OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER REFERAT Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis I Minat Utama: Ilmu Penyakit Saraf
Oleh : M. Iccha Kertawari B S 551108004
PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2015
ii
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER REFERAT Disusun oleh : M. Iccha Kertawari B S 551108004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Jabatan
Nama
Pembimbing I
Indriany Widhowati, dr., Sp.S
Tandatangan
Tanggal
--------------
Juli 2015
NIP. 19510613 198311 2 001
Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal :………………
Mengetahui Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Saraf FK UNS/RSDM Surakarta
Dr. Diah Kurnia Mirawati, dr., Sp.S(K) NIP. 19680707 200312 2 001
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian referat dengan OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER. Referat ini disusun sebagai untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terselesaikannya referat ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah member kemudahan dalam melaksanakan Program Pendidikan Dokter Spesialis I IP. Saraf 2. Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si, selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan mengijinkan untuk menjalani pendidikan PPDS I IP. Saraf. 3. Endang Agustinar, dr., M.Kes., selaku Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta beserta jajaran Direksi yang telah mengijinkan untuk menjalani pendidikan PPDS I IP. Saraf. 4. Prof. Dr. Suroto, dr. Sp.S(K), FAAN, selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis untuk kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Saraf. 5. Dr. Diah Kurnia Mirawati, dr., Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Saraf FK UNS/RS dr. Moewardi yang telah memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Saraf. 6. Indriyani, dr., Sp.S, selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberi pengarahan dalam penyusunan referat ini dan memberikan kemudahan
menjalani
pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Saraf. 7. Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Saraf FK UNS/ RSUD Dr Moewardi Surakarta. Prof. Dr. dr. Suroto, Sp.S(K), FAAN, Prof. Dr. dr. OS Hartanto, Sp.S(K), dr. Risono, Sp.S(K), dr. Suratno, Sp.S(K), dr. Agus Soedomo, Sp.S(K), dr. Sutedjo, Sp.S(K), Dr. dr.
iv
Diah KM, Sp.S(K), dr. Subandi, Sp.S.FINS, dr. Rivan D, Sp.S, M.Kes dan dr. Pepi B, Sp.S yang telah memberi dorongan, bimbingan dan bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan referat. 8. Keempat orangtua yang terhormat dan terkasih, Bp. Drs. Tjandra Boentoro, S.H, M.Kn, Bp. Srijono, Ibu Henny Ayrianawati, dan Ibu Martha Nurmaningtyas, S.Kp.Ns yang telah memberikan dorongan baik moril materil dalam menjalani pendidikan PPDS I IP.Saraf. 9. Suami tercinta, Johan Ade Putra Wijaya, SS, MM, yang selalu memberikan doa, semangat, keceriaan, inspirasi dan dorongan baik moril materil dalam menjalani pendidikan PPDS I IP.Saraf. Adik – adik: dr. D. Prathita Acchedya B, dr. Fredy Danan Sanjaya, Yosef Sri Bima, S.H, yang selalu memberikan doa, semangat dalam menjalani pendidikan PPDS I IP.Saraf. 10. Seluruh teman sejawat Residen Penyakit Saraf terutama teman seangkatan dr. Igor Hermando, dr. Fadhilah, dr. Indah Aprilia R dan adik-adik
tingkat yang telah
memberikan dukungan kepada penulis baik dalam penelitian ini maupun selama menjalani pendidikan 11. Mbak Pip, Mbak Wiwik , Mas Purwanto selaku seketariat bagian Ilmu Penyakit Saraf yang selalu memberikan bantuan pada penulis selama menjalani pendidikan PPDS I IP. Saraf selama ini. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat maupun menjalani pendidikan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan sehingga lebih sempurna
Surakarta,
Juli 2015
Penulis
M. Iccha Kertawari B
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................
iii
DAFTAR ISI.................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
vii
DAFTAR TABEL.........................................................................................
x
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................
xi
ABSTRAK.....................................................................................................
xv
ABSTRACT.....................................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................
1
A. Latar belakang masalah......................................................................
1
B. Rumusan masalah...............................................................................
2
C. Tujuan referat.....................................................................................
2
D. Manfaat referat...................................................................................
2
BAB II OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA………………………………….
3
A. Definisi dan Kalsifikasi......................................................................
3
B. Epidemologi................................................................................. .....
4
C. Etiologi dan faktor resiko...................................................................
7
D. Anatomi dan Patofisiologi..................................................................
9
1. Anatomi saluran pernafasan bagian atas......................................
9
2.
Sifat statis dan dinamis saluran nafas faringeal normal..............
11
3. Otot – otot faring..........................................................................
17
4. Perbedaan anatomi saluran nafas atas statis pada pasien sleep apnea............................................................................................
24
5. Perubahan fisiologis dinamik pada struktur saluran nafas bagian atas....................................................................................
30
6. Neurotransmiter dan neuromodulator yang mempengaruhi motoneuron saluran nafas atas.....................................................
31
7. Hubungan faktor anatomi dan neurologi pada penutupan saluran nafas faringeal selama tidur: model sistematik................
39
vi
E. OSA dan penyakit kardiovaskuler......................................................
42
1. Efek akut dari apnea tidur pada sistem kardiovaskuler................
42
2. Patofisiologi OSA terkait penyakit kardiovaskuler......................
44
3. Hubungan OSA dengan penyakit kardiovaskuler........................
50
F. Diagnosis...................................................................................... .....
59
1. Anamnesis...................................................................... ............
59
2. Pemeriksaan fisik.........................................................................
62
3. Pemeriksaan penunjang...............................................................
66
G. Penatalaksanaan...........................................................................
72
BAB III KESIMPULAN................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
84
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Ilustrasi beberapa contoh orang dengan faktor resiko terkena OSA…………………………………………………………………………... 9 Gambar 2.2. A. MRI midsagital pada orang normal memperlihatkan empat regio saluran nafas atas: nasofaring. B. Diagram yang menunjukkan saluran nafas atas midsagittal, jaringan lunak, dan struktur tulang…………………..
10
Gambar 2.3. MRI axial pada orang normal di regio retropalatal (gambar kiri), MRI midsagital
pada orang normal
menggambarkan regio
midretropalatal (RP) dan midretroglossal (RG) (gambar tengah dan kanan)...
11
Gambar 2.4. Pembukaan rahang menghasilkan pergeseran posterior dan kaudal dari tuberkel genial mandibula, dan membuat tulang hyoid melayang……………………………………………………………………...
13
Gambar 2.5. Kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskan bagaimana tracheal tug pada saluran nafas atas melindungi patensi saluran nafas atas...
14
Gambar 2.6. A. Diagram skematik anatomi saluran napas atas. B. Diagram skematik otot saluran napas bagian atas……………………………………..
18
Gambar 2.7. Saluran nafas atas pada OSA: bergantung pada patensi otototot dilator saluran nafas atas. MRI sagital (kiri) dan koronal (kanan) dari pasien dengan OSA………………………………………………………….
20
Gambar 2.8. Area saluran nafas dalam kondisi pasif (yaitu, tidak ada aktivasi otot) dapat ditingkatkan dengan menaikkan tekanan transmural (Ptm)…………………………………………………………………………..
21
Gambar 2.9. Keseimbangan kekuatan yang menopang patensi saluran napas atas…………………………………………………………………………...
21
Gambar 2.10. A. MRI midsagital dari subjek normal (kiri) dan pasien dengan sleep apnea (kanan). B. MRI aksial di area retropalatal dari subjek normal (kiri) dan pasien dengan sleep apnea (kanan)………………………
25
Gambar 2.11. Kontrol neurokimia motoneuron saluran nafas atas………
32
Gambar 2.12. Model skema menjelaskan patensi jalan napas faring,
viii
menunjukkan aktivitas otot saluran napas bagian atas (UA) dan tekanan saluran napas pada kedua sisi titik tumpu yang mewakili sifat mekanik intrinsik dari saluran napas bagian atas pasif……………………………….
40
Gambar 2.13. Campuran (tipe sentral dan obstruktif) sleep apneas menstimulasi eksitasi simpatis dan peningkatan tekanan darah secara transien………………………………………………………………………
42
Gambar 2.14. Dugaan mekanisme OSA yang mengaktifkan sistem nervus simpatis, menginisiasi kaskase dalam penyakit kardiovaskuler. CNS, central nervous system; RAAS, renin-angiotensin-aldosterone system……
49
Gambar 2.15. Gambaran sistematik hubungan dua arah yang berpotensi pada obstructive dan central sleep apnea sleep (OSA dan CSA), dan heart failure (HF)………………………………………………………………….
53
Gambar 2.16. Potensi hubungan obstructive sleep apnea (OSA) dan sindroma metabolik. OSA dihubungkan dengan 3 dari 5 kelainan mayor yang berhubungan dengan sindroma metabolik yaitu, hipertensi, resistensi insulin dan pro inflamasi / stress oksidatif………………………………….
56
Gambar 2.17. Jalur perubahan fisiologis dari hipoksia intermiten dan fragmentasi tidur yang mengakibatkan resistensi insulin yang mengaktifkan jalur klasik (putih) atau lipotosik (abu – abu)……………….
58
Gambar 2.18. Algoritma untuk menginvestigasi dengkuran………………..
60
Gambar 2.19. Alur evaluasi kecurigaan adanya OSA………………………
61
Gambar 2.20. Klasifikasi Mallampati (kiri), klasifikasi tonsil (kanan)……..
63
Gambar 2.21. Gambar polisomnografi pada obstructive sleep apnea……...
68
Gambar 2.22. Perbandingan dari apnea sentral (kotak) dan apnea obstruktif (lingkaran)…………………………………………………………………
68
Gambar 2.23. (A). Pasien OSA berat dilakukan pengukuran bioelektrik (tiga saluran) menunjukkan bahwa pasien tertidur tidak dalam diantara periode arousal terkait dengan aktivasi elektromiogram submental (EMG). (B). Pasien obstructive sleep hypopnea. Sebuah elektromiogram submental (EMG) menunjukkan ledakan ritmis dari otot-otot inspirasi faring………... Gambar 2.24. Sebuah rekaman 2 menit tidur menunjukkan 4 hipopnea
69
ix
(panah tebal) dan desaturasi oksigen terkait (panah merah)………………..
70
Gambar 2.25. Algoritma untuk pengelolaan mendengkur…………………
72
Gambar 2.26. Generator CPAP (atas) dan 3 tipe masker, masker nasal (kiri bawah), masker oronasal (tengah) dan nasal ‘pillows………………………
76
Gambar 2.27. Gambar diatas adalah contoh Mandibular repositioning devices (kiri), Tongue retaining devices (kanan)…………………………...
80
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Faktor – faktor terkait etiologi OSA…………………………….
7
Tabel 2.2. Faktor resiko spesifik dan non spesifik terkait OSA…………….
8
Tabel 2.3. Faktor – faktor mekanik yang mempengaruhi saluran nafas faringeal……………………………………………………………………... 12 Tabel 2.4. Dampak obstructive sleep apnea pada sistem kardiovaskuler…... 50
xi
DAFTAR SINGKATAN
5-HT
5-Hidroksitriptamin
5-HT1A
5-hidroksitriptamin 1A
5-HT1AR
5-hidroksitriptamin reseptor 1A
5-HT2
5-hidroksitriptamin 2
5-HT2A
5-hidroksitriptamin 2A
5-HT3
5-hidroksitriptamin 3
5-HT4R
5-hidroksitriptamin reseptor 4
5-HT7
5-hidroksitriptamin 7
5-HTR
5-Hidroksitriptamin reseptor
8-OH DPAT
8-hydroxy-2-(di-n-proplylamino)tetralin
A
adenosinergik
AASM
American Academy of Sleep Medicine
ACE
Angiotensin Converting Enzyme
ACh
Acetylcholine
AF
Atrial Fibrilation
AHI
Apnea-hypopnea index
AMPA
α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-asam propionik isoksasol
ANC
Average Neck Circumferencial
xii
ANG II
Angiotensin II
APOE
Apolipropotein E
ATP
Adenosin Tri Phosphate
BIMU8
N-[(1R,5S)-8-methyl-8-azabicyclo[3.2.1]oct-3-yl]-2-oxo-3-(propan-2-yl)2,3-dihydro-1H-benzimidazole-1-carboxamide hydrochloride
BiPAP
Bi-level Positive Airway Pressure
BMI
Body Mass Index
CAD
Coronary Artery Disease
CIH
Chronic Induced Hypoxia
CNS
Central Nervous System
CO2
Carbon dioxside
CPAP
Continnous Positive Airway Pressure
CRP
C-reactive Protein
CSA
Central Sleep Apnea
CT
computed Tomography
CVD
Cardiovascular Dissease
EDS
Exessive Daytime Sleppiness
EKG
Elektrokardiogram
EMG
Elektromiografi
EOG
Electrookulogram
E-selectin
Endhotelial-selectin
xiii
FDA
Food and Drug Administration
GABA
Gamma-aminobutyric acid
GDNF
Gen Glial Cell Line-Derived Neurothropic Factor
GLU
glutamatnergik
GLY
glisinergik
H2O
Hydrogen Dioksida
HCRT
hipokretinergik
HF
Heart Failure
HPA
Hipotalamus Pituitari Adrenal
HRT
Hormone Replacement Therapy
HTR2A
5-Hidroksitriptamin reseptor 2A
HTR2C
5-Hidroksitriptamin reseptor 2C
ICAM-1
Intracellular Adhesion Molecule-1
IGF-1
Insuline-like Growth Factor-1
IL-18
Interleukin 18
IL-1β
Interleukin 1β
IL-6
Interleukin 6
IMT
Indek Masa Tubuh
KA
kainate
LAUP
Lasser-assisted uvuloplasty
LV
Left Ventricle
xiv
MIC
Microfon
MMP-9
Matrix Metaloproteinase 9
MRI
Magnetic Resonance Imaging
mRNA
Messenger Ribonucleid Acid
MSLT
Multipel Sleep Latency Test
NAPDH
Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
NK-1
Neurokinin 1
Nk-B
Natural Killer Cell-B
NMDA
N-metil-δ-aspartat
NO
Nitric Oxide
NREM
Non Rapid Eye Movement
OA
Oral Appliance
OSA
Obstructive Sleep Apnea
P2X2
purigenik
PaCO2
Pressure of Carbon dioxside in arterial blood
PAI-1
Plasminogen aktivator-1
PaO2
Pressure of Oxygen in arterial blood
PAP
Positive Airway Pressure
PCP
Primary Care Physician
Pcrit
Pressure Critis
Peso
Pressure esophagus
xv
PFT
Pulmonary Function Test
PIT
Pressure Intrathorasic
PL
Pressure Lumen
Pmus
Pressure Muscle
PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
P-SAP
Preoperative Sleep Apnea Prediction
PSG
Polisomnografi
Ptm
Pressure Transmural
RAAS
Renin Angiotensin Aldosterone System
RDI
Respiratory Disturbance Index
REM
Rapid Eye Movement
RERA
Respiratory Effort Related Arousal
RESP abdm
Respiration abdomen
RFA
Radiofrequency Ablation
RG
Retroglosal
ROS
Reactive Oxygen Species
RP
Retropalatal
SaO2
Saturation Oxygen
SDB
Sleep Disorders-Breathing
SHHS
Sleep Heart Health Study
SNA
Symphatetic Nerve Activity
xvi
SS
Sleep Specialist
TMJ
Temporomandibular join
TNF
Tumor Necrosis Factor
TRH
Thyrotropin-releasing Hormone
UA
Upper Airway
UPPP
Uvulopalatopharyngoplasty
VCAM-1
Vascular Cell Adhesion-1
xvii
ABSTRAK
M. Iccha Kertawari B. S551108004. 2015. OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER. Referat. Pembimbing: Indriany Widhowati, dr., Sp.S. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf / RSUD. Dr. Moewardi, Universitas Sebelas Maret Surakarta OSA merupakan penyakit gangguan tidur yang ditandai oleh tersumbatnya sebagian atau seluruh saluran napas yang menyebabkan apnea dan hipopnea pada saat tidur. Apnea dan hiponea akan diikuti desaturasi oksigen dan biasanya diakhiri dengan arousal singkat. Patofisiologi OSA dipengaruhi adanya faktor anatomis, saluran nafas yang kolaps, penurunan kompensasi tonik motor neuron otot dilator saat tidur menyebabkan kolapsnya saluran nafas faringeal, hal ini juga melibatkan neurotransmitter dan neuromodulator telah teridentifikasi yang memiliki kontribusi pada regulasi neurokemikal dari aktifitas motoneuron dan patensi saluran nafas. OSA yang terjadi secara berkepanjangan mengakibatkan peningkatan resiko kejadian kardiovaskuler, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, aritmia, gagal jantung, stroke, diabetes mellitus dan sindroma metabolik. Beberapa mekanisme yang mendasari kejadian kardiovaskular adalah terjadinya hipoksia intermiten yang merangsang kemoreseptor, peningkatan aktifitas simpatis, peningkatan resistensi vaskuler, reaksi inflamasi, stress oksidatif, disfungsi endotel. Resistensi insulin dihubungkan dengan adanya peningkatan katekolamin, aksis hipotalamus-pituitariadrenal dan kortisol. Manajemen OSA yang baik dapat menurunkan resiko kejadian kardiovaskuler, termasuk kejadian stroke, continuous positive airway pressure merupakan pilihan utama. Kata kunci: OSA – patofisiologi – penyakit kardiovaskuler
xviii
ABSTRACT
M. Iccha Kertawari B. S551108004. 2015. OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER. Referat. Supervisor: Indriany Widhowati, dr., Sp.S. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf / RSUD. Dr. Moewardi, Universitas Sebelas Maret Surakarta
OSA is a sleep disorder characterized by blockage of some or all of the airways that causes apnea and hypopnea during sleep. Apnea and oxygen desaturation followed hyponea and usually ends with a brief arousal. The pathophysiology of OSA influenced their anatomical factors, airway collapse, decline in motor neuron compensation tonic dilator muscles during sleep causing the collapse of the pharyngeal airway, these also involves neurotransmitters and neuromodulators have been identified that have contributed to the regulation of the activity of motoneuron neurochemical and airway patency. OSA occurs in prolonged lead to increased risk of cardiovascular events, such as hypertension, coronary heart disease, arrhythmias, heart failure stroke, diabetes mellitus and metabolic syndrome. Several mechanisms underlying cardiovascular events is intermittent hypoxia that stimulates chemoreceptor, increased sympathetic nerve activity, increased vascular resistance, inflammatory reactions, oxidative stress, endothelial dysfunction. Insulin resistance is associated with an increase in catecholamine, the hypothalamic-pituitary-adrenal and cortisol. Proper OSA management can reduce the risk of cardiovascular events, including stroke event, continuous positive airway pressure is the main option. Key words: OSA – pathophysiology – cardiovascular disseases
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu bentuk gangguan nafas terkait tidur yang paling sering terjadi. Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang dewasa di Amerika mengalami obstruktif sleep apneu. OSA lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan sekitar 24% pria dan 9% wanita atau sekitar 1 dari 25 pria paruh baya yang menderita OSA dan 1 dari 50 wanita paruh baya.1 Selama beberapa dekade terakhir, OSA muncul sebagai suatu faktor penyebab potensial beberapa penyakit kardiovaskuler. Kondisi ini mencakup antara lain hipertensi, penyakit arteri koroner, infark miokard, gagal jantung, hipertensi pulmonal dan stroke.2,3,4 Hipotesis mengatakan bahwa hubungan OSA dan penyakit kardiovaskuler adalah komplek dan interaksi keduanya dipengaruhi oleh beragam faktor resiko metabolik yang sebagian besar mekanismenya masih tidak diketahui dengan pasti.5 Selain itu keadaan hipersomnolen pada siang hari menyebabkan pasien OSA kehilangan kewaspadaan yang dapat berakibat pada gangguan sosial, kecelakanan kerja dan kecelakaan lalu lintas.3 Sleep apnea terjadi pada 5% sampai 10% dari populasi umum, terlepas dari ras dan etnis sedangkan, pada pasien dengan penyakit kardiovaskular (CVD), prevalensi berkisar antara 47% sampai 83%. Tiap pengamatan epidemiologi memunculkan beberapa pertanyaan penting dan belum terselesaikan, yaitu apakah OSA merupakan faktor resiko predisposisi individu untuk berkembang, dari waktu ke waktu menyebabkan hipertensi, penyakit arteri koroner, stroke, atau gagal jantung atau sebaliknya, dapatkah mekanisme terlibat dengan CVD, seperti aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensinaldosteron, dengan konsekuensi termasuk retensi natrium ginjal, berkontribusi untuk perkembangan atau eksaserbasi sleep apnea.6 Untungnya, sejumlah penelitian mengenai terapi menyebutkan bahwa OSA merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi namun banyak pasien menolak atau malas dikarenakan terapi yang tidak praktis dan masih banyak yang tidak terdiagnosa.7
2
Melihat tingginya peningkatan resiko kardiovaskuler dan serebrovaskuler akibat dari OSA, maka pada makalah ini dibahas mengenai OSA dari definisi, gejala klinis, diagnosis, patofisiologi maupun penatalaksanaan yang mungkin dapat menambah wawasan mengenai OSA, khususnya berfokus membantu praktisi kesehatan dalam memahami patofisiologi OSA yang terkait dengan penyakit kardiovaskuler.
B. Rumusan masalah Bagaimana patofisiologi Obstructive Sleep Apnea terkait dengan kejadian penyakit kardiovaskuler ?
C. Tujuan referat 1. Tujuan umum Mengetahui definisi, gejala klinis, diagnosis, patofisiologi maupun penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui patofisiologi terjadinya Obstructive Sleep Apnea b. Memberikan pemahaman patofisiologi terkait penyakit kardiovaskuler
D. Manfaat referat 1. Manfaat bidang akademik a. Menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu penyakit saraf tentang patofisiologi Obstructive Sleep Apnea terkait patofisiologi terjadinya penyakit kardiovaskuler. b. Memberikan pertimbangan arah penelitian di masa depan terkait hubungan Obstructive Sleep Apnea dan kejadian penyakit kardiovaskuler. 2. Manfaat bidang pelayanan Memperbaiki manajemen Obstructive Sleep Apnea secara tepat sehingga dapat menurunkan kejadian penyakit kardiovaskuler.
3
BAB II OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA
A. Definisi dan Klasifikasi Obstructive Sleep Apnea Syndrome merupakan salah satu Sleep Related Breathing Disorders menurut International Classification of Sleep Disorders edisi ke 3, selain OSA yang termasuk Sleep Related Breathing Disorders adalah Central Sleep Apnea Syndromes, Sleep Related Hypoventilation Disorders dan Sleep Related Hypoxemia Disorders. Banyak pasien dapat memenuhi kriteria lebih dari satu jenis penyakit. Terutama banyak pasien menderita OSA dan Central Sleep Apnea.3,8 OSA merupakan penyakit gangguan tidur yang ditandai oleh tersumbatnya sebagian atau seluruh saluran napas yang menyebabkan apnea dan hipopnea pada saat tidur. Apnea dan hiponea akan diikuti desaturasi oksigen dan biasanya diakhiri dengan arousal singkat. Kejadian apnea atau hipopnea berlangsung sedikitnya 10 detik, berulang dan dapat mencapai 20 – 60 kali per jam3,8,9, sebagian besar apnea atau hipopnea lamanya 10-30 detik tetapi kadang-kadang bisa berlanjut sampai satu menit atau lebih. Apnea adalah henti napas selama 10 detik atau lebih, bisa berupa apnea sentral atau apnea obstruktif. Hiponea adalah sumbatan parsial saluran napas atas yang disertai pengurangan aliran udara 30-50% dan desaturasi oksigen minimal 3% diikuti arousal selama minimal 10 detik. Kejadian apnea atau hipopnea biasanya durasinya lebih lama dan desaturasi oksigen lebih berat pada tidur stadium REM dan posisi telentang.5,8,9 Menurut American Academy of Sleep Medicine (2014) secara klinis OSA didefinisikan sebagai berulangnya mengantuk berlebihan disiang hari, mendengkur, saksi mata yang melihat adanya gangguan nafas, terbangun karena terengah – engah atau tersedak yang terjadi paling sedikit 5 kejadian osbtruksi nafas (apnea, hiponea atau usaha nafas saat bangun) per jam selama tidur. Adanya > 15 kali kejadian obstruksi nafas per jam selama tidur tanpa disertai gejala klinis terkait sudah cukup untuk mendiagnosa OSA, terkait adanya hubungan tingkat obstruksi. Pada OSA yang terjadi adalah penghentian airan udara namun usaha napas tetap ada, sedangkan henti napas sentral (CSA) adalah penghentian aliran udara dan usaha napas secara bersamaan.2,5
4
B. Epidemologi Pillar dan Lavie (2011) dalam Handbook of Clinical Neurology mengatakan sejarah prevalensi OSA berbeda – beda, yaitu (1) studi Lavie tahun 1983 setidaknya 1% dari populasi orang dewasa laki-laki sehat mungkin memiliki OSA namun pada saat itu sindrom didefinisikan sebagai temuan pada laboratorium tidur adanya 10 apnea per jam tidur dikombinasikan dengan keluhan subjektif dari kantuk di siang hari yang berlebihan atau gangguan tidur di malam hari. Dari catatan, pentingnya hipopnea, yaitu hambatan sebagian saluran udara, tidak diakui pada waktu itu, yang mungkin mengakibatkan prevalensi jauh lebih rendah dari perkiraan sebenarnya dari sindrom ini, (2). Studi Franceschi et al. (1982), berdasarkan studi dari semua pasien yang dirawat selama 1 tahun ke rumah sakit di Italia melaporkan prevalensi 1% dari sleep apnea, (3) Studi Neven et al. (1998) menginvestigasi prevalensi apnea tidur pada populasi umum di Belanda didapatkan prevalensi sebesar 0,9%. Perkiraan tinggi berkisar mulai 1,3 - 4,7% yang dilaporkan dalam studi yang menghitung baik apnea dan hipopnea.10 Studi epidemiologi di Amerika Serikat pada 1990-an berdasarkan populasi umum atau kohort berbasis komunitas yang terdiri dari terutama orang kulit putih dengan usia antara 30-60 tahun memperkirakan prevalensi dari OSA (didefinisikan dengan AHI ≥ 5) sebesar 24 % laki-laki dan 9 % wanita namun, ketika keluhan excessive daytime sleepiness (EDS) diambil, 4 % laki-laki dan 2 % wanita memiliki OSA.10,11 Studi Komisi Nasional Gangguan Tidur memperkirakan bahwa sleep disorder breathing minimal (Respiratory Disturbance Index / RDI > 5) menyerang 7-18 juta orang di Amerika Serikat dan bahwa kasus-kasus yang relatif berat (RDI> 15) menyerang 1,8 – 4 juta orang. Prevalensi OSA pada populasi non-Amerika hanya telah dipelajari pada pria dan telah ditemukan paling kecil 0,3% (Inggris) dan paling tinggi 20-25% (Israel dan Australia). Prevalensi OSA pada pria Australia diperkirakan 3% .12 Penelitian terbaru sesudah ledakan epidemi obesitas pada negara-negara industri telah mengubah hasil ini. Insidensi OSA pada orang kulit putih dipengaruhi oleh epidemik obesitas mencapai kira-kira 8%. Penelitian pada kelompok etnis lain juga tersedia. Di Hong Kong prevalensi pada akhir 1990-an dilaporkan sama dengan yang terlihat pada orang kulit putih (4,1 % laki-laki paruh baya dan 2,1 % wanita). Penelitian pada etnis Cina di Singapura menyatakan perkiraan prevalensi sebesar 15 %, dan prevalensi yang dilaporkan sebesar 7,5
5
% pada laki-laki urban India usia pertengahan, 4,5 % pada laki-laki Korea dan 3,2 % pada wanita Korea usia pertengahan, sedangkan di Malaysia 8,8 % pada laki-laki dan 5,1 % pada wanita.11 Studi terdahulu oleh Kim (2004) dan Villaneuva (2005) yang menganalisa hubungan OSA dengan berbagai kelompok etnis memberikan hasil yang tidak jelas, yaitu apakah peningkatan prevalensi di kelompok etnis tertentu merupakan hasil langsung dari genetik atau dari karakteristik terkait etnis yang berhubungan dengan fenotip tubuh, seperti struktur jalan nafas atas atau obesitas.12 Individu Afrika Amerika tampaknya lebih cenderung mengalami SDB daripada orang kulit putih. Peningkatan kecenderungan ini bervariasi sesuai dengan umur. Pasien Cina dengan OSA memiliki saluran udara bagian atas yang relatif retrognatia dibandingkan dengan kulit putih. Orang Asia dikenal memiliki basis tengkorak yang lebih pendek dan fleksura basis kranial yang lebih datar, peningkatan resiko OSA, dengan BMI dan lingkar leher kurang lebih sama namun, obesitas memainkan peran yang lebih menonjol dalam predisposisi OSA pada kulit putih daripada pada orang Cina. Populasi lainnya yang mungkin meningkatan resiko meliputi Amerika Meksiko dan Kepulauan Pasifik.12 Rasio Laki-laki-terhadap-perempuan dalam studi berbasis masyarakat adalah 2-3:1. Pola androgenik distribusi lemak tubuh (pengendapan di punggung, termasuk daerah leher) merupakan predisposisi OSA pada laki-laki. Tiga studi epidemiologi luas telah menunjukkan bahwa prevalensi OSA pada wanita tampaknya meningkat setelah menopause. Dalam studi ini, perempuan yang sedang dalam terapi hormone replacement theraphy (HRT) memiliki prevalensi yang sama dengan wanita premenopause. Wanita pascamenopause 3 kali lipat cenderung memiliki OSA moderat sampai berat dibandingkan dengan wanita premenopause. Wanita yang menjalani HRT setengah lebih cenderung mengalami OSA dibandingkan dengan wanita postmenopause yang tidak menjalani HRT.12 Prevalensi OSA meningkat seiring dengan pertambahan usia11, prevalensi gangguan pernapasan saat tidur pada orang tua diperkirakan sekitar 30%.10 Penuaan adalah suatu pertimbangan penting dari resiko OSA. Prevalensi OSA meningkat 2-3 kali lipat pada orang yang lebih tua (> 65 tahun) dibandingkan dengan individu yang berusia 30-64 tahun, dengan tingkat perkiraan setinggi 65% dalam sampel komunitas orang tua berusia lebih dari 65 tahun.Setelah usia 65 tahun, tidak ada perbedaan relatif yang tercatat dalam kejadian
6
OSA, satu penjelasan untuk terjadinya plateau adalah peningkatan relatif kematian pada orang berusia lebih dari 65 tahun.12 Prevalensi sesungguhnya dari OSA sulit diketahui, karena sebagian besar penderita OSA tidak menjalani pemeriksaan polisomnografi sehingga tetap tidak terdiagnosa. Beberapa studi berbasis populasi memperkirakan bahwa 1 dari 5 dewasa usia menengah dengan indek massa tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 menderita OSA, dimana 1 dari 20-nya adalah asimptomatik. Kelainan ini juga terdapat lebih dari 40% pada mereka yang mempunyai IMT diatas 30, dan umumnya pada individu dengan IMT 40. Selain itu hubungan erat OSA dengan kelainan metabolik multipel termasuk diantaranya obesitas abdominal, diabetes, dislipidemia, dan terutama sindrom metabolik sudah lama diketahui.2,9 Obesitas mungkin juga berkontribusi pada peningkatan prevalensi OSA. Lebih lanjut, teknik yang digunakan untuk menghitung prevalensi mungkin berperan dalam kesenjangan dalam penelitian. Penelitian di Sao Paulo dari 2007-2008 mengamati pasien dengan obesitas, dan ditemukan prevalensi OSA sebesar 15%. Prevalensi OSA selanjutnya merupakan variabel tergantung pada lokasi geografis, umur dan derajat obesitas juga berkontribusi pada prevalensi. Lebih lanjut, obesitas trunkus atau sentral dikaitkan dengan aktivitas adiposit yang abnormal, menyebabkan sekresi bermacam-macam peptida yang menyebabkan sindroma metabolik.11 Pasien obese memiliki resiko lebih tinggi terkena OSA, berkisar dari 50-98% pada obese yang tidak sehat.10 Prevalensi OSA pada asma lebih besar dibanding pada populasi umum dan berhubungan dengan IMT dan lingkar leher.13 Beberapa studi lain menemukan adanya prevalensi gangguan pernapasan saat tidur jauh lebih tinggi pada populasi tertentu yang beresiko tinggi, misalnya pada pasien hipotiroidisme, diabetes melitus, gastroesofageal refluk, gagal ginjal dan akromegali. Pada populasi dengan penyakit kardiovaskular, prevalensi telah ditemukan meningkat secara substansial, terutama pada pasien dengan hipertensi, penyakit arteri koroner dan stroke stroke.10 Prevalensi kejadian OSA dengan diabetes mellitus dan sindroma metabolik sebesar 73-86%, OSA dengan hipertensi sekitar 40 – 60%, pada hipertensi refrakter meningkat sampai 71%, OSA dengan miokard infark 73%, OSA dengan kardiomiopati
hipertrofi 83%, OSA dengan gagal jantung dan
penurunan fungsi ventrikel 69%, OSA dengan atrial fibrilasi 30 – 75%, OSA dengan penyakit kelainan katup jantung 72% .9,14
7
C. Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi OSA melibatkan baik faktor struktural dan nonstruktural, termasuk faktor genetik 12
Faktor struktural 1. Faktor yang berhubungan dengan anatomi tulang kraniofasial yang mempengaruhi pasien dengan OSA terhadap kolapsnya faring saat tidur: Variasi anatomi bawaan (elongasi wajah, kompresi wajah posterior) Retrognatia dan mikrognatia Hipoplasia mandibula Bentuk kepala Brachysefalik - Terkait peningkatan AHI pada kulit putih tetapi tidak pada Afrika Amerika. Displacement inferior hyoid Hipertrofi adenotonsillar, terutama pada anak-anak dan dewasa muda Sindrom Pierre Robin Down syndrome Sindrom Marfan Sindrom Prader-Willi Palatum dengan lengkungan tinggi (terutama pada wanita) 2. Faktor struktural yang berhubungan dengan obstruksi hidung meliputi polip, deviasi septum, tumor, trauma, dan stenosis. 3. Faktor struktural yang berhubungan dengan obstruksi retropalatal meliputi (1) palatum dan uvula letak memanjang, dan posterior dan (2) hipertrofi tonsil dan adenoid 4. Faktor struktural yang berhubungan dengan obstruksi retroglossal meliputi makroglossia dan tumor.
Faktor non struktural 1. Faktor non struktural pada OSA: Kegemukan (obesitas) Distribusi lemak sentral Jenis kelamin laki-laki Usia Kondisi pascamenopause Penggunaan alcohol Penggunaan obat penenang Merokok Kebiasaan mendengkur dengan EDS Posisi tidur terlentang Tidur rapid-eye movement (REM) 2. Kondisi lain terkait OSA: Hipotiroidisme dikaitkan dengan macroglossia dan peningkatan massa jaringan lunak di daerah faring. Sindrom neurologis sindrom postpolio, distrofi otot, dan sindrom kegagalan otonom seperti sindrom ShyDrager Stroke Akromegali Paparan lingkungan, meliputi asap, iritasi lingkungan atau alergen, dan alkohol dan obatobat sedatif hipnotik.
Faktor genetik 1. Keluarga dengan OSA memiliki resiko 2 – 4x dibanding subjek normal. 2. Studi Larkin et al. (2010) mengungkapkan gen glial cell line-derived neurotrophic faktor (GDNF) Alel A, Alel G dan CRP (Creactive protein) beresiko meningkatkan resiko OSA pada orang Amerika-Eropa sedangkan pada AfrikaAmerika selain gen GDNF alel A, adanya mutasi pada reseptor serotonin 2a juga berdampak peningkatan OSA.
8 Tabel 2.1. Faktor – faktor terkait etiologi OSA12
Sedangkan Pillar dan Lavie (2011) membagi berdasarkan faktor resiko spesifik dan non spesifik berkaitan dengan OSA.10 Faktor resiko spesifik 1. Anatomi saluran napas sempit (misal: pembesaran lidah dan / atau langit-langit lunak, peningkatan jaringan lemak dinding lateral, perpindahan inferior dari tulang hyoid, tulang rahang yang lebih pendek, elongasi wajah, perpindahan inferior dari mandibula, dll) 2. Obesitas Mekanisme yang terakhir ini menekankan pentingnya obesitas sentral dibandingkan dengan obesitas perifer, karena perutlah yang lebih mempengaruhi ukuran jalan napas atas daripada paha 3. Jenis Kelamin Rasio laki-laki untuk perempuan di antara pasien OSA sebesar 8: 1 pada populasi klinis tidur, dan sekitar 2-3: 1 dalam sampel berbasis masyarakat. Alasan untuk efek gender pada OSA tetap kurang dipahami tapi bisa jadi akibat hasil dari kombinasi berbagai faktor patofisiologi, seperti perbedaan dalam distribusi lemak tubuh (atau perbedaan anatomi jalan nafas atas berkaitan dengan gender lainnya), kontrol ventilasi, fisiologi aktivasi otot dilator faring saluran napas, dan perbedaan hormonal.
Faktor resiko non spesifik 1. Beberapa patologi endokrinologi: hipotiroidisme, akromegali, dan diabetes. OSA dapat menyebabkan diabetes dengan meningkatkan resistensi insulin, di sisi lain, diabetes dapat menyebabkan perubahan dalam sistem kontrol ventilasi sentral yang dapat menyebabkan pernapasan periodik selain itu. 2. Penggunaan zat dan obat-obatan yang melemahkan aktivasi otot dilator saluran nafas atas, meliputi alkohol, depresan sistem saraf pusat seperti benzodiazepin dan barbiturat. 3. Penyakit neuromuskuler seperti miopati, distrofi otot, cedera tulang belakang, dan gangguan neuromuskuler lain mengubah keseimbangan antara tekanan kolaps dan stabilisasi dari saluran nafas 4. Beberapa penyakit tertentu yang, berdampingan dengan sleep apnea, memperburuk beratnya OSA yaitu PPOK, asma, dan gagal ginjal.
4. Usia Studi Malhotra et al. (2006) mengungkapkan bahwa orang tua memiliki respon otot dilator faring yang lebih buruk terhadap rangsangan tekanan negatif daripada subyek yang lebih muda. 5. Faktor genetik Tabel 2.2. Faktor resiko spesifik dan non spesifik terkait OSA10
Studi Teodorescu, et al. (2015) mendapatkan bahwa terdapat hubungan signifikan asma dan onset baru OSA hal ini dikarenakan pada pasien asma didapatkan kolaps pada area farringeal sehingga menganggu patensi saluran nafas, beberapa mekanisme yang
9
mungkin berpengaruh antara lain, tekanan negatif intralumen saat inspirasi akibat kolapsnya saluran nafas, kekakuan pada saluran nafas faringeal yang diakibatkan berkurangnya tarikan trakea, adanya fragmentasi tidur yang dapat mempengaruhi kolapsnya saluran nafas, proses inflamasi yang bersifat sistemik dari asma serta pengunaan steroid dalam jangka panjang yang dapat memicu penumpukan lemak dan miopati.15
C
A
B
D
E
Gambar 2.1. Ilustrasi beberapa contoh orang dengan faktor resiko terkena OSA. (A). obesitas, (B). hipoplasia maxilla, (C). maloklusi dari gigi, (D). hipertrofi tonsil, (E). leher pendek, usia tua16
D. Anatomi dan Patofisiologi 1. Anatomi Saluran Pernafasan Bagian Atas Saluran nafas atas terbagi menjadi tiga region yaitu, nasofaring, yang merupakan batas posterior dari turbinat nasal hingga palatum durum; orofaring, terbagi ke dalam region retropalatal (batas posterior dari palatum durum hingga batas kaudal dari palatum molle) dan region retroglossal (batas kaudal dari palatum molle hingga dasar epiglottis); dan hipofaring, yang merupakan dasar lidah dan epiglotis hingga laring (Gambar 2.2). Kebanyakan pasien dengan OSA bermanifestasi pada penyempitan dan penutupan saluran nafas atas selama tidur pada regio retropalatal, regio retroglossal, atau keduanya.17
10
Gambar 2.2. A. MRI midsagital pada orang normal memperlihatkan empat regio saluran nafas atas: nasofaring, yang mana dibatasi turbinate nasal hingga palatum durum; retropalatal (RP) orofaring, melebar dari palatum durum hingga kaudal palatum molle; regio retroglossal (RG) dari kaudal palatum molle hingga dasar epiglotis; dan hipofaring, yang mana dibatasi dasar lidah hingga faring. B. Diagram ini menunjukkan saluran nafas atas midsagital, jaringan lunak, dan struktur tulang.17
Untuk mengevaluasi penutupan saluran nafas pada pasien dengan OSA, penting untuk mengetahui bagaimana perubahan struktur dinding faring pada ukuran salurannya. Dinding anterior dari orofaring dibentuk oleh palatum molle dan lidah, dinding posterior dari orofaring disusun oleh otot polos konstriktor superior, medial dan inferior. Dinding orofaring lateral dibentuk oleh beberapa struktur yang berbeda termasuk otot-otot orofaringeal (hipoglossus, stiloglossus, stilohyoid, stilofaringeus, palafaringeus, palatoglossus, dan konstriktor faringeal superior, tengah, dan inferior), jaringan limfoid (tonsil palatina), dan jaringan adiposa. Keseluruhan struktur ikatan ramus mandibular membentuk dinding faringeal lateral terlihat pada Gambar 2.3.17
11
Gambar 2.3. MRI axial pada orang normal di regio retropalatal (gambar kiri), MRI midsagital pada orang normal menggambarkan regio midretropalatal (RP) dan midretroglossal (RG) (gambar tengah dan kanan).17
2. Sifat Statis dan Dinamis dari Saluran Nafas Faringeal Normal Kemampuan mekanik saluran nafas faringeal berada di bawah kondisi pasif yaitu, ketiadaan aktivitas otot faringeal-dapat digambarkan dalam hal hubungan antara luas penampang saluran nafas (A) dan tekanan transmural (Ptm), dimana tekanan transmural adalah pengurangan antara tekanan intralumen (PL) dan tekanan jaringan (Pti). Peningkatan tekanan transmural, dapat disebabkan oleh tekanan intralumen yang lebih positif atau tekanan jaringan yang lebih negatif, mennggelembungkan dan memperbesar area saluran nafas. Sebaliknya, penurunan tekanan transmural, dapat disebabkan oleh tekanan intralumen yang lebih negatif atau tekanan jaringan yang lebih positif, mempersempit saluran.17 Karakteristik mekanik pada regio tertentu dari faring pasif terungkap pada pembuktian hubungan tekanan transmural dengan luas penampang area intralumen. Hubungan ini disebut sebagai tube law dan menggambarkan ketergantungan dari luas penampang pada tekanan transmural. Banyak faktor mekanik (Tabel 2.3) mempengaruhi saluran nafas atas untuk membuka secara penuh, menyempit, atau menutup. Faktorfaktor ini diklasifikasikan menjadi statis dan dinamis, berinteraksi dengan tube law dari faring untuk menilai luas penampang saluran nafas.17
12
Faktor Statis Gaya adesif permukaan Posisi leher dan rahang Tracheal tug (Tarikan trachea) Gravitasi
Faktor Dinamik Upstream resistance pada saluran udara nasal Efek Bernoulli Dynamic compliance
Tabel 2.3. Faktor – faktor mekanik yang mempengaruhi saluran nafas faringeal17
Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa faktor mekanik yang mempengaruhi saluran nafas faringeal17: a. Faktor statis yang mempengaruhi sifat dari saluran nafas faringeal normal Gaya adesif permukaan Studi dan observasi klinis pada hewan yang dianestesi mengindikasikan bahwa gaya adesif permukaan melawan permukaan lumen berkontribusi pada patensi dan penutupan jalan nafas. Selama hidung bernafas dengan mulut tertutup, gaya adesif permukaan membantu menjaga palatum molle dan dasar lidah serta mendorong kontak lidah dengan mukosa cavum oris. Saat membuka mulut mukosa lidah dan palatum molle terbebas satu sama lain dan memungkinkan struktur yang bergerak bebas ini untuk pindah ke arah posterior dan membahayakan saluran nafas faringeal. Gaya adesif permukaan juga dapat membuat restorasi dari patensi jalan nafas lebih sulit dan mungkin menjelaskan mengapa tekanan diperlukan untuk membuka jalan nafas yang telah tertutup (tekanan pembuka) lebih besar daripada tekanan penutup. Walaupun gaya adesif permukaan merupakan penentu penting patensi jalan nafas, pengurangan pada gaya ini dengan memberikan surfaktan pada mukosa saluran nafas atas menghasilkan pengurangan sederhana secara relatif pada kolapsnya saluran nafas selama tidur. Posisi rahang dan leher Studi mengindikasikan bahwa fleksi leher di bawah kondisi pasif cenderung akan menutup jalan nafas, dan ekstensi leher bekerja untuk membukanya. Region retropalatal dan retroglossal dari jalan nafas faringeal menyempit ketika leher fleksi. Posisi rahang juga dapat mengubah ukuran saluran pernafasan atas. Membuka
13
rahang sedikit dapat menambah ukuran faring dengan menyediakan ruang lebih pada cavum oris untuk lidah. Hal ini penting khususnya jika lidah relatif besar terhadap cavum oris. Namun demikian, pembukaan rahang yang progresif menyebabkan perpindahan posterior tuberkel genial dari mandibula (Gambar 2.4). Perpindahan posterior dari tuberkel genial dari mandibula dengan membuka mulut menyebabkan lidah dan apparatus hyoid berpindah secara posterior, dan demikian mempersempit jalan nafas faringeal.17
Gambar 2.4. Pembukaan rahang menghasilkan pergeseran posterior dan kaudal dari tuberkel genial mandibula, dan membuat tulang hyoid melayang. Sebagai hasilnya, struktur dinding faring anterior seperti lidah dan epiglottis pindah pada jalur posterior, menurunkan ukuran saluran nafas faring. Fleksi leher memiliki efek yang sama pada hyoid, lidah, dan epiglottis bahkan tanpa perubahan hubungan antara mandibula dan maxilla.17
Tracheal tug/ tarikan trakea Menambah volume paru-paru dianggap sebagai menambah luas penampang faringeal, mengurangi tekanan penutupan, dan kekakuan saluran nafas atas. Aksi ini dapat diberikan melalui gaya aksial dari trakea, disebut tracheal tug. Penambahan volume paru-paru menyebabkan pergeseran kaudal dari trakea intratorakal, pada gilirannya, memberikan gaya langsung ke arah kaudal pada saluran nafas atas. Tekanan aksial pasif yang dihasilkan pada dinding faring cenderung membuka faring. Di sini setidaknya terdapat empat mekanisme yang mana traksi kaudal dari jalan nafas atas dapat memperbaiki patensi jalan nafas (Gambar 2.5). Jika saluran nafas bagian atas ditarik ke arah dada, lipatan dapat dikurangi pada dinding laring
14
dan orofaring. Kedua, peregangan membuat kaku saluran nafas bagian atas dan membuatnya lebih tahan terhadap kolaps. Pergeseran kaudal dari struktur lemak dan struktur lainnya yang mengelilingi faring dapat mengurangi kompresi ekstrinsik dari jalan nafas. Akhirnya, traksi kaudal dapat memperbaiki patensi jalan nafas melalui efek mekaniknya terhadap apparatus hyoid.
G a m b a r 2 . 5. Kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskan bagaimana tracheal tug pada saluran nafas atas melindungi patensi saluran nafas atas.17
Gravitasi Gravitasi juga memiliki pengaruh yang penting pada patensi jalan nafas faringeal dan hal tersebut umum terjadi pada pasien dengan OSA untuk memiliki index apnea-hipopnea lebih besar pada posisi supinasi daripada posisi nonsupinasi. Ketika pasien pada posisi supinasi, gravitasi dapat membantu mempersempit jalan nafas faringeal dengan menarik lidah dan palatum molle pada jalur posterior.17 b. Sifat dinamis dari saluran nafas faringeal normal Saluran nafas bagian atas telah dicontohkan memiliki sifat seperti resistor Starling. Resistor Starling menggambarkan sebuah tabung yang sangat mudah dilipat dan memiliki penyesuaian yang tak terbatas (lebih tidak kaku) pada satu tekanan transmural dan penyesuaian yang rendah (lebih kaku) pada tekanan transmural yang berada di atas dan di bawah tekanan ini. Tabung sudah benar-benar ditutup pada satu tekanan luminal dan benar-benar terbuka pada tekanan luminal yang lebih tinggi. Tekanan luminal di mana saluran udara beralih dari terbuka sepenuhnya menjadi
15
tertutup sepenuhnya (yaitu, titik penyesuaian tak terbatas) ditentukan oleh tekanan ekstramural dan disebut sebagai tekanan kritis (Pcrit).17 Upstream resistence di dalam saluran udara nasal Aliran udara inspirasi melalui hidung dihasilkan dari penurunan tekanan antara nares dan nasofaring, sehingga menciptakan driving pressure. Driving pressure untuk aliran udara inspirasi dihasilkan oleh penurunan sekunder tekanan nasofaring akibat kontraksi aktif dari diafragma dan otot-otot pompa inspirasi lainnya. Hidung memiliki ketahanan yang relatif tinggi dan pola aliran turbulen, karakteristik yang ditingkatkan ketika jalan nafas hidung menyempit oleh kondisi seperti kemacetan mukosa, polip hidung, dan hipertrofi konka. Faktor-faktor ini meningkatkan resistensi saluran nafas hidung selama inspirasi. Peningkatan ini nonlinear relatif terhadap aliran udara inspirasi sehingga saat aliran udara inspirasi meningkat, terdapat ketidakproporsionalan tekanan intraluminal nasofaring menjadi lebih negatif.17 Tekanan nasofaring secara efektif setara dengan tekanan intraluminal faring jika resistensi dalam faring relatif rendah. Semua hal lain dianggap sama, peningkatan resistensi hidung menghasilkan ayunan inspirasi lebih negatif pada tekanan intraluminal faring dan akibatnya, sesuai tube law, penurunan luas penampang faring. Luasnya penyempitan lumen tergantung pada komplians saluran udara regional, yaitu, komplians relatif dari setiap segmen.17 Upstream resistence di dalam faring Seperti halnya dengan resistensi hidung, resistensi tinggi dalam faring berhubungan dengan tekanan intraluminal yang lebih negatif pada segmen yang lebih kaudal selama inspirasi. Dengan kata lain, penyempitan di regio retropalatal dikaitkan dengan penurunan lebih lanjut tekanan intraluminal selama inspirasi pada bagian kaudal hingga regio retropalatal, sehingga meningkatkan kecenderungan penutupan pada regio retroglossal dan hipofaring.17 Efek Bernoulli Dua tipe fenomena fisik mendorong penurunan tekanan intraluminal seperti gas mengalir melalui tabung, hilangnya energi karena digunakan untuk mengatasi aspek resistensi-aliran dan efek Bernoulli (konversi energi dari statis menjadi kinetik
16
yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran udara ketika area luas penampang saluran nafas menurun). Fenomena pertama berkaitan dengan upstreamresistance terhadap aliran udara. Setiap kali gas mengalir melewati resistensi, energi potensial dihilangkan untuk mengatasi gesekan dan, akibatnya, tekanan intraluminal menurun. Kedua fenomena berhubungan dengan percepatan gas karena gas tersebut mengalir melalui segmen yang menyempit dari tabung. Kedua fenomena berkontribusi mengurangi tekanan intraluminal faring selama inspirasi. Oleh karena itu, keduanya cenderung mempersempit faring selama inspirasi.17 Karena tekanan pada faring harus berada di bawah tekanan saat pembukaan jalan nafas (hidung atau mulut) untuk menghasilkan aliran udara inspirasi, hidung atau bagian lain dari upstream resistance berkontribusi pada pengembangan tekanan faring intraluminal negatif bahkan tanpa adanya batasan aliran inspirasi. Namun, sekali saja terdapat pembatasan aliran inspirasi, rongga hidung yang relatif kaku tidak berkontribusi dalam penurunan tekanan lebih lanjut pada seluruh segmen lipatan. Sebaliknya, penyempitan progresif dari segmen faring awal menghasilkan tekanan intraluminal inspirasi lebih negatif secara progresif bagian akhir dari lokasi penyempitan, tanpa memperhatikan batasan aliran inspirasi, karena peningkatan hilangnya energi viskositas pada regio yang menyempit. Jika area luas penampang lumen faring menurun di beberapa regio, kecepatan aliran udara meningkat pada regio ini. Peningkatan kecepatan aliran udara menunjukkan peningkatan energi kinetik dari aliran udara dan, karenanya, penurunan tekanan distensi. Penurunan ini memungkinkan penyempitan inspirasi lebih lanjut berdasarkan tube law dari faring.17 Dynamic compliance Selama inspirasi, penurunan tekanan intralumen pada setiap titik pada saluran nafas atas berhubungan dengan komplians dinamis dari segmen saluran nafas atas, saluran nafas atas menyempit sebagaimana terjadi penurunan tekanan intraluminal selama inspirasi. Sejauh mana luas penampang faring menurun tergantung pada komplians dinamis dari saluran nafas bagian atas. Sifat mekanik ini juga mempengaruhi kemungkinan kolapsnya saluran nafas lebih lanjut. Secara khusus, penyempitan selama inspirasi karena penurunan tekanan intraluminal dapat menurunkan area
17
secara signifikan yang mana, pada gilirannya, meningkatkan kecepatan gas yang mengalir melalui segmen tersebut. Hal ini menyebabkan penurunan lebih lanjut tekanan intraluminal karena konversi dari statis menjadi energi kinetik dengan penurunan tekanan distensi. Penurunan tekanan luminal tersebut, pada gilirannya, cenderung untuk lebih menurunkan area saluran nafas. Urutan ini menjelaskan penyempitan dinamis saluran nafas bagian atas, yang biasanya diamati dalam kondisi normal jika otot faring hipotonik. Pada ekspirasi awal (tekanan saluran nafas positif karena rekoil dinding dada), peningkatan kaliber saluran nafas, dan menuju akhir ekspirasi (penurunan tekanan saluran nafas positif dan inaktivasi otot-otot dilator saluran nafas bagian atas), saluran nafas menyempit. Pasien dengan OSA beresiko mengalami penutupan jalan nafas pada akhir ekspirasi dan inspirasi.17 Kontrol ventilasi Perubahan dalam kontrol ventilasi juga dapat mempengaruhi saluran nafas atas dan menyebabkan obstruksi jalan nafas bagian atas. Pada manusia, oksigen arteri dan kadar karbon dioksida dikontrol ketat oleh berbagai sistem umpan balik yang melibatkan kemoreseptor, reseptor intrapulmoner dan aferen otot pernafasan. Karena kontrol ventilasi adalah diatur oleh sistem umpan balik, sistem ini dapat menjadi tidak stabil. Gangguan pada sistem umpan balik pernafasan umumnya ditandai dengan peningkatan loop gain, yang dapat meningkatkan periodik pola pernafasan dan beberapa orang terkait dengan obstruksi jalan nafas atas periodik.17
3. Otot-Otot Faring a. Aktivasi otot-otot faring Kebanyakan dari 20 atau lebih otot-otot skeletal di sekitar saluran nafas faring diaktivati selama inspirasi, yang membantu mendilatasi saluran nafas dan membuat kaku dinding saluran nafas. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.6, otot-otot faring memiliki hubungan anatomis yang kompleks yang membantu meregulasi posisi dari palatum molle, lidah, apparatus hyoid, dan dinding faring posterolateral. Kontraksi otot-otot tertentu dalam kelompok ini dapat memiliki efek antagonis pada saluran napas faring. Sebagai contoh, kontraksi dari otot palatini levator palatal, bersama dengan konstriktor faringeal superior, menutup jalan napas retropalatal,
18
namun kontraksi otot-otot palatum lainnya, palatofaringeus dan glossofaringeus, membuka jalan napas di regio retropalatal17
Gambar 2.6. A. Diagram skematik anatomi saluran napas atas. Tensor palatini menggerakkan palatum molle ke arah ventral. Genioglossus bertindak untuk menggeser lidah ke arah ventral. Co-aktivasi dari otot-otot di dinding faring anterior seperti kerja geniohyoid dan sternohoid pada tulang hyoid untuk memindahkannya ke arah ventral. B. Diagram skematik otot saluran napas bagian atas. Di antara banyak otot saluran napas bagian atas yang melekat pada tulang hyoid yang mengambang adalah genioglossus, geniohyoid, hyoglossus, konstriktor faring tengah, sternohyoid, dan digastrik.17
Selain itu, otot-otot faring dapat memiliki efek yang berbeda ketika diaktifkan secara bersama-sama dibanding ketika diaktifkan secara individual. Co-aktivasi otot-otot hyoid adalah contoh yang baik dari fenomena ini (Gambar 2.6). Tulang hyoid pada manusia, seperti pada mamalia lain, tidak menyambung dengan tulang lainnya atau struktur tulang rawan. Posisi tulang hyoid ditentukan oleh otot yang melengkapi struktur tulang. Otot-otot yang berinsersi pada hyoid termasuk geniohyoid dan genioglossus. Kontraksi otot-otot ini menarik hyoid dalam arah rostral dan anterior. Otot yang berasal dari sternum (sternohyoid) dan kartilago tiroid (tirohyoid) juga bekerja pada hyoid dan menariknya ke arah kaudal. Dengan kontraksi simultan dari keempat otot, kekuatan resultan vektor yang bekerja pada hyoid pada arah kaudal dan anterior. Efek kombinasi ini menggerakkan dinding faring anterior ke luar, dapat membuat kaku dinding faring lateral, dan meningkatkan patensi jalan nafas. Contoh lain dari co-aktivasi otot-otot dan patensi jalan napas bagian atas melibatkan lidah. Bukti menunjukkan bahwa aktivasi
19
simultan dari antagonistik dari protrudor dan retraktor lidah, seperti yang terjadi pada kondisi hiperkapnia dan hipoksia, memiliki efek sinergis dalam meningkatkan patensi jalan napas bagian atas.17 Kerja otot saluran napas bagian atas tidak hanya tergantung apakah otot-otot lain yang aktif secara simultan tetapi juga pada karakteristik panjang-tekanan dan kekuatan-kecepatan pada saat aktivasi. Misalnya, membuka mulut menurunkan panjang otot genioglossus dan otot geniohyoid, yang dapat mempengaruhi kaliber saluran napas bagian atas. Tidak hanya itu, fleksi leher mengubah posisi tulang hyoid; mengubah hubungan anatomi berbagai otot yang bekerja pada struktur ini dan menggeser vektor kekuatan mereka dalam arah yang lebih kaudal. Bukti lain menunjukkan bahwa otot faring tertentu dapat memiliki efek mekanis yang berbeda pada jalan napas tergantung pada ukuran jalan napas pada saat aktivasi otot. Kemampuan yang diberikan otot untuk menghasilkan efek mekanik yang berbeda mungkin karena perubahan orientasi serat otot diringi perubahan dalam ukuran dan bentuk jalan napas. Selain itu, waktu aktivasi otot relatif terhadap fase respirasi mungkin memainkan peran dalam menentukan efek mekanik dari setiap aktivasi. Efek mekanik yang berbeda dari otot faring, tergantung pada kondisi saluran napas pada saat aktivasi, mungkin membantu menjelaskan bagaimana otot faring dapat berperan dalam fungsi yang berbeda seperti respirasi, penelanan, dan fonasi.7,17 Berbagai macam kelompok otot yang terlibat dalam patensi saluran nafas atas pada individu yang secara anatomi rentan terhadap gangguan sleep obstructive breathing. Karena orofaring sering dapat kolaps dari berbagai arah, banyak individu dengan predisposisi mengalami kolaps saluran nafas atas saat tidur bergantung pada kelompok otot yang berlawanan untuk bekerja pada satu kesatuan untuk mencegah kolapsnya saluran nafas atas, seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.7. Sehingga penting untuk memahami kontrol neurokimia pada bermacam kelompok otot-otot dilator dan bagaimana otot-otot tersebut berkerja bersamaan namun, saat ini, penekanan penting telah diganti pada pemahaman kontrol neurokimia pada genioglosus, atau otot lidah, dan saraf utamanya, hipoglosal.7 Genioglosus merupakan otot dilator saluran nafas atas yang paling besar dan paling kuat. Namun, aktivasi otot geniglosus sendiri mungkin tidak cukup
20
mengurangi kolapsibilitas faring. Oleh karena itu, banyak studi neurokimia tentang kontrol neurokimia hipoglosal yang ditampilkan di bawah akan diulang untuk kelompok otot dilator yang lain dengan vektor yang berbeda. Kesimpulannya, individu saluran nafas atas yang kolaps, kekuatan dilatasi yang penting dilakukan oleh beberapa kelompok motoneuron ini: motor trigeminal (V), facialis (VII), glosofaring (IX), motor vagus (X), dan hipoglosus (XII). Otot-otot yang mengatur volume paru serta posisi leher dan rahang juga menyebabkan patensi saluran nafas atas, sehingga motoneuron cervical ventral horn dapat mempengaruhi patensi saluran nafas atas.7
Gambar 2.7. Saluran nafas atas pada OSA: bergantung pada patensi otot-otot dilator saluran nafas atas. MRI sagital (kiri) dan koronal (kanan) dari pasien dengan OSA. Saluran nafas menyempit tetapi tetap paten saat wakefulness, sebagian besar karena otot-otot dilator, dicontohkan dalam diagram di tengah dengan inervasi saraf kranial mengalami parestesi. Tanda panah warna merah menunjukan resultan kekuatan muskulus levator palatini dan tensor veli palatini saat mengangkat palatum mole (uvula) dan dinding lateral. Karena faring dapat kolaps pada semua keadaan, berbagai macam kelompok otot harus berkerja sama untuk menghindari kolaps pada faring.7
b. Faktor-faktor yang memodulasi aktivasi otot faring Aktivasi otot-otot faring dapat mengubah mekanik karakteristik saluran napas bagian atas. Efek aktivasi otot dilator faring pada tube law dari ditunjukkan pada gambar 2.6. Dalam kondisi aktif, hubungan tekanan-area saluran nafas digeser ke atas dan ke kiri. Pada setiap tekanan transmural yang diberikan, aktivasi otot meningkatkan area saluran napas dan membuat kaku saluran napas, yaitu,
21
menurunkan komplians yang efektif. Efek aktivasi otot pada tube law diukur oleh Pmus, tekanan efektif yang diberikan oleh aktivasi otot, setara dengan perubahan tekanan transmural yang dibutuhkan untuk menghasilkan perubahan setara di area saluran nafas pada kurva pasif (lihat Gambar 2.8). Dalam kondisi tertentu, otot dilator faring menampilkan letusan aktivitas inspirasi diatas aktivitas tonik. Alkohol, kurang tidur, anestesi, dan obat hipnotik-sedasi menekan aktivasi otot faring. Faktor tambahan yang memodulasi pernafasan-terkait aktivitas motoneuron saluran napas faring termasuk perubahan keadaan, umpan balik proprioseptif, dan mendorong proses kimia (Gambar 2.9).17
Gambar 2.8. Area saluran nafas dalam kondisi pasif (yaitu, tidak ada aktivasi otot) dapat ditingkatkan dengan menaikkan tekanan transmural (Ptm). Perubahan tersebut terjadi dengan menaikan tekanan intraluminal positif, seperti dengan continuous positive airway pressure (CPAP) nasal . Kontraksi dilator faring menggeser kurva pasif ke atas dan ke kiri. Kontraksi otot meningkatkan Ptm, dan (P2 –P1) sekarang menghasilkan Pmus (tekanan otot).17
22
Gambar 2.9. Keseimbangan kekuatan yang menopang patensi saluran napas atas.17
Perubahan keadaan Mungkin bukti paling meyakinkan yang mendukung pentingnya keseluruhan aktivitas neuromuskuler pada patensi saluran napas adalah bahwa apnea dan hipopnea terjadi selama tidur. Modifikasi faktor neuromuskuler (misalnya, penurunan aktivitas genioglossus) akibat tidur adalah fenomena fisiologis normal dapat disimpulkan dari pengukuran resistensi supraglottik, resistensi aliran udara membentang dari nares hingga regio di atas glotis pada subjek normal dimana resistensi supraglotik meningkatkan empat kali lipat hingga lima kali lipat dengan onset tidur (misalnya, dari 1 sampai 2 cm H2O / L /detik selama terjaga hingga 5 sampai 10 cm H2O /L /detik saat tidur). Resistensi saluran napas supraglotik secara abnormal tinggi pada pasien dengan OSA selama terjaga dan meningkat lebih jauh dengan onset tidur. Penurunan kaliber saluran napas atas yang terjadi dengan onset tidur dijelaskan oleh penurunan tergantung-keadaan pada output saraf ke otot-otot saluran napas atas, yang menyebabkan penurunan Pmus pada satu atau lebih bagian di dalam saluran napas faring. Rekaman EMG otot faring, seperti genioglossus dan tensor palatini, mengkonfirmasi penurunan aktivitas otot faring selama transisi dari terjaga hingga tidur. Penurunan output motor untuk otot faring terjadi pada tidur rapid eye movement (REM). Dengan demikian, terdapat bukti bahwa output neuron otot dilator faring menurun saat tidur.17 Modulasi sensori dari otot faring Umpan balik neurosensorik dari toraks dan reseptor saluran napas bagian atas dapat memodulasi output motorik ke otot faring. Selama tidur NREM dan anestesi umum pada hewan, pengambilan kembali umpan balik secara fasik terkait nervus vagal dengan oklusi trakea selama inspirasi menghasilkan augmentasi cukup besar pada output motor ke banyak saluran napas bagian atas dan otot pemompa inspiratori dinding dada. Adanya tekanan subatmosfir terisolasi, mulai dikenal pada
23
studi hewan tertrakeostomi didapatkan adanya pernapasan spontan saluran napas bagian atas terkait aktivasi otot. Hal ini diyakini bahwa reseptor saluran napas atas terletak superfisial pada dinding saluran napas terkait aktivasi refleks ini karena tidak terjadi mengikuti pemberian anestesi topikal.17 Mayoritas respirasi saluran napas bagian atas-terkait jalur aferen berlokasi di trakea atas dan laring dan dibawa oleh cabang internal nervus laring superior. Informasi sensorik dari saluran napas bagian atas juga ditransmisikan oleh nervus glossopharingeus dan nervus trigeminal. Kedua aferen sensorik intratoraks dan saluran napas atas dapat juga mengurangi output motor ke otot-otot inspirator toraks, sehingga meningkatkan tekanan intraluminal di bawah daerah obstruksi jalan napas. Efek dari refleks ini pada saluran napas atas dan otot-otot pompa pernapasan dapat mewakili mekanisme pertahanan yang kuat untuk mempertahankan patensi saluran napas bagian atas selama tidur. Agaknya, aktivasi reflek neuron otot-otot faring oleh saluran nafas bagian atas dan reseptor pada thorak akan diinisiasi oleh obstruksi saluran napas bagian atas dan akan cenderung untuk mengompensasi obstruksi jalan napas dengan mendilatasi dan membuat kaku faring, namun bukti menunjukkan bahwa reflek terkait sistem saraf ini berguna melindungi patensi jalan napas atas pada manusia.yang sedang tidur.17 Stres mekanik berulang pada struktur saluran napas faring dari episode berulang apnea dan mengorok tampaknya memiliki konsekuensi neurosensorik. Bukti menunjukkan bahwa ada kelainan saraf sensorik pada pasien dengan sleep apnea dengan gangguan sensasi saluran napas atas, yang sebagian reversibel dengan continuous positive airway pressure (CPAP). Selain itu, penelitian telah menunjukkan pentingnya reflek jalan napas atas dapat meningkatkan kaliber saluran napas bagian atas. Reflek ini diaktifkan oleh tekanan inspirasi negatif dan mungkin dilemahkan oleh gangguan sensorik dari saluran napas bagian atas. Episode berulang dari mendengkur dan getaran di malam hari juga diduga menyebabkan neuropati lokal progresif. Baik abnormalitas sensori saluran napas bagian atas maupun neuropati dapat menjelaskan perburukan progresif sleep apneu dari waktu ke waktu.17 Stimuli kimia
24
Pernapasan terkait aktivitas otot faring fasik, yang dapat hilang selama pernapasan yang tenang, biasanya muncul dalam kondisi hiperkapnia atau hipoksia. Dalam kondisi peningkatan aktivitas kimia, sebagian besar otot faring menunjukkan aktivitas inspirasi fasik yang mendilatasi dan membuat kaku jalan napas. Jalan nafas bagian atas dan neuron motor frenikus berbeda dalam merespon hipokapnia. Neuron motorik jalan nafas atas tampaknya memiliki ambang batas CO2 yang lebih tinggi untuk aktivasi daripada otot pompa pernapasan. Dengan hiperventilasi pasif pada hewan yang ditrakeostomi, divagotomi, dianestesi, aktivitas neuron motor jalan napas atas fasik menghilang sebelum aktivitas frenikus. Ketika kadar CO2 dibiarkan naik, aktivitas fasik pertama muncul kembali pada saraf frenikus. Transmisi yang dihasilkan tekanan intratoraks subatmosferik saat inspirasi ke dalam jalan napas faring, dengan tidak adanya aktivasi otot dilator faring yang simultan, meningkatkan resiko penyempitan dan penutupan saluran napas faring. Dengan demikian, perubahan putaran pada CO2 arteri disekitar ambang batas CO2 untuk aktivasi neuron motorik jalan nafas bagian atas dapat menyebabkan ketidakseimbangan gaya yang bekerja pada saluran napas faring .17
4. Perbedaan Anatomi Jalan Nafas Atas Statis pada Pasien Sleep Apnea Kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa luas penampang saluran napas faring lebih kecil pada pasien dengan OSA dibandingkan dengan subjek normal, penyempitan jalan nafas telah ditunjukkan terutama di regio retropalatal. Pengurangan ukuran dari saluran napas faring pada pasien dengan OSA dibandingkan orang normal secara sekunder menyebabkan pembesaran jaringan lunak sekitarnya atau pengurangan atau perubahan struktur kraniofasial. Studi sefalometrik menunjukkan pengurangan panjang mandibula (yaitu, retrognatia), tulang hyoid yang diposisikan inferior, dan retroposisi maxilla pada pasien dengan OSA dibandingkan dengan subyek normal. Pengurangan panjang mandibula, khususnya, telah terbukti menjadi faktor resiko penting untuk obstructive sleep apneu. Selain perbedaan kraniofasial, pembesaran struktur jaringan lunak saluran napas atas (lidah, dinding faring lateral, palatum molle, bantalan lemak parafaringeal) juga telah ditunjukkan pada pasien dengan OSA dibandingkan orang normal.17
25
Pencitraan dengan computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) telah menunjukkan kenaikan luas penampang dan dimensi palatum molle, lidah, bantalan lemak parapharyngeal, dan dinding faring lateral pada pasien dengan OSA. Gambar 2.10 menunjukkan penyempitan saluran napas bagian atas dan pemanjangan palatum molle dan lidah pada pasien OSA serta menunjukkan penyempitan saluran napas lateral pada pasien OSA dibandingkan dengan subjek yang normal. Regio retropalatal adalah daerah primer yang paling umum mengalami penyempitan atau penutupan selama tidur pada pasien dengan OSA, meskipun penyempitan saluran napas atas juga bisa terjadi di regio retroglossal. Namun, sebagian besar pasien dengan OSA memiliki lebih dari satu daerah penyempitan. Studi memeriksa perubahan terkait daerah di saluran napas atas juga menunjukkan bahwa penyempitan saluran napas selama tidur terjadi baik dalam dimensi lateral maupun anterior-posterior17
Gambar 2.10. A. MRI midsagital dari subjek normal (kiri) dan pasien dengan sleep apnea (kanan). Saluran nafas bagian atas lebih kecil dan palatum molle lebih panjang pada pasien dengan sleep apnea. Jumlah lemak subkutan (area putih di bagian belakang leher) lebih besar pada apnea dibandingkan subjek yang normal. B. MRI aksial di area retropalatal dari subjek normal (kiri) dan pasien dengan sleep apnea (kanan). Saluran napas bagian atas lebih kecil (terutama menyempit dalam dimensi lateral) pada pasien dan terdapat lemak subkutan lebih pada pasien dengan sleep apnea 17
26
Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa volume dinding faring lateral, lidah, dan jaringan lunak total sekitar jalan nafas atas secara signifikan lebih besar pada pasien OSA dibandingkan pada subyek normal setelah penyesuaian untuk co-variasi termasuk jenis kelamin, usia, etnis, ukuran kraniofasial, dan lemak yang mengelilingi saluran nafas bagian atas. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan volume dinding faring lateral, lidah, dan jumlah jaringan lunak saluran napas bagian atas secara signifikan meningkatkan resiko untuk OSA bahkan setelah penyesuaian untuk co-variasi Beberapa penjelasan yang mungkin untuk pembesaran struktur jaringan lunak saluran napas atas pada pasien OSA termasuk edema, berat badan, cedera otot, jenis kelamin, dan faktor genetik:17 a. Edema Tekanan negatif selama penutupan jalan napas atau trauma akibat peristiwa apnea berulang dapat menyebabkan edema pada struktur jaringan lunak disekitar saluran napas bagian atas. Edema ini bisa meningkatkan ukuran struktur jaringan lunak. Palatum molle terutama beresiko untuk berkembangnya edema karena dapat tertarik ke arah kaudal dan mudah trauma selama apnea, terjadi penurunan edema dengan diikuti perawatan pasien ini dengan terapi CPAP. Pemetaan resonansi magnetik kuantitatif juga menunjukkan bahwa ada edema yang lebih pada otot genioglossus pasien OSA dibandingkan dengan subyek normal. Studi histologis juga telah menunjukkan bahwa pasien dengan OSA edema meningkat pada uvula dibandingkan normal subyek.17 Dukungan tambahan untuk keberadaan edema saluran napas atas adalah observasi bahwa OSA umumnya terkait dengan kondisi yang mengakibatkan overload cairan seperti gagal jantung kongestif dan gagal ginjal. Telah diusulkan bahwa peningkatan tekanan vena sentral bisa meningkatkan edema dalam struktur saluran napas bagian atas. Untuk mendukung hipotesis ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tekanan positif tubuh bagian bawah dengan celana anti-syok menyebabkan pergeseran cairan dari ekstremitas bawah, meningkatkan tekanan vena sentral. Hal ini mengakibatkan peningkatan lingkar leher, resistensi aliran udara faring, dan kolapsnya saluran nafas atas dan berkurangnya luas penampang saluran napas bagian atas.17
27
b. Distribusi lemak dan berat badan Obesitas diketahui menjadi faktor resiko penting untuk OSA. Meskipun hubungan antara obesitas dan OSA tidak dipahami dengan baik, tampak bahwa obesitas menurunkan ukuran jalan napas faring dan meningkatkan kolapsnya jalan nafas. Peningkatan ukuran leher, substitusi lebih baik dari distribusi lemak saluran napas atas daripada indeks massa tubuh (BMI), telah terbukti menjadi prediktor yang sangat baik dari OSA. Studi pencitraan jalan napas bagian atas pada pasien OSA dengan obesitas telah menunjukkan peningkatan jaringan adiposa subkutan serta peningkatan jaringan adiposa sekitar jalan napas (terutama pembesaran bantalan lemak lateral parafaringeal sehingga menggeser dinding lateral dan mengurangi ukuran saluran napas bagian atas.17 Deposit lemak dalam lidah atau palatum molle mungkin juga menjadi penting dalam meningkatkan ukuran struktur jaringan lunak dan mengurangi kaliber saluran napas bagian atas. Lemak disimpan di uvula pada pasien dengan OSA, mendukung hipotesis bahwa lemak disimpan di luar bantalan lemak parafaringeal mungkin penting dalam patogenesis OSA. Sebuah studi otopsi volume lidah dan persentase kandungan lemak menunjukkan bahwa persentase lemak di lidah meningkat dengan peningkatan BMI. Hal ini juga menyatakan bahwa jumlah total lemak yang mengelilingi saluran udara bagian atas mungkin lebih penting berkontribusi pada pasien OSA daripada lemak yang terlokalisir dalam bagian anatomi tertentu. Tsuiki, et al. (2008) memiliki hipotesis bahwa peningkatan volume jaringan lunak, termasuk penumpukan lemak di ruang yang dibatasi oleh rami mandibula, meningkatkan tekanan jaringan yang pada akhirnya akan mempersempit jalan napas.17 Selain deposit langsung lemak, berat badan bisa juga mengubah jaringan otot yang mengelilingi saluran udara bagian atas karena tidak hanya meningkatkan jumlah jaringan adiposa tetapi juga meningkatkan massa otot. Sekitar 25% dari peningkatan berat badan pada pasien obesitas sekunder adalah jaringan lemak bebas. Untuk mendukung ini, telah terbukti adalah persentase otot yang lebih besar pada lidah pasien dengan OSA dibandingkan dengan subyek normal. Tidak diketahui secara pasti massa otot yang meningkat ini apakah merupakan konsekuensi dari apnea itu sendiri atau berhubungan dengan obesitas. Meskipun demikian, data
28
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan berat badan mungkin predisposisi OSA akibat peningkatan ukuran struktur jaringan lunak otot disekitar saluran napas bagian atas selain deposit langsung lemak di bantalan lemak parafaringeal. Jadi meskipun obesitas telah terbukti menjadi faktor resiko penting untuk OSA, efek khusus dari berat badan pada struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas tidak sepenuhnya dipahami.17 c. Miopati jalan nafas bagian Atas Pasien OSA memiliki miopati primer yang memberikan kontribusi pada pembesaran struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas. OSA diperkirakan terkait dengan perubahan sifat kontraktil otot saluran napas bagian atas. Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan serat fast-twitch tipe II pada otot genioglossus pasien OSA. Serat tipe II lebih mungkin mengalami kelelahan daripada serat tipe I oleh karena itu, otot saluran udara bagian atas pada pasien OSA akan lebih rentan mengalami kelelahan daripada subyek normal. Perubahan otot saluran napas bagian atas pada pasien OSA mungkin fenomena primer atau sekunder yaitu, konsekuensi daripada penyebab apnea. 17 d. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat memiliki efek penting pada ukuran struktur jaringan lunak napas atas. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ukuran faring lebih kecil pada wanita dibandingkan pada pria. Selain itu, lingkar leher lebih kecil pada wanita dibandingkan pria, sehingga telah dihipotesiskan bahwa ukuran struktur jaringan lunak saluran nafas atas juga lebih kecil pada wanita daripada pria. Pada pria, lemak disimpan terutama di tubuh bagian atas dan badan, sedangkan pada wanita itu disimpan terutama di ekstremitas bagian bawah. Terkait gender terdapat perbedaan distribusi lemak secara keseluruhan yang menunjukkan bahwa ukuran bantalan lemak parapharyngeal lateral mungkin lebih besar pada pria daripada wanita. Studi Malhotra, et al. (2002) tidak menemukan signifikansi perbedaan ukuran bantalan lemak faring lateral terkait gender namun mungkin memiliki efek penting pada ukuran struktur jaringan lunak jalan nafas bagian atas yang lain. e. Faktor Genetik
29
Faktor genetik memainkan peran penting dalam menentukan ukuran struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas. Makroglosia telah terbukti menjadi faktor resiko untuk OSA pada pasien dengan trisomi 21. Kelainan anatomi kraniofasial berhubungan kuat dengan kejadian OSA, dimana elemen struktur kraniofasial dan jaringan lunak yang mungkin diwariskan pada pasien OSA.17 Genetika molekuler OSA telah mulai diteliti menggunakan pendekatan gen kandidat dan penjaringan seluruh genom. Penelitian gen kandidat membandingkan frekuensi varian genetik untuk dihubungkan dengan kerentanan terhadap penyakit dalam kelompok dengan pengidap OSA atau tanpa OSA. Gen kandidat yang telah diperiksa dalam hubungannya dengan OSA pada manusia termasuk gen untuk apolipoprotein E (APOE), angiotensin converting enzyme (ACE), jalur serotonergik dan jalur leptin.18 Apolipoprotein E Cleveland Family Study (2006) melaporkan bukti adanya hubungan dengan AHI di dekat lokus APOE pada kromosom 19 tetapi genotip APOE tidak menjelaskan temuan hubungan dan tidak terkait dengan status OSA. Temuan ini menunjukkan kerentanan lokus OSA bukanlah terkait dengan APOE, tetapi dengan lokus lain yang ada di dekatnya. Gen kandidat lain di area ini merupakan hypoxia inducible factor 3, yang memainkan peranan dalam penginderaan oksigen.18 Angiotensin II converting enzyme Angiotensin II, salah satu vasokonstriktor penting, juga tampaknya memodulasi aktivitas aferen dari kemoreseptor badan karotid sehingga mempengaruhi dorongan ventilasi. Kadar angiotensin II diregulasi oleh aksi ACE yang dikodekan oleh gen ACE. Studi Patel et al. (2007) menggunakan data dari Wisconsin Sleep Cohort dan Cleveland Family Study tidak menunjukkan adanya asosiasi antara genotip ACE dan OSA, tetapi menunjukkan hubungan variasi hipertensi dengan tingkatan OSA dan delesi alel ACE mungkin melindungi melawan hipertensi pada pasien OSA.18 Jalur serotonergik Reseptor serotonin (5-hidroksitriptanmin [5-HT]) ditemukan pada badan karotid dan neuron hipoglosus, termasuk pada batang otak di dekat pusat kendali pernapasan yang penting untuk kemoresepsi. Polimorfisme pada tiga gen—SLC6A4
30
(mengodekan protein transporter serotonin yang membersihkan serotonin dari rongga sinapsis), HTR2A (mengodekan reseptor 5-HT2A dan HTR2C (mengodekan reseptor 5-HT2C)—masing-masing telah diselidiki atas hubungannya dengan OSA namun keseluruhan hanya signifikan lemah dan masih berbeda antar studi.18
Pensinyalan leptin Studi Tanskersley, et al. (1999) pada hewan menunjukkan bahwa leptin, suatu hormon yang berasal dari adiposa yang mempengaruhi regulasi selera makan dan pengeluaran energi, tidak hanya mempengaruhi berat badan tetapi juga memiliki efek yang penting atas dorongan ventilasi. Efek stimulasi leptin atas respon ventilasi hiperkapnik tampaknya diperantarai lewat melanokortin, yang diproduksi dari prekursor poliprotein, proopiomelanokortin. Cleveland Family Study (2006) melaporkan adanya hubungan area pada kromosom 2p yang ditempati oleh lokus proopiomelanokortin, suatu area yang dilaporkan berhubungan erat dengan kadar leptin serum. Jalur hipotalamik dan pituitari yang terlibat dalam pensinyalan leptin mungkin berperan penting dalam mempengaruhi kendali ventilasi termasuk fenotip obesitas yang relevan dengan OSA.18
5. Perubahan Fisiologis Dinamik pada Struktur Saluran Nafas Bagian Atas Pemeriksaan sifat dinamis saluran nafas atas juga diperlukan untuk benar-benar memahami
patogenesis
gangguan
pernapasan
terkait
tidur.
CT,
MRI,
dan
nasofaringoskopi telah digunakan untuk menguji perubahan dinamis kaliber saluran napas bagian atas dan struktur jaringan lunak sekitarnya selama siklus pernapasan. CT eleketron telah digunakan untuk menunjukkan bahwa perubahan ukuran saluran napas atas selama empat tahap yang berbeda dari siklus pernapasan pada orang normal dan pada pasien OSA. Selama inspirasi awal (tahap 1) ada peningkatan kecil pada ukuran saluran napas bagian atas, tapi selama sebagian besar dari inspirasi (tahap 2) kaliber saluran napas bagian atas masih relatif konstan. Temuan bahwa kaliber saluran napas bagian atas relatif konstan selama inspirasi saat terjaga menunjukkan keseimbangan antara kerja otot dilator saluran napas bagian atas untuk mempertahankan ukuran jalan napas dan tekanan intraluminal negatif, yang menyebabkan penurunan ukuran jalan
31
napas. Selama ekspirasi awal, kaliber saluran napas bagian atas meningkat (tahap 3) secara sekunder terhadap tekanan intraluminal positif (otot-otot dilator saluran napas bagian atas tidak aktif selama ekspirasi), kaliber saluran napas atas adalah terbesar pada ekspirasi awal.17 Telah dihipotesiskan bahwa akhir ekspirasi adalah waktu yang rentan untuk penyempitan atau kolapsnya saluran napas bagian atas karena tidak adanya fase aktivitas otot dilator saluran napas bagian atas (tahap 1 dan 2, selama inspirasi) maupun tekanan positif intraluminal (fase 3, ekspirasi awal dan fase 4, akhir ekspirasi) selama fase siklus pernapasan. Dalam investigasi tersebut, daerah faring adalah terkecil pada akhir ekspirasi. Temuan bahwa kaliber saluran napas atas terkecil pada akhir ekspirasi mungkin memiliki implikasi penting berkaitan dengan waktu tidur yang diakibatkan oleh penutupan saluran napas atas. Apnea dan hipopnea selama tidur terjadi selama inspirasi terjadi secara sekunder akibat tekanan intraluminal negatif yang dihasilkan oleh kontraksi dinding dada. Namun, studi yang meneliti resistensi saluran napas telah menunjukkan bahwa penutupan saluran napas pada pasien dengan OSA dapat terjadi baik selama ekspirasi maupun inspirasi sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran napas bagian atas rentan terhadap kolaps pada akhir ekspirasi selain kolaps pada saat inspirasi.17
6. Neurotransmiter dan Neuromodulator yang Mempengaruhi Motoneuron Saluran Nafas Atas Beberapa neurotransmiter klasik dan sekelompok neurmodulator (neurokimia yang memodulasi aktivitas neurotransmiter) menunjukkan efek langsung (dalam nukleus motor) pada aktivitas motorneuron faring. Neurotransmiter klasik dengan efek langsung pada nukleus motorik saluran nafas atas adalah glutamat, glisin, dan GABA. Sejumlah neuromodulator berkembang baik pada efek pre dan post sinaps motoneuron saluran nafas atas dan saat ini seperti asetilkolin (baik efek nikotinik dan muskarinik), adenosin, ATP, nitrit oksida, norepinefrin, orexin, serotonin, substansi P, thyrophin-releasing hormone (TRH), vasopressin dan saat ini, diperkirakan hanya fraksi reseptor protein G berpasangan pada central nervous system (CNS) telah diketahui (lihat Gambar 2.11
32
untuk gambaran kunci subtipe reseptor eksitator dan inhibitor pada nukleus motor dilator saluran nafas atas.7
Gambar 2.11. Kontrol neurokimia motoneuron saluran nafas atas. Neurokimia eksitatorik dan inhibitorik presinaptik dan postsinaptik mempengaruhi aktivitas motoneuron saluran nafas atas. Sejumlah subtipe reseptor eksitatorik (hijau) dan inhibitorik (merah) telah diketahui melalui penelitian molekuler, protein, dan fisiologi. Ketika pengurangan tonus noradrenergik dapat menyebabkan penurunan aktivitas otot dilator saat non-REM tidur, sumber dari penurunan tonus motor saat REM tidur belum dapat dijelaskan. Banyak dari subtipe reseptor yang telah dikenali dapat dijadikan sasaran secara farmakologi, tapi tidak ada satupun yang spesifik terhadap otot-otot dilator faring dan efek samping yang signifikan termasuk wakefulness telah diantisipasi selama aktivasi eksitatorik. M2, muskarinik; α, adrenergik; 5HT, serotonin; P2X2, purigenik; GLY, glisinergik; HCRT, hipokretinergik/orexinergik; GLU, glutamatergik; A, adenosinergik; GABA, asam γaminobutirat.7
Neurotransmiter: glutamat, glisin, dan GABA Waktu yang tepat untuk koordinasi dari perilaku kompleks yang cepat, seperti menelan, berbicara, atau pelebaran saluran nafas atas sebelum inspirasi dan menghasilkan
tekanan
negatif
intraluminal,
memanfaatkan
onset
cepat
atau
berimbangnya neurotransmiter eksitatorik, glutamat, dan neurotransmiter inhibitor, GABA dan glisin. Reseptor untuk neurotransmiter eksitatorik primer berupa α-amino-3hidroksi-5-metil-4-asam propionik isoksasol (AMPA), kainite (KA), dan N-metil-δ-
33
aspartat (NMDA). Subtipe reseptor spesifik tuntuk setiap kelompok reseptor glutamat telah dikenali pada motoneuron batang otak. Tapi, peranan relatif untuk setiap subtipe reseptor pada motoneuron eksitatorik dan premotoneuron baru saja diteliti. Beberapa dari subtipe reseptor ini secara cepat dapat didesensitisasi dengan aktivasi terus menerus dan/atau perubahan redoks, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut dalam mempelajari peristiwa apnea sepanjang malam. Sebagai tambahan terdapat aksi cepat glutamat pada reseptor inotropik, glutamat sebagai neuromodulator eksitatorik pada jalur reseptor metabotropik.7 GABA dan glisin merupakan neurotransmiter inhibitor primer yang berkerja pada motoneuron, dan GABAa fungsional serta reseptor glisin terbukti pada banyak motoneuron dilator saluran nafas atas. Glisin berperan penting pada atonia postural REM tidur, tetapi peranan GABA dan glisin pada atonia motoneuron hipoglosal masih kontroversial. Morrison, et al. (2003) meneliti kontribusi relatif GABA dan glisin pada otot genioglosus yang menyebabkan tidur spontan pada tikus dewasa pada injeksi kronik
nukleus
hipoglosus.
Antagonis
dari
kedua
neurotransmiter
inhibitor
meningkatkan aktivitas neuron dasar tetapi tidak menunjukkan peningkatan khusus pada REM tidur, hal ini menunjukkan tidak ada neurotransmiter yang berefek signifikan pada atonia otot genioglosus pada REM tidur spontan. Pada studi klinis, ada penelitian tentang efek strychnine (antagonis glisin) pada aktivitas otot genioglosus dan tensor veli palatini pada pasien OSA. Pada kasus ini, strychnine meningkatkan aktivitas tensor veli palatini dan juga meningkatkan aktivitas genioglosus terkait dengan tekanan oksigen arteri. Beberapa jam tidur (dengan efek obat maksimum), apnea diakhiri dan usaha ventilatorik berangsur-angsur teratur. Sehingga glisin tidak memilikki efek signifikan pada supresi respiratorik terkait tidur pada hewan tanpa saluran nafas yang kolaps, tetapi pada manusia OSA, peran dari glisinergik pada sleep-related supression pada tonus otot mungkin sebagai target farmakologi pada sleep apnea memerlukan penelitian lebih lanjut. Dapat digambarkan bahwa reseptor glisinergik pada motoneuron saluran nafas atas dapat diubah dengan terapi gen pada otot-otot faring tanpa mengganggu fungsi faring yang lain.7 Neuromodulator
34
Serotonin. Serotonin merupakan modulator terkuat aktivitas motoneuronal dan mungkin perannya dapat teridentifikasi dengan baik pada aktivitas motoneuron saluran nafas atas. Aktivitas neuron yang menjalankan neuromodulator ini di otak memiliki kadar tertinggi dalam wakefulness, kadarnya dikurangi pada NREM tidur, dan neuronneuron ini reaktif dorman pada REM tidur. Leszek Kubin (1992) berhipotesis bahwa pengurangan aktivitas otot-otot dilator saluran nafas atas mungkin akibat penurunan sleep-state dependent dalam proses pengiriman serotonin pada motoneuron dilator. Pada kucing yang telah divagotomisasi dan dideserebrasi, terdapat tonus serotonergik endogen pada motoneuron hipoglosus. Richard Horner (2005) menyatakan aktivitas serotonergik intrinsik yang signifikan pada nukleus hipoglosus tikus yang dianestesi dan divagotomisasi tapi juga ditemukan sedikit eksitasi serotonergik intrinsik pada tikus yang sadar. Vagotomi meningkatkan tonus serotonergik pada nukleus hipoglosal dan aktivitas genioglosus; sebaliknya, pada tikus dewasa dengan vagi yang intak, ada sedikit tonus serotonergik. Sehingga hewan tanpa obstruksi saat tidur tidak memilikki 5HT endogen yang menyebabkan tonus motoneuronal saluran nafas atas berkurang, sedangkan kemampuan 5-HT eksogen untuk memperbesar aktivitas saraf atau otot saluran nafas atas.7 Terapi serotonergik untuk OSA, penting untuk mengetahui dimana aktivasi dari bermacam subtipe reseptor 5-HT dapat berdampak pada usaha ventilasi otot-otot saluran nafas atas dan ventilasi secara keseluruhan. 5-HT juga memilikki efek langsung pada premotoneuron medula. Aktivasi subtipe reseptor 5-HT2 dengan aplikasi iontoforetik dari α-metil-5-HT mendepolarisasi neuron ekspiratori dan post inspiratori medula, yang mengakibatkan penurunan aliran potasium postsinaps yang persisten. Pemberian sistemik dari agonis 5-HT1A, 8-OH DPAT, meningkatkan usaha respiratori, sementara ventilasi dapat ditekan oleh obat antagonis 5-HT1A dan efek ini dimediasi secara sentral. Seperti 5-HT2A, aktivasi 5-HT1A mengakibatkan wakefulness. Sehingga agonis 5-HT1A dapat berguna dengan supresi anestesi dan analgetik dari ventilasi tetapi mungkin akan mengganggu tidur jika diberikan pada pasien sleep apnea. Daerah pre-Botzinger mengandung neuron untuk generator pola pernafasan pada mamalia, dan di daerah ini, 5-HT dapat mempengaruhi usaha ventilatorik. Dalam generator ritme respiratorik ini, 5HT1AR merupakan 5-HTR predominan.7
35
Agonis 5-HT1AR yang digunakan secara langsung pada neuron ritme respiratorik menekan apnea dan menyebabkan pola perpanjangan beban inspirasi. Pola pernafasan ini dapat terjadi pada keadaan overdosis barbiturat, dan agonis 5-HT1AR, seperti buspiron, agonis 5-HT1AR parsial, dapat mengubah apnea terinduksi obat namun, agonis parsial ini tidak mengubah supresi respiratorik terinduksi narkotik pada manusia. Blokade farmakologi dari 5-HT4R dalam daerah pre-Botzinger juga mempengaruhi ventilasi secara langsung. Antagonis selektif 5-HT4R, CB113808, menginduksi apnea sentral ketika dinjeksikan ke dalam daerah pre-Botzinger, sementara agonis selektif, BIMU8, meningkatkan usaha respiratorik dan yang lebih penting dapat mengubah apnea terinduksi narkotik tanpa menghilangkan efek analgesik dari narkotik. Sehingga agonis 5-HT4R dapat berguna dalam mengatur supresi ventilatorik terinduksi opioid, tetapi juga dapat memilikki potensi untuk supresi ventilatorik terinduksi sedatif dan terinduksi tidur. Subtipe 5-HTR ketiga dengan aktivtas di daerah pre-Botzinger yang mempengaruhi pernafasan abnormal adalah 5-HT2AR yang berperan pada postischemic gasping dan perbaikan usaha ventilatorik yang tertekan, sehingga aktivasi 5HT2AR dapat meningkatan tonus dilator saluran nafas atas, agonis 5-HT2AR mungkin tidak aman dan dapat diterima.7 Efek 5-HT1A pada ventilasi ada pada beberapa daerah tambahan dalam sistem saraf pusat (SSP). Di hipotalamus, ada efek 5-HT1A sebagai respon ventilatorik terhadap hipoksia. Di sini, aktivasi 5-HT1AR menghambat peningkatan respon ventilasi terhadap hipoksia. Efek ini juga diamati dengan senyawa 5-HT7. Aktivasi 5-HTR pada nukleus traktus solitarius pada tikus meningkatkan frekuensi ventilatorik. Lebih lanjut aktivasi 5-HT1A pada neuron respiratorik ventral, yang digambarkan diatas, ada juga efek eksitatorik dari aktivasi 5-HT1AR pada motor dorsal nukleus vagal. Khususnya, pemberian agonis 5-HT1A, 8-OH DPAT pada nukleus motor dorsal meningkatkan ventilasi tanpa mengubah aktivitas motoneuronal saluran nafas atas.7 Agen serotonergik mempunyai efek ventilatorik signifikan dalam SSP, 5-HT yang digunakan pada nodus ganglion menekan respirasi dan menyebabkan apnea. Pemberian antagonis 5-HT3, ondansentron, pada tikus normal menurunkan jumlah central sleep apneic, dan efek ini jelas merupakan efek perifer, yang konsisten dengan aktivasi nodus ganglion. Pemberian oral antagonis 5-HT3 pada anjing bulldog menurunkan jumlah
36
sleep-disordered breathing pada REM tidur, tanpa mempengaruhi NREM tidur. Oleh karena itu, antagonis 5-HT3 mungkin efektif dalam mengurangi REM tidur pada beberapa pasien dengan OSA dengan rasa kantuk namun uji coba kllinis terbaru pada pasien OSA tidak melihat secara keseluruhan efek ondansentron.7 Noepinefrin. Norepinefrin memiliki sejumlah kemiripan dengan 5-HT sebagai neuromodulator dari fungsi motoneuronal dan juga memiliki sejumlah perbedaan. Seperti 5-HT, norepinefrin memilikki efek eksitatorik pada fungsi nervus hipoglosus ketika diteruskan ke nukleus hipoglossus, dan seperti 5-HT, neuron noradrenergik menunjukkan penurunan firing rates pada NREM tidur dan relatif dorman pada REM tidur. Motoneuron hipoglossus diinervasi oleh kelompok noradrenergik A7, yang menunjukkan stadium ketergantungan yang sama. Sebaliknya efek minimal 5-HT endogen pada nukleus hipoglosus hewan yang ditidurkan secara spontan, norepinefrin endogen mengakibatkan tonus genioglosus saat terjaga dan saat NREM tidur. Mikroinjeksi antagonis noradrenergik ke dalam nukleus hipoglosus menurunkan aktivitas otot genioglosus sebanyak 25-50%, yang mendukung tonus noradrenergik intrinsik pada nukleus motor hipoglosus pada saat bangun dan NREM tidur. Sebaliknya, saat REM tidur, antagonis noradrenergik tidak berefek, yang menunjukkan bahwa saat REM tidur, ada sedikit tonus adrenergik di nukleus hipoglosus. Lebih lanjut, norepinefrin berefek pada beberapa reflek penting saluran nafas atas, sementara 5-HT tidak teramati. Tonus β-adrenergik berefek pada respon motoneuronal baik kemorefleks atau refleks trigeminal dan reflek nervus laringeal superior. Apakah tonus noradrenegik pada nukleus motor dilator saluran nafas atas berefek pada refleks tekanan negatif pernafasan harus diperiksa, dan pemeriksaan ini harus mencakup, tidak hanya pada hipoglosus, tetapi juga respon motorik nervus trigeminal dan fasialis. Satu-satunya subtipe mRNA yang diekspresikan pada motoneuron hipoglosus adalah reseptor α1B. Signifikansi fungsional dari reseptor α1B telah dikembangakan sebagai efek kuat eksitatorik yang muncul dalam kondisi basal baik pada motoneuron hipoglosus dan trigeminal. Sehingga agonis α1B dapat berperan pada pasien dengan NREM tidur ringan yang predominan untuk sleep apnea.7 Adenosin dan ATP. Pada OSA (melalui hipoksia) diharapkan terjadi perubahan motoneuronal dan kadar purin ekstraseluler, sehingga mengurangi ATP dan
37
meningkatkan adenosin. Adenosin memodulasi aktivitas motoneuronal, dimana efek dari injeksi adenosin pada nukleus hipoglosus menekan aktivitas motoneuronal hipoglosus. Efek hiperpolarisasi diperantarai melalui reseptor adenosin A1 dan dianggap mengurangi glutamatergic signaling, terbukti reduksi amplitudo eksitatorik post sinaptik yang terinduksi agonis A1. Seperti adenosin, ATP memodulasi neurotransmisi glutamatergik. Farmakologi dari neuromodulasi ATP melibatkan > 18 gerbang ion dan subtipe reseptor protein G berpasangan, dan hanya sedikit yang diteliti pada motoneuron dilator saluran nafas atas. Funk et al. (1997), meneliti efek neuromodulatorik ATP pada aktivitas motoneuronal hipoglossal baik pada medula dan tikus dewasa yang dianestesi, menunjukkan efek eksitatorik pada kedua kelompok. Efek eksitatorik ini diperantarai sebagian oleh subtipe resptor ATP P2X2 pada motoneuron hipoglossus. Modulasi eksitatorik juga diamati pada motoneuron frenicus; namun, efek ini lebih komplek dan diikuti oleh inhibisi sekunder dari motoneuron frenicus, yang menunjukkan keterlibatan dari reseptor kolinergik yang lain.7 Asetilkolin. Asetilkolin (Ach) diinjeksi secara langsung pada nukleus hipoglossus secara nyata menekan aktivitas nervus hipoglossus pada medula dan aktivitas otot genioglosus pada tikus dewasa yang dianestesi. Sementara efek keseluruhan adalah inhibitorik, aktivasi dari neuron kolinergik pontomeduler dapat mengaktivasi atau menekan motoneuron hipoglossus. Aktivitas inhibitorik ACh intrinsik didukung oleh pemberian inhibitor asetilkolinesterase pada nukleus hipoglossus menekan aktivitasnya. Neuron kolinergik pons dan serebrum kurang aktif pada NREM tidur, paling aktif pada REM tidur, dan memilikki aktivitas sedang pada wakefulness. Sleep state depedency dari neuron kolinergik medula yang menginervasi motoneuron batang otak belum dideskripsikan lebih lanjut. ACh menargetkan dua kelompok reseptor yang berbeda: reseptor muskarinik dan nikotinik. Efek inhibitorik dari ACh dari motoneuron hipoglossal adalah muskarinik dan dapat dihambat dengan antagonis muskarinik, atropin. Efek inhibitorik muskarinik kemungkinan menekan pelepasan glutamat presinaptik. Penekanan muskarinik dari aktivitas hipoglossal mungkin merupakan suatu mekanisme penting yang dimiliki morfin untuk menekan aktivitas otot genioglosus, dimana injeksi morfin ke dalam nukleus hipoglossal meningkatkan pelepasan ACh, dan peningkatan setempat menyebabkan penekanan aktivitas nervus hipoglossus. Namun,
38
ada juga efek eksitatorik dari ACh melalui aktivasi reseptor nikotinik yang dihalangi oleh efek muskarinik yang berlebihan. Subtipe reseptor nikotinik seperti subtipe reseptor α4β2 dan α7. Pada pengamatan klinis secara signifikan terdapat desensitasi cepat dari reseptor nikotinik di nukleus hipoglossus dalam hitungan menit.7 Beberapa penelitian yang meneliti efektivitas nikotin terhadap gejala obstruksi pada pasien dewasa. Pada studi Zaphin et al (2003), nikotin transdermal mengganggu tidur tanpa perbaikan frekuensi dari pernafasan yang tersumbat, hal ini menunjukkan pengobatan antikolinesterase dapat meningkatkan OSA. Studi Moraes, et al (2008) mendapakan Donepezil, inhibitir antikolinesterase secara substansial mengurangi OSA dan waktu desaturasi oksihemoglobin pada pasien dengan Alzheimer dan efeknya sangat nyata pada pasien dengan sleep apnea yang berat namun, apakah potensi terapi kolinergik ini direplikasi dan apakah hal ini akan efektif pada pasien OSA harus diteliti lebih lanjut.7 Hipocretin (Orexin-A). Pada keadaan tertentu, oreksin berperan penting dalam kontrol motorik, seperti yang dibuktikan oleh katapleksi dan peningkatan sleep paralysis pada pasien dengan narkolepsi. Neuron oreksinergik terdapat pada soma dan dendrit motoneuron trigeminal dan hipoglossus, dan neuron ini, seperti kelompok monoaminergik, menurunkan aktivasi c-fos pada NREM dan REM tidur; namun, seperti ACh, kadar dari oreksin di nukleus motor terbesar saat bangun dan REM tidur. Peever, et al (2003) meneliti efek hipokretin-1 dan -2 yang diberikan ke dalam nukleus motor trigeminal dan nukleus hipoglossus terhadap aktivasi otot masseter dan genioglossus. Kedua peptida meningkatkan aktivitas elektromiografik masseter melalui magnitude yang sama, tetapi hanya hipokretin-1 yang meningkatkan aktivitas genioglossus. Efek dari hipokretin-1 lebih lama. Penghambatan transmisi glutamat melemahkan efek eksitatorik hipokretin di dalam nukleus motorik. Sehingga penurunan oreksin di nukleus motor saluran nafas atas saat NREM tidur dapat menekan aktivitas dilator saluran nafas atas saat NREM tidur, tetapi hal ini tidak diharapkan berefek pada atonia REM tidur pada otot-otot ini.7 Neuropeptida. Lebih lanjut tentang neurotransmiter dan neuromodulator, banyak neuropeptida memodulasi aktivitas motoneuron batang otak. Beberapa neuromodulator ini efek eksitatorik yang signifikan. Vasopresin melekat pada reseptor V1A motoneuron
39
fasial dan hipoglossus serta dapat mendepolarisasi membran. Neuropeptida ini dapat berperan pada hewan yang baru lahir dan usia muda, dimana kepadatan reseptor berbanding terbalik dengan usia. Substansi P yang melekat pada reseptor natural killer1 (NK-1) terbukti berada pada nukleus hipoglossus, dimana binding sites menurun dengan adanya hipoksia intermiten. Agonis substansi P (NK-1) yang diberikan pada motoneuron hipoglossus meningkatkan amplitudo fasik. Gatti et al (1998) menunjukkan bahwa terminal substansi P mengikat protrusor motoneuron di dalam nukleus hipoglossus. Oxytocin binding sites ada pada motoneuron hipoglossus, tetapi peran fisiologi dari daerah ini belum dikembangkan. Histamin merupakan neuromodulator eksitatorik yang meningkatkan neurotransmiter saat pasien sadar. Fungsi neuropeptida ini membutuhkan penelitian lanjutan sebagai target farmakoterapeutik pontensial untuk OSA.7
7. Hubungan Faktor Anatomi dan Neurologik pada Penutupan Saluran Nafas Faringeal selama Tidur: Model Sistematik Keseluruhan keseimbangan tekanan saluran nafas dan Pmus dihasilkan oleh otototot saluran napas bagian atas untuk orang normal dan pasien dengan OSA digambarkan pada Gambar 2.12, di mana keseimbangan balok menggambarkan efek penetralan tekanan luminal dan Pmus faring, dan sudut keseimbangan menunjukkan daerah lumen faring. Posisi titik tumpu ditentukan oleh karakteristik mekanik saluran napas atas. Pada orang normal dengan kondisi terjaga, nilai-nilai yang setara dari tekanan luminal negatif dan Pmus menyebabkan saluran napas bagian atas mengalami dilatasi secara luas karena patensi anatomi saluran napas bagian atas; yaitu, titik tumpu bergeser ke sebelah kiri pusat. Sebaliknya, kelainan anatomi (peningkatan ukuran struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas atau pengurangan panjang mandibula) pada pasien dengan OSA menggeser posisi poros keseimbangan bergeser ke sebelah kanan pusat, pada kondisi ini, bahkan adanya peningkatan aktivitas otot saluran napas atas dan tekanan udara intraluminal normal (yang mungkin terjadi selama terjaga), saluran nafas faring masih lebih kecil dari normal.17
40
Gambar 2.12. Model skema menjelaskan patensi jalan napas faring, menunjukkan aktivitas otot saluran napas bagian atas (UA) dan tekanan saluran napas pada kedua sisi titik tumpu yang mewakili sifat mekanik intrinsik dari saluran napas bagian atas pasif (yaitu, anatomi saluran napas atas). Titik tumpu subjek sleep apnea (B dan D) bergeser ke sisi kanan dari subyek normal (A dan C).17
Pada subjek normal, tidur dikaitkan dengan penurunan area luminal faring karena penurunan aktivitas otot saluran napas bagian atas disebabkan tidur dan persistensi tekanan luminal subatmosfir selama inspirasi. Ini berarti bahwa saluran napas bagian atas menyempit saat tidur dibandingkan dengan terjaga namun tetap paten. Namun, pasien dengan OSA didapatkan penyempitan saluran napas yang signifikan dan penutupan saat tidur karena tidur menyebabkan hilangnya aktivitas saluran napas atas. Meskipun tidak ada keraguan bahwa tidur berhubungan dengan penurunan aktivitas otot faring pada subjek normal dan pasien OSA, pertanyaan mendasar mengenai patogenesis OSA adalah apakah penurunan output motor merupakan kunci abnormalitas atau adanya penyempitan pasif faring secara abnormal yang merupakan kunci dari perubahan patogen. Beberapa hipotesi mencoba menjelaskan hal tersebut yaitu, hipotesis neural dari patogenesis oklusi saluran napas pada pasien dengan OSA, dan yang terakhir sebagai hipotesis anatomi 17
41
a. Hipotesis neural Tidak ada bukti saat ini yang menunjukkan eksistensi dari kelainan saraf primer pada pasien OSA, tapi hal ini mungkin mencerminkan ketidakmampuan kita untuk mengukur dan membandingkan perubahan dari kondisi terjaga hingga tidur diantara populasi pasien OSA dan orang normal. Setiap kompensasi neuromuskular dapat membantu menjaga patensi saluran udara selama kondisi terjaga. Kehilangan aktivitas otot faring saat onset tidur menyebabkan penyempitan faring menjadi lebih berat karena tekanan intraluminal turun saat inspirasi. Apakah tingkat aktivasi neuromuskular berterkait dengan keadaan tidur pada pasien dengan OSA berkurang secara abnormal atau aktivitasnya menurun terkait tidur normal masih tetap menjadi pertanyaan. Bukti menunjukkan, bahwa respon genioglossus untuk hiperkapnia pada subyek normal dilemahkan oleh berkurangnya tidur. Penurunan serupa pada output motor untuk otot faring pada pasien dengan OSA dihasilkan dari fragmentasi tidur selanjutnya hal tersebut mengurangi aktivasi otot faring. Selain itu, mungkin ada kelainan sensorineural pada saluran napas bagian atas yang menyebabkan sleep apnea.17 b. Hipotesis anatomik Adanya penemuan tekanan penutupan faring lebih tinggi pada kondisi paralisis pada pasien OSA yang dianestesi dibandingkan dengan orang normal memberikan bukti kuat adanya independensi dari faktor neuromuskuler, perubahan struktural pada saluran nafas atas berkontribusi secara signifikan terhadap patogenesis OSA. Selain itu, telah dibuktikan bahwa volume lidah, dinding faring lateral, dan jumlah jaringan lunak yang tidak hanya lebih besar pada pasien OSA dibandingkan orang normal, tetapi juga bahwa pembesaran volumetrik struktur ini meningkat secara signifikan meningkatkan resiko OSA. Jadi kelainan pada anatomi saluran napas bagian atas jelas penting dalam patogenesis OSA.17
42
E. OSA dan Penyakit Kardiovaskuler 1. Efek Akut dari Apnea Tidur pada Sistem Kardiovaskuler a. Efek hemodinamik sentral Episode OSA menghasilkan desaturasi oksigen arteri, hiperkarpnia, osilasi tekanan intratoraks, dan pada kebanyakan kasus, gangguan tidur (Gambar 2.12). Tekanan intratoraks negatif yang tinggi dihasilkan selama usaha inspirasi yang tersumbat menghasilkan penurunan sementara pada volume sekuncup ventrikel kiri. Regangan inspirasi juga menghasilkan sedikit penurunan sementara pada tekanan arteri sistemik. Keluaran jantung turun selama apnea obstruktif, terjadi sekunder akibat volume sekuncup yang menurun dan juga terhadap penurunan laju jantung.7,19
Gambar 2.12. Campuran (tipe sentral dan obstruktif) sleep apneas menstimulasi eksitasi simpatis dan peningkatan tekanan darah secara transien. Peso, esophageal pressure; Sat, saturation 7
Terjadinya apnea menginduksi penurunan volume sekuncup dan nadi yang menghilang secara mendadak, menyebabkan resistensi pembuluh darah perifer dikarenakan peningkatan aliran vasomotor simpatis sehingga periode postapnea segera dicirikan peningkatan sementara dari tekanan arteri sistemik. Respons
43
penekan ini disebabkan oleh aktivasi sistem saraf simpatis karena dapat dihilangkan dengan blokade ganglion. Penelitian menggunakan oksigen tambahan menunjukkan bahwa stimulasi kemoreseptor karotis oleh asfiksia (dikombinasikan hipoksia dan hiperkapnea) merupakan penyebab yang paling penting dari simpatoeksitasi terinduksi apnea dan peningkatan tekanan darah. Sebaliknya, pengaruh mekanis pada tekanan intratoraks negatif memainkan sedikit atau tidak ada sama sekali peran dalam menyebabkan tekanan yang dimediasi simpatis sebagai respon terhadap apnea.7,19 b. Sirkulasi perifer Perubahan hemodinamik pada sirkulasi perifer lebih ringan dibanding pada sirkulasi hemodinamik sentral dikarenakan respon serebrovaskuler terhadap hiperkapnia. Vasokonstriksi terinduksi apnea telah teramati pada lengan bawah dan jari pada pasien OSA. Penemuan ini mengejutkan karena paparan akut hipoksia dan hiperkapnia menyebabkan vasodilatasi pada kebanyakan pembuluh darah namun hal ini dapat dijelaskan bahwa paparan asfiksi berulang, sepanjang waktu, menghasilkan perubahan pada mekanisme dasar neuron dan resistensi kontrol pembuluh darah lokal7,19 c.
Sirkulasi serebral Sirkulasi serebral sangat sensitif dengan perubahan pada PaO2 dan PaCO2 karenanya, episode OSA berefek sangat besar pada aliran pembuluh darah serebral. Aliran darah serebral meningkat secara progresif selama apnea, diikuti oleh penurunan tiba-tiba pada periode hiperventilasi post apnea. Pola osilasi pada aliran darah serebral ini ditentukan terutama oleh fluktuasi pada PaCO2, peningkatan tekanan arteri terinduksi apnea hanya memiliki kontribusi kecil. Osilasi aliran darah serebral ini, melalui pengaruhnya pada pengeluaran CO2 dari kemoreseptor sentral, mungkin menghasilkan instabilitas pernapasan selama tidur7
d. Sirkulasi pulmoner Selama episode OSA, osilasi pada PaO2 menghasilkan suatu pola siklik pada vasokonstriksi dan relaksasi pada sirkulasi pulmoner yang menyebabkan fluktuasi tertentu pada tekanan arteri pulmoner. Fluktuasi ini disebabkan oleh efek pembuluh
44
darah lokal pada hipoksia dan hipoksemia alveolar, hal tersebut dapat dihilangkan dengan suplementasi oksigen.7
e. Efek kardiovaskuler dari terbangun Kebanyakan episode OSA disertai dengan terbangun dari tidur. Gangguan tidur sendiri meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan tekanan darah dan terbangun tampaknya memperkuat efek asfiksia selama sleep apnea. Perubahan pada stadium tidur berkontribusi secara sinergis terhadap vasokonstriksi simpatis dan peningkatan tekanan darah akut yang disebabkan oleh apnea7
2. Patofisiologi OSA terkait dengan Penyakit Kardiovaskuler Apnea obstruktif berulang mengekspos jantung dan sirkulasi ke kaskase stimuli berbahaya, dari waktu ke waktu, dapat memulai atau berkontribusi pada perkembangan gangguan kardiovaskular6 a. Tekanan intrathorak negatif Sebuah fitur unik dari OSA adalah tekanan intratoraks negatif berlebihan selama upaya inspirasi yang sia-sia terhadap faring yang tersumbat. Hal tersebut segera meningkatkan tekanan transmural left ventricle / LV (yaitu, tekanan intraventrikular dikurangi intrathorak), elemen kunci dari afterload LV. Hal ini juga meningkatkan aliran balik vena, menambah preload ventrikel kanan, OSA juga menginduksi vasokonstriksi pulomonal hipoksia meningkatkan afterload ventrikel kanan. Berakibat distensi ventrikel kanan dan perpindahan septum ke kiri selama gangguan diastole pengisian LV. Kombinasi dari peningkatan afterload LV dan berkurangnya preload LV selama apnea obstruktif menyebabkan penurunan progresif pada stroke volume dan curah jantung yang lebih dikenal pasien dengan disfungsi sistolik LV dibandingkan pada mereka dengan fungsi LV normal. Peningkatan tekanan transmural LV juga meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, sementara secara bersamaan memicu penurunan aliran darah koroner, apnea-terkait hipoksia mengurangi suplai oksigen dan meningkatkan lalu lintas saraf simpatis eferen. Bersama-sama, mekanisme ini dapat memicu iskemia miokard dimana
45
mereka yang sebelumnya sudah ada penyakit koroner dan merusak kontraktilitas jantung dan relaksasi diastolik. Aliran darah serebral juga menurun secara signifikan selama apnea obstruktif sebagai efek sekunder terhadap penurunan curah jantung.6 Beberapa bulan hingga tahun, pengulangan ini meningkatkan tegangan dinding dapat merangsang berbagai proses termasuk pemulihan ventrikel, menghasilkan hipertrofi LV konsentris atau septum asimetris atau dilatasi ventrikel. Yang terakhir mungkin diperburuk ketika proses remodeling yang tidak cocok aktif, seperti setelah infark miokard. Ayunan tekanan intratoraks negatif selama obstruktif juga meningkatkan stres dinding atrium dan aorta intrathorak, sehingga meningkatkan kemungkinan aritmia atrium nokturnal dan diseksi aorta.6 b. Disregulasi autonomik OSA segera memunculkan baik simpatis berlebih dan penarikan parasimpatis. Sistem saraf simpatik diaktifkan secara bersamaan oleh siklus apnea yang diinduksi hipoksia dan retensi CO2 merangsang baik kemoreseptor pusat maupun perifer, apnea menginduksi inhibisi penghambatan reseptor regangan pulmonal yang diakibatkan aliran simpatik sentral, dan menghilangkan input simpatoinhibitori dari baroreseptor sinus karotis dengan penurunan stroke volume dan tekanan darah selama apnea obstruktif.6 Sedangkan periode arousal setelah apnea dan intermiten hipoksia menyebabkan peningkatan peroksidase lipid dan formasi dari stes oksidatif 3-nitrotirosin pada karotis bodi, selain itu reaktif nitrogen spesies memberikan kemoreseptor dan reflek ventilator teraktivasi, terjadi peningkatan simpatis hal ini menyebabkan peningkatan darah dan tekanan nadi.6,20,21 Efek samping akut OSA pada sistem saraf otonom tidak terbatas untuk tidur. Pasien dengan OSA dan disfungsi jantung juga mengalami peningkatan efferent symphatetic nerve activity (SNA) dan penurunan aktivitas vagal jantung saat terjaga. Pembalikan OSA oleh continuous positive airway pressure (CPAP) menurunkan SNA dan meningkatkan modulasi vagal jantung dari variabilitas denyut nadi tinggi baik di malam hari maupun selama terjaga. Mekanisme untuk efek pada siang hari masih belum jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan adaptasi reflek kemoreseptor atau proses sentral yang mengatur aliran otonom.6
46
Pengambilan kembali vagal jantung meningkatkan denyut nadi dan mengurangi variabilitas denyut nadi pada frekuensi tinggi (yaitu, aritmia sinus pernapasan). Yang nantinya menimbulkan efek yang merugikan, termasuk malignan aritmia. Aktivitas berlebih simpatis juga bertindak untuk meningkatkan denyut nadi, ini merugikan, meskipun bukan penanda non spesifik prognosis, namun hal tersebut dapat memperburuk prognosis khususnya pasien CVD dikarenakan menyebabkan desensitisasi cardiac β-adrenoreseptor, aritmia, cedera miosit dan nekrosis, dan vasokonstriksi perifer (yang mengarah kepada peningkatan afterload dan tekanan darah), dan menyebabkan retensi natrium ginjal, baik langsung maupun melalui stimulasi jalur renin-angiotensin-aldosteron.6 c. Stres oksidatif, inflamasi dan disfungsi endotel Hipoksia
terkait-apnea
intermiten
dan
reoksigenasi
postapnea
dapat
menginduksi stres oksidatif dengan produksi jenis oksigen reaktif, dan aktivasi mediator inflamasi yang mampu merusak fungsi endotel vaskuler dan menyebabkan aterosklerosis.22 OSA dihubungkan dengan peningkatan mediator inflamasi dan regulasi adhesi molekul dalam endotel pembuluh darah. Jumlah intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), vaskular cell adhesion-1(VCAM-1) dan E-selectin meningkat pada OSA. Cell adhesion molecule dianggap berperan penting dalam gangguan pembuluh darah seperti aterosklerosis. CPAP terapi pada OSA dapat menekan ekspresi dari Cell adhesion molecule. Peningkatan C-reactive protein (CRP) plasma, leukosit dan sollubel adhesion molecules diduga menimbulkan inflamasi kronik pada OSA. Penumpukan dan perlengketan leukosit ke endotel pembuluh darah memicu inflamasi sehingga terjadi aterosklerosis.9,19 Pasien dengan OSA memiliki konsentrasi plasma nitrat rendah dan kadar penanda stres oksidatif tinggi, hal tersebut dapat reversibel oleh CPAP. Hipoksia intermiten mengaktivasi faktor inti NK-B (nucleus kappa beta), merangsang produksi mediator inflamasi (seperti TNF dan IL-1β) dan beberapa molekul adhesi intraseluler dan sel vaskuler, hal ini bisa memfasilitasi kerusakan endotel dan atherogenesis. Adanya kerusakan endotel dan mediator inflamasi akan merangsang kemoreseptor pada karotis bodi sehingga terjadi perangsangan nukleus solitari sehingga terjadi peningkatan ventilasi dan peningkatan tekanan darah, dimana
47
peningkatan ventilasi akan merangsang bertambahnya hipoksia intermiten.20,22,23 Pada subjek dengan OSA, vasodilatasi-tergantung endothelium terganggu dan dalam percobaan random, mengobati OSA dengan CPAP memperbaiki vasodilatasi baik tergantung dan atau tidak tergantung endothelium tanpa mengurangi peradangan biomarker plasma.22 Butt, et al. (2011) baru-baru ini melaporkan bahwa pasien sehat dengan OSA mengalami kerusakan perfusi miokard yang diperbaiki dengan CPAP.24 Studi Berger dan Lavie (2011) menyimpulkan peningkatan apoptosis dari sel endotelial dan sel progenitor endotel yang lebih sedikit pada pasien OSA dapat berkontribusi untuk proses ini.25 Karakteristik disfungsi endotel berupa ketidakseimbangan produksi hormon, peningkatan mediator inflamasi, hiperkoagulasi yang merupakan faktor resiko penyakit
kardiovaskular.
namun
paradigma
mekanis
bahwa
OSA
dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskular belum sepenuhnya dapat dijelaskan salah satu mekanisme melalui jalur yang beragam seperti hipoksemia, produksi reactive oxygen species (ROS) dan aktivasi simpatis. Disfungsi endotel dapat menyebabkan vasokonstriksi, proliferasi otot polos pembuluh darah, hiperkoagulabilitas, trombosis sehingga terjadi kelainan kardiovaskular. Endotelium adalah lapisan jaringan dinamis merupakan multiple growth faktors, mediator vasoaktif, kontraktilitas pembuluh darah dan pertumbuhan sel dikaitkan dalam pengaturan fisik dan biokimia pembuluh darah sistemik. Tonus pembuluh darah, hemostasis yang baik serat angiogenesis merupakan hal terpenting untuk menfasilitasi barrier antara darah dan jaringan. OSA berhubungan dengan obesitas, hipertensi, gangguan metabolik yang berpengaruh terhadap endotel.9,19,26 Hipoksia-reoksigenasi atau aktivitas simpatis meningkatkan radikal bebas. Terdapat peningkatan lipid peroksida akibat produksi dari ROS. Stress oksida memicu kerusakan endotel sehingga terjadi arterosklerosis. Hipoksia berulang atau reoksigenasi ketika henti napas gangguan
sepintas pada OSA menyerupai iskemia atau
reperfusi. Selama obstruksi jalan napas perfusi tetap ada tetapi
peningkatan ROS, inflamasi dan penurunan nitric oxide (NO) serupa dengan reperfusi iskemik. NO dihasilkan secara endogen oleh sel inflamasi seperti makrofag, neutrofil, eosinofil, endotel pembuluh darah dan epitel saluran
48
pernapasan, menyebabkan relaksasi otot polos dan pembuluh darah saluran napas, berfungsi sebagai neuromodulator dan pertahanan tubuh terhadap patogen. Peningkatan resiko penyakit vaskular pada OSA dikarenakan penurunan NO berakibat disfungsi endotel.9,19,26
d. Aktivasi platelet dan hiperkoagulasi Pada pasien OSA, marker platelet dari resiko trombosis meningkat selama tidur, pada uji coba nonrandom, hal tesebut dapat diturunkan dengan pengunaan CPAP.27 Konsentrasi fibrinogen pagi hari dan kadar inhibitor aktivator plasminogen tipe-1 juga meningkat pada pasien OSA. Mehra et al. (2010) menunjukkan, dalam studi epidemiologi, bahwa baik fibrinogen maupun inhibitor aktivator plasminogen tipe-1 meningkat dengan peningkatan AHI bahkan setelah penyesuaian dengan perancu. Ini menunjukkan potensi fibrinolitik kurang dan keadaan hiperkoagulasi.28 Perubahan struktur dinding pembuluh darah, aktivasi renin angiotensin pada hipoksia berulang mempengaruhi kenaikan tekanan darah pada OSA. Kehilangan fungsi barrier endotel mengakibatkan terpajannya struktur subendotelial terhadap sirkulasi. Keadaan ini menyebabkan kolagen pembuluh darah dapat mengaktivasi agregasi platelet sehingga mengakibatkan formasi trombus. Studi menyatakan terdapat status koagulabilitas pada OSA, fibrinogen plasma dan inhibitor plasminogen aktivator- 1 (PAI-1) meningkat.9 Studi von Kanel, et al. (2006) menunjukkan bahwa 2 minggu terapi CPAP untuk OSA dikaitkan dengan penurunan yang signifikan pada inhibitor aktivator plasminogen tipe-1. Secara bersama-sama, pengamatan
ini
menunjukkan
bahwa
aktivasi
platelet
meningkat
dan
hiperkoagulabilitas bisa memainkan peran dalam meningkatkan kerentanan pasien OSA untuk terjadinya fenomena tromboemboli seperti stroke.6 Gambaran sistematik konsep mekanisme saling kebergantungan antara OSA pada manusia dan CIH (Chronic Induced Hypoxia) pada model hewan percobaan yang memicu disfungsi kardiovaskuler ditunjukkan pada Gambar 2.14. Badan karotis dan region otak yang mempengaruhi aliran keluar simpatis, hipoksia intermiten menyebabkan perangsangan pembentukan ANG II/NADPH oksidase dan penurunan pembentukan NOS. Hasil dari kelebihan ion superoksida berujung pada aliran keluar
49
simpatis yang meningkat secara kronis. Aktivitas berlebihan simpatis, pada akhirnya, menghasilkan efek trofik dan pro-aterosklerotik pada resistensi pembuluh darah melalui stres oksidatif dan inflamasi. Meningkatnya aliran simpatis terhadap ginjal merangsang pelepasan renin dan memicu peningkatan kadar ANG II dan aldosterone yang bersirkulasi, dua hormon dengan stres oksidatif dan efek inflamasi. Aktivasi simpatis pada hati dan limpa, jaringan kaya sel T, mungkin memainkan suatu peranan pada respons inflamasi. Pada OSA, episode hiperkapnia dan terbangun dari tidur memainkan peranan sekunder dengan menguatkan peningkatan aliran simpatis yang terinduksi hipoksia7
Gambar 2.14. Dugaan mekanisme OSA yang mengaktifkan sistem nervus simpatis, menginisiasi kaskase dalam penyakit kardiovaskuler. CNS, central nervous system; RAAS, renin-angiotensin-aldosterone system. *Inflammation; †oxidant stress7,29
50
3. Hubungan OSA dengan Penyakit Kardiovaskuler Studi kasus kontrol kasus dan penelitian epidemiologi mengindikasikan bahwa pajanan kronis terhadap OSA memainkan suatu peran patogenetik dalam penyakit kardiovaskuler.2,6,7,12 Efek Akut Menurunkan pasokan oksigen ke otot miokard Hipoksia intermiten Menurunkan cardiac output Meningkatkan kebutuhan oksigen miokard Aktivasi sistem nervus simpatis Meningkatkan afterload ventrikel kiri Tekanan intrathorak negatif Meningkatkan tekanan darah Meningkatkan denyut nadi Iskemia miokard nokturnal Edema pulmonum nokturnal Aritmia jantung
Efek Kronis Perubahan otonom kardiovaskuler Aktivasi sistem nervus simpatis Menurunkan variabilitas denyut jantung Terganggunya baroreseptor control untuk denyut jantung Hipertensi sistemik-nokturnal dan diurnal Hipertrofi ventrikel kiri Disfungsi dan kegagalan ventrikel kiri Meningkatkan agregrasi platelet dan koagulasi darah Meningkatkan kejadian trombotik dan emboli kardiak serta penyakit serebrovaskuler. Tabel 2.4. Dampak obstructive sleep apnea pada sistem kardiovaskuler2
a. Hipertensi Prevalensi OSA pada hipertensi primer adalah 35%. Namun, apakah OSA adalah benar-benar merupakan faktor resiko independen untuk berkembangnya hipertensi belum diketahui. Hal ini diketahui bahwa hipoksia intermiten atau dengan cara eksperimen menginduksi OSA dapat menyebabkan hipertensi persisten pada tikus dan anjing. Pada tikus, hipertensi dicegah dengan simpatektomi atau denervasi kemoreseptor perifer. Di Wisconsin Sleep Cohort, subyek dengan AHI ≥ 15 memiliki kemungkinan 2,89 lebih besar kecenderungan berkembang menjadi hipertensi dibandingkan mereka dengan AHI 0, resiko hipertensi meningkat dengan AHI. Vitoria Sleep Cohort juga menemukan tidak ada hubungan antara OSA dan insiden hipertensi setelah penyesuaian dengan variabel perancu, kesimpulan ini mungkin terkait dengan perbedaan karakteristik sampel populasi, teknik yang digunakan untuk mendiagnosa sleep apnea, cut off AHI atau efek pro hipertensif dari OSA sendiri dan variabel yang disesuaikan.6 Sekarang dipahami bahwa tekanan darah sistolik dan diastolik malam hari memberi resiko kardiovaskuler jangka panjang lebih besar daripada siang hari, 24
51
jam rawat jalan, atau tekanan darah saat pemeriksaan klinis. Karena pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak normal pada malam hari memiliki resiko yang lebih besar kegagalan dan hipertrofi LV daripada normal, dan OSA sebagai konsekuensi dari aktivasi simpatik nokturnal, kemungkinan menjadi stimulus reversibel untuk kegagalan dan hipertrofi LV.6 Peningkatan tekanan darah ini, yang bergantung pada aktivasi sistem saraf simpatis oleh kemoreseptor karotis, secara pokok disebabkan oleh hipoksia intermiten.7,21 Prevalensi hipertensi pada pasien OSA meningkat jika dibandingkan dengan pasien kontrol, terapi CPAP dapat menurunkan resiko hipertensi pada OSA.30 Parati et al (2010) dalam Joint Recommendation European Society of Hypertension and Respiratory Society merekomendasikan CPAP sebagai terapi yang signifikan mengurangi kejadian hipertensi dan kardiovaskuler sebab menurunkan reaksi inflamasi sistemik, memperbaiki fungsi endotel dan jantung23, beberapa meta analisis menyebutkan penurunan sistolik sebesar 1,4 – 7,2 mmHg dengan menggunakan CPAP.31 Kasai et al (2012) mengatakan pengurangan 5 mm Hg pada tekanan sistolik waktu tidur menyebabkan pengurangan 17% efek samping kejadian kardiovaskuler pada populasi hipertensi dan pemberian captopril pada tikus hipertensi mencegah remodeling kardiovaskuler hanya bila diberikan sebelum tidur.6 OSA tidak selalu terkait hipertensi sebab OSA bukanlah satu faktor melainkan beberapa faktor resiko untuk menjadi hipertensi dan kemungkinan keberadaan karakteristik prohipertensi lainnya, atau adanya struktur genetik yang mungkin memiliki perlindungan relatif dari efek merugikan OSA.7 b. Penyakit arteri koroner Prevalensi OSA pada pasien dengan penyakit arteri koroner / coronary arthery disease (CAD) adalah 30%. Sebuah analisis cross-sectional dari SHHS melaporkan bahwa resiko CAD meningkat sedikit pada subyek OSA pada kuartil AHI tertinggi dibandingkan kuartil terendah.7 Gottlieb, et al. (2010) pada analisis longitudinal data dari kohort SHHS menemukan OSA bukanlah prediktor signifikan dari kejadian CAD setelah penyesuaian untuk faktor resiko lainnya. Dari catatan, analisis subkelompok menunjukkan bahwa OSA terjadi peningkatan resiko berkembang menjadi CAD pada pria usia ≤ 70 tahun.32
52
Namun, jika ada pada pasien dengan CAD, OSA dapat memprovokasi perubahan iskemik pada EKG, dan angina nokturnal dan meningkatkan resiko restenosis setelah intervensi koroner perkutan untuk sindrom koroner akut. Pasien OSA lebih mungkin mengalami infark miokard pada malam hari sebab OSA dapat memicu pecahnya plak atau iskemia miokard. Setelah infark miokard akut, koeksistensi OSA berhubungan dengan peningkatan gabungan infark miokard, stroke dan gangguan pemulihan fungsi sistolik LV.6 c. Gagal jantung Selama beberapa tahun, dampak yang terakumulasi dari siklus rekuren dari peningkatan stres dinding LV, hipoksia, dan aktivasi simpatik pada individu yang rentan mungkin menyebabkan hipertrofi LV, dilatasi, dan penurunan fungsi sistolik. Data cross-sectional dari SHHS menunjukkan adanya OSA dengan AHI 11 dikaitkan dengan peningkatan relatif 2,38 pada kemungkinan memiliki HF (Heart Failure), yang tidak tergantung pada faktor perancu.6 Analisis longitudinal kohort yang sama menunjukkan bahwa, setelah penyesuaian untuk faktor perancu, keparahan OSA adalah prediktor signifikan dari insiden HF pada pria tapi tidak pada wanita.32 Prevalensi OSA pada populasi HF dilaporkan berkisar dari 12% sampai 53%, lebih besar dibandingkan pada populasi umum. Dalam 1 studi observasional, Wang et al (2007) melaporkan bahwa OSA yang tidak diobati (didefinisikan sebagai AHI ≥ 15) pada pasien HF dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, dibandingkan dengan mereka yang memiliki AHI < 15, bahkan setelah penyesuaian untuk faktor resiko perancu.6 Sleep apnea, secara umum, telah terbukti meningkatkan resiko mortalitas pasien dengan HF iskemik, terutama karena berlebihnya tingkat kematian mendadak. Implikasi temuan ini adalah bahwa mekanik, otonom, dan stres oksidatif yang diakibatkan oleh sleep apnea dapat memperburuk iskemia miokard dan berkontribusi untuk peningkatan mortalitas, hal ini kemungkinan melalui terpicunya aritmia ventrikel. Retensi cairan yang berhubungan dengan HF berperan pada patogenesis sleep apnea, dimana kedua hal tersebut menunjukkan hubungan dua arah antara HF dan sleep apnea seperti diuraikan pada Gambar 2.15. Efek samping dari OSA dan CSA dapat berperan pada perkembangan HF, sedangkan retensi
53
natrium dan cairan yang timbul dari HF dapat berperan pada patogenesis baik OSA maupun CSA.6,33
Gambar 2.15. Gambaran sistematik hubungan dua arah yang berpotensi pada obstructive dan central sleep apnea sleep (OSA dan CSA), dan heart failure (HF). Sebagai contoh, kombinasi dari hipoksia yang terjadi intermiten, meningkatkan sympathetic nervous system activity (SNA), dan menurunkan intrathoracic pressure (PIT) yang memicu perkembangan atau progresifitas HF, sedangkan retensi sodium dan cairan akibat HF dapat memicu perpindahan cairan ke rostral sepanjang malam ke struktur perifaringeal atau ke paru, hal tersebut memicu perkembangan atau memperburuk OSA dan CSA.6
d. Aritmia Beberapa mekanisme ditimbulkan oleh OSA bisa menyebabkan aritmia atrium atau ventrikel yaitu, peregangan dinding, menurunkan tekanan intrathorak, melemahkan sel normal hingga sel penghubung melalui remodeling; iskemia miokard hingga hipoksia apnea intermiten yang diinduksi apnea dan peningkatan ketegangan dinding serta aktivasi jalur inflamasi jantung. Meskipun studi crosssectional belum menunjukkan peningkatan prevalensi bradiaritmia pada OSA, apnea yang diinduksi hipoksia dapat memprovokasi blok atrioventrikular yang dimediasi secara parasimpatik yang reversibel oleh CPAP.6 Pada anjing, perubahan aliran darah yang berulang dari atrium kanan selama oklusi saluran nafas atas meningkatkan aktivitas otonom dari ganglion pleksus arteri
54
pulmonalis kanan, dan lebih mudah menyebabkan AF daripada stimulus yang sama tanpa oklusi upper airway (UA). Setelah blokade pleksus tersebut secara farmakologi atau dengan ablasi neuron, induksi AF selama oklusi UA terhambat, hal ini menunjukkan hubungan kausatif
OSA dan AF dimediasi oleh faktor saraf
otonom.6 Data epidemiologi menunjukkan hubungan yang signifikan antara AF dan baik OSA maupun CSA. Dalam analisis cross-sectional SHHS, Mehra et al. (2010) menemukan bahwa subyek dengan OSA adalah 5 kali lebih mungkin untuk mengalami AF daripada mereka yang tanpa OSA34. Studi observasional menunjukkan bahwa OSA menyebabkan onset AF baru atau yang rekuren diikuti kardioversi hingga irama sinus.6 Selain itu, studi Ng, et al. (2011) menunjukkan bahwa pasien dengan OSA memiliki resiko kekambuhan AF 25% lebih besar setelah ablasi kateter dibandingkan mereka yang tanpa OSA.35 e. Stroke Analisis longitudinal data kohort melaporkan, setelah penyesuaian untuk faktor resiko lain, hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan OSA dan insiden stroke pada pria tetapi tidak pada wanita.36 Beberapa studi observasional juga menyimpulkan bahwa OSA meningkatkan prevalensi stroke dan resiko kejadian stroke namun odds ratio tidak signifikan secara konsisten.6 Pada OSA selama fase apnea mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, peningkatan aritmia jantung, peningkatan koagulasi dan emboli paradoksikal melalui foramen ovale, disamping itu adanya keterlibatan endotel dan oksida nitrat menyebabkan arterosklerosis dan pembentukan formasi plak. Studi dengan ultrasonografi didapatkan adanya hasil yang signifikan dalam ketebalan tunika intima pada pasien OSA. Beberapa marker kardiovaskuler dari penelitian sebelumnya juga mengalami peningkatan, diantaranya leptin, CRP dan resistensi insulin, dimana kesemuanya itu merupakan predisposisi kejadian stroke. (Guilleminalut dan Zupanic, 2009).37 Pasien yang telah mengalami stroke, prevalensi OSA adalah 60%, dan CSA 12%. Dalam penelitian ini, adanya OSA bukan CSA, dikaitkan dengan motorik dan fungsional yang buruk bukan ketidakmampuan kognitif. Gangguan fungsi
55
neurologis terkait OSA dapat mengakibatkan penurunan aliran darah otak, hipoksia intermiten, dan gangguan autoregulasi cerebral.6 Sebuah studi lanjutan, Loke et al. (2012) menunjukan pasien laki – laki dengan OSA memiliki resiko terkena stroke seiring dengan peningkatan keparahan AHI, dan insiden terkena stroke pada laki – laki sebesar 2,24 per 10 tahun dan hal ini tetap signifikan setelah penyesuaian dengan usia, ras, BMI dan faktor resiko lainnya.38 AASM merekomendasikan skrining sleep apnea pada pasien beresiko tinggi, seperti AF, hipertensi, stroke, mendengkur, EDS, BMI ≥ 35 kg/m2, ANC > 17 pada laki – laki atau 16 pada wanita, skrinning dilakukan dengan menggunakan Epsworth Sleepiness Scale dan Berlin Questionnaire. Guideline for the Primary Prevention of Stroke 2014 menyebutkan karena hubungan sleep apnea dan resiko stroke maka skrining sleep apnea dapat dilakukan dengan mengevaluasi riwayat penyakit secara detail, termasuk Epsworth Sleepiness Scale dan Berlin Questionnaire, pemeriksaan fisik dan polisomnografi dapat dipertimbangkan (Klas IIb, level of evidence C). Manajemen sleep apnea untuk mengurangi faktor resiko stroke mungkin masuk akal namun efektifitasnya dalam pencegahan stroke masih belum diketahui (Klass IIb, level of evidence C).31 f. Mortalitas kardiovaskular Penelitian kohort Young, et al. (2008) selama 18 tahun mengunakan data tindak lanjut dari Wisconsin Sleep Cohort menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan subyek tanpa sleep apnea, resiko kematian pasien OSA berat yang tidak diobati secara signifikan lebih tinggi (3,8 kali untuk semua penyebab dan 5,2 kali untuk mortalitas kardiovaskular).6 Studi Marin, et al. (2005) menemukan bahwa laki-laki dengan OSA berat yang tidak diobati (AHI 30) memiliki resiko kejadian kardiovaskular 3,5 kali lebih fatal dan 4,7 kali lebih fatal setelah tindak lanjut periode 10 tahun namun, pada pria dengan OSA moderat-berat dengan pengobatan CPAP tidak berbeda secara signifikan dari kelompok kontrol.6 g. Sindrom metabolik OSA memiliki hubungan dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik sekarang diakui sebagai kontributor penting untuk pengembangan aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Seperti yang didefinisikan, pasien dengan sindrom
56
metabolik memiliki peningkatan kadar glukosa puasa, peningkatan tekanan darah, kelainan lipid, dan obesitas. Bukti proinflamasi dan stres oksidatif juga ada pada pasien ini. Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa OSA dapat berkontribusi pada gangguan metabolik yang menjadi ciri sindrom metabolik .12,39
Gambar 2.16. Potensi hubungan obstructive sleep apnea (OSA) dan sindroma metabolik. OSA dihubungkan dengan 3 dari 5 kelainan mayor yang berhubungan dengan sindroma metabolik yaitu, hipertensi, resistensi insulin dan pro inflamasi / stress oksidatif.12
OSA telah dikaitkan dengan peningkatan produksi Reactive Oxygen Species dan biomarker stres oksidatif lainnya dan telah dikaitkan dengan peningkatan kadar beberapa sitokin proinflamasi, disfungsi endotel dan marker-marker terkait aterosklerosis. Marker ini meliputi protein C-reaktif (CRP) pada orang dewasa dan remaja, IL-6, IL-18 dan matrix metaloproteinase 9.40,41,42 OSA juga dikaitkan dengan penurunan produksi oksida nitrat. Beberapa studi telah menunjukkan respon vasodilator terganggu, yang diukur dengan flow-mediated dilatation. Gangguan flow-mediated dilatation ditemukan berkorelasi terbalik dengan tingkat desaturasi oksigen. CPAP menurunkan resistensi insulin, penurunan peroksidasi lipid, dan peningkatan respon vasodilator.12 h. Diabetes melitus OSA berhubungan dengan peningkatan resiko diabetes tipe 2, apakah OSA menyebabkan diabetes tipe 2 atau apakah hal ini terkait dengan resistensi insulin dan
57
diabetes masih tidak jelas namun, penggunaan CPAP pada OSA dapat memperbaiki resistensi insulin. Fragmentasi tidur, kurang tidur, dan hipoksemia diperkirakan memainkan peran independen dalam intoleransi glukosa.12 Studi Aronshon, et al. (2009) mendukung peran OSA dalam memperburuk kontrol insulin pada penderita diabetes tipe 2.6 OSA mengakibatkan hipoksia intermiten dan fragmentasi tidur yang mengakibatkan resistensi insulin yang mengaktifkan jalur klasik atau lipotosik (Gambar 2.17). Meningkatnya aktivitas saraf simpatik sebagai suatu mekanisme mekanisme utama pada perkembangan pada hipertensi bekelanjutan pada pasien OSA, aktifnya sistem saraf simpatis mempengaruhi secara potensial sensitivitas insulin. Hipoksia sistem saraf simpatis mengakibatkan peningkatan katekolamin di sirkulasi yang nantinya akan berkontribusi terhadap perkembangan resistensi insulin dan
fungsi
metabolik
jangka.
Hormon
pertumbuhan
merupakan
homon
kontraregulator lainnya yang dipengaruhi oleh tidur dan OSA, berlawanan dengan katekolamin, kadar hormon pertumbuhan tampak menurun dengan adanya OSA dan tidak memainkan suatu peranan pada perkembangan resistensi insulin. Akan tetapi, hormon pertumbuhan merupakan kontrol utama pelepasan dari faktor insulin-like growth factor-I (IGF-I), sebuah peptide dengan aksi sensitisasi-insulin. Stres hipoksia pada OSA kemungkinan mengaktifkan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), meningkatkan kadar kortisol, dan diduga berkontribusi terhadap resistensi insulin.7 Perkembangan resistensi insulin dan diabetes tipe 2 secara besar bergantung pada adanya obesitas. Sekarang terdapat sejumlah besar bukti yang sedang berkembang bahwa efek “lipotoksik” dari obesitas memainkan suatu peranan penting dalam patogenesis resistensi insulin. Hal yang mendukung hipotesis tersebut adalah adanya hiperlipidemia menginduksi resistensi insulin dan menurunkan availibilitas metabolisme lipid dalam tubuh serta meningkatkan sensitivitas insulin. Jalur proinflamasi/stres diduga merupakan suatu penghubung antara lipotoksisitas dan perkembangan resistensi insulin. Respon seluler terhadap sinyal inflamasi dan stres dimediasi oleh sejumlah kaskade sinyal yang diekspresikan di mana-mana,
58
termasuk jalur NKB. Meningkatnya aktivitas jalur proinflamasi/stress berimplikasi pada terganggunya kerja insulin di jaringan perifer.7 Stres hipoksia OSA secara potensial meningkatkan resiko hiperlipidemia, hipoksia mungkin mempengaruhi akumulasi lipid dan berikutnya inflamasi pada organ, seperti distribusi keseluruhan lemak tubuh. Sebagai tambahan dalam menghasilkan akumulasi lemak ektopik, terdapat bukti tidak langsung bahwa OSA mungkin memberikan kecenderungan untuk menaikkan berat badan dan secara potensial mempengaruhi distribusi lemak viseral dibandingkan akumulasi lemak subkutan. Banyak faktor yang diusulkan mengaktifkan jalur proinflamasi/stres pada obesitas, termasuk pembentukan spesies oksigen reaktif, pelepasan sitokin inflamasi, hiperlipidemia, dan deposisi ektoptik lemak. Stress hipoksia OSA merupakan suatu stimulus yang berpotensi untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif dan memicu peroksidasi lipid. Sebagai tambahan terhadap aksi langsung stress hipoksia yang berasal dari OSA, lipotoksisitas mungkin juga menghasilkan spesies oksigen reaktif dan secara lanjut mengaktifkan jalur proinflamasi/stres yang memicu resistensi insulin. Disisi lain adiposa merupakan suatu sumber dari sitokin yang bersirkulasi yang menginduksi dan berespons terhadap jalur stres proinflamasi.7
Gambar 2.17. Jalur perubahan fisiologis dari hipoksia intermiten dan fragmentasi tidur yang mengakibatkan resistensi insulin yang mengaktifkan jalur klasik (putih) atau lipotosik (abu – abu)12
59
F. Diagnosis Kriteria diagnosis OSA didasarkan pada gejala klinis yang ditemukan pada evaluasi tidur yang komprehensif, termasuk riwayat penyakit yang dihubungkan dengan tidur, pemeriksaan fisik dan sleep testing 3 1. Anamnesis Gejala OSA umumnya dimulai diam-diam dan sering muncul selama bertahun-tahun sebelum pasien dirujuk untuk evaluasi. Gejala nokturnal dapat meliputi: mendengkur, biasanya keras, menjadi kebiasaan (habitual), dan mengganggu orang lain; apnea nyata; sensasi terengah-engah dan tersedak yang membuat pasien bangun dari tidur, meskipun dalam proporsi yang sangat rendah dibandingkan dengan jumlah apnea yang mereka mengalami; nokturia; insomnia, gelisah saat tidur. Gejala siang mungkin dapat meliputi: tidur yang tidak menyegarkan, sakit kepala pagi hari, sakit tenggorokan atau tenggorokan kering, mengantuk berlebihan di siang hari (Excessive Daytime Sleppiness / EDS), kelelahan / keletihan siang hari, defisit kognitif; memori dan gangguan intelektual (memori jangka pendek, konsentrasi), penurunan kewaspadaan, kebingungan di pagi hari, perubahan kepribadian dan perubahan mood, termasuk depresi dan kecemasan,
disfungsi
seksual,
termasuk
impotensi
dan
libido
menurun,
gastroesophageal reflux, hipertensi, depresi.3,12,43 Satu pendekatan untuk menentukan penyebab pasien mendengkur adalah dengan menggunakan suatu bagan prediksi klinis untuk memastikan kemungkinan OSA (Gambar 2.18) Prediksi dalam hal ini menggunakan lingkar leher yang sudah dirata-rata (average neck circumference / ANC). Lingkar leher pasien diukur (dalam cm) pada tingkat tonjolan krikoid dalam posisi duduk dan dirata-rata untuk faktor resiko pasti: hipertensi ditambah 4 cm terhadap lingkar leher, kebiasaan mendengkur ditambah 3 cm, dan riwayat perasaan tercekik atau sesak pada kebanyakan malam hari ditambah 3 cm. ANC yang kurang dari 43 cm memberikan suatu kemungkinan klinis yang rendah untuk OSA, ANC dari 43 hingga 48 cm merupakan sebuah kemungkinan sedang, dan ANC yang lebih besar dari 48 cm merupakan suatu kemungkinan yang tinggi.44
60
Gambar 2.18. Algoritma untuk menginvestigasi dengkuran. ANC, lingkar reher yang diratakan, AHI indeks apnea-hipopnea; OSA, obstructive sleep apnea; UARS, upper airway resistance syndrome.44
Algoritma lain yang digunakan dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai OSA, berdasarkan American Academy of Sleep Medicine seperti gambar dibawah ini (Gambar 2.19)45
61
Routine Health Maintenance Exam (PCP)
Patient complain of symptom
Obesity (BMI > 35) Congestive heart failure Atrial fibrillation Treatment refractory hypertension DM Type 2 Nocturnal dysrhythmias Stroke Pulmonary hypertension High-risk driving population Preoperative for bariatric surgery
High Risk Screenings (PCP)
Sleep Disorder Symptoms ?
Is the patient obese? Is the patient retrognathic? Does the patient complain of daytime sleepiness? Does the patient snore? Does the patient have hypertension?
Yes
Sleep Evaluation (PCP/SS) Evaluate for other sleep disorders and co-morbidities
No
History and Physical ? Risk Factors Assesment
Yes Sleep Study
OSA Symptom?
Polysomnogarphy Portable monitor Other sleep procedures
Result Reviewed with Sleep Specialist
Evaluate for other sleep disorders and co-morbidities
No
OSA ? AHI ≥ 15 AHI ≥ 5 + Symptoms
Yes
Patient Education
Discuss Treatment Options Acepted
Long Term Follow up
CPAP Offered? Decline
Alternative Therapies Behavioral Oral Appliance Surgical Adjunctive
Long Term Follow up
Gambar 2.19. Alur evaluasi kecurigaan adanya OSA. PCP (primary care physician, SS (sleep specialist)45
62
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSA, selain adanya obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan evaluasi saluran napas bagian atas pada semua pasien, tetapi terutama pada orang dewasa nonobese dengan gejala yang sejalan dengan OSA. Temuan pemeriksaan fisik yang mungkin adalah sebagai berikut:12,37
Obesitas - indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg / m2
Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm (15 inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas 61% dan spesifisitas 93% untuk OSA, terlepas dari jenis kelaminnya
Skor Mallampati abnormal (meningkat) (Gambar 2.20)
Penyempitan dinding saluran napas lateral, yang merupakan prediktor independen dari adanya OSA pada pria tapi tidak pada wanita
Tonsil yang membesar (Gambar 2.20)
Retrognatia atau mikrognathia
Langit-langit keras(palatum durum) melengkung tinggi
Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien dengan OSA
Gagal jantung kongestif (CHF)
Hipertensi pulmonal
Stroke
Sindrom metabolik
Diabetes mellitus tipe 2
Skor Mallampati telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko untuk intubasi trakea sulit. Klasifikasi ini memberikan skor 1-4 berdasarkan pada fitur anatomi saluran napas yang terlihat ketika pasien membuka mulutnya dan menjulurkan lidah (Gambar 2.20). Setiap kenaikan 1 unit dalam skor Mallampati, rasio kemungkinan memiliki OSA) meningkat sebesar 2,5.12
63
Gambar 2.20. Klasifikasi Mallampati (kiri), klasifikasi tonsil (kanan) 12
Nilai prediktif evaluasi klinis awal untuk OSA dapat didasarkan pada data berikut:12
Dengkuran yang mengganggu: Anamnesis adanya riwayat mendengkur yang mengganggu memiliki sensitivitas 71% dalam memprediksi gangguan nafas terkait tidur—Sleep-disordered Breathing (SDB).
Dengkuran yang mengganggu dan apnea nyata: Faktor-faktor ini bersama-sama memiliki spesifisitas 94% untuk SDB.
Chung et al. (2012) mengatakan terdapat 2 akronim yang membantu mendiagnosis OSA, akronim STOP, yaitu meliputi:46 S (SNORE): Apakah anda mendengkur dengan keras, cukup keras untuk didengar melalui pintu yang tertutup "? T (TIRED): "Apakah Anda merasa lelah atau letih pada siang hari hampir setiap hari?" O (OBSERVE): "Apakah ada yang mengamati bahwa Anda berhenti bernapas saat tidur?" P (PRESSURE of BLOOD): "Apakah Anda memiliki riwayat tekanan darah tinggi dengan atau tanpa pengobatan?"
64
Jika pasien menjawab ya untuk >2 pertanyaan, sensitivitas pasien yang memiliki AHI lebih dari 5 adalah 66% dan sensitivitas pasien yang memiliki AHI lebih besar dari 15 adalah 74%.46 Sebuah Akronim BANG juga dapat berguna, yaitu sebagai berikut:44 B (BMI): BMI lebih besar dari 35 A(AGE): Usia lebih tua dari 50 tahun N (NECK): Lingkar leher lebih dari 43 cm (17 inch) G (Gender): jenis kelamin Laki-laki Jika kriteria dari STOP dan BANG terpenuhi, sensitivitas pasien memiliki AHI lebih dari 5 adalah 93% dan AHI lebih dari 15 adalah 83% namun, tidak semua populasi pasien dapat diidentifikasi dengan tingkat akurasi yang sama dengan alat yang sama, oleh karena itu penelitian masih harus terus untuk menemukan prediktor terbaik untuk berbagai populasi pasien.47 Ramachandran, et al. (2010) telah mengembangkan dan memvalidasi skor klinis untuk memprediksi diagnosis OSA sebelum operasi pada populasi bedah umum. Skor Perioperative Sleep Apnea Prediction (P-SAP) didasarkan pada 3 variabel demografis (usia > 43 tahun, jenis kelamin laki-laki, dan obesitas), 3 variabel anamnesis (riwayat mendengkur, diabetes mellitus tipe 2, dan hipertensi), dan 3 alat ukur airway (leher tebal, modified Mallampati kelas 3 atau 4, dan pengurangan jarak thyromental). Ambang diagnostik skor P-SAP 2 atau lebih menunjukkan sensitivitas yang sangat baik 93,9% tetapi spesifisitas yang buruk 32,3%, sedangkan skor P-SAP 6 atau lebih memiliki sensitivitas yang buruk 23,9% tetapi memiliki spesifisitas sangat baik 91,1%.48 Indeks yang biasa digunakan untuk menilai gangguan pernafasan saat tidur (SDB) adalah indeks apnea-hipopnea—Apnea-hypopnea Index (AHI) dan indeks gangguan pernapasan—Respiratory Disturbance Index (RDI). AHI didefinisikan sebagai jumlah rata-rata episode apnea dan hipopnea per jam. RDI didefinisikan sebagai jumlah ratarata gangguan pernapasan (apnea obstruktif, hipopnea, dan kejadian pernapasan terkait bangun (Respiratory Effort Related Arousal / RERA) per jam. Jumlah peristiwa yang tercatat untuk menghitung AHI atau RDI selama uji tidur adalah setidaknya dalam periode 2 jam. Tidak ada konsensus universal apakah AHI atau RDI yang sebaiknya menjadi indeks standar yang digunakan untuk menentukan pengobatan namun, satu
65
studi menemukan bahwa 30% dari pasien yang bergejala akan tidak terobati jika menggunakan AHI daripada RDI.12 RDI lebih cocok untuk memenuhi kriteria diagnostik The New American Academy of Sleep Medicine (AASM) untuk OSA. Menurut kriteria Centers for Medicare & Medicaid Service untuk diagnosis positif dan pengobatan OSA, tes positif untuk OSA ditegakka jika salah satu dari kriteria yang menggunakan AHI atau RDI berikut ini terpenuhi:12
AHI atau RDI ≥15 kejadian per jam, atau
AHI atau RDI ≥ 5 dan ≤ 14 kejadian per jam dengan gejala tercatat berupa EDS; kognisi terganggu; gangguan mood; Insomnia; atau hipertensi yang tercatat, penyakit jantung iskemik, atau riwayat stroke. AASM telah mengembangkan kriteria, seperti yang tercantum dalam Klasifikasi
Internasional Gangguan Tidur: Manual Diagnostik dan Coding, Edisi Kedua, tahun 2005. Setidaknya 1 dari kriteria berikut harus ada untuk menegakkan diagnosis OSA:12
Pasien melaporkan kantuk di siang hari, tidur yang tidak menyegarkan, kelelahan, insomnia, dan / atau episode tidur yang tidak disengaja selama terjaga. Pasien terbangun dengan menahan napas, terengah-engah, atau tersedak. Mitra tidur pasien melaporkan adanya dengkuran keras, interupsi nafas, atau keduanya saat pasien tidur.
Polisomnografi (PSG) menunjukkan lebih dari 5 peristiwa pernapasan yang dapat di skoring (misalnya, apnea, hipopnea, RERA) per jam tidur dan / atau bukti adanya upaya pernapasan selama semua atau sebagian dari setiap peristiwa pernapasan.
PSG menunjukkan lebih dari 15 peristiwa pernafasan yang dapat di skoring (misalnya, apnea, hipopnea, RERA) per jam tidur dan / atau bukti upaya pernapasan selama semua atau sebagian dari setiap peristiwa pernapasan.
Adanya gangguan tidur lain saat ini, gangguan medis atau neurologis, penggunaan obat, atau penggunaan narkoba sebaiknya tidak diperhitungkan untuk kondisi pasien.
66
3. Pemeriksaan penunjang a. Pencitraan / Imaging Modalitas yang tersedia untuk mengidentifikasi lokasi obstruksi meliputi sefalometri lateral, endoskopi, fluoroskopi, computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI), dan radiografi. Keakuratan metode ini untuk mengidentifikasi situs obstruksi tidak jelas. Saat ini, pencitraan UA digunakan terutama sebagai alat penelitian. Pencitraan radiografi rutin UA tidak dilakukan.12 b. Tes fungsi paru—Pulmonary Function Test (PFT) tidak diindikasikan untuk membuat diagnosis atau rencana pengobatan untuk OSA sendiri12 c. Tes laboratorium Tes laboratorium rutin biasanya tidak membantu dalam menegakkan OSA tanpa adanya indikasi tertentu. Sebuah tes tirotropin harus dilakukan pada setiap pasien dengan kemungkinan OSA yang memiliki tanda-tanda lain atau gejala hipotiroidisme, terutama pada orang tua.12 Sebuah studi oleh Cintra et al. (2011) menetapkan bahwa kadar sistein lebih tinggi pada pasien dengan OSA dibandingkan dengan subyek kontrol, dan kadar ini berkurang setelah pengobatan OSA yang efektif.12,49 d. Polisomnografi (PSG) Pedoman American College of Physicians (ACP) merekomendasikan bahwa pasien dengan EDS harus menjalani studi tidur, sebaiknya polisomnografi. ACP merekomendasikan portable sleep monitor pada tanpa komorbid sebagai alternatif PSG ketika PSG tidak tersedia untuk keperluan diagnostik.4,50 PSG digunakan pada OSA secara akurat untuk mendiagnosis dan untuk menilai manfaat pengobatan Menurut rekomendasi, penilaian dokter harus mencakup evaluasi faktor resiko dan penyajian gejala umum untuk OSA.12 Shneerson (2010) mengatakan PSG diindikasikan secara rutin untuk diagnosis sleep-related breathing disorder, pasien preoperatif tindakan operasi, follow up setelah 3 bulan pembedahan, pengunaan oral appliance dan keberhasilan PAP (Positive Airway Pressure).51 Pasien dengan kemungkinan sedang hingga tinggi terkena OSA harus dievaluasi dengan polisomnografi. Pada pasien dengan kemungkinan rendah OSA, keputusan untuk melakukan polisomnografi tergantung pada adanya gejala.
67
Mendengkur dengan riwayat gangguan tidur, tidur tidak nyenyak, atau rasa kantuk sepanjang hari juga seharusnya dilakukan PSG. Pasien dengan kemungkinan rendah OSA dan tidak bergejala dapat diterapi tanpa polisomnografi, dengan syarat mereka diikuti dan dapat di lakukan polisomnografi apabila dengan gejala yang baru atau penambahan berat badan secara klinis.44 Pedoman AASM tahun 2005, indikasi dan kinerja PSG meliputi:12
Tahapan tidur dicatat melalui EEG, elektrooculogram, dan elektromyogram (EMG) dagu.
Irama Jantung dipantau dengan EKG lead tunggal.
Gerakan kaki dicatat melalui EMG tibialis anterior.
Pernapasan dimonitor, termasuk aliran udara di hidung dan mulut (menggunakan sensor termal dan transduser tekanan hidung), usaha nafas (menggunakan induktansi plethysmography), dan saturasi oksigen.
Pola pernapasan dianalisis untuk adanya apnea dan hipopnea, ditentukan sesuai dengan definisi yang sudah distandarkan oleh AASM
68
Gambar 2.21. Gambar polisomnografi pada obstructive sleep apnea. Perhatikan tidak adanya aliran (panah merah) meskipun dilakukan upaya pernapasan paradoks (panah hijau)12
G a
Gambar 2.22. Perbandingan dari apnea sentral (kotak) dan apnea obstruktif (lingkaran). Pada apnea sentral terlihat tidak adanya aliran dan usaha pernapasan12
69
Gambar 2.23. (A). Pasien OSA berat dilakukan pengukuran bioelektrik (tiga saluran) menunjukkan bahwa pasien tertidur tidak dalam diantara periode arousal terkait dengan aktivasi elektromiogram submental (EMG). Saturasi oksigen arteri (SaO2) menurun secara berkala dan meningkat setelah onset aliran udara. Tekanan esofageal (P eso) dan gerak abdomen (RESPabd) menunjukkan upaya pernafasan yang terus menerus. EEG, elektroensefalogram; EKG, elektrokardiogram; EOG, elektrookulogram; MIC, mikrofon; V, volume. (B). Pasien obstructive sleep hypopnea. Sebuah elektromiogram submental (EMG) menunjukkan ledakan ritmis dari otot-otot inspirasi faring. SaO2 memperlihatkan hipoksemia ringan stabil. Aliran udara menunjukkan keterbatasan aliran selama inspirasi. Meskipun tekanan penggerak semakin besar selama upaya inspirasi (waktu antara garis vertikal putus-putus), aliran tetap konstan, menunjukkan peningkatan resistensi selama inspirasi, mungkin akibat penyempitan progresif dari lumen faring. Garis yang menebal pada MIC saat ini hasil dari oskilasi frekuensi tinggi aliran udara yang disebabkan oleh mendengkur. EEG, elektroensefalogram; EOG, elektrookulogram; MIC, mikrofon; Peso, tekanan esofagus; RESP abd, gerak abdomen; SaO2, saturasi oksigen arteri; V, volume; V, aliran udara17
70
Apnea adalah terhentinya aliran udara paling tidak selama 10 detik, dapat terjadi bertahan sampai 30 detik atau lebih. Hipopnea adalah penurunan 30% atau lebih pada aliran yang berlangsung setidaknya 10 detik dan berhubungan dengan desaturasi oksihemoglobin 4% atau lebih. Definisi alternatif adalah pengurangan 50% atau lebih dalam aliran yang berlangsung setidaknya 10 detik dan dikaitkan dengan desaturasi oksihemoglobin 3% atau lebih atau adanya arousal (Gambar 2.24)12
G a m G ambar 2.24. Sebuah rekaman 2 menit tidur menunjukkan 4 hipopnea (panah tebal) dan desaturasi oksigen terkait (panah merah)12
RERA adalah suatu peristiwa di mana pasien memiliki serangkaian napas dengan meningkatnya upaya pernapasan dalam waktu 10 detik atau lebih yang menyebabkan arousal (bangun) dari tidur namun tidak memenuhi kriteria untuk apnea atau hypopnea. Arousal yang terdeteksi pada PSG penting untuk evaluasi derajat fragmentasi tidur. Mereka mungkin menjadi satu-satunya petunjuk untuk sindrom resistensi UA pada pasien dengan hipersomnolen siang hari jika tekanan esofagus tidak dipantau. Pemantauan tekanan esofagus tidak rutin dilakukan di sebagian besar laboratorium karena prosedur yang invasif.12
71
Temuan PSG berikut merupakan ciri khas pada OSA:12
Episode apnea terjadi dengan adanya usaha otot pernafasan.
Episode apnea yang berlangsung 10 detik atau lebih dianggap signifikan secara klinis.
Episode apnea paling sering selama tidur Rapid Eye Movement (REM). Pada beberapa pasien, mereka dapat terjadi secara eksklusif hanya selama tidur REM.
Pasien mungkin memiliki kombinasi apnea dan hipopnea, atau mereka mungkin memiliki salah satunya saja.
Apnea campuran dapat terjadi.
Gangguan tidur karena arousal biasanya terlihat pada akhir episode apnea. Indeks apnea-hypopnea (AHI) berasal dari jumlah total apnea dan hypopnea
dibagi dengan total waktu tidur. Ambang batas normal untuk AHI belum pernah didefinisikan dalam studi epidemiologi dari orang sehat. Pembagian AHI menurut Purnomo (2014) <5 apnea/jam adalah normal, 5 – 20 apnea/jam OSA ringan, 20 – 40 apnea/jam OSA sedang, >40 apnea/jam OSA berat.52 Downey, et al. (2014) mengatakan bahwa sebagian besar pusat tidur menggunakan cutoff 5-10 episode per jam. Tingkat keparahan OSA didefinisikan berbeda-beda antar pusat studi.12 AASM Manual for Scoring menetapkan rekomendasi untuk tingkat cutoff pada RDI meliputi 5-15 episode per jam untuk ringan, 15-30 episode per jam untuk moderat, dan lebih dari 30 episode per jam untuk berat.3 e. MSLT (multiple sleep latency test) Pengukuran dengan MSLT masih kontroversial, kegunaan tes ini untuk secara obyektif mengukur kantuk dan terjaga. MSLT dapat mengikuti PSG, sebab sebagai alat ukur objektif dari EDS. MSLT terdiri dari 4-5 tidur siang dengan durasi 20 menit setiap 2 jam pada siang hari. Latensi onset tidur untuk setiap tidur siang adalah rata-rata untuk menentukan latensi tidur siang. Latensi tidur siang normal adalah lebih dari 10-15 menit. OSA umumnya terkait dengan latensi kurang dari 10 menit namun latensi tidur rata-rata tidak bisa membedakan antara pasien dengan OSA dan pasien dengan narkolepsi. Penggunaan rutin MSLT dalam evaluasi OSA telah menurun secara signifikan karena dokter ahli tidur umumnya mengobati OSA atas dasar gejala subjektif yang dilaporkan oleh pasien.12
72
G.
Penatalaksanaan Pilihan pengobatan untuk mendengkur non-apnea dan apnea tidur adalah serupa. Pada bentuk yang luas, pengobatan dapat dibagi menjadi pendekatan non-bedah dan bedah. Pengobatan non-bedah dapat dikelompokkan lebih lanjut menjadi beberapa kategori: modifikasi gaya hidup, peralatan oral, pengobatan yang menargetkan kongesti nasal, dan terapi CPAP. 44
Gambar 2.25. Algoritma untuk pengelolaan mendengkur. dimulai dengan identifikasi dan memperbaiki faktor resiko dan diikuti dengan peralatan oral, menggunakan CPAP, dan terakhir, pembedahan. CPAP, continnous positive airway pressure; OSA, obstructive sleep apnea; RFA, ablasi frekuensi radio.44
OSA harus dipandang sebagai penyakit kronik yang memerlukan penatalaksanaan multi disiplin jangka panjang. Pilihan terapi untuk OSA antara lain terapi medis, perilaku dan pembedahan. Terapi terbaik saat ini untuk OSA adalah nasal CPAP (Continuous Positive Airway Pressure), baik untuk OSA derajat ringan, sedang, maupun berat. CPAP
73
harus ditawarkan sebagai pilihan bagi semua pasien OSA. Terapi alternatif ditawarkan sesuai beratnya OSA, kelainan anatomi, faktor resiko, dan keinginan pasien.3,44 Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu intervensi bedah : pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan faring; trakeostomi; perubahan gaya hidup : menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan yang sangat dan mengkonsumsi kafein; penggunaan alat-alat buatan : alat untuk mereposisi rahang dan mempertahankan posisi lidah, cervical collars atau bantal, CPAP.2,43 Penanganan OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti oral appliances, positive airway pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan pasien dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan positive airway pressure devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif atau tidak adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan untuk tindakan bedah.12,53 Berikut adalah beberapa pembahasan tentang penatalaksanaan OSA a. Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala, seperti penurunan berat badan, olahraga, mengurangi konsumsi alkohol, khususnya sebelum tidur (4-6 jam sebelum tidur), tidur dengan posisi miring (dibandingkan supinasi), good sleep hygiene, pemakaian Positive Airway Pressure yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur.3,12,53,54 Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral. Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan resistensi inspirasi selama stadium 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada lakilaki muda normal. Efek terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari metoda pengukuran yang digunakan. Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan menilai otot-otot inspirasi, cenderung meningkat selama tidur setelah mengkonsumsi alkohol. 53
Penelitian epidemiologi menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas dan OSA. Insidens OSA diantara pasien obese adalah 12 sampai 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi lain. Pendekatan baik bedah maupun bukan bedah untuk menurunkan berat badan telah dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian
74
mempunyai banyak keterbatasan.53 Pengurangan 10% berat badan menyebabkan pengurangan 26% dalam indek RDI. Manfaat lain penurunan berat badan adalah penurunan tekanan darah, perbaikan fungsi paru dan nilai-nilai gas darah arteri, perbaikan struktur tidur dan mendengkur, kemungkinan penurunan tekanan CPAP.12 Lingkar leher, merupakan prediktor kuat untuk sleep-disordered breathing diantara beberapa penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh bagian atas, dibandingkan dengan distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih berpengaruh terhadap terjadinya OSA. Penurunan berat badan harus dianjuran pada pasien OSA, kombinasi diet sangat rendah kalori dengan pengaturan kebiasaan adalah aman dan hemat sebagai penanganan utama OSA.53 Posisi lateral merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI pada banyak pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh lateral. Hasil penelitian menunjukkan meskipun pasien dengan OSA berat memiliki jumlah apnea yang banyak pada posisi supinasi dan lateral, kejadian apnea lebih berat pada posisi tidur supinasi daripada tidur lateral.2,54 b. Terapi farmakologis umumnya bukan bagian dari rekomendasi pengobatan primer. Acetazolamide, medroksiprogesteron, fluoxetine, dan protriptyline telah digunakan untuk mengobati OSA namun oba - obat ini tidak dianjurkan. Modafinil disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika untuk digunakan pada pasien yang memiliki sisa EDS meskipun sudah menggunakan CPAP optimal. Perbaikan paling baik terlihat pada pasien yang mengonsumsi modafinil pada dosis 200-400 mg / hari. Armodafinil, R-enansiomer modafinil, juga sekarang telah disetujui FDA untuk digunakan pada pasien ini.12 American Academy of Sleep Medicine (AASM), dalam parameter praktek dan peninjauan terapi medis untuk OSA, menulis penggunaan protriptyline dimana obat ini bekerja untuk meningkatkan tonus otot dan menurunkan REM, sebagaimana kejadian
OSA
berkaitan
dengan
stadium
REM.37
Penggunaan
modafinil
direkomendasikan untuk pengobatan kantuk residual pada orang dengan OSA dan dianggap sebagai pengobatan standar (Level of Evidence I atau IIa). Obat – obatan golongan selective serotonin reuptake inhibitor, methylxanthin, dan terapi penggantian estrogen tidak direkomendasikan untuk pengobatan OSA.12,37
75
c. Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi pilihan utama untuk OSA.8,31,37,53 Terapi menggunakan nasal CPAP pertama kali dikemukakan pada tahun 1981, tetapi baru pada tahun 1985 mulai dikenal lebih luas sebagai terapi jangka panjang OSA. 3,25 Bentuk umum dari PAP adalah continuous positive airway pressure (CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau variasi variasi lain. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif (pneumatik) di jalan napas atas pada tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas atas tetap paten atau terbuka selama tidur dan mempertahankan volume paru sehingga membantu faring tetap paten. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya apnea dan dapat mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan CPAP akan meningkatkan kualiti hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap efektif untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan utama serta merupakan terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan pemakaian CPAP maka gejalagejala OSA akan terulang kembali.53 Pedoman Medicare menentukan kriteria untuk memberikan CPAP untuk pasien dengan OSA. Semua pasien dengan indeks apnea-hypopnea (AHI) lebih dari 15 dianggap memenuhi syarat untuk CPAP, terlepas dari simtomatologi. Untuk pasien dengan AHI dari 5-14, CPAP diindikasikan hanya jika pasien memiliki salah satu dari hal-hal berikut: kantuk di siang hari yang berlebihan (EDS), hipertensi, atau penyakit kardiovaskuler. Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rhinitis, masalah terkait masker meliputi kulit lecet, ruam, dan konjungtivitis (karena kebocoran udara). Masalah hidung dapat mencakup rhinorrhea, hidung tersumbat, epistaksis, dan hidung dan atau mulut kering. Di sisi lain, masalah hubungan dengan patner tidur yang terganggu akibat alat tersebut.12,43 Tekanan CPAP umumnya diatur secara manual dan dititrasi selama polisomnogram, hingga didapatkan tekanan yang tepat untuk mengatasi episode apnea dan hipopnea pada semua tahap tidur dan posisi tubuh, mengurangi fragmentasi tidur, snoring dan desaturasi oksigen, yang pada akhirnya memperbaiki kehidupan seharihari. AutoPAP (AutoPAP, Self-Titrating CPAP, Auto- Adjust CPAP) dapat dapat pula digunakan untuk mendapatkan tekanan CPAP yang efektif. Tanda keberhasilan terapi
76
OSA adalah pasien OSA dapat tidur lebih baik, merasa lebih segar pada waktu bangun tidur dan terjadi penurunan tekanan darah serta menghilangkan gejala-gejala OSA. Pasien-pasien OSA yang mendapatkan terapi OSA merasakan peningkatan dalam hal : vitalitas dan motivasi, kinerja dalam bekerja, mood, kewaspadaan saat mengendarai kendaraan dan kualitas hidup. Keberhasilan dari terapi ini sangat bergantung pada kepatuhan pasien untuk menggunakan alat tersebut, sehingga alat ini menjadi kurang efektif jika tidak digunakan secara teratur. Variabel-variabel seperti umur, jenis kelamin, tingkat keadaan mengantuk pada siang hari dan tingkah laku yang berhubungan dengan penggunaan CPAP merupakan faktor-faktor penentu terhadap kepatuhan menggunakan CPAP.53
Gambar 2.26. Generator CPAP (atas) dan 3 tipe masker, masker nasal (kiri bawah), masker oronasal (tengah) dan nasal ‘pillows55
77
Downey, et al. (2014) mengurutkan dari yang paling tidak invasif dan efektif ke yang paling invasif dan efektif, pengobatan dapat diringkas sebagai berikut:12
Semua pasien harus ditawarkan terapi CPAP nasal terlebih dahulu.
Pada pasien dengan OSA ringan sampai berat yang menolak terapi CPAP nasal, terapi BiPAP harus dicoba berikutnya. Jika terapi ini gagal atau ditolak, terapi Oral Apliance (OA) harus dipertimbangkan.
OA dapat dianggap terapi lini pertama untuk pasien dengan OSA ringan, terutama jika mereka tidak mau mencoba terapi CPAP nasal.
Semua intervensi untuk meningkatkan toleransi terapi CPAP harus dicoba sebelum memutuskan bahwa pengobatan telah gagal pada pasien tertentu.
Pasien yang terapi medis (misalnya, CPAP, BiPAP, OA) gagal harus ditawarkan pilihan bedah. Edukasi ke pasien mengenai tingkat keberhasilan untuk setiap prosedur bedah dan mungkin memerlukan lebih dari 1 prosedur bedah, untuk menyembuhkan OSA. Setelah didiagnosis dengan OSA dan memulai CPAP nasal, pasien
memerlukan tindak lanjut reguler dengan spesialis tidur. Sebagian besar evaluasi dilakukan dalam waktu 2 bulan dari memulai CPAP untuk menentukan apakah sudah efektif dalam mengurangi gejala (misalnya, kantuk di siang hari secara substansial berkurang atau hilang), untuk memecahkan masalah dalam mencegah penggunaan rutin CPAP, dan untuk memperkuat pentingnya penggunaan sehari-hari. Follow-up selanjutnya tergantung pada apakah CPAP telah efektif. Jika CPAP telah efektif, pasien umumnya terlihat pada interval 6 – 12 bulan untuk evaluasi masalah baru, untuk memperkuat penggunaan sehari-hari, dan untuk memastikan bahwa CPAP tetap efektif.12 Jika CPAP belum efektif, masalah yang mencegah penggunaan diidentifikasi, langkah-langkah diambil untuk menghilangkan masalah, dan pada interval 2- 3 bulan sampai penggunaannya rutin dan CPAP dapat mengurangi gejala. Titrasi ulang mungkin diperlukan. PSG ulag rutin umumnya tidak diindikasikan untuk pasien yang melaporkan perbaikan gejala. Titrasi CPAP ulang biasanya dilakukan pada pasien tanpa perbaikan gejala yang efektif meskipun dilakukan intervensi atau pada pasien yang memiliki penurunan gejala tapi kambuh pada beberapa bulan tahun berikutnya
78
dan melaporkan adanya gejala berulang, umumnya berkaitan dengan kenaikan berat badan.12 Tidak ada studi randomisasi yang mengevaluasi efektifitas CPAP pada prevensi primer stroke, walaupun terdapat studi bahwa pada pasien stroke yang mengalami OSA penggunaan CPAP dapat menurunkan kejadian stroke berulang dibanding yang tidak mendapat terapi CPAP, namun secara nyata beberapa penelitian kohort memperoleh hasil CPAP dapat menurunkan resiko kardiovaskuler pada pasien sleep apnea, dimana pasien yang tidak diterapi CPAP tiga kali beresiko terjadi kejadian vaskuler fatal maupun non fatal.31,56 d. Bi-level PAP merupakan suatu alat bantu resiprasi non invasif yang mengalirkan tekanan inspirasi dan ekspirasi yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memberikan aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of breathing), menurunkan rerata tekanan. Karenanya bilevel dapat digunakan pada pasien OSA yang tidak toleran terhadap CPAP atau AutoPAP yaitu, pasien yang mengalami kesulitan menghembuskan napas) atau yang memiliki komplikasi barotrauma (misalnya, infeksi telinga, kembung). Metode ini baik untuk pasien PPOK eksaserbasi berulang atau PPOK berat atau sindroma hipoventilasi, terutama yang menglamai hiperkapnia. Biarpun demikian pengunaan bi-level sebagai terapi awal OSA tidak dianjurkan, karena metoda ini tidak lebih baik dibandingkan CPAP. Kalaupun digunakan, tekanan inspirasi dan ekspirasi harus diatur secara manual sehingga menghasilkan tekanan udara yang rata – rata lebih rendah. BiPAP terlalu mahal untuk digunakan sebagai terapi lini pertama, dan tidak memiliki manfaat yang berbeda diatas terapi CPAP. Kepatuhan dengan BPAP belum terbukti lebih baik dari kepatuhan pada CPAP.12,53 e. Oral appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang yang tidak tidak toleran dengan pemberian tekanan positif jalan napas. OA diindikasikan untuk (1) pasien dengan OSA ringan sampai sedang yang lebih memilih cara oral daripada perangkat CPAP, (2) pasien
79
dengan OSA ringan sampai sedang yang tidak berespon dengan terapi CPAP, dan (3) pasien dengan OSA ringan sampai sedang yang upaya pengobatan dengan perangkat CPAP gagal.3,12 OA seharusnya tidak dipertimbangkan sebagai terapi yang efektif untuk pasien dengan OSA berat. Tidak seperti kepatuhan pengobatan pada CPAP atau BiPAP, kepatuhan pengobatan OA tidak diukur secara obyektif. Oleh karena itu, studi yang membandingkan kepatuhan antara OA dan terapi CPAP atau BiPAP tidak dapat dipercaya dalam hasil. Seperti halnya ketika CPAP atau BiPAP tidak memiliki data kepatuhan objektif, kepatuhan pengobatan OA mungkin lebih rendah dari nilai-nilai yang diterbitkan yang mengandalkan pasien atau laporan praktisi sendiri.12 OA bertindak dengan memindahkan (menarik) lidah ke depan atau dengan menggerakkan rahang dan langit-langit lunak anterior, memperbesar airspace posterior, membuka atau melebarkan jalan napas selama tidur.3,12 Mandibular repositioning devices dapat memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di orofarings dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien
dengan
keterbatasan
atau
hilangnya
natural
dentition,
kelainan
temporomandibular dan keterbatasan membuka mulut. Mandibular repositioning devices ini bekerja dengan meningkatkan ukuran jalan napas faringeal atau dengan dengan kata lain menurunkan kolaps. Penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan alat ini memberikan keberhasilan menurunkan nilai AHI (45%) tetapi kurang efektif dibandingkan CPAP hidung (menurunkan nilai AHI 70%). Pasien lebih menyukai terapi dengan mandibular repositioning device daripada CPAP hidung. Keberhasilan metoda ini sekitar 50% sampai 80%. Perbaikan metode pengobatan ini selama beberapa tahun terakhir berkaitan dengan desain, bahan dan dapat diatur, selain itu metoda ini memberikan keuntungan karena tidak invasif, mudah dibuat dan dapat diterima pasien.53,57 Kontraindikasi untuk pengobatan OA meliputi kurang dari 6-10 gigi di setiap arkus, pasien tidak dapat menonjolkan mandibula ke depan dan membuka rahang secara luas, terdapat kelainan sendi temporomandibular sebelumnya, bruxisme berat, pasien dengan gigi palsu penuh. Komplikasi atau efek samping meliputi air liur berlebihan (salivasi), misaligment gigi dengan perubahan gigitan dan perpindahan gigi. Selain itu, OA dapat memperburuk atau menyebabkan perubahan oklusal yang
80
merugikan (pada 6 bulan pengobatan), penyakit temporomandibular join (TMJ), nyeri miofasial, sakit gigi, tersedak, iritasi gusi, perubahan oklusal ssetelah pagi, dan atau nyeri lidah. Pasien juga merasa keberatan jika harus menggunakan alat ini sepanjang malam .12,16
Gambar 2.27. Gambar diatas adalah contoh Mandibular repositioning devices (kiri), Tongue retaining devices (kanan).55 f. Tindakan bedah Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan OSA adalah AHI ≥ 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-benar baik untuk OSA.53,57 Koreksi bedah dari saluran napas bagian atas (UA) masih dilakukan tetapi belum dianggap terapi utama untuk OSA dengan alasan utama karena tidak adanya hasil studi jangka panjang yang menunjukkan bahwa koreksi bedah masih tetap efektif dalam 5 tahun atau lebih setelah dilakukan. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan keberhasilan operasi meliputi (1) AHI lebih rendah, (2) BMI lebih rendah, (3) lokasi kolaps (operasi ditargetkan khusus untuk kolaps di nasofaring atau orofaring dapat meningkatkan hasil), (4) derajat tonjolan (protrusi) mandibula (hasil yang lebih baik dicapai pada pasien dengan defisiensi yang jelas), dan (5) komorbiditas yang lebih sedikit. AASM merekomendasikan terapi bedah untuk OSA
81
dalam kasus seperti pembedahan diindikasikan hanya jika jenis terapi non-invasif belum bekerja atau ditolak oleh pasien, prosedur trakeostomi adalah satu-satunya operasi terbukti hampir 100% efektif sebagai prosedur tunggal untuk OSA namun bukan menjadi pilihan utama karena invasif, perawatan yang rumit, kurang baik dalam hal estetika dan menganggu produksi suara. Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) diindikasikan untuk obstruksi retropalatal, pada kelainan retrolingual maksilamandibula advancement merupakan pilihan.12 Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi dengan melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan tonsil. Menurut penelitian metaanalisis yang pernah dilakukan, dinyatakan UPPP secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen. UPPP kurang efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang tinggi.12,57 Rekomendasi AASM untuk UPPP menyatakan bahwa UPPP dengan atau tanpa tonsilektomi, mungkin tepat untuk pasien dengan penyempitan atau kolaps pada regio retropalatal. Tingkat keberhasilan bedah tidak tinggi dengan UPPP saja, sekitar 50% ketika keberhasilan bedah didefinisikan sebagai pengurangan 50% pada RDI dan / atau indeks apnea, dan RDI pasca operasi kurang dari 20 (atau indeks apnea <10) namun tingkat keberhasilan ini tidak murni sebab ada prosedur lain sebelumnya sehingga prosedur UPPP saja jarang direkomendasikan. Komplikasi UPPP meliputi perubahan dalam suara, menyanyi, atau memainkan alat musik yang memerlukan perubahan gerakan di palatum mole, nyeri menelan dan nyeri saat bicara, biasanya selama 1-2 minggu pasca operasi, perdarahan, kesulitan menelan, ketidaknyamanan faring jangka panjang, gangguan pengecapan, mati rasa lidah.12,57,58 Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal. Teknik ini dilakukan pada pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi pada dasar lidah. Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi oksigen mencapai angka 66-85%. Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien yang tidak mengalami kemajuan pasca UPPP dan genioglosus advancement setelah dievaluasi selama enam bulan dengan PSG. Teknik ini mempunyai angka keberhasilan 97-100% dalam menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen darah. Muskulus genioglosus, geniohioid dan konstriktor faringeal media berinsersi pada os
82
hyoid. Obstruksi yang terjadi pada hipofaring dapat diperbaiki dengan teknik operasi miotomi hyoid dengan suspensi.53,58 Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti UPPP, namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan dengan anastesi lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan pada pasien yang memiliki obstruksi pada daerah tonsil, penebalan mukosa faring, hipertrofi tonsil dan AHI >30. LAUP sudah sekarang jarang dikerjakan. Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum. Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <15. Angka keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi keluhan mendengkur dan memperbaiki nilai Epsworth scale mencapai 75%, namun tidak mengubah nilai AHI.53,58 Prosedur ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika untuk pengobatan mendengkur dan OSA.12 Operasi bariatrik sebagai terapi untuk OSA telah diteliti dalam beberapa studi secara acak dan studi terkontrol, dengan sebagian besar menunjukkan penurunan AHI dengan penurunan berat badan. AASM menyatakan bahwa operasi bariatrik dapat dipertimbangkan sebagai tambahan untuk terapi lini pertama untuk pasien yang memiliki OSA, yang merupakan kandidat untuk operasi tersebut. Tingkat remisi untuk OSA dua tahun setelah operasi bariatrik, terkait dengan jumlah penurunan berat badan, adalah 40%.12
83
BAB III KESIMPULAN
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik saat tidur yang mengakibatkan apnea (henti nafas) dan hipopnea (menurunnya ventilasi) akibatnya terjadi sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama nonREM atau REM. Etiologi OSA adalah keadaan komplek yang saling mempengaruhi yaitu, neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi yang menyebabkan kolapsnya saluran nafas atas. Prevalensinya meningkat pada pasien yang memiliki faktor resiko meliputi umur, jenis kelamin, ukuran dan bentuk jalan nafas, penyakit lain seperti asma, kelainan endokrin, penyakit neuromuskular, dan terkait gaya hidup seperti merokok, mengkonsusi alkohol dan kelebihan berat badan. Beberapa studi epidemologi dan klinis menyatakan bahwa OSA adalah faktor resiko umum dan dapat diobati guna pencegahan timbulnya hipertensi, gagal jantung, aritmia, dan stroke, terutama pada pria. Terdapat model kausalitas dua arah, pada individu yang rentan, seperti hipertensi dan gagal jantung, dengan merangsang aktivitas simpatik, sistem renin angiotensin-aldosteron menginduksi retensi natrium ginjal sehingga memicu atau memperburuk sleep apnea melalui pergeseran cairan nokturnal, sleep apnea sendiri mengaktivasi simpatik nokturnal dan siang hari menyebabkan berkembangnya hipertensi, hipertrofi ventrikel, gagal jantung, peningkatan aktivitas otonom memicu aritmia jantung. OSA juga menyebabkan terpicunya radikal bebas, sitokin proinflamasi, disfungsi endotel, penurunan nitrit oksida, gangguan aksis HPA dan regulasi hormon sehingga memicu resistensi insulin, pembentukan arterosklerosis dan formasi plak, faktor tersebut nantinya memicu penyakit serebrovaskuler OSA dapat ditegakkan dengan anamnesis pola tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan indikasi untuk pemeriksaan baku emas OSA dengan polysomnography. Pengobatan OSA dengan CPAP direkomendasikan sebagai pilihan utama, pilihan pengobatan lain dapat digunakan modifikasi gaya hidup, oral appliance, farmakoterapi maupun terapi pembedahan sesuai dengan klinis pasien. Keberhasilan penatalaksanaan
OSA
memegang
kardiovaskular dan serebrovaskuler.
peranan
penting
dalam
meminimalisir
kejadian
84
DAFTAR PUSTAKA 1.
American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities. 2010. Obstructive Sleep Apnea or Sleep-Disordered Breathing; diambil 2015 Juni 16. Diunduh dari: http://www.lung.org/assets/ documents /publications/solddc-chapters/osa.pdf.
2.
Antariksa, B, Santoso, RM, Astuti, P. 2010. Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan Penyakit Kardiovaskular. Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, FKUI – RS Persahabatan dan Dept Kardiologi dan Ilmu Kedokteran Vaskular, FKUI – RSPN Jantung Harapan Kita; diambil 2015 Juni 16. Diunduh dari: http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA%20JANTUNG.pdf
3.
Tedjasukmana, R. 2014. Obstructive Sleep Apnea Syndrome. hal: 58-65. dalam. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1. Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI. Surabaya.
4.
Qaseem, A, Dallas, P, Owens, DK, Starkey, M, Holty, JC, Shekelle, P. 2014. Diagnosis of OSA in Adults: A Clinical Practice Guideline From American College of Physicians. Ann Intern Med; 161:210-220.
5.
Lam, J.C.M, Sharma, S.K, Lam, B. 2010. OSA: Definitions, Epidemiology and Natural History. Indian J Med Res 131, p:165-170.
6.
Kasai, T, Floras, J.S, Bradley, D. 2012. Sleep Apnea and Cardiovascular Disease: A Bidirectional Relationship. J Circulation; 126:1495-1510.
7.
Dempsey, J.A, Veasey, S.C, Morgan, B.J, O’Donnell, C.P. 2010. Pathophysiology of Sleep Apnea. J.Physiol Rev. Vol.90. American Physiological Society. P: 4794.
8.
American Academy of Sleep Medicine. 2014. International classification of sleep disorders. 3rd ed. Darien, IL: American Academy of Sleep Medicine.
9.
Febriani, D, Yunus, F, Antariksa, B, Andrianto, H. 2011. Relationship Between Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular. J Kardiol Indones; 32:45-52.
10.
Pillar, G, Lavie, P. 2011. Obstructive sleep apnea: Diagnosis, Risk Factors and Pathophysiology. p: 383-393. dalam. Handbook of Clinical Neurology. Part I. Chapter 25. 3rd edition, Elsevier, Amsterdam, The Netherlands.
85
11.
Cao, M.T, Guilleminalut, C, Kushida, C.A. 2011. Clinical Features and Evaluation of OSA and Upper Airway Resistance Syndrome. p: 1206-1216. dalam. Principle and Practice of Sleep Medicine. Chapter 105. 5th Edition. Saunders Elsevier. St. Louis Missouri. Canada
12.
Downey, R, Rowley, JA, Wickramasinghe, H, Gold, P.M. 2014. Obstructive Sleep Apnea; diambil 2015 Juni 18. Diambil dari: http://emedicine.medscape.com/article/295807-overview#showall.
13.
Astuti, P, Yunus, F, Antariksa, B, Ratnawati. 2011. Prevalensi dan Gejala Klinis OSA Pada Pasien Asma. J. Indon Med Assoc, Vol.61, No.7.
14.
Scobel, E. 2014. Sleep Apnea Diagnostic in Cardiac Rehabilitation-Needless? Nessesary?State of The Art?. Phys Med Rehabil Int; 1(4): 4.
15.
Teodorescu, M, Barnet, JH, Hagen, EW, Palta, M, Young, TB, Peppard, PE. 2015. Association Between Asthma and Risk of Developing OSA. JAMA; 313(2): 156-164.
16.
Collage of Dental Surgeons of British Colombia. 2014. Standards and Guidelines OSA. Vancouver, Canada.
17.
Schwab, RJ, Remmers, JE, Kuna, ST. 2011. Anatomy and Physiology of Upper Airway Obstruction. p: 1154-1169. dalam. Principle and Practice of Sleep Medicine. Chapter 101. 5th Edition. Saunders Elsevier. St. Louis Missouri. Canada.
18.
Redline, S. 2011. Genetics of Obstructive Sleep Apnea. p: 1183-1191. dalam. Principle and Practice of Sleep Medicine. Chapter 103. 5th Edition. Saunders Elsevier. St. Louis Missouri. Canada.
19.
Li, Y, Veasey, S.C. 2012. Neurobiology and Neuropathophysiology of OSA. J Neuromol Med: 14:168-179.
20.
Iturriaga, R, Idiaquez, J. 2014. Contribution of Autonomic Nervous System to The Hypertension Induced by OSA. Sleep and its Disorders Affect Society. J Intech; 10.5772
21.
Kaliadzich, Z, Semenik, T, Riazechkin, A, Furmachuck, D, Andrianova, T, Zaikina, N, Pashkevich, S, Gudny, G, Kulshitsky, V. 2014. Chemoreseptor control gas homestasis in patients with OSA. Act Nerv Rediviva; 56(3-4): 73-78.
22.
Kohler M, Stradling JR. 2010. Mechanisms of vascular damage in obstructive sleep apnea. Nat Rev Cardiol;7:677– 685.
86
23.
24.
Parati, G, Hedner, L.J, Bonsignore, M.R, Grote, L, Tkacova, R, Levy, P, Basseti, C, Sicoli, M, Narkiewicz, K, Somers, V, Mancia, G, McNicholas, W, et al. 2010. Consensus document on management of patients with OSA and hypertension. Joint Recommendation by The European Cost Action B26, The European Society of Hypertension and The European Respiratory Society. Momento Medico. Italia. Butt M, Khair OA, Dwivedi G, Shantsila A, Shantsila E, Lip GY. 2011. Myocardial perfusion by myocardial contrast echocardiography and endothelial dysfunction in obstructive sleep apnea. Hypertension;58:417– 424.
25.
Berger S, Lavie L. 2011. Endothelial progenitor cells in cardiovascular disease and hypoxia–potential implications to obstructive sleep apnea. Transl Res;158:1– 13.
26.
Le’vy, P, Tamisier, R, Minniville, C, Launois, S, Pe’pin, J-L. 2011. Sleep Apnea Syndrome 2011: Current Concepts and Future Directions. Eur Respir Rev; 20:121, 134-146.
27.
Barcelo A, Pierola J, de la Pena M, Frontera G, Yanez A, Alonso-Fernandez A, Ayllon O, Agusti AG. 2012. Impaired circadian variation of platelet activity in patients with sleep apnea. Sleep Breath;16:355–360.
28.
Mehra R, Xu F, Babineau DC, Tracy RP, Jenny NS, Patel SR, Redline S. 2010. Sleepdisordered breathing and prothrombotic biomarkers: crosssectional results of the Cleveland Family Study. Am J Respir Crit Care Med;182:826–833.
29.
Minokadeh, A, Bishop, M.L, Benumof, J. L. 2011. OSA, Anethesia and Ambulatory Surgery. dalam. Anesthesiology News Guide To Airway Management. McMahon Publishing.
30.
Marin, J.M, Agusti, A, Villar, I, Forner, M, Nieto, D, Carizzo, S.J, Barbe, F, Vicente, E, Wei, Y, Nieto, F.J, Jelic, S. 2014. Association Between Treated and Untreated OSA and Risk of Hypertension. JAMA; 307(20):2169-2176.
31.
Meschia, JF, Bushnell, C, Boden-Albaba, B, Chavturvedi, S, Creager, MA, Eckel, RH, Elkind, MSV, Fornage, M, , Goldsetin LB, et al. 2014. Guideline for The Primary Prevention of Stroke: A Statement for Healthcare Professionals From The American Heart Association / American Stroke Association. Stroke; 45
32.
Gottlieb DJ, Yenokyan G, Newman AB, O’Connor GT, Punjabi NM, Quan SF, Redline S, Resnick HE, Tong EK, Diener-West M, Shahar E. 2010. Prospective study of obstructive sleep apnea and incident coronary heart disease and heart failure: the sleep heart health study. Circulation;122:352– 360.
87
33.
Kuniyoshi, F.H.S, Pusalavidyasagar, S, Sigh, P, Somers, V.K. 2010. Cardiovascular consequences of OSA. Indian J Med Res; 131: 196-205.
34.
Mehra R, Xu F, Babineau DC, Tracy RP, Jenny NS, Patel SR, Redline S. 2010. Sleepdisordered breathing . Am J Respir Crit Care Med;180.
35.
Ng CY, Liu T, Shehata M, Stevens S, Chugh SS, Wang X. 2011. Meta-analysis of obstructive sleep apnea as predictor of atrial fibrillation recurrence after catheter ablation. Am J Cardiol;108:47–51.
36.
Redline S, Yenokyan G, Gottlieb DJ, Shahar E, O’Connor GT, Resnick HE, DienerWest M, Sanders MH, Wolf PA, Geraghty EM, Ali T, Lebowitz M, Punjabi NM. 2010. Obstructive sleep apnea-hypopnea and incident stroke: the sleep heart health study. Am J Respir Crit Care Med;182:269 –277.
37.
Guilleninalut, C, Zupanic, M. 2009. Obstructive Sleep Apnea Syndrome. p: 320-339. dalam. Sleep Disorders Medicine: Basic Science, Technical Consideration and Clinical Aspects. 3rd edition. Saunders Elsevier. Philadephia. USA
38.
Loke, YK, Breown, JW, Kwok CS, Niruban,A, Myint, PK. 2012. Association of obstructive sleep apnea with risk of serious cardiovascular events: a systematic review and meta-analaysis. Circ Cardiovasc Qual Outcomes; 5:720-728.
39.
Gasa M, Salord, N, Fortuna, A.M, Mayos, M, Vilarrasa, N, Dorca, J, Montserrat, J.M, Bonsignore, M.R, Monaserio, C. 2011. OSA and metabolic impairment in severe obesity. J Eur Respir; 38: 1089-1097.
40.
Patt BT, Jarjoura D, Haddad DN, Sen CK, Roy S, Flavahan NA, et al. 2010. Endothelial dysfunction in the microcirculation of patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med; 182(12):1540-5.
41.
Andaku, D.K, D’Almeida, V, Carnerio, G, Hix, S, Tufik, S, Togeiro, S.M. 2015. Sleepiness, inflammation and oxidative stress markers in middle aged males with OSA without metabolic syndrome: cross-sectional study. Respiratory Research; 16:3.
42.
Duong-quy, S. 2014. Endothelial Dysfunction in Patients with OSA. J Vasc Med Surg; 3:1
43.
Terrie, Y.C. 2012. OSA: Important Wake-Up Call; diambil 2015 Juni 23. Diunduh pada:http://www.pharmacytimes.com/publications/issue/2012/december2012/ obstructive-sleep-apnea-an-important-wake-up-call
88
44.
Li, C, Hoffstein, V. 2011. Snoring. p: 1172-1180. dalam. Principle and Practice of Sleep Medicine. Chapter 102. 5th Edition. Saunders Elsevier. St. Louis Missouri. Canada.
45.
Epstein L.J, Kristo, D, Strollo, P.J, Friedman, N, Malhotra, A, Patil, S.P, Ramar, K, Rogers, R, Schwab, R.J, Weaver, E.M, Weisnstein, M.D. 2009. Clinical Guidline for The Evaluation, Management and Long Term Care of OSA. American Academy of Sleep Medicine. J Clinical Sleep Medicine Vol.5, No.3.
46.
Chung F, Subramanyam R, Liao P, Sasaki E, Shapiro C, Sun Y. 2012. High STOPBang score indicates a high probability of obstructive sleep apnoea. Br J Anaesth;108(5):768-75.
47.
Kim, B, Lee, E.M, Chunh , Y, Kim, W.S, Lee, S.S. 2015. The Utility of Three Screening Questionnaires for OSA in a Sleep Clinic Setting. Yonsei Med J; 56(3): 684-690.
48.
Ramachandran SK, Kheterpal S, Consens F, Shanks A, Doherty TM, Morris M, et al. 2010. Derivation and validation of a simple perioperative sleep apnea prediction score. Anesth Analg;110(4):1007-15.
49.
Cintra F, Tufik S, D'Almeida V, Calegare BF, de Paola A, Oliveira W, et al. 2011. Cysteine: a potential biomarker for obstructive sleep apnea. Chest;139(2):246-52
50.
Nickerson, J, Lee, E, Nedelman, M, Aurora, R.N, Krieger, A, Horowitz, C.R. 2015. Feasibility of Portable Sleep Monitors to Detect OSA in Vulnerable Urban Population. J Am Board Fam Med; 28: 257-264.
51.
Sherrrson, J. 2010. Polysomnography:indications, interpretation and pitfalls.p:14-30. dalam. Sleep Disorders In Neurology. Blackwell Publishing. Philadhelphia. USA, p: 14 – 30.
52.
Purnomo, H. 2014. Hipersomnia. hal: 58-65. dalam. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1. Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI. Surabaya.
53.
Prasenohadi. 2011. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. Jakarta.
54.
Kline, CE, Crowley, P, Ewing, GB, Burch, JB, Blair, SN, Durstine, JL, Davis, JM, Youngstedt, SD. 2011. The Effect of Exercise Training on OSA and Sleep Quality: A Randomized Controlled Trial. Sleep, Vol.34, No.12.
55.
Lowe, AA. 2015. Point: Non-surgical Management of Obstructive Sleep Apnea. AAO 115th Annual Session. May 18, 2015.
89
56.
Martinez-Gracia, MA, Campos-Rodriquez F, Soler-Cataluna, JJ, Catalan-Serra, P, Roman-Sanchez, P, Montserrat, JM. 2012. Increased incidence of non-fatal cardiovascular events in stroke patients with sleep apnoea: effect of CPAP treatment. Eur Respir J; 39:906-912.
57.
Randerath, W.J, Steffen, A. 2014. Treatment Option For OSA. Respiratory, European Medical Journal
58.
Caples, S.M, Rodley, J.A, Prinsell, J.R, Pallanch, J.F, Elamin, M.B, Katz, S.G, Harwick, J.D. 2010. Surgical Modification of the Upper Airway for OSA Adults: Systematic Review and Meta Analysis. Sleep, Vol. 33, No.10