nocturnal hypoxemia and pulmonary hypertension. If they remain undiagnosed and untreated will lead to complications such as cor pulmonale, respiratory failure, hypertension, coronary disease, congestive heart failure, stroke, cognitive impairment, loss of productivity in the work, and the increased risk of vehicle accidents. The aim of this study was to know the prevalence of OSA in stable COPD patients with mild to severe degree. Methods: In observational cross sectional study, sixty-eight stable COPD patient in Persahabatan Hospital Jakarta on June 2010with mild to severe degree were admitted to the study and interviewed using the Berlin questionnaire. Patients who have a high risk of sleep apnea will proceed with the examination of polysomnography to detect the presence of OSA. Last ENT examination to determine the anatomical defects suffered by these patients. Results: There were 17 (25%) of 68 COPD patients who have a risk for the occurrence of OSA, while based on polysomnography examination in 17 patients found 5 patients (31,25%) or 7,35% of the 68 research subjects who suffer from OSA. Weight, BMI and neck circumference as risk factors for OSA, but only neck circumference was statistically significant as a risk factor for OSA. There were no correlation between stage of COPD, history of smoking, and degree of OSA. Conclusion: Study found that the prevalence of OSA in patient with mild to severe COPD is 7,35% and neck circumference is a risk factor for OSA. (J Respir Indo. 2016; 36: 182-91) Keywords: COPD, obstructive sleep apnea, Berlin quesionaire, polysomnography
Korespondensi: Faisal Yunus Email:
[email protected]; Hp: 081210555660
182
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
PENDAHULUAN
dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernapasan,
Salah satu komplikasi yang dapat dialami oleh pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah terjadinya nocturnal hypoxemia. Kejadian nocturnal hypo-xemia diperkirakan berhubungan dengan terja-
peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen. The American Thoracic Society (ATS) memberikan rekomendasi untuk
dinya komplikasi seperti aritmia, polisitemia, hipertensi
melakukan PSG pada pasien PPOK dengan OSA
pulmoner dan edema perifer. Dibutuhkan evaluasi
yang mempunyai nilai diurnal PaO2 > 55 mmHg dan
keadaan nocturnal hypoxemia yang terjadi pada pasien
cor pulmonale, hipertensi pulmonal atau polisitemia.7
PPOK tersebut. Keadaan ini akan semakin diperberat
Berapa prevalens OSA pada pasien PPOK stabil
jika pasien PPOK juga menderita gangguan tidur
derajat ringan sampai berat yang diperiksa dengan
berupa Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS).
polisomnografi. Penelitian ini ditujukan untuk menge
1
Obstructive sleep apnea yang tidak diobati
tahui prevalens OSA pada pasien PPOK stabil derajat
dapat menyebabkan terjadinya komplikasi sebagai
ringan sampai berat yang datang berkunjung ke
berikut: kor pulmonale, gagal napas, hipertensi,
poliklinik asma PPOK di RS Persahabatan dengan
penyakit koroner, gagal jantung kongestif, stroke,
memakai kuesioner Berlin yang dilanjutkan dengan
gangguan kognitif, kehilangan produktivitas dalam
pemeriksaan polisomnografi.
pekerjaan, serta meningkatnya risiko kejadian kece lakaan kendaraan bermotor.2-4 Perkiraan prevalens OSA pada populasi dewasa usia pertengahan di Amerika Serikat sangat bervariasi yaitu 3-28% pada OSA derajat ringan dan 1-14% pada OSA derajat sedang.2 Dua puluh persen dari pasien OSA diperkirakan menderita PPOK, 63% pasien OSA yang mempunyai riwayat merokok merupakan faktor predisposisi terjadinya PPOK sedangkan prevalens OSA pada pasien PPOK sebesar 0,5%.5 Penelitian lain melaporkan bahwa prevalens kejadian OSA pada PPOK sebanyak 10-20% di negara-negara Barat.1 Faktor-faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian OSA pada pasien PPOK adalah laki-laki dewasa, merokok dan gangguan kendali napas.6 Baku emas untuk diagnosis OSA adalah melalui overnight laboratory-based treatment sleep study (complete polysomnography/PSG). Parameterparameter yang direkam pada polisomnogram adalah electro enchephalography (EEG), electrooculography (pergerakan bola mata), elektrokradiografi (EKG),
METODE Penelitian ini merupakan studi cross sectional di poliklinik asma PPOK Rumah Sakit Persahabatan Jakarta/Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dimulai pada bulan Juni 2010 sampai tercapai jumlah sampel yang ditetapkan. Populasi terjangkau adalah pasien PPOK stabil derajat ringan sampai berat sesuai dengan kriteria menurut GOLD 2007 yang datang ke poliklinik asma/ PPOK RS Persahabatan Jakarta. Sampel diambil dengan cara purposive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia ikut dalam penelitian dimasukkan sebagai sampel penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi. Pasien setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan spirometri disimpulkan diagnosis PPOK stabil derajat ringan sampai berat selanjutnya diseleksi untuk mencari sampel yang memenuhi kriteria pene rimaan dan penolakan. Pasien kemudian diminta
electromyography (pergerakan rahang bawah dan
kesediaannya untuk menjadi subjek penelitian dengan
kaki), posisi tidur, aktiviti pernapasan dan saturasi
terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang tujuan
oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG
dan manfaat penelitian serta cara pemeriksaan yang
adalah berulang, sumbatan sebagian atau komplit
akan dilakukan. Pasien yang bersedia menjadi subjek
dari jalan napas atas (kadang-kadang pada kasus
penelitian diminta untuk mengisi dan menandatangani
yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai
lembar persetujuan (informed consent).
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
183
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
Kriteria inklusi yaitu pasien PPOK stabil derajat ringan sampai berat (minimal 6 minggu) baik laki-laki maupun perempuan umur 40 - 80 tahun yang datang ke poliklinik asma PPOK RS Persahabatan Jakarta, bersedia
dengan
sukarela
mengikuti
seluruh
program penelitian dengan memberikan persetujuan tertulis, menandatangani formulir informed consent. Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu pasien PPOK yang mendapatkan pengobatan dengan continuous positive airway pressure (CPAP) dan trakeostomi sebelum penelitian dan pasien PPOK yang sedang menggunakan obat-obatan hipnotik-sedatif. Perkiraan prevalens OSA pada PPOK 20% dan derajat kepercayaan yang diinginkan pada penelitian ini sebesar 95% (1,96) dengan presisi 10% sehingga dengan menggunakan perhitungan rumus di atas didapatkan jumlah n sebesar 62. Perkiraan drop out adalah 10% atau 6 subjek sehingga besar sampel yang diperlukan dengan memperhitungkan perkiraan drop-out adalah 68 subjek. Pasien PPOK yang memenuhi kriteria pene rimaan dan bersedia mengikuti penelitian akan dilakukan wawancara dengan menggunakan kue sioner Berlin yang digunakan sebagai alat untuk menjaring pasien PPOK yang mempunyai risiko tinggi terjadi gangguan tidur. Pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadi gangguan tidur kemudian akan dilanjutkan dengan pemeriksaan polisomnografi untuk mendeteksi terdapatnya OSA. Terakhir dilakukan pemeriksaan THT untuk mengetahui kelainan anatomi yang diderita oleh pasien tersebut dan merupakan faktor risiko terjadinya OSA. Analisis data pada penelitian ini menggunakan chi square karena variabel-variabel yang dibandingkan berupa skala kategorikal. Data numerik setiap variabel dihitung nilai rata-rata dan standar deviasi (simpang baku). Data bivariat diuji dengan chi square dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji Fisher. Data numerik diuji dengan uji T tidak berpasangan bila sebaran normal dan uji Mann Whitney apabila sebaran tidak normal. Analisis dilanjutkan dengan uji regresi logistik biner untuk hasil uji bivariat yang memenuhi persyaratan multivariat yaitu p < 0,25. 184
HASIL Penelitian ini merupakan studi cross sectional survey untuk mengetahui prevalens OSA pada pasien PPOK stabil derajat ringan sampai berat. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2010 sampai dengan Maret 2011 di poliklinik asma PPOK Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan. Subjek penelitian terdiri dari 68 pasien PPOK derajat ringan sampai dengan berat, dari jumlah tersebut didapatkan 17 pasien PPOK yang positif pada kuesioner Berlin. Setelah itu dilakukan pemeriksaan PSG pada 17 pasien PPOK yang positif pada kuesioner Berlin. Pada pemeriksaan polisomnografi didapatkan 5 pasien (7,35%) yang mempunyai gejala OSA. Terkahir dilakukan pemeriksaan THT untuk melihat kelainan anatomi yang menjadi faktor risiko terjadinya OSA. Karakteristik pasien PPOK Karakteristik pasien PPOK pada penelitian ini adalah berdasarkan jenis kelamin, umur, derajat beratnya
PPOK,
Indeks
Massa
Tubuh
(IMT),
riwayat merokok, Indeks Brinkman dan risiko OSA. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian adalah laki-laki yaitu sebanyak 67 pasien (98,5%), kelompok umur terbanyak antara 60 – 69 tahun yaitu sebanyak 36 pasien (53%), setengah dari jumlah total subjek penelitian mempunyai derajat PPOK sedang yaitu sebanyak 34 pasien (50%), berat badan sebagian besar pasien adalah normoweight yaitu sebanyak 39 pasien (57,3%), sebagian besar pasien adalah bekas perokok yaitu sebanyak 64 pasien (94,1%) dan terbanyak mempunyai IB sedang yaitu sebanyak 31 pasien (46,3%) dan hanya 17 pasien (25%) yang mempunyai risiko untuk terjadinya. Berdasarkan pengisian kuesioner Berlin maka derajat PPOK pada pasien yang mempunyai risiko OSA paling banyak terdapat pada PPOK derajat sedang yaitu sebanyak 10 pasien (58,8%) sedangkan pasien yang tidak mempunyai risiko OSA paling banyak terdapat pada pasien PPOK derajat sedang dan berat yaitu masing-masing sebanyak 24 pasien (47%).
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
PPOK yang mempunyai risiko untuk terjadinya OSA
Tabel 1. Karakteristik pasien PPOK Jumlah Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur 40-49 th 50-59 th 60-69 th ≥ 70 th Derajat PPOK PPOK derajat ringan PPOK derajat sedang PPOK derajat berat Indeks Massa Tubuh Underweight Normoweight overweight Obese Riwayat merokok Bukan Perokok Perokok Bekas Perokok Indeks Brinkman Ringan Sedang Berat Risiko OSA Risiko OSA Tidak ada risiko OSA
Persentase (%)
sedangkan berdasarkan pemeriksaan polisomnografi pada 17 pasien tersebut didapatkan 5 pasien
67 1
98,5 1,5
2 11 36 19
2,9 16,1 53 28
3 34 31
4,4 50 45,6
IMT, riwayat merokok dan Indeks Brinkman. Dari 17
11 39 16 2
16,2 57,3 23,5 3
dan seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Kelompok
1 3 64
1,5 4,4 94,1
11 31 25
16,4 46,3 37,3
17 51
25 75
(31,25%) atau 7,35% dari 68 subjek penelitian yang menderita OSA. Terdapat 17 pasien PPOK (25%) dari 68 orang yang berisiko untuk terjadinya OSA. Tujuh belas pasien tersebut dibagi berdasarkan umur, derajat PPOK, pasien yang berisiko untuk terjadinya OSA, terdapat 5 pasien (31,25%) yang menderita OSA (AHI ≥ 5) umur terbanyak yang menderita OSA adalah antara 50 – 59 tahun dan 60 – 69 tahun yaitu masing-masing sebanyak 2 pasien. Derajat PPOK yang terbanyak menderita OSA adalah PPOK derajat sedang yaitu sebanyak 3 pasien dan terbanyak mempunyai IMT normoweight dan overweight. Lima pasien penderita OSA tersebut adalah bekas perokok dan terbanyak mempunyai IB ringan dan berat yaitu masing-masing sebanyak 2 pasien. Tabel 2. Karakteristik pasien PPOK berisiko untuk terjadinya OSA
Prevalens OSA Penelitian ini memperlihatkan hasil rerata berat badan 60 kg, median 58 kg dengan kisaran 39 – 87 kg dengan rerata IMT 22,83. Lingkar leher mempunyai rerata 33,5 cm dan median 33 cm dan berkisar antara 31 – 40,5 cm. Pada 68 pasien PPOK yang diminta untuk melakukan pengisian kuesioner Berlin, terdapat 17 pasien (25%) yang mempunyai risiko OSA sedangkan berdasarkan hasil pemeriksaan polisomnografi didapatkan sebanyak 5 pasien (7,35%) yang dinyatakan menderita OSA dengan nilai AHI ≥ 5. Rerata berat badan pasien PPOK yang tidak mempunyai risiko OSA adalah 59 kg dengan rerata IMT 22,31 sedangkan rerata berat badan pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA adalah 64 kg dengan rerata IMT 24,41 Rerata lingkar leher pasien PPOK yang tidak mempunyai risiko OSA adalah 32,86 cm sedangkan rerata lingkar leher pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA adalah 37,18 cm. Terdapat 17 pasien PPOK (25%) dari 68 pasien J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur 40-49 thn 50-59 thn 60-69 thn ≥ 70 thn Derajat PPOK Ringan Sedang Berat IMT Underweight Normoweight Overweight Obese Rwyt merokok Bkn perokok Perokok Bks perokok IB Ringan Sedang Berat
AHI <5
%
AHI ≥5
%
Nilai p
11 1
68,75 100
5 0
31,25 0
1
1 2 4 5
100 50 66,7 83,3
0 2 2 1
0 50 33,3 16,7
0 7 5
0 70 71,4
0 3 2
0 30 28,6
1 6 4 1
50 75 66,7 100
1 2 2 1
50 25 33,3 0
1 1 10
100 100 66,7
0 0 5
0 0 33,3
1
2 3 6
50 75 75
2 1 2
50 25 25
0,546
0,28
1
1
185
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
Gejala OSA berdasarkan kuesioner Berlin Berdasarkan kuesioner Berlin maka didapatkan hasil bahwa pasien yang berisiko untuk terjadinya OSA mempunyai gejala mendengkur sebanyak 17 pasien (100%), berhenti bernapas saat tidur
stadium tidur 1 dan 2 jika dibandingkan persentase nilai normalnya masing-masing maupun nilai absolut dalam satuan menit. Desaturasi saat tidur (desaturasi nocturnal)
sebanyak 13 pasien (76,5%), kelelahan saat bangun
Rerata desaturasi pada 12 pasien PPOK
tidur atau kelelahan pada waktu siang hari sebanyak
yang berisiko terjadinya OSA dibandingkan 5 pasien
16 pasien (94,1%) dan mengantuk atau tertidur di
PPOK yang menderita OSA adalah sama yaitu
kendaraan sebanyak 5 pasien (29,4%).
93,6% tetapi pada 5 pasien PPOK yang menderita
Berdasarkan anamnesis pada pasien yang berisiko OSA mengenai riwayat mendengkur pada keluarga didapatkan data bahwa sebanyak 6 pasien menyangkal terdapatnya riwayat mendengkur pada keluarga sedangkan sisanya menyatakan bahwa terdapat riwayat mendengkur pada orang tua, saudara sekandung dan anak kandung.
OSA mempunyai rerata nilai minimum desaturasi yang lebih rendah yaitu 79,8% dibandingkan 12 pasien PPOK yang berisiko terjadi OSA yaitu 84,1%. Demikian halnya dengan rerata kejadian desaturasi maka didapatkan rerata kejadian desaturasi pada 5 pasien yang menderita OSA adalah 195 kali dibandingkan rerata kejadian desaturasi pada 12 pasien yang berisiko terjadi OSA adalah 134 kali.
Kualitas tidur Pada pemeriksaan PSG mengenai kualitas
Dilakukan uji untuk melihat kemaknaan pada
tidur 12 pasien PPOK yang berisiko terjadi OSA
factor risiko OSA yang bermakna secara statistik.
dibandingkan 5 pasien PPOK yang menderita OSA
Di antara berat badan, IMT, derajat PPOK, indeks
didapatkan hasil bahwa kualitas tidur di antara
Brinkman dan lingkar leher sebagai factor risiko OSA
keduanya tidak ada perbedaan. Pada kedua kelompok
maka hanya lingkar leher yang secara bermakna
tersebut didapatkan stadium tidur terbanyak adalah
dan konstan sebagai faktor risiko OSA.
Tabel 3. Desaturasi saat tidur
OSA
Jumlah desaturasi
Menderita OSA
146 153 152 198 324 45 248 113 100 153 177 92 212 105 80 110 172
Berisiko OSA
186
Rerata jumlah desaturasi 195
134
Rerata desaturasi 95 93 94 92 94 94 92 94 94 94 94 96 94 87 96 95 93
Minimal desaturasi 83 72 87 82 75 89 84 87 85 88 84 88 83 69 80 89 83
Rerata minimal desaturasi 79,8
84,1
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
Faktor-faktor risiko OSA
PEMBAHASAN
Pasien yang mempunyai risiko OSA paling banyak pada kelompok normoweight yaitu sebanyak 7 pasien (41,2%) sedangkan pasien yang tidak mempunyai faktor risiko OSA paling banyak juga ditemukan pada kelompok normo-weight yaitu sebanyak 39 pasien (76,5%). Faktor risiko lain yang mempengaruhi OSA adalah lingkar leher. Lingkar leher pasien yang mempu-nyai risiko OSA reratanya 37,18 cm sedangkan pada pasien yang tidak berisiko untuk terjadinya OSA mempunyai lingkar leher yang lebih kecil yaitu 32,86 cm. Pada pemeriksaan laringoskop yang dilakukan oleh dokter spesialis THT kelainan anatomi terbanyak yang dijumpai pada pasien yang mempunyai risiko OSA berupa: retrofleksi epiglotis pada 13 pasien (76,5%). Secara rinci, kelainan anatomi apa saja yang ditemukan pada pemeriksaan laringoskop pada pasien yang mem punyai risiko OSA dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Faktor-faktor risiko OSA dinilai secara Statistik Faktor Risiko
OSA
Nilai p
Ya
Tidak
N
%
N
%
Underweight
1
20
10
15,9
Normalweight
2
40
37
58,7
Overweight
2
40
14
22,2
Obese
0
0
2
3,2
Ringan
0
0
3
4,8
Sedang
3
60
31
49,2
Berat
2
40
29
46
Bukan perokok
0
0
1
1,6
Ringan
2
40
9
14,3
Sedang
2
40
53
84,1
Berat
1
20
0
0
Indeks masa tubuh
0,774
Derajat PPOK
0,826
Indeks Brikman
0,210
Tabel 5. Faktor-faktor risiko OSA Faktor risiko OSA
B
Nilai p
OR
CI 95%
Lingkar leher (cm)
0,658
0,011
1,932
1,164-3,206
Indeks Brikman
0,102
0,938
1,107
0,084-14,524
Derajat PPOK
-0,002
0,998
0,998
0,127-7,837
IMT
-1,832
0,117
0,160
0,016-1,587
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Pada penelitian ini didapatkan prevalens OSA pada pasien PPOK berdasarkan kuesioner Berlin adalah 25% sedangkan berdasarkan pemeriksaan PSG adalah 7,35%. Hasil yang didapatkan pada pene litian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiestand di Amerika Serikat pada 1506 responden terdapat 26% yang memenuhi kriteria risiko tinggi terjadinya OSA berdasarkan kuesioner Berlin.5 Se dang kan prevalens OSA berdasarkan pemeriksaan PSG hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh López-Acevedo dkk8 yang melaporkan bahwa prevalens OSA pada pasien PPOK adalah 10–20%, penelitian yang dilakukan oleh Lamping A dkk8 didapatkan prevalens OSA pada 61 pasien PPOK stabil di Philipina sebesar 11%. Penelitian yang dilakukan pada 1132 partisipan (terutama PPOK derajat ringan) oleh Sleep Heart Health Study8 melaporkan bahwa prevalens OSA yang rendah. Prevalens ini lebih tinggi jika dibandingkan pada populasi umum yaitu pada pene litian yang dilakukan oleh Young dkk9 pada 604 populasi umum di Amerika Serikat didapatkan prevalens OSA sebesar 2% pada perempuan dan 4% pada laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Bixler dkk10 pada 1741 populasi umum di Amerika Serikat didapatkan prevalens OSA sebesar 1,2% pada perempuan dan 3,9% pada laki-laki, penelitian yang dilakukan oleh Bearpark dkk11 pada 485 populasi umum di Australia didapatkan pre valens OSA sebesar 3,1% pada laki-laki dan 0% pada perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Ip dkk12,13 pada 258 populasi umum di China didapatkan prevalens OSA sebesar 2,1% pada perempuan dan 4,1% pada lakilaki sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kim dkk14 di Korea pada 457 populasi umum didapatkan prevalens OSA sebesar 2,3% pada perempuan dan 4,5% pada laki-laki. Prevalens OSA berdasarkan klasifikasinya pada penelitian ini didapatkan bahwa OSA derajat ringan sebesar 6% (4 dari 68 subjek) sedangkan OSA derajat sedang sebesar 1,5% (1 dari 68 subjek). Hasil ini hampir sama dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Young T. dkk9, Bixler E. dkk10, Bearpark dkk15, Durán J. dkk16 dan Stradling JR. dkk17 yang menyatakan bahwa perkiraaan prevalens OSA derajat ringan (AHI ≥5) adalah 3 - 28% sedangkan OSA derajat sedang (AHI ≥ 15) sebesar 1 – 14%.
187
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
Tabel 6. Kelainan yang didapat pada pemeriksaan laringoskop pada pasien yang mempunyai risiko OSA Kelainan THT Rinitis Adenoid Uvula panjang Hipertrofi tonsil Lidah tebal Floppy palatum molle Laringopalatum refluks Redundant dinding faring Hipertrofi konka Deviasi septum nasi Retrofleksi epiglotis
Jumlah Pasien 1 1 5 7 8 8 9 11 12 12 13
penelitian yang dilakukan oleh Hiestand DM. dkk5 yang menyatakan bahwa kejadian OSA meningkat sampai dengan usia 65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Ip dkk12 pada 1542 laki-laki dewasa berusia 30-60 tahun menyatakan bahwa risiko OSA meningkat 3x lebih tinggi pada usia > 45 tahun.12 Pada penelitian ini, berdasarkan kuesioner Berlin didapatkan bahwa 17 (25%) pasien berisiko menderita OSA. Rincian usia 17 pasien tersebut adalah 1 pasien kelompok usia 30-49 tahun, 6 pasien pada kelompok usia 50-64 tahun, 10 pasien pada kelompok usia ≥ 65 tahun. Hasil ini juga serupa pada penelitian yang dilakukan
Berdasarkan kuesioner Berlin didapatkan 17 pasien PPOK yang berisiko terjadi OSA sedangkan dari 17 pasien tersebut setelah dilakukan pemeriksaan PSG hanya didapatkan 5 pasien PPOK yang menderita OSA. Hal ini berbeda dengan kepustakaan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika dan Eropa yang menggunakan kuesioner tersebut didapatkan sensitiviti 0,86, spesifisiti 0,77, positive predictive value (PPV) 0,89 dan likelihood ratio (LR) 3,79.5 Perbedaan ini kemungkinan disebabkan pada bagian pertama kuesioner tersebut yang menggunakan alloanamnesis pada istri pasien PPOK dan pada bagian kedua kuesioner tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan secara subjektivitas kepada pasien PPOK sehingga tidak ada batasan yang objektif. Pada alloanamnesis peneliti benar-benar hanya bisa mempercayai apapun jawaban dari istri pasien tersebut padahal budaya Indonesia masih dipengaruhi adat ketimuran yang menutupi keburukan. Penyebab-penyebab di atas menjadi keterbatasan peneliti dalam melakukan wawancara menggunakan kuesioner Berlin. Pada penelitian ini didapatkan 5 (7,35%) pasien PPOK yang juga menderita OSA yang berusia 53 tahun, 58 tahun, 63 tahun, 66 tahun dan 70 tahun. Jika kelompok usia disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiestand DM. dkk5 yaitu kelompok usia 18-29 tahun, 30-49 tahun, 50-64 tahun dan ≥ 65 tahun maka didapatkan hasil 3 (13,6%) dari 22 pasien pada kelompok usia 50-64 tahun yang menderita OSA dan 2 (5,1%) dari 39 pasien pada kelompok usia ≥65 tahun yang menderita OSA. Hasil ini serupa dengan 188
oleh Heistand DM. dkk5 yang menyatakan bahwa risiko OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya usia berdasarkan kuesioner Berlin. Penelitian ini memperlihatkan hasil rerata berat badan pasien PPOK yang tidak mempunyai risiko OSA adalah 59 kg sedangkan pasien yang mempunyai risiko OSA adalah 64 kg. Rerata IMT pasien PPOK yang tidak mempunyai risiko OSA adalah 22,31 sedangkan rerata IMT pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA adalah 24,41. Rerata lingkar leher pasien PPOK yang tidak mempunyai risiko OSA adalah 32,86 sedangkan rerata lingkar leher pasien
yang mempunyai risiko OSA adalah 37,18.
Rerata berat badan pasien yang tidak menderita OSA adalah 59,94 kg sedangkan pasien PPOK yang menderita OSA adalah 61,60 kg dengan nilai p = 0,847. Rerata lingkar leher pasien PPOK yang tidak menderita OSA adalah 33,71 cm sedangkan rerata lingkar leher pasien PPOK yang menderita OSA adalah 36,8 cm dengan nilai p = 0,011. Derajat PPOK, IMT dan IB juga dinilai secara statistik sebagai faktor risiko OSA tapi semuanya tidak bermakna secara statistik sebagai faktor risiko OSA dengan nilai p masing-masing p = 0,826 untuk derajat PPOK, p = 0,774 untuk IMT dan p = 0,210 untuk indeks Brinkman. Kemudian dilakukan uji untuk melihat kemaknaan pada faktor risiko OSA yang bermakna secara statistik. Di antara IMT, derajat PPOK, Indeks Brinkman, berat badan dan lingkar leher sebagai faktor risiko OSA maka lingkar leher yang secara bermakna dan konstan sebagai faktor risiko OSA yaitu dengan nilai p = 0,011 dan OR 1,932 (CI =
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
1,164 – 3,206). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang
OSA. Penelitian ini juga menyatakan bahwa perokok
dilakukan oleh Heistand DM. dkk. yang menyatakan
2,8x lebih tinggi berisiko OSA dibandingkan bekas
2
bahwa pada pasien yang mempunyai IMT 25-30 kg/m
perokok (OR = 2,8; CI 1,4 – 5,4; p = 0,0028) sedangkan
mempunyai Relative Risk (RR) 1,63 (95% CI 1,18
bekas perokok dibandingkan bukan perokok untuk
- 2,24), pasien yang mempunyai IMT 30,1 - 40 kg/
risiko OSA (OR = 1,2 ; CI 0,55 – 2,7; p = 0,64).
5
m mempunyai RR 5,38 (95% CI 4,08 – 7,12) dan
Gejala OSA berdasarkan kuesioner Berlin yang
pasien yang mempunyai IMT > 40 kg/m mempunyai
terbanyak berupa mendengkur sebanyak 17 pasien
RR 7,11 (95% CI 5,25 - 9,64).
(100%), kelelahan saat bangun tidur atau kelelahan
2
2
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa
pada waktu siang hari sebanyak 16 pasien (94,1%),
rerata lingkar leher 5 pasien PPOK yang juga menderita
berhenti bernapas saat tidur sebanyak 13 pasien
OSA adalah 36,8 cm. Berdasarkan kepustakaan
(76,5%) dan mengantuk atau tertidur di kendaraan
didapatkan data bahwa lingkar leher > 43 cm (17 inchi)
sebanyak 5 pasien (29,4%). Terdapat sedikit perbedaan
merupakan faktor risiko terjadinya OSA. Kepustakaan
terhadap urutan gejala OSA pada penelitian cross
lain menyebutkan bahwa lingkar leher 16 inchi pada
sectional survey yang dilakukan oleh Netzer dkk24
perempuan dan 17 inchi pada laki-laki merupakan
pada 1690 pasien laki-laki di Amerika Serikat dan
faktor risiko terjadinya OSA. Ada pula kepustakaan yang
1042 pasien laki-laki di Jerman dan Spanyol (Eropa)
menyatakan bahwa < 37 cm merupakan risiko rendah
yaitu keluhan mendengkur didapatkan sebanyak 67,7%
untuk terjadinya OSA sedangkan lingkar leher > 48 cm meningkatkan risiko terjadinya OSA.19 Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa 5 pasien yang menderita OSA semuanya bekas
pada pasien Amerika Serikat dan 65,6% pada pasien di
perokok sedangkan dari 17 pasien yang berisiko untuk
Eropa, keluhan tertidur saat menyetir/saat berkendaraan
18
terjadinya OSA terdiri dari 1 pasien bukan perokok, 1 pasien perokok dan 15 pasien bekas perokok. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Conway SW. dkk20 pada 1492 responden bukan perokok, perokok dan bekas perokok menyatakan bahwa risiko untuk terjadinya OSA pada perokok (terutama pada perokok berat) adalah OR 1,90 (95% CI 1,21 – 2,97) dibandingkan dengan bekas perokok yang mempunyai OR 1,39 (95% CI 0,89 – 2,18). Pada penelitian yang dilakukan oleh Young dkk21 menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko OSA maupun PPOK dan beberapa laporan menyatakan bahwa nilai AHI lebih tinggi ditemukan pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian kohort yang dilakukan oleh Wetter DW dkk22 di Wisconsin pada 811 orang dewasa didapatkan bahwa pada perokok nilai AHI > 5/jam ditemu-kan 3x lebih sering dibanding bukan perokok. Penelitian yang dilakukan oleh Kashyap R dkk23 pada 108 pasien OSA (AHI > 10/jam) dibandingkan dengan 106 pasien bukan OSA (AHI < 5/jam) didapatkan hasil prevalens merokok pada pasien OSA sebesar 35% dan hanya 18% tanpa J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Eropa, kemudian diikuti dengan kelelahan saat bangun tidur/pada waktu siang hari sebanyak 41,8% pada pasien di Amerika Serikat dan 17,3% pada pasien di sebanyak 22,9% pada pasien di Amerika dan 12% pada pasien di Eropa. Gejala terakhir berupa berhenti bernapas saat tidur sebanyak 5,1% pada pasien di Amerika dan 3,7% pada pasien di Eropa. Kelainan anatomi yang ditemui pada pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA secara berturutan adalah retrofleksi epiglotis, hipertrofi konka, deviasi septum nasi, redundant dinding faring, laringopalatum refluks, lidah tebal, floppy palatum molle, hipertrofi tonsil, uvula panjang, rinitis dan adenoid. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Cistulli PA. dkk25 dan Schwab RJ. dkk26 Anamnesis mengenai riwayat keluarga menderita OSA tidak dapat diketahui karena anggota keluarga pasien belum ada yang pernah dilakukan pemeriksaan PSG, sedangkan anam nesis pada pasien yang berisiko OSA mengenai riwayat mendengkur pada keluarga didapatkan data bahwa sebanyak 6 pasien (35,3%) menyangkal ter dapat nya riwayat mendengkur pada keluarga dan sisanya menyatakan bahwa terdapat riwayat mendengkur pada orang tua, saudara sekandung dan anak kandung.
189
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
KESIMPULAN Prevalens OSA pada PPOK pada penelitian ini adalah 7,35%. Rerata berat badan, IMT dan lingkar leher pasien PPOK yang tidak mempunyai risiko OSA dibandingkan dengan rerata berat badan, IMT dan lingkar pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA adalah lebih besar pada pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA. Di antara faktor risiko OSA berupa berat badan, IMT, derajat PPOK, indeks Brinkman dan lingkar leher maka hanya lingkar leher yang merupakan faktor risiko OSA dan bermakna secara statistik. Gejala OSA berdasarkan kuesioner Berlin yang terbanyak berupa mendengkur yang diikuti dengan berhenti bernapas saat tidur, kelelahan saat bangun tidur/ saat siang hari dan mengantuk/tertidur di kendaraan. Kelainan anatomi terbanyak yang ditemukan pada pasien PPOK yang mempunyai risiko OSA berdasarkan pemeriksaan laringoskop adalah retrofleksi epiglotis. Walaupun prevalens OSA pada pasien PPOK sebesar 7,35% tetapi mengingat dapat terjadi komplikasi yang serius pada pasien PPOK yang juga menderita OSA serta makin menurunnya kualitas hidup pasien tersebut maka sebaiknya dilakukan peme riksaan terhadap kemungkinan terjadinya OSA pada pasien PPOK yang mempunyai keluhan mendengkur, IMT ≥ 24 kg/m2 dan lingkar leher ≥ 37 cm. Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja
4. Carratu P, Resta O. Is obstructive sleep apnea a comorbidity of COPD and is it involved in chronic systemic inflammatory syndrome? Eur Respir J. 2008;31: 1381-2. 5. Heistand DM, Britz P, Goldman M, Phillips B. Prevalence of symptoms and risk of sleep apnea in the US population. Chest. 2006;130: 780-6. 6. Maliocca KR, Herman, JI. Obstructive sleep apnea: diagnosis, medical management and dental implications. JADA 2005;36:1121-4. [cited August 2008]. Available from: http://www.ada.org/ goto/jada. 7. Anonymous. Pola tidur dan kecerdasan bayi. [cited March 2008]. Available from : http://www.anakku. net/content/pola-tidur-dan-kecerdasan-bayi. 8. Mc Nicholas WT. Pulmonary Perspective. Chronic obstructive pulmonary disease and obstructive sleep apnea: ovelaps in pathophy-siology, systemic inflammation, and cardio-vascular disease. Am J Respir Crit Care Med. 2009; 180:692-700. 9. Young T, Palta M, Dempsey J, Skatrud J, Weber S, Badr S. The occurrence of sleep-disordered breathing among middle-aged adults. N Engl J Med. 1993; 328:1230-5. 10. Bixler EO, Vgontzas AN, Lin HM, Ten Have T, Rein J, Vela-Bueno A, et al. Prevalence of sleepdisordered breathing in women: effects of gender. Am J Respir Crit Care Med. 2001;163:608–13. 11. Bearpark H, Elliott L, Grunstein R, Cullen S,
yang dianggap sebagai faktor risiko terjadinya OSA.
Schneider H, Althaus W, et al. Snoring and sleep
DAFTAR PUSTAKA
J Respir Crit Care Med. 1995;151:1459–65.
1. Fabbri LM, Luppi F, Beghge B, Rabe KF. Update in chronic obstructive pulmonary disease 2005. Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:1056-65. 2. Brijker F, Van den Elshout FJ, Heijdra YF, Folgering HTM. Underestimation of noctur-nal hypoxemia due to monitoring conditions in patients with COPD. Chest. 2001;119: 1820-6. 3. Marti S, Sampol G, Munoz X, Torres F, Roca A, Lloberes P, et al. Mortality in severe sleep apnoea/ hypopnoea síndrome patients: impact of treatment. Eur Respir J. 2002;20: 1511-8. 190
apnea: a population study in Australian men. Am 12. Ip MS, Lam B, Lauder IJ, Tsang KW, Chung KF, Mok YW, et al. A community study of sleepdisordered breathing in middle-aged Chinese men in HongKong. Chest. 2001;119:62–9. 13. Ip MS, Lam B, Tang LC, Lauder IJ, Ip TY, Lam WK. A community study of sleep-disordered breathing in middle-aged Chinese women in HongKong: prevalence and gender differences. Chest. 2004;125:127–34. 14. Kim J, In K, Kim J, You S, Kang K, Shim J, et al. Prevalence of sleep-disordered breathing
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Ratih Pahlesia: Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien PPOK Stabil Derajat Ringan Sampai Berat Berdasarkan Kuesioner Berlin dan Polisomnografi
in middle-aged Korean men and women. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170:1108–13. 15. Bearpark H, Elliott L, Grunjstein R, Hedner J, Cullen S, Schneider H, et al. Occurrence and correlates of sleep disordered breathing in the Australian town of Busselton: a preliminary analysis. Sleep. 1993;16:S3-5. 16. Durán J, Esnaola S, Rubio R, Iztueta A. Obstructive sleep apnea-hypopnea and related clinical features in a population-based sample of subjects aged 30 to 70 yr. Am J Respir Crit Care Med. 2001;163:685-9. 17. Stradling JR, Crosby JH. Predictors and prevalence of obstructive sleep apnoe and snoring in 1001 middle aged men. Thorax. 1991;46:85-90. 18. Sleep apnea. Mayo Clinic. 2010. [cited 15th April 2011]. Available from: http:// www.mayoclinic.com/
21. Young T, Peppard PE, Gottlieb DJ. Epidemiology
health/sleep-apnea/DS00148/DSECTION=riskfactors. 19. Obstructive sleep apnea. Patient.co.uk. 2011. [cited 15th April 2011]. Available from: http://www.patient. co.uk/doctor/obstructive sleep apnea (OSA).htm. 20. Conway SG, Roizenblatt SS, Palombini L, Castro LS, Bittencourt LRA, Silva RS, et al. Effect of smoking habits on sleep. Brazilian J of
25. Cistulli
Med and Biological Research. 2008;41:722-7.
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
of obstructive sleep apnea: a population health per spective. Am J Respir Crit Care Med. 2002;165:121739. 22. Wetter DW, Young TB, Bidwell TR, Badr MS, Palta M. Smoking as a risk factor for sleep-disordered breathing. Arch Intern Med. 1994;154:2219–24. 23. Kashyap R, M Hock L, Bowman TJ. Higher prevalence of smoking in patients diagnosed as having obstructive sleep apnea. Sleep and breathing. 2001;5:167-72. 24. Netzer NC, Hoegel JJ, Loube D, Hay B, Netzer CM, Sala RA, et al. Prevalence of Symptoms and Risk of Sleep Apnea in Primary Care. Chest. 2003;124:1406-14. PA.
Craniofacial
abnormalities
in
obstructive sleep apnoea: implications for treatment. Respirology.1996;1:167-74. 26. Schwab RJ, Pasirstein M, Kaplan L, Pierson R, Mackley A, Hachadoorian R, et al. Family aggregation of upper airway soft tissue structures in normal subjects and patients with sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:453–63.
191