BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Nafsu makan merupakan keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan keinginan untuk makan selain rasa lapar (Guyton dan Hall, 1990). Gangguan nafsu makan merupakan gangguan klinis yang penting namun acap kali diabaikan (Grilo dan Mitchell, 2010). Gangguan nafsu makan dapat berupa kurangnya nafsu makan yang sering menjadi masalah utama pada anak-anak (Manikam dan Perman, 2000). Anak yang mengalami gangguan nafsu makan gagal dalam pemenuhan asupan makan dan minum sehingga kebutuhan nutrisi gagal terpenuhi. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi ini, maka perkembangan anak pun menjadi terhambat (Greer et al., 2007). Selain keterkaitannya dengan kebutuhan nutrisi, nafsu makan juga erat kaitannya dengan berat badan. Kurangnya nafsu makan anak dapat mengakibatkan tidak idealnya berat badan anak. Dalam jangka panjang, gangguan nafsu makan ini juga dapat mengancam jiwa penderitanya (Greer et al., 2007). Gangguan ini sukar diatasi selain karena sukar untuk didiagnosa penyebabnya (Greer et al., 2007), juga tidak adanya obat konvensional yang berkerja langsung untuk meningkatkan nafsu makan melainkan berasal dari efek samping dari obat tersebut. Seiring dengan trend kembali ke alam, maka penggunan obat pun beralih dengan penggunaan tanaman obat tradisional. Salah satu tanaman obat yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan kurangnya 1
2
nafsu makan anak adalah Curcuma xanthorrhiza atau lebih dikenal dengan nama Temulawak (Afifah et al., 2005). Temulawak sudah dikenal secara empiris dapat meningkatkan nafsu makan anak. Temulawak juga merupakan salah satu komposisi dari jamu cekok peningkat nafsu makan yang telah turun temurun digunakan (Limananti dan Triratnawati, 2003). Kandungan temulawak yang diduga bertanggung jawab dalam efek peningkatan nafsu makan adalah minyak atsirinya (Awalin,1996). Efek peningkatan nafsu makan oleh minyak atsiri temulawak dimungkinkan karena sifat koleretiknya
yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga
mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus yang kemudian akan mensekresi berbagai hormon yang meregulasi peningkatan nafsu makan (Ozaki dan Liang, 1988). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa Minyak atsiri temulawak dapat meningkatkan nafsu makan tikus (Awalin,1996, Ardhiani, 2005, dan Ulfah, 2010). Namun, belum dapat ditemukan dosis efektif peningkatan nafsu makan minyak atsiri temulawak. Metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya menggunakan tikus yang berada dalam kondisi normal bukan tikus yang mengalami gangguan nafsu makan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui dosis optimal pemberian minyak atsiri temulawak dengan metode yang sesuai yaitu dilakukan pada tikus yang mengalami gangguan nafsu makan. Gangguan nafsu makan ini dapat dibuat dengan memberikan perlakuan penurunan nafsu makan.
3
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh pemberian minyak atsiri temulawak terhadap berat badan tikus yang ditekan nafsu makannya? 2. Bagaimanakah pengaruh pemberian minyak atsiri temulawak terhadap jumlah konsumsi pakan dan minum oleh tikus yang ditekan nafsu makannya? 3. Berapakah dosis optimal dari pemberian minyak atsiri temulawak untuk meningkatkan berat badan tikus yang ditekan nafsu makannya?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh minyak atsiri temulawak terhadap berat badan serta jumlah konsumsi pakan dan minum oleh tikus yang ditekan nafsu makannya. Serta mengetahui dosis optimal permberian minyak atsiri temulawak untuk meningkatkan berat badan tikus yang ditekan nafsu makannya.
D. Tinjauan Pustaka 1. Gangguan Nafsu makan Dorongan untuk makan dipengaruhi oleh rasa lapar dan nafsu makan. Nafsu makan merupakan suatu keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan keinginan makan (Guyton dan Hall, 1990). Nafsu makan diregulasi oleh hipotalamus terutama pada hipotalamus lateral serta nuklei ventro medialis. Rangsangan terhadap hipotalamus lateral akan mengakibatkan
4
meningkatnya nafsu makan sedangkan rangsangan terhadap nuklei ventro medialis akan bereek sebaliknya (Guyton dan Hall, 1990). Gangguan nafsu makan merupakan gangguan klinis yang penting namun acap kali diabaikan (Grilo dan Mitchell, 2010). Masalah ini sebenarnya merupakan hal yang sepele namun sering menjadi masalah utama pada anakanak (Manikam dan Perman, 2000). Menurut Waugh dan Lask (2010), 25%45% anak yang berkembang normal mengalami gangguan nafsu makan sedangkan pada anak yang terlambat perkembangannya angka ini mencapai 80%. Jika gangguan ini tidak segera diatasi maka dapat menimbulkan masalah yang serius. Salah satu masalah yang ditimbulkan akibat kurangnya nafsu makan adalah gagalnya pemenuhan kebutuhan nutrisi. Jika hal ini dibiarkan berkepanjangan maka dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dan perkembangan anak. Kerja normal berbagai organ juga sangat terganggu apabila terjadi defisiensi nutrisi (Greer et al., 2007). Selain itu, nafsu makan erat kaitannya dengan berat badan. Kebanyakan penderita gangguan nafsu makan juga diikuti dengan penurunan berat badan yang cukup drastis sehingga memiliki berat badan dibawah normal. Ketidakidealan berat badan anak ini dapat mengakibatkan berbagai masalah. Berat badan yang mencapai dibawah 75% berat badan normal dapat menyebabkan gangguan perkembangan anak dan osteoporosis dini. Selain itu, sintesi protein fungsional otak juga dapat terganggu dan menyebabkan
5
gangguan otak yang apabila kronik dapat menjadi atrofi pada otak (DeSocio, 2007). Apabila gangguan nutrisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang dapat mengancam jiwa anak-anak (Waugh dan Lask, 2010). Bahkan menurut Budd et al. (1992) gangguan nafsu makan pada anak tidak hanya berdampak pada kesehatan anak, namun dapat pula berpengaruh terhadap hubungan anak dan orang tuanya.
2. Temulawak Curcuma xanthorrhiza atau yang lebih dikenal dengan Temulawak merupakan tanaman asli Indonesia. Di Jawa Barat temulawak lebih dikenal dengan nama koneng gede sedangkan di Madura dengan nama temulabah (KemenKes RI, 2010).
Gambar 1.Tanaman Temulawak
Gambar 2. Rimpang Temulawak
Sumber:DepKes RI, 1993
6
a. Deskripsi Temulawak Temulawak merupakan terna berbatang semu berwarna hijau atau coklat gelap yang tingginya hanya dapat mencapai 2 m. Terdapat 2-9 helai daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap yang berbentuk lonjong atau lanset setiap batangnya yang dihubungkan dengan pelepah. Daunnya lebar dan berbentuk bulat memanjang hingga lanset. Perbungaan temulawak berupa bunga maemuk bulir bersifat lateral dengan kelopak bunga berwarna putih berbulu dan memiliki daun pelindung berbentuk bulat telur sungsang hingga bulat memanjang. Mahkota bunga berbentuk tabung dengan helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah (Kemenkes RI, 2010). Temulawak biasa ditemukan pada daerah dengan iklim tropis. Suhu optimum pertumbuhan temulawak sebesar 19-30oC dengan curah hujan tahunan antara 1500-4000 mm/tahun serta dengan ketinggian tempat sebesar 5-1500 m dpl. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada lahan yang terlindung sinar matahari dan dapat beradaptasi pada berbagai jenis tanah. Jenis tanah yang optimal untuk rimpang adalah tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik (Kemenkes RI, 2010).
b. Klasifikasi Temulawak Klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
7
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Tjitrosoepomo, 2004)
c. Kandungan Kimia Temulawak mengandung zat warna kuning yang dinamakan kurkumin dan desmetoksi kurkumin yang merupakan turunan dari diferuloilmetan. Kedua senyawa ini merupakan komponen penyusun dari kurkuminoid. Selain itu, temulawak juga mengandung pati dan minyak atsiri. Minyak atsiri temulawak mengandung senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen (Sidik et al., 1995). Senyawa yang terkandung ini antara lain α kurkumen, germakran, ar-turmeron β-atlantanton serta d-kamfor (KemenKes RI, 2010).
d. Manfaat Temulawak Temulawak sejak dulu telah dikenal sebagai bahan jamu tradisional karena memiliki banyak khasiat. Manfaatnya untuk kesehatan telah banyak dikenal secara empiris dan turun-temurun. Satu-satunya
8
bagian dari tanaman ini yang dimanfaatkan adalah rimpang (Afifah et al., 2005). Temulawak memiliki aktivitas anti inflamasi dan dipercaya meningkatkan kerja ginjal. Selain itu, temulawak juga dapat digunakan sebagai anti jerawat karena memiliki aktivitas anti mikroba yang baik. Manfaat lain dari Temulawak antara lain sebagai anti kolesterol, obat anemia, anti oksidan serta pencegah kanker (Sidik et al., 1995). Temulawak juga banyak digunakan secara tradisional untuk mengobati diare, disentri, wasir, sembelit, radang lambung dan kejang (Raharjo dan Rostiana, 2005).
e. Efek Peningkatan Nafsu Makan Kandungan temulawak yang diduga bertanggung jawab dalam efek peningkatan nafsu makan adalah minyak atsirinya (Awalin,1996). Hal ini dibuktikan pada penelitian peningkatan minyak atsiri pada tikus oleh Ardhiani (2005). Minyak atsiri temulawak memiliki sifat koleretik yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus (Ozaki dan Liang, 1988).
9
3. Dietilpropion HCl
Gambar 3. struktur Dietilpropin HCl
Dietilpropion HCl merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan obesitas
karena
kemampuannya
dalam
menurunkan
nafsu
makan.
Diethylpropion HCl telah di setujui oleh FDA untuk dijual dipasaran dengan resep sejak 1959. Obat ini juga digunakan sebagai obat anti deperesan. Efeknya pada manusia serupa dengan dekstro amphetamine namun dengan level yang lebih rendah (Miller, 2002).
a. Pemerian Dietilpropion Hidroklorida atau N-(1-bezoil-etil)-NN-dietilammonium klorida merupakan serbuk berwarna putih dan tidak berbau atau hampir tidak berbau. Larut dalam air, etanol 96% dan kloroform serta sedikit larut dalam eter. Memiliki berat molekul 241,8 dengan titik lebur 180-181o C (USP 32 ).
b. Absorpsi, Metabolisme dan Ekskresi Dietilpropion
HCl
secara
cepat
diabsorpsi
oleh
saluran
Gastrointestinal setelah pemberian oral. Obat ini mengalami metabolisme
10
dengan jalur biotransformasi yang kompleks yang melibatkan N-dealkilasi dan reduksi. Metabolit yang dihasilkan kebanyakan berupa metabolit aktif dan dimungkinankan turut berpartisipasi dalam efek terapeutik obat ini. Dietilpropion HCl dan metabolitnya dieksresi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urin 48 jam setelah pemberian (Anonim, 2007).
c. Efek Farmakologis Dietilpropion HCl merupakan obat anti obesitas karena memiliki efek farmakologis sebagai penurun nafsu makan. Dietilpropion HCl bekerja langsung pada sistem saraf pusat (Klonoff et al., 2008). Dosis yang biasanya digunakan adalah 75 – 150 mg perhari (USP 32). Dietilpropion HCl memiliki efek stimulan yang lebih rendah dibandingkan beberapa obat anoretik lain. Efek yang tidak diinginkan dari obat ini relatif lebih tidak bertahan lama dibandingkan dengan obat anti obesitas lain seperti fenfluramin (Miller, 2002). penggunaan dietilpropion HCl dalam jangka pendek tidak merusak fungsi kerja otak sehingga dijadikan alternatif dalam pengatasan ketergantungan kokain (Klonoff et al., 2008). Dietilpropion HCL terbukti dapat mengurangi nyeri pada penderita arthritis namun tidak berpengaruh pada penyakit arthritis itu sendiri. Kemampuannya dalam mengurangi nyeri inilah yang menyebabkan penyalahgunaan obat ini sebagai obat untuk penghilang lelah (Miller, 2002).
11
d. Efek Samping Dietilpropion HCl Efek samping penggunaan dietilpropion HCl yang sering muncul adalah pusing, mulut kering serta konstipasi. Efek samping seperti euphoria, insomnia dan tremor jarang dijumpai pada pasien yang menggunakan obat ini. Obat ini dapat menimbulkan masalah pada jantung jika terjadinya overdosis. Selain itu dapat menimbulkan ketergantungan (USP 32).
4. Olanzapin
Gambar 4. struktur Olanzapine
Olanzapin pertama dikenal sebagai obat dengan merek Zyprexa® yang diproduksi oleh Eli Lily and Co. Merupakan obat yang efektif dan umum digunakan sebagai obat anti psikotik. Olanzapin biasanya digunakan pada terapi penyakit schizophrenia dan bipolar disorder
(Meltzer et al., 1999).
Olanzapin luas digunakan pada pengobatan penyakit ini dikarenakan efek samping ekstra piramidalnya yang relative lebih ringan dibandingkan obat anti psikotik lainnya (Meltzer et al., 1999). Umumnya olanzapin digunakan sebagai obat tunggal maupun dikombinasikan dengan lithium atau valproat untuk pengobatan bipolar akut jangka pendek.
12
a. Pemerian Olanzapin merupakan serbuk kristal berwarna kekuningan yang memiliki rumus molekul C17H20N4S dengan berat molekul 312,43. Merupakan turunan benzodiazepin dan dideskripsikan sebagai 2-methyl – 4 -
(4-methyl-1-piperazinyl)-
10H-thieno[2,3-b]
[1,5]
benzodiazepine.
Olanzapin tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseto nitril dan etil asetat serta larut dalam kloroform. Titik lebur dari olanzapin berkisar 190-195oC sedangkan titik didihnya berada pada 462.6o C (USP 32).
b. Absorpsi, Metabolisme dan Ekskresi dari Olanzapine Olanzapin biasa digunakan melalui rute administrasi oral. Obat ini diabsorpsi dengan baik dimana sekitar 40% diantaranya dimetabolisme terlebih dahulu sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Konsentrasi puncak olanzapin dicapai sekitar 6 jam setelah pemberian peroral. Waktu paro olanzapin berkisar 21 hingga 54 jam dan apparent plasma clearence berkisar 12 hingga 47 L/jam dimana volume distribusinya mencapai 1000L. 93% olanzapin terikat protein plasma dengan konsentrasi 7 hingga 1100 ng/mL, utamanya terikat pada albumin dan (alpha) 1 -asam glikoprotein (Anonim, 1997). Jalur metabolisme utama dari Olanzapin adalah dengan Oksidasi yang dimediasi oleh glukoronidasi dan cytochrome P450 (CYP). Pada uji invitro juga menyebutkan bahwa CYPs 1A2 dan 2D6, serta sistem flavincontaining monooxygenase terkait dengan oksidasi Olanzapin ini.
13
Sedangkan oksidasi melalui CYP2D6 merupakan jalur metabolismE minor pada in vivo (Anonim, 1997).
c. Efek Farmakologis Olanzapin memiliki efek farmakologis sebagai anti psikotik. Obat ini memiliki afinitas terhadap berbagai reseptor antara lain dopamine D2, 5hydroxytryptamine (5-HT) 2A and 2C, histamine H1, alpha-adrenergik dan muskarinik (Bymaster et al., 1999).
Olanzapin digunakan dalam terapi
penyembuhan Schizoprenia baik simptom positif maupun negatif. Efikasi Olanzapin terhadap penyakit schizoprenia masih belum diketahui secara pasti. Namun dugaan kuat aktifitasnya terhadap penyakit schizoprenia terkait dengan aktifitas kombinasi antagonis dopamin dan serotonin type 2 (5HT2). Berbagai uji klinik juga menyimpulkan bahwa olanzapine memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan atau menstabilkan emosi ehingga olanzapin juga digunakan untuk pengobatan bipolar disorder. Aktivitas antikolinergik dan antagoni reseptor 5-HT2 menyebabkan berkurangnya efek ektrapiramidal yang umum dihasilkan oleh obat antipsikotik lainnya (Meltzer et al., 1999).
d. Efek Samping Meskipun memiliki efek ektrapiramidal yang lebih rendah dibandingkan obat anti psikotik lainnya, bukan berarti olanzapin tidak
14
memiliki efek samping. Efek samping yang terjadi pada penggunaan olanzapin antara lain efek samping pada kardiovaskular seperti jantung iskemik, stroke, hiperglikemia dan diabetes militus serta bertambahnya berat badan. Efek samping lain yang dimungkinkan namun jarang terjadi akibat penggunaan olanzapin dalam jangka panjang adalah Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) (Wirshing et al., 2002).
e. Efek Peningkatan Nafsu Makan Peningkatan nafsu makan merupakan efek samping yang umum terjadi dengan penggunaan olanzapin (Allison et al., 1999; Wirshing et al., 1999). Olanzapin merupakan antagonis reseptor histamin, serotonin dan dopamin. Aktivitas inilah yang diduga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan nafsu makan pada pemberian olanzapin (Malhotra, 2002). Pada Penelitian van der Zwaal et al. (2008) menunjukan bahwa pemberian olanzapin dapat menyebabkan hiperphagia yaitu peningkatan intake energi dan pengurangan aktivitas lokomotor. Aktifitas ini disebabkan oleh bloking yang terjadi pada reseptor histamin H1 pada hipotalamus yang diaktivasi oleh AMP-activated protein kinase (AMPK) (He et al., 2013). Peningkatan nafsu makan pada penggunaan olanzapin juga disertai dengan meningkatnya kadar prolaktin, glukosa serta kolesterol total dalam darah (Almandil et al., 2013).
15
5. Minyak atsiri Minyak atsiri merupakan cairan terkonsentrasi, hidrofobik dan mengandung senyawa volatil yang beraroma. Kerangka dasar minyak atsiri berupa terpena yang terdiri dari satuan isoprena. Minyak atsiri mudah menguap dalam suhu ruang sehingga minyak ini disebut juga dengan minyak eteris atau minyak menguap (Gunawan dan Mulyani, 2004). Minyak atsiri juga disebut minyak esensial karena membawa bau atau esen dari tanaman. Penguapan minyak yang terjadi tanpa adanya dekomposisi (Ketaren, 1998). Minyak atsiri bersifat mudah menguap, memiliki rasa getir dan berbau khas (Ketaren, 1998). Tidak bisa disabunkan dengan alkali dan tidak dapat berbau tengik. Minyak atsiri umumnya memiliki indeks bias relatif tinggi dan bersifat optis aktif. Pada umumnya tidak larut dalam air dan sangat mudah larut dalam pelarut organik (Gunawan & Mulyani, 2004). Biosintesis minyak atsiri terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama merupakan turunan terpena yang terbentuk dari asam asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat. Golongan kedua berupa senyawa aromatik yang terbentuk dari biosintesis asam sikimat melalui jalur fenil propanoid (Agusta 2000). Terdapat lebih dari 150 tanaman yang menghasilkan minyak atsiri dari berbagai famili (Ketaren, 1998) Dari tanaman-tanaman tersebut dihasilkan minyak atsiri dari bagian tanaman yang berbeda-beda. Pada famili Labiatae, minyak atsiri ditemukan pada rambut kelenjar, pada Piperaceae ditemukan pada sel parenkim, sedangkan pada Umbelliferae ditemukan pada saluran minyak yang disebut vittae. Adapula yang mengandung minyak atsiri pada
16
semua bagian tanamannya seperti pada famili Coniferae (Gathercoal dan Wirt, 1949). Minyak
atsiri
banyak
digunakan
untuk
efek
terapeutiknya.
Penggunaan minyak atsiri untuk memperoleh efek terapeutiknya dapat melalui beberapa rute administrasi. Minyak kayu putih diperoleh efek terapeutiknya melalui inhalasi, minyak peppermint melalui oral, timol digunakan sebagai obat kumur serta minyak lavender, rosemary dan bergamot dapat digunakan secara transdermal. Selain digunakan untuk efek terapeutiknya, minyak atsiri juga digunakan sebagai flavoring agent, parfum maupun sebagai bahan utama sintesis senyawa lain (Trease dan Evans, 2002). Setiap minyak atsiri memiliki komponen yang berbeda-beda. Variasi komponen tersebut umumnya karena perbedaan tanaman asal, kondisi iklim dan tanah, umur panen serta metode pengambilan minyak atsiri (Ketaren, 1998) Komponen ini merupakan senyawa yang bertanggung jawab atas karakteristik dari minyak atsiri tersebut seperti aroma dan sifat fisikokimianya serta efek terapeutiknya. Ada beberapa golongan minyak atsiri berdasarkan komponen penyusunnya antara lain minyak atsiri hidrokarbon, alkohol, fenol, eter fenol, oksida dan ester (Gathercoal dan Wirt, 1949). Minyak atsiri dapat diperoleh melalui berbagai cara ekstraksi tergantung dari bagian yang digunakan. Namun metode yang umum digunakan adalah metode destilasi. Destilasi merupakan salah satu metode proses pemisahan berdasarkan titik didih bagi senyawa yang tidak larut pada air dan dapat terdekomposisi pada titik didihnya (Guenther, 1948) .
17
6. Destilasi Destilasi atau Hidrodestilasi (Destilasi air) merupakan metode umum untuk mendapatkan minyak atsiri. Destilasi dapat dideskripsikan sebagai pemisahan dari dua atau lebih komponen dengan titik didih yang berbeda. Terdapat 3 tipe destilasi yaitu destilasi air,destilasi uap dan air serta destilasi uap (Guenther, 1948). Pada destilasi air, bahan yang digunakan terjadi kontak langsung dengan air, baik terendam sepenuhnya maupun mengambang. Pendidihan air dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemanasan langsung. Beberapa bahan harus dilakukan metode ini untuk mendapat minyak atsiri karena uap tidak dapat mempenetrasi secara langsung. Contoh dari bagian tanaman yang menggunakan metode ini adalah biji almond yang telah diserbukan dan bunga mawar. Destilasi uap dan air memiliki prinsip yang sama dengan destilasi air, hanya saja pada destilasi uap dan air, bahan yang akan didestilasi dengan air tidak boleh terjadi adanya kontak. Sedangkan pada destilasi uap, tidak digunakan air, namun digunakan uap secara langsung (Guenther, 1948). Terdapat tiga mekanisme yang terjadi bersamaan dengan berjalannya detilasi yaitu difusi, hidrolisis dan dekomposisi. Difusi minyak atsiri dan air panas atau uap melalui membran disebut hidrodifusi. Difusi terjadi hingga terjadi ekuilibrium atau keseimbangan dalam sistem. Efek hidrolisis terjadi berupa reaksi kimia antara air dengan konstituen tertentu dari minyak atsiri, sehingga senyawa-senyawa seperti ester yang terkandung dalam minyak atsiri cenderung berubah menjadi bentuk asam dan alkohol pembentuknya.
18
Sedangkan efek dekomposisi terjadi akibat pengaruh panas yang digunakan pada proses destilasi dimana kebanyakan komposisi penyusun minyak atsiri merupakan senyawa yang tidak stabil pada pemanasan.
7. Kromatografi Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan yang diketengahkan oleh Tswett pada tahun 1903. Pada dasarnya semua teknik kromatografi memiliki prinsip yang sama yaitu menggunakan dua fase yang dikenal sebagai fase gerak dan fase diam. Penggolongan kromatografi secara primer dilakukan berdasarkan sifat fisik dari fase gerak yaitu Kromatografi Gas (KG) dan Kromatografi Cair (KC) (Scott, 2003). Penggolongan lain dapat dilakukan berdasarkan sifat fase diam yaitu zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa zat cair maka disebut kromatografi partisi sedangkan jika fase diam berupa zat padat maka disebut kromatografi serapan. Dengan adanya bermacam-macam fase gerak dan fase diam, maka kromatografi dibagi menjadi 4 sistem yaitu kromatografi gas-cair, gas-padat, cair-cair,dan cair-padat (Sastroamidjojo, 1991).
a. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis atau Thin Layer Chromatography merupakan salah satu jenis kromatografi absorpsi. Kromatografi ini menggunakan fase diam berupa padatan dan fase gerak berupa cairan.
19
KLT mulai dikenalkan pada tahun 1938, namun baru pada tahun 1958 oleh Stahl prinsip dari KLT menjadi jelas (Sastroamidjojo, 1991). KLT merupakan metode pemisahan yang mudah dan murah dibandingkan metode pemisahan lainnya. Waktu yang diperlukan untuk analisis juga relatif singkat serta dapat dilakukan beberapa analisis dalam satu waktu (Scott, 2003). KLT dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif jika dikombinasikan dengan densitometer (Sastroamidjojo, 1991). KLT dapat digunakan untuk mengetahui jumlah senyawa pada zat uji, sebagai identifikasi atau fingerprint maupun untuk mengetahui kemurnian dari senyawa. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa pita atau bercak (Stahl, 1985). KLT menghasilkan elusi berupa bercak-bercak yang terpisah berdasarkan Rf (Retardation factor) dan warna yang merupakan dasar dari identifikasi senyawa yang dipisahkan. Harga Rf menunjukkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram. Rf bernilai antara 0,0 sampai 1,0 dan sering dikonversi menjadi hRf yaitu 100 x Rf (Sastrohamidjojo, 2002). Deteksi kuantitatif dapat dilakukan dengan densitometer yang dilengkapi dengan spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200 nm sampai 700 nm (Stahl, 1985).
b. Kromatografi Gas Kromatografi gas pertama kali dikenalkan oleh James dan Martin pada tahun 1952. Dasar pemisahan kromatografi gas adalah dengan
20
penyebaran cuplikan antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Kromatografi gas merupakan salah satu cara untuk memisahkan senyawa volatile dengan titik didih yang berdekatan. Fase diam pada kromatografi gas dapat berupa fase diam padat (Kromatografi Gas Padat), yang lazimnya digunakan silika gel, maupun fase diam cair (Kromatografi Gas Cair). Pada KGC, terdapat banyak macam fase gerak yang dapat digunakan sehingga kromatografi ini bersifat selektif dan serba guna. Pada KG diperlukan suatu detektor. Detektor pada GC bermacam-macam salah satunya adalah MS atau Mass Spectroscopy. Spektroskopi massa merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan berat molekul dengan mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion muatan yang diketahui (Sastrohamidjojo, 1991).
Gambar 5. Skema Kromatografi Gas (Scott, 2003)
21
E. Landasan Teori Minyak atsiri merupakan salah satu komponen dari rimpang temulawak yang dapat meningkatkan nafsu makan (Awalin, 1996). Minyak atsiri temulawak memiliki
sifat
koleretik
yang
mempercepat
sekresi
empedu
sehingga
mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus yang kemudian akan mensekresi berbagai hormon yang meregulasi peningkatan nafsu makan (Ozaki dan Liang, 1988).
F. Hipotesis Pemberian minyak atsiri temulawak berpengaruh terhadap nafsu makan tikus yang ditekan nafsu makannya dengan parameter perubahan berat badan tikus yang diukur setiap minggu, serta konsumsi makan dan minum setiap harinya dibandingkan dengan kontrol negatif yaitu dietilpropion HCl sebagai penekan nafsu makan.