BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Seberapa besar keinginan masyarakat Indonesia untuk terbang? Kutipan berikut adalah sebuah pertanyaan yang tampak sederhana terhadap kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya dan jawaban tepat untuk untuk pertanyaan tersebut hanya terkesan berupa sebuah angka sederhana tentang sejumlah bilangan tertentu atau dalam prosentase, berapa banyak penerbangan yang telah masyarakat Indonesia lakukan maupun penerbangan yang akan dilakukan pada tahun-tahun mendatang. Tetapi ada cara yang mungkin jauh lebih baik untuk memberikan ilustrasi jawaban dari pertanyaan sederhana diatas, yaitu ungkapan yang bermakna “Kecenderungan Masyarakat Indonesia Untuk Terbang” (Michael Fairbanks, 2012). Sistem transportasi udara modern merupakan bagian integral dari sektor transportasi multi-moda suatu negara. Penerbangan adalah industri yang berkembang cepat dan dinamis di garda depan teknologi, dan sangat penting untuk pembangunan nasional. Infrastruktur penerbangan sangat penting, setinggi apapun tingkat pembangunan negara tersebut. Ruang udara Indonesia semakin dipenuhi penerbangan dalam jumlah yang terus bertambah. Pada saat yang sama, infrastruktur untuk manajemen penerbangan menjadi semakin kompleks. Memanfaatkan kemajuan teknologi akan memerlukan perencanaan yang strategis dan kompleks, namun hal tersebut akan menghasilkan peningkatan keamanan,
1
2
efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan terus meningkatnya permintaan akan transportasi udara, jumlah pesawat udara yang menggunakan ruang udara Indonesia diperkirakan meningkat dalam 15 tahun hingga 20 tahun kedepan. Untuk meningkatkan kegiatan transportasi udara pada saat ini dan masa mendatang tetap aman dan berkelanjutan, industri transportasi udara di Indonesia harus didukung oleh infrastruktur multi-moda yang kuat dan terencana dengan baik serta aman (Mike Gahan, 2012). Penyediaan infrastruktur yang memadai merupakan salah satu prasyarat utama untuk memacu pertumbuhan ekonomi, mempertahankan daya saing internasional, serta untuk mendukung upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Saat ini ketersediaan infrastruktur di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang yang lain. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, anggaran per-tahun untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia hanya 5% dari produk domestik bruto. Setelah krisis ekonomi, porsinya turun hanya tinggal 2% saja dari produk domestik bruto. Sementara itu, peran sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur masih sangat rendah. Akibatnya, hal itu dapat meningkatkan biaya produksi karena minimnya ketersediaan infrastruktur, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan investasi. Untuk mencapai pertumbuhan produk domestik bruto sebesar 6% hingga 7% persen per tahun, diperlukan pembiayaan infrastruktur minimal sebesar 5% dari total produk domestik bruto. Oleh karena itu, percepatan pembangunan infrastruktur merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi ketertinggalan dalam pembangunan infrastruktur selama ini.
3
Sejak sepuluh tahun terakhir, beberapa rangkaian kegiatan untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan infrastruktur telah diupayakan, antara lain telah diselenggarakannya Infrastructure Summit yang merupakan upaya untuk menggalang peran aktif sektor swasta, baik domestik maupun internasional. Selain itu, telah dan sedang dilakukan upaya reformasi, restrukturisasi, termasuk deregulasi sektor dan korporasi dengan semangat menghilangkan sejumlah regulasi yang menghambat percepatan pembangunan infrastruktur. Permasalahan mendasar yang dihadapi sektor transportasi selama ini yang juga masih dirasakan sampai dengan tahun ini, terutama adalah masih kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi jika dibandingkan dengan permintaan
akan
pelayanan
jasa
transportasi.
Penyediaan,
kepemilikan,
pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi selama ini masih didominasi oleh Pemerintah dan BUMN yang tarif pelayanannya cenderung di bawah harga. Hal itu terjadi karena kebijakan tarif yang diambil masih lebih menekankan pertimbangan politis daripada pertimbangan finansial. Akibatnya, kinerja dan pelayanan transportasi di Indonesia pada umumnya masih sangat buruk. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan pendanaan Pemerintah untuk melakukan pemeliharaan dan rehabilitasi terhadap aset yang sudah terbangun, serta ketidakmampuan melakukan investasi baru untuk memenuhi pertambahan permintaan pelayanan, sedangkan partisipasi investor swasta masih sangat rendah. Implikasinya adalah terjadinya excess demand yang dicirikan dengan kemacetan transportasi.
4
Rendahnya investasi swasta di sektor transportasi terutama disebabkan masih adanya ketidakpastian dalam penetapan tarif awal atau dalam rangka penyesuain terhadap inflasi. Tarif yang berlaku saat ini hampir di semua subsektor transportasi masih belum merefleksikan biaya. Sementara itu, kebijakan lain, yaitu subsidi silang tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan menambah masalah baru. Subsidi silang, dalam pelaksanaannya sering tidak transparan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan, bahkan menimbulkan bahaya moral akibat dari adanya informasi yang asimetris. Tarif yang terdistorsi oleh subsidi telah memberikan sinyal yang keliru kepada investor swasta dan konsumen. Padahal, tarif atau harga merupakan sinyal utama bagi investor dan konsumen dalam pengambilan putusan investasi dan konsumsi. Ketika investor swasta melihat investasi di sektor transportasi tidak menguntungkan, karena tarif yang berlaku sangat rendah, mereka tidak akan tertarik untuk berinvestasi. Akibat lainnya dari tarif yang sangat rendah dapat menyebabkan masyarakat pengguna jasa transportasi menggunakan jasa transportasi secara berlebihan. Implikasi lebih lanjut dari permasalahan mendasar tersebut adalah terjadinya penurunan kualitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi, dan pertumbuhan pembangunan jaringan infrastruktur transportasi mengalami stagnasi. Pada transportasi udara, permasalahan utama adalah daya saing maskapai penerbangan nasional masih lemah. Hal itu diindikasikasikan dengan adanya penutupan atau penghentian operasional sejumlah maskapai penerbangan, seperti Star Air, Adam Air, Indonesia Air, Batavia Air dan Seulawah Air, serta beberapa maskapai lainnya. Penutupan sejumlah armada tersebut merupakan
5
proses seleksi alamiah setelah terjadinya lonjakan kemunculan puluhan industri penerbangan di tanah air dalam waktu singkat. Salah satu penyebab terjadinya kehancuran bisnis penerbangan adalah kesalahan manajemen dalam menerapkan kebijakan tiket murah (low rate), bukan menerapkan konsep peningkatan efisiensi sehingga diperoleh biaya rendah (low cost). Perusahaan penerbangan yang tetap berjalan adalah maskapai penerbangan yang menerapkan manajemen internal yang efisien yang tidak secara otomatis memberlakukan
tiket
murah.
Permasalahannya
sebagian
besar
armada
penerbangan nasional masih kurang efisien dalam menerapkan manajemen internal perusahaan sehingga mengakibatkan daya saing rendah. Hal itu diperparah lagi dengan adanya kenaikan bahan bakar. Permasalahan tersebut dikhawatirkan akan dapat mengganggu ataupun mengurangi kemampuan perusahaan dalam memenuhi aspek keamanan dan keselamatan penerbangan yang dapat merugikan pihak penumpang (www.bappenas.go.id). RPJMN saat ini telah memasuki tahap kedua (2010-2014) yaitu percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha, diantaranya prioritas pembangunan infrastruktur transportasi udara. Pemerintah berorientasi dalam percepatan pembangunan
infrastruktur
guna
mendukung
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat. Hal ini dapat tercapai melalui terjaminnya ketersedian infrastruktur dasar untuk mendukung peningkatan kesejahteraan dan menjamin kelancaran distribusi barang, jasa dan informasi untuk meningkatkan daya saing produk nasional. Dampak langsung dari peningkatan ini adalah PDRB atau product
6
domestic regional bruto yang dijadikan sebagai alat ukur. Sedangkan dampak tidak langsung adalah dengan adanya peningkatan infrastruktur berarti terjadi kenaikan pada pembentukan modal dan jumlah pekerja. Infrastruktur transportasi udara merupakan salah satu infrastruktur kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
dan
pembangunan
suatu
daerah
dalam
mengakses
kegiatan
perekonomian yang dapat memberikan keuntungan dengan adanya proses integrasi dengan daerah lain yang lebih maju. Selain itu infrastruktur transportasi udara juga sebagai multiplier effects, yang akan mendorong pertumbuhan pada sektor-sektor lain sehingga akan berakibat pertumbuhan perekonomian bagi suatu daerah (www.dephub.go.id).
B.
Perumusan Masalah
Infrastruktur transportasi udara merupakan salah satu faktor pendukung dan pendorong perekonomian suatu daerah. Namun demikian saat ini kinerja infrastruktur transportasi udara masih relatif rendah dan adanya inefisiensi penyediaan infrastruktur. Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana analisis kelayakan finansial pembangunan infrastruktur pada Bandar Udara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari, merangkum, dan kemudian mengembangkan berbagai data eksisting infrastruktur dan nilai
7
investasi yang sudah ada sebelumnya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Benefit Cost Analysis pada Bandar Udara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara. Diantaranya: 1. Untuk mengetahui nilai Net Preset Value pada Bandar Udara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara. 2. Untuk mengetahui
nilai Internal Rate of Return pada Bandar Udara
Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara. 3. Untuk mengetahui nilai Payback Period pada Bandar Udara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara. 4. Untuk mengetahui nilai Benefit Cost Ratio pada Bandar Udara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara.
D.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan gambaran kondisi pembangunan infrastruktur transportasi udara dan sarana serta fasilitas pendukungnya.
Sehingga
dapat
memberikan
rekomendasi
perencanaan
pembangunan infrastruktur transportasi udara ke depan untuk mendukung perekonomian secara efektif dan efisien.
E.
Batasan Masalah
Pada penelitian ini hanya akan fokus pada analisis kelayakan investasi pengembangan sisi darat transportasi udara, khususnya pembangunan terminal penumpang
pada Bandar Udara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara.