BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makan merupakan kebutuhan primer. Setiap individu memerlukan makan untuk menghasilkan energi supaya dapat beraktivitas. Aktivitas makan bagi sebagian besar orang merupakan aktivitas yang dinikmati bukan saja secara fisik, melainkan juga mempunyai fungsi rekreasional dan sosial. Namun demikian, sebagian orang mengalami gangguan makan, di mana aktivitas makan justru merupakan hal yang mengganggu keberfungsian sebagai individu. Gangguan makan merupakan salah satu gangguan yang banyak terjadi di dunia Barat. Penelitian di Swedia menunjukkan bahwa anak dan remaja dengan sindrom penuh anoreksia nervosa mencapai 0,47% (Råstam, Gillberg, & Garton, 1989). Penelitian lain yang melibatkan enam negara di Eropa memperlihatkan bahwa sebanyak 2,51% orang dewasa mengalami gangguan makan (Preti, dkk., 2009). Survey pada 1.698 ibu rumah tangga dengan usia di atas 16 tahun di Inggris menemukan bahwa 10% di antaranya mengalami gangguan makan (Solmi, Hatch, Hotopf, Treasure, & Micali, 2014). Gangguan makan bukan hanya dikenal di dunia Barat, melainkan juga banyak ditemukan di Asia. Sebuah penelitian yang melibatkan remaja di Singapura dan Malaysia menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan pada remaja untuk melakukan diet ketat mengurangi atau membatasi asupan makanan demi penampilan (Lwin, Stanaland, & Williams, 2013). Kecenderungan gangguan makan muncul semakin banyak seiring berkembangnya ekonomi, industrialisasi, dan urbanisasi (Pikke & Dunne, 2015). Di Indonesia, pernah dilakukan penelitian untuk melihat kecenderungan anoreksia nervosa pada 397 siswi di Jakarta. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan sebanyak 11,6% mengalami kecenderungan anoreksia nervosa (Tantiani & Syafiq, 2008). Penelitian
1
2 tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia juga banyak remaja yang mengalami gangguan makan. Akan tetapi penelitian mengenai gangguan makan masih sangat minim. Anoreksia menempati rangking ketiga tertinggi sebagai penyakit kronis pada remaja (Shepphird, 2010). Anoreksia juga merupakan gangguan makan yang memiliki angka kematian tertinggi dibandingkan dengan gangguan makan yang lain yaitu 5,1 per 1.000 orang per tahun (Arcelus, Mitchell, Wales, & Nielsen, 2011). Selain itu, individu dengan anoreksia nervosa memiliki risiko untuk bunuh diri (American Psychiatric Association, 2013) . Artinya, gangguan ini sangat perlu mendapatkan perhatian, termasuk di Indonesia. Sayangnya penelitian mengenai anoreksia nervosa di Indonesia sangat jarang. Khusus untuk DIY belum ada data statistik mengenai kecenderungan anoreksia nervosa. Dinas Kesehatan DIY tahun 2010 melakukan screening kesehatan dasar yang hasilnya remaja di Yogyakarta mengalami kekurangan energi dikarenakan pembatasan asupan makanan (Tomi, 2013). Pembatasan asupan makanan ini belum tentu mengarah pada anoreksia nervosa, namun penelitian lebih lanjut sangat diperlukan sebagai upaya preventif. Anoreksia nervosa merupakan salah satu gangguan makan yang dirumuskan dalam DSM V (American Psychiatric Association, 2013). Berdasarkan penjelasan dalam DSM V anoreksia nervosa memiliki ciri khas yaitu individu berusaha mempertahankan atau mengurangi berat badan di bawah kategori normal sesuai standar usianya. Diagnostik ditegakkan apabila memenuhi tiga kriteria yaitu (a) adanya pemikiran bahwa membatasi asupan energi adalah suatu kebutuhan, (b) merasa takut secara intens akan bertambahnya berat badan atau menjadi gemuk, atau memperlihatkan perilaku yang mempertahankan berat badan meskipun berat badan orang tersebut tergolong rendah, dan (c) terjadi gangguan pada cara seseorang memahami citra tubuhnya. Selain anoreksia nervosa, terdapat dua gangguan makan yang lain yaitu bulimia nervosa (muntah dengan sengaja) dan binge eating (kehilangan kontrol untuk makan).
3 Akan tetapi penelitian ini memfokuskan pada anoreksia nervosa karena anoreksia merupakan jenis gangguan makan yang paling besar risiko kematiannya (Arcelus et al., 2011). Anoreksia nervosa merupakan gangguan psikiatrik yang serius dan kompleks dengan beberapa gangguan perilaku makan, penolakan pada berat badan yang normal dan memiliki ketakutan pada penambahan berat badan (Shepphird, 2010). Dengan kata lain anoreksia nervosa adalah gangguan perilaku makan yang melibatkan pemikiran yang salah mengenai standar kebutuhan asupan makanan dan berat badan ideal dirinya serta takut apabila melebihi standar berat badan yang dibuat sendiri. Prevalensi anoreksia nervosa pada perempuan hampir 0,4% (American Psychiatric Association, 2013). Kasus anoreksia nervosa tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi saat ini juga banyak terjadi pada lakilaki. Pada tahun 1990’an perbandingan antara penderita anoreksia laki-laki dan perempuan sekitar 1:20 (Kaplan & Sadock, 1991). Tahun 2000an perbandingannya meningkat menjadi 1:10 (American Psychiatric Association, 2013). Sumber lain menyatakan estimasi perbandingannya yaitu 10-15% penderita anoreksia nervosa adalah laki-laki (Shepphird, 2010). Anoreksia nervosa merupakan gangguan yang dapat dialami pada semua usia, akan tetapi pada individu sebelum pubertas dan di atas 40 tahun prevalensinya sangat jarang. Anoreksia nervosa paling sering terjadi pada usia remaja. Munoz and Argente (2002) mengestimasi pasien anoreksia nervosa remaja bertambah 5 hingga 10 per 100.000 orang per tahun. Selain remaja, dijelaskan bahwa kelompok yang berisiko tinggi mengalami anoreksia nervosa adalah (a) perempuan, (b) atlet, olahragawan, atau penari, (c) individu yang sedang berdiet karena alasan medis, (d) individu yang memiliki keluarga dengan gangguan makan, dan (e) korban pelecehan seksual dan trauma.
4 Survey Vereecke dan Maes (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) menunjukkan bahwa pada usia 15 tahun, lebih dari setengah remaja perempuan di enam belas negara membatasi jumlah asupan makanan atau berpikir untuk melakukan hal tersebut. Survey lain menunjukkan 45% remaja melakukan kontrol berat badan dengan diet (NeumarkSztainer & Hannan, 2000). Nutrisi dan obesitas memang menjadi permasalahan utama pada
remaja yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh (Santrock,
2012). Remaja menjadi kelompok usia yang berisiko tinggi untuk mengalami anoreksia nervosa karena beberapa faktor seperti kemampuan untuk koping yang belum stabil, fase kematangan seksual, perfeksionisme, kekerasan fisik atau seksual, dan harga diri (American Psychological Association, 2002). Penelitian ini berfokus pada harga diri karena harga diri merupakan faktor penting dalam persepsi penerimaan sosial yang sangat berarti bagi remaja (Anthony, Wood, & Holmes, 2007). Harga diri yang tinggi dapat menjadi faktor protektif dalam berbagai gangguan makan (Shisslak & Crago, 2001). Harga diri yang tinggi diwujudkan dalam perilaku remaja yang memandang dirinya lebih positif dan disukai oleh lingkungannya. Penelitian dengan subjek berusia 9 hingga 90 tahun menunjukkan remaja pada umumnya memiliki harga diri yang rendah kemudian meningkat dan stabil seiring bertambahnya usia (Robins, Trzesniewski, Tracy, & Gosling, 2001). Remaja juga sering melakukan acting pada saat berinteraksi dengan teman sekolah dan juga dengan pacarnya karena merasa dirinya kurang diterima (Harter, Marold, Whitesel, & Cobbs, 1996). Perasaan tidak suka pada diri sendiri merupakan bagian dari harga diri yang rendah. Remaja dengan harga diri yang rendah berusaha menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan supaya dapat disukai. Ketidakpuasan dalam diri menyebabkan individu ingin tampil dengan lebih baik sesuai standar pribadinya. Upaya untuk terlihat menarik secara
5 fisik dilakukan dengan tujuan agar dapat lebih diterima oleh lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, pada individu yang memiliki kecenderungan anoreksia nervosa, harga diri yang lebih rendah diduga berkorelasi dengan kecenderungan anoreksia nervosa yang lebih tinggi. Dugaan inilah yang akan diuji dalam penelitian ini. Oleh karena berdasarkan penelitian sebelumnya prevalensi anoreksia nervosa pada laki-laki dan perempuan sangat berbeda, penelitian ini akan melihat juga peranan jenis kelamin terhadap kecenderungan anoreksia nervosa. B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat peran jenis kelamin dan harga diri dalam memprediksi kecenderungan anoreksia nervosa. Di samping itu, penelitian ini bertujuan memperoleh karakteristik kecenderungan anoreksia nervosa pada mahasiswa, khususnya di Yogyakarta. C. Manfaat Manfaat Teoritis Memberikan tambahan khasanah keilmuan psikologi khususnya bidang klinis dan perkembangan dalam hal gangguan makan. Manfaat praktis Dari penelitian ini akan diperoleh data mengenai kecenderungan anoreksia nervosa pada mahasiswa di Yogyakarta yang selama ini belum pernah diteliti. Data ini nantinya dapat digunakan sebagai rujukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan misalnya departemen kesehatan untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kesehatan khususnya untuk remaja. Lebih lanjut jika harga diri terbukti berperan terhadap timbulnya kecenderungan anoreksia nervosa maka prevensi anoreksia nervosa difasilitasi dengan usaha-usaha peningkatan harga diri misalnya pelatihan.