1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perbankan di Indonesia dinaungi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan. Bank sebagai inti dari perbankan mempunyai peranan penting dalam sistem keuangan dan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, disebutkan dalam Pasal 5 bahwa jenis bank ada dua macam, yaitu Bank Umum dan BPR (BPR). Pengertian Bank Umum dan BPR masing-masing dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perbankan adalah sebagai berikut: “Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan/atau
berdasarkan
Prinsip
Syariah
yang
dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Dalam rangka beradaptasi menghadapi era globalisasi, membawa dampak secara menyeluruh dalam kehidupan Indonesia. Salah satu yang sangat terasa yaitu perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Hal ini dapat dilihat dengan penggunaan sistem komputerisasi dalam segala bidang. Tidak terkecuali dalam bidang ekonomi, di mana lembaga perbankan menjadi intinya,
2
dituntut untuk menerapkan teknologi sistem informasi yang diwujudkan dengan penggunaan sistem komputerisasi dalam operasionalnya. Termasuk pemberian jasa lalu lintas pembayaran oleh Bank Umum. Dalam melayani dan memberikan jasa tersebut, bank menyediakan fasilitas berbasis komputer yang menjadi indikator, tidak hanya kemajuan dalam perbankan itu sendiri tetapi juga persaingan usaha antar bank yang turut memberikan kontribusi dalam peningkatan ekonomi negara. Terkait dengan pelayanan berbasis komputer, salah satu yang menjadi obyeknya adalah fasilitas ATM. ATM singkatan dari Automatic Teller Machine atau Automated Teller Machine yang di Indonesia juga dapat diartikan menjadi Anjungan Tunai Mandiri, merupakan salah satu perwujudan dari sistem komputerisasi yang merupakan bagian dari teknologi sistem informasi perbankan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan mengenai pengertian sistem dan komputerisasi sebagai berikut: “sistem: 1 perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; 2 susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya; 3 metode;”1 “komputer: alat elektronik otomatis yang dapat menghitung atau mengolah data secara cermat menurut yang diinstruksikan, dan memberikan hasil pengolahan, serta dapat menjalankan sistem multimedia (film, musik, televisi, faksimile, dan sebagainya), biasanya terdiri atas unit pemasukan, unit pengeluaran, unit penyimpanan, serta unit pengontrolan; komputerisasi: penggunaan komputer (dalam menghitung, mengolah data, dan sebagainya) secara besar-besaran;”2 Pengertian ATM menurut Wasita Nugraha dalam makalahnya adalah : 1 2
Kamus Besar Bahasa Indonesia Ibid.
3
“ATM merupakan alat elektronik yang mengijinkan nasabah bank mengambil uang dan mengecek rekening tabungan mereka tanpa perlu dilayani oleh “teller” manusia.”3 Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian sistem komputerisasi yaitu penggunaan alat elektronik otomatis dalam penghitungan atau pengolahan data secara cermat menurut yang diinstruksikan, dan memberikan hasil dari pengolahan tersebut dimana perangkat unsur di dalamnya teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Jika dihubungkan dengan ATM, maka sistem komputerisasi ATM yaitu suatu sistem pengolahan data dalam kartu ATM yang dapat memberikan pelayanan mandiri bagi nasabah pemegang untuk melakukan transaksi tanpa dilayani oleh “teller” manusia. Wasita Nugraha dalam makalahnya menjelaskan sebagai berikut: “Adapun komponen dari ATM yaitu mesin ATM dan kartu ATM. Bagianbagian mesin ATM tampak dari luar terdiri dari kotak ATM, tombol angka, layer monitor, kamera (pilihan). Sedangkan di dalam mesin ATM terdiri dari satu unit komputer, keyboard, modem, kotak uang, printer kecil dan card reader untuk membaca data pada kartu ATM. Tentang kartu ATM juga terdapat bagian-bagian yang penting berkaitan langsung dengan kartu, yaitu magnetic card reader, data yang diacak, dan PIN (Personal Identification Number). Untuk magnetic card reader, sesuai dengan namanya berfungsi untuk membaca dan menerima data. Dengan fungsi tersebut magnetic card reader tidak memiliki kapasitas atau memori untuk menyimpan data, karena data yang telah diterima diteruskan ke pusat sistem komputerisasi bank. Saat mesin berhasil membaca data dalam kartu ATM tersebut, maka mesin akan meminta PIN (Personal Identification Number). PIN ini tidak terdapat di dalam kartu ATM melainkan harus diinput oleh nasabah. Kemudian setelah PIN dimasukkan, maka data PIN tersebut akan diacak (di-encrypt) dengan rumus tertentu dan dikirim ke sistem komputerisasi bank yang bersangkutan. Pengacakan data PIN ini dimaksudkan agar data yang dikirim tidak bisa terbaca oleh pihak lain. PIN yang sudah diacak berikut isi data dari kartu akan dikirim langsung ke 3
Wasita Nugraha, 2009, Makalah: Autentivikasi dan Validasi PIN Pada ATM, Jogjakarta, Universitas Teknik Jogjakarta.
4
sistem komputerisasi bank untuk diverifikasi. Setelah data selesai diproses dalam sistem komputerisasi bank, maka data akan dikirim kembali ke ATM. Nasabah akan dapatkan apa yang dimintanya di ATM.”4 Sistem kerja mesin ATM yang pada umumnya terpisah dari bank yang bersangkutan dihubungkan melalui sarana telekomunikasi. Setiap transaksi pada mesin ATM akan diterima komputer dalam mesin kemudian data tersebut dikirimkan ke pusat data melalui sarana telekomunikasi tadi, seperti line telepon, Vsat atau radio. Dengan sarana telekomunikasi tersebut memungkinkan bank untuk mengawasi dan memonitor status mesin ATM ketika mesin mati atau uang di dalamnya habis. Adanya fasilitas ATM dimaksudkan untuk mempermudah pelayanan bagi para nasabah juga memberikan efisiensi transaksi. Secara umum, pelayanan yang dapat dinikmati nasabah dengan menggunakan ATM antara lain penarikan tunai, transfer atau pemindahbukuan, pembayaran tagihan, pembelian pulsa ponsel dan isi ulang kartu debit. Namun meskipun ATM dimaksudkan untuk memberikan kemudahan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di sisi lain ATM sering menimbulkan masalah dan kerugian. Salah satu masalah yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan ATM ini yaitu akibat kesalahan dalam sistem komputerisasi bank, dalam hal ini issuing bank. Sebagaimana kasus yang menjadi penelitian pendahuluan penulis yaitu tentang kesalahan sistem komputerisasi database pada kartu ATM Bank Mandiri. Kasus ini berkaitan langsung dengan penulis selaku pemilik rekening di Bank Mandiri. Secara singkat mengenai kasus ini adalah ATM yang
4
Ibid.
5
dibuat secara instan sebagaimana penawaran dari pihak Bank Mandiri. Pihak bank menawarkan dua kategori kartu ATM berdasarkan pembuatannya yaitu kartu ATM instan dan kartu ATM sesuai pesanan nasabah. Yang dimaksud dengan kartu ATM instan yaitu jenis kartu ATM yang ditawarkan dapat diperoleh nasabah pada saat pembukaan rekening namun pada kartu tersebut tidak tercantum nama pemilik sesuai kehendak nasabah. Kartu ini dapat digunakan dengan jeda waktu kurang lebih 1 (satu) jam setelah pembuatan PIN atas kartu ATM tersebut. Kemudian kartu yang sesuai pesanan nasabah maksudnya adalah kartu ATM yang ditawarkan untuk pencantuman nama nasabah sesuai dengan kehendaknya namun memerlukan waktu setidaknya 6 (enam) hari kerja. Selain dari proses pembuatan kartu tadi, tidak ada perbedaan fitur dan pelayanan dari kedua kartu. Kartu ATM yang dibuat secara instan kemudian diberikan input data rekening lalu dibuat PIN untuk kartu ATM tersebut. Berkaitan dengan kasus, dilakukan transaksi penarikan menggunakan kartu ATM setelah pembuatan kartu, namun saldo rekening dinyatakan tidak mencukupi untuk dilakukan penarikan. Dari transaksi cek saldo, jumlah saldo rekening tidak sesuai dengan yang tercantum dalam buku tabungan. Setelah dikonfirmasikan, pihak bank menyatakan adanya kemungkinan error system pada mesin ATM dan disarankan untuk mencoba melakukan transaksi kembali dengan mesin ATM yang berbeda. Beberapa hari kemudian, dapat dilakukan transaksi penarikan di luar kota dan berhasil. Tetapi dari transkrip transaksi yang tercetak, ada penambahan saldo yang signifikan dari saldo sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut tidak dapat
6
langsung dikonfirmasi, karena hanya dapat dilakukan kepada pihak issuing bank kartu ATM. Dilakukan beberapa kali transaksi hingga kartu ATM tidak dapat digunakan karena telah diblokir. Konfirmasi yang diberikan pihak issuing bank berkaitan dengan kartu ATM yang diblokir adalah bahwa data yang diterima kartu ATM tersebut bukan merupakan data rekening yang seharusnya, melainkan data rekening nasabah lain. Pihak bank menyatakan telah terjadi kesalahan dalam sistem komputerisasi bank. Dari data yang ada, kesalahan sistem komputerisasi terjadi karena adanya kemiripan data rekening yaitu nama nasabah. Dengan demikian, pihak bank meminta kesediaan nasabah pengguna kartu ATM tadi untuk mengganti sejumlah uang sesuai dengan transaksi yang telah dilakukan, sebagai ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan, yaitu nasabah pemilik rekening yang terdapat dalam data pada kartu ATM. Akibat kesalahan sistem komputerisasi tersebut, pihak nasabah telah dirugikan. Meskipun kerugian ini tidak timbul karena tindakan kriminal seperti pembobolan rekening melalui ATM, hal ini tetap bertentangan dengan ketentuan dalam perbankan mengenai prinsip kehati-hatian bank dan perlindungan bagi nasabah atas simpanannya. Berdasarkan kasus di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah perbankan ini guna menyusun skripsi dengan judul: “TANGGUNG JAWAB PIHAK BANK ATAS KESALAHAN SISTEM KOMPUTERISASI KARTU ATM PADA BANK MANDIRI DITINJAU DARI KETENTUAN PERLINDUNGAN NASABAH”.
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas mengenai masalah ATM yang menyebabkan kerugian bagi nasabahnya, maka permasalahan yang timbul yaitu: Bagaimana tanggung jawab pihak bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM ditinjau dari ketentuan perlindungan nasabah bank?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab pihak bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM yang ditinjau dari ketentuan perlindungan nasabah bank.
D. Kegunaan Penelitian 1.
Kegunaan Teoretis Secara teoretis, penelitian ini akan berguna untuk memberikan wacana dalam perbankan bahwa masih banyak celah yang belum diakomodasi dalam regulasi mengenai perlindungan nasabah dan sangat mungkin menimbulkan kerugian. Di sisi lain menjadi wacana juga bagi pihak bank berkaitan dengan sistem komputerisasi yang harus selalu dipantau untuk meminimalisir kesalahan yang kemudian menimbulkan kerugian bagi nasabah sehingga mengakibatkan pengikisan kepercayaan nasabah terhadap bank.
8
2.
Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini akan berguna bagi nasabah bank khususnya agar mengerti akan haknya atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan sistem komputerisasi dan agar lebih berhati-hati dan cermat dalam menggunakan dan menikmati fasilitas serta pelayanan yang diberikan oleh bank. Dengan demikian menjadi jelas pula perlindungan bagi nasabah dari sisi hukum berkaitan dengan kasus-kasus yang terjadi akibat kesalahan sistem komputerisasi bank.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perbankan Secara Umum 1.
Pengertian Bank dan Perbankan Pengertian perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perbankan, yaitu: “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan disebutkan: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Pengertian bank dan perbankan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut: “bank: badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dalam masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang; perbankan: segala sesuatu mengenai bank;”5
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia
10
Pengertian bank menurut Prof. G.M. Verryn Stuart yaitu: “Bank is a company who satisfied other people by giving a credit with the money they accept as gamble to the other, eventhough they should supply the new money. (Bank adalah badan usaha yang wujudnya memuaskan keperluan orang lain, dengan memberikan kredit berupa uang yang diterimanya dari orang lain, sekalipun dengan jalan mengeluarkan uang baru kertas atau logam).6 Dr. B.N. Ajuha memberikan pengertian mengenai bank sebagai berikut: “Bank provided means by which capital is transferred from those who cannot use it profitable to those who can use it productively for the society as whole. Bank provided which channel to invest without any risk and at a good rate of interest. (Bank menyalurkan modal dari mereka yang tidak dapat menggunakan secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya lebih produktif untuk keuntungan masyarakat. Bank juga berarti saluran untuk menginvestasikan tabungan secara aman dan dengan tingkat bunga yang menarik).7 Hermansyah menyebutkan pengertian bank sebagai berikut: “Pengertian bank sebagai pokok dari perbankan adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembagalembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.”8 2.
Asas Perbankan Mengenai asas perbankan tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan, yang berbunyi: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
6
Malayu S.P. Hasibuan, 2005, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, Bumi Aksara. Hal. 2. Ibid. 8 Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group. Hal. 7. 7
11
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 berkaitan dengan asas demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mubyarto, ahli ekonomi Universitas Gadjah Mada, memberikan penjelasan mengenai asas demokrasi ekonomi dalam ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional tanggal 16 Mei 1981 sebagaimana dikutip oleh Hermansyah dalam bukunya yaitu sebagai berikut: “...bahwa demokrasi ekonomi Indonesia sebagai Demokrasi Ekonomi Pancasila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi ialah soko guru perekonomian; kedua, perekonomian Pancasila digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan yang paling penting ialah moral; ketiga, perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam Pancasila terdapat solidaritas sosial; keempat, perekonomian Pancasila berkaitan dengan persatuan Indonesia, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi. Sedangkan sistem perekonomian kapitalis pada dasarnya kosmopolitanisme, sehingga dalam mengejar keuntungan tidak mengenal batas-batas negara; kelima, sistem perekonomian Pancasila tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan sentral (nasional) dengan tekanan pada desentralisasi di dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi.9 Asas
demokrasi
ekonomi
menitikberatkan
pada
kepentingan
masyarakat di bidang ekonomi, terutama dalam perbankan, harus menjadi prioritas utama, karena perbankan sebagai inti dari ekonomi suatu negara bertumpu pada keadaan ekonomi masyarakatnya. Dalam menyelenggarakan kegiatan perbankan juga harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam rangka menjaga kepercayaan dari masyarakat. Dengan kata lain, kegiatan perbankan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat karena kepentingan ekonomi masyarakat 9
Ibid. Hal. 19.
12
merupakan prioritas utama sebagai tumpuan dari ekonomi suatu negara dengan berlandaskan asas demokrasi ekonomi. 3.
Fungsi dan Tujuan Perbankan Fungsi perbankan diakomodasi dalam Pasal 3 Undang-Undang Perbankan, yang berbunyi: “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Dilihat dari fungsi tersebut, sangat jelas bahwa orientasi pokok dari kegiatan perbankan adalah kepentingan masyarakat dalam hal keuangan. Kepentingan tersebut harus diakomodasi dalam perbankan dan harus dilindungi. Hal ini berkaitan dengan prinsip kehati-hatian perbankan dalam mengakomodasi dan melindungi kepentingan masyarakat. Tidak terlepas dari asas dan fungsinya, perbankan juga mempunyai tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 yang berbunyi: “Perbankan
Indonesia
bertujuan
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.” Kesimpulan dari Hermansyah dalam bukunya sebagaimana disebutkan sebagai berikut: “Dari asas dan fungsi perbankan sebelumnya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan perbankan itu sendiri, yaitu pembangunan nasional yang meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui dengan jelas bahwa lembaga perbankan mempunyai peranan penting dan strategis tidak saja dalam
13
menggerakkan roda perekonomian nasional, tetapi juga diarahkan agar mampu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.”10 Fungsi dari bank seperti disebutkan dalam fungsi perbankan di atas, tetapi secara lebih rinci, fungsi dan tujuan bank adalah sebagai agent of development dan sebagai financial intermediary. “Bank memiliki fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Fungsi bank sebagai financial intermediary adalah sebagai perantara penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bank juga bertindak sebagai perantara atau penghubung antara nasabah yang satu dan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi”.11 4.
Jenis-jenis Bank Menurut Undang-Undang Perbankan telah disebutkan sebelumnya mengenai jenis bank, yaitu Bank Umum dan BPR. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 mengenai pengertian Bank Umum dan Pasal 1 angka 4 mengenai pengertian BPR sebagai berikut: “Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
10
Ibid. Hal. 41. Lukman Santoso AZ, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Yustisia. Hal. 40. 11
14
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Secara teoretis, jenis-jenis bank dapat digolongkan menurut: (1) segi fungsi; (2) segi kepemilikan; dan (3) segi penciptaan uang giral. 1.
Dari segi fungsinya bank dibedakan menjadi: a.
Bank Sentral (Central Bank), yaitu bank yang dapat bertindak sebagai bankers, bank pimpinan, penguasa moneter, mendorong dan mengarahkan semua jenis bank yang ada.
b.
Bank Umum (Commercial Bank), yaitu bank milik negara, swasta maupun koperasi, baik pusat maupun daerah yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito serta tabungan dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek. Dikatakan sebagai bank umum karena bank tersebut mendapatkan keuntungan dari selisih bunga yang diterima dari peminjam dengan yang dibayarkan oleh bank pada deposito.
c.
Bank Tabungan (Saving Bank), yaitu bank milik negara, swasta maupun koperasi yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan sedangkan usahanya terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga.
d.
Bank Pembangunan (Development Bank), yaitu bank baik milik negara, swasta maupun koperasi, baik pusat maupun daerah, yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam
15
bentuk deposito, dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan. 2.
3.
Dari segi kepemilikannya bank dibedakan menjadi: a.
Bank milik negara
b.
Bank milik pemerintah daerah
c.
Bank milik swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri
d.
Bank koperasi
Dari segi penciptaan uang giral, bank dibedakan menjadi: a.
Bank Primer, yaitu bank yang dapat menciptakan uang giral, yang dapat bertindak sebagai bank primer adalah bank umum.
b.
Bank Sekunder, yaitu bank-bank yang tidak dapat menciptakan uang melalui simpanan masyarakat yang ada padanya, bank ini hanya bertugas sebagai perantara dalam menyalurkan kredit. Pada umumnya bank yang bergerak pada bank sekunder adalah bank tabungan dan bank pembangunan.
5.
Kegiatan Usaha Bank Mengenai usaha bank, secara umum meliputi: 1.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2.
Memberikan kredit.
3.
Menerbitkan surat pengakuan utang.
16
4.
Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dana atas perintah nasabahnya.
5.
Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
6.
Menempatkan dana pada, meminjam dari, atau meminjam dana dari bank lain, baik yang menggunakan surat, telekomunikasi dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
7.
Menerima pembayaran dari tagihan atau surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antarpihak ketiga.
8.
Menyediakan
kegiatan
penitipan
untuk
kepentingan
pihak
lain
berdasarkan suatu kontrak. 9.
Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek. 11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan dibeli wajib dicairkan secepatnya. 12. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit (credit card) dan kewajiban wali amanat, anjak piutang adalah suatu usaha untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
17
13. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Usaha pokok bank dalam lalu lintas pembayaran terdiri dari lalu lintas pembayaran dalam negeri dan luar negeri, antara lain: 1.
Pengiriman uang Pengiriman uang adalah salah satu pelayanan bank kepada masyarakat dengan wujud kebersediaan melaksanakan amanat nasabah untuk mengirimkan sejumlah uang, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang ditujukan kepada pihak lain (perusahaan, lembaga atau perorangan) di tempat lain (dalam negeri atau luar negeri).
2.
Inkaso (Collection) Inkaso pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan/perorangan untuk menyajikan, atau memintakan persetujuan pembayaran (akseptasi) atau penyerahan begitu saja kepada pihak yang bersangkutan (tertarik) di tempat lain (dalam atau luar negeri) atas surat-surat berharga dalam rupiah atau valuta asing, seperti wesel (draft), cek, kuitansi, surat aksep (promissory notes), dan lain-lain.
3.
Pembukaan Letter of Credit (L/C) Salah satu cara pembayaran yang dipergunakan dalam perdagangan adalah secara kredit dokumenter, yaitu dengan mempergunakan warkat
18
berharga yang disebut dengan Letter of Credit (L/C). Sehingga secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa L/C adalah suatu perintah (order) yang biasanya dilakukan oleh pembeli atau importir yang ditujukan kepada bank untuk membuka L/C agar membayar sejumlah uang kepada penjual atau eksportir. 6.
Perizinan Pendirian, Bentuk Hukum dan Kepemilikan Bank 6.1. Perizinan Pendirian Bank Ketentuan perizinan pendirian bank diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 20 Undang-Undang Perbankan. Dalam memberikan izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR, Bank Indonesia wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.
2.
Pemenuhan persyaratan pendirian, meliputi: a.
Susunan organisasi dan kepengurusan;
b.
Permodalan;
c.
Keahlian di bidang perbankan;
d.
Kelayakan rencana kerja.
Tingkat persaingan usaha yang sehat antar bank Tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Khusus bagi BPR, untuk mendapatkan izin usahanya, di samping
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud di atas, wajib pula memenuhi persyaratan tempat kedudukan kantor pusat BPR di kecamatan, yakni kecamatan di luar ibu kota kabupaten/kota, ibukota provinsi, atau ibukota
19
negara. Persyaratan ini dimaksudkan agar BPR tetap dapat berfungsi sebagai penunjang pembangunan dan modernisasi di daerah pedesaan. Walaupun demikian, untuk menunjang peningkatan pembangunan yang lebih merata, khusus di ibukota kabupaten/kota, pemerintah daerah setempat dapat mendirikan BPR, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan koperasi, bank milik negara dan/atau bank milik pemerintah daerah, asalkan di ibukota kabupaten/kota belum terdapat BPR. 6.1.1. Pendirian Bank Umum Bank Umum hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Gubernur Bank Indonesia. Modal disetor untuk mendirikan Bank Umum ditetapkan minimal sebesar Rp 3 triliun. Bank Umum hanya dapat didirikan oleh: a.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, dengan ketentuan maksimal sebesar 99% dari modal disetornya.
6.1.2. Pendirian BPR BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank Indonesia seperti halnya Bank Umum. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh: a.
Warga negara Indonesia;
b.
Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
20
c.
Pemerintah Daerah;
d.
Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud di atas.
Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit: a.
Rp 5 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta;
b.
Rp 2 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah ibukota Provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi;
c.
Rp 1 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah ibukota Provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebutkan di atas;
d.
Rp 500 juta bagi BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana dimaksud di atas.
6.2. Bentuk Hukum Bank Terdapat beberapa bentuk hukum suatu bank, yang disesuaikan dengan jenis kelembagaan perbankan yang akan didirikan. Ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang Perbankan menetapkan bentuk hukum suatu bank, yaitu: 1.
2.
Bank Umum dapat berupa: a.
Perseroan Terbatas;
b.
Koperasi; atau
c.
Perusahaan Daerah.
BPR dapat berupa: a.
Perusahaan Daerah;
21
b.
Koperasi;
c.
Perseroan Terbatas;
d.
Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
6.3. Kepemilikan Bank Ketentuan mengenai kepemilikan bank diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 28 Undang-Undang Perbankan. Disebutkan dalam Pasal 22 Undang-Undang Perbankan bahwa Bank Umum hanya dapat didirikan oleh: 1.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Badan hukum Indonesia tersebut antara lain negara Republik Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta; atau
2.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara dan/atau badan hukum asing secara kemitraan. Jika salah satu pihak yang mendirikan Bank Umum tersebut adalah badan hukum asing, maka yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud minimal memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Adapun untuk BPR disebutkan dalam ketentuan Pasal 23 Undang-
Undang Perbankan, hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh: 1.
Warga negara Indonesia;
22
2.
Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
3.
Pemerintah Daerah; atau
4.
Dapat dimiliki bersama di antara warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah. Selanjutnya seperti yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan
Peraturan Bank Indonesia, bahwa pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik bank adalah: 1.
Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus Bank Umum dan/atau BPR sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
2.
Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik, yang ditandai antara lain bahwa pihak-pihak yang bersangkutan memiliki akhlak dan moral yang baik, mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap pembangunan operasional bank yang sehat dan dinilai layak dan wajar untuk menjadi pemegang saham bank. Bagi pemegang saham pengendali, wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-
Undang Perbankan hanya berlaku untuk Bank Umum dan BPR yang berbentuk di luar bentuk hukum koperasi. Berdasarkan Pasal 24 Undang-
23
Undang Perbankan, bahwa Bank Umum dan BPR yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pada ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 UndangUndang Perkoperasian tadi disebutkan bahwa keanggotaan koperasi adalah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau koperasi yang memenuhi persyaratan. Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Hal ini berarti kepemilikan bank yang berbentuk
hukum
koperasi
adalah
seluruh
anggota
koperasi
yang
bersangkutan atau badan-badan hukum koperasi. Kemudian
ketentuan
Pasal
25
Undang-Undang
Perbankan
menetapkan bahwa Bank Umum dan BPR yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Saham bank dalam bentuk saham atas nama ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kepemilikan saham bank. Ini berarti, saham dalam bentuk saham atas tunjuk tidak diperbolehkan, sebab dalam saham atas tunjuk tidak dicantumkan nama pemegang atau pemiliknya, sehingga menimbulkan kesulitan
untuk
mengetahui
perubahan
kepemilikan
saham
yang
bersangkutan.
B. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Uraian tentang jenis bank ditinjau dari segi fungsi yang telah dipaparkan sebelumnya, salah satunya yaitu Bank Sentral (Central Bank).
24
Muhammad Djumhana menjelaskan pengertian bank sentral dalam bukunya sebagai berikut: “Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort.”12 Bank Sentral di tiap negara hanya ada satu dan mempunyai cabang hampir di tiap provinsi. Fungsi utama Bank Sentral adalah mengatur masalahmasalah yang berhubungan dengan keuangan di suatu negara secara luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Indonesia yang berkedudukan sebagai Bank Sentral adalah Bank Indonesia (BI). BI dinaungi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang BI). 1.
Sejarah Singkat Bank Indonesia Bank Indonesia berasal dari De Javasche Bank N.V yang merupakan salah satu bank milik pemerintah Belanda. De Javasche Bank N.V didirikan pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1827 dalam rangka membantu pemerintah Belanda, untuk mengurus keuangannya di Hindia Belanda pada waktu itu. Kemudian De Javasche Bank N.V dinasionalisasi pemerintah Republik Indonesia
12
Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 93.
25
tanggal 6 Desember 1951 dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 menjadi bank milik pemerintah Republik Indonesia. Setelah nasionalisasi De Javasche Bank N.V kemudian pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia sebagai undang-undang organik bagi bank sentral yang disetujui pada tanggal 10 April 1953 lalu disahkan pada tanggal 29 Mei 1953 dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Juli 1953 yang dijadikan hari terbentuknya Bank Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia.13 Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 17 Tahun 1965, Bank Indonesia bersama bank-bank lainnya seperti Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Negara Indonesia dan Bank Tabungan Negara dilebur ke dalam Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). BNI ini terdiri dari BNI Unit I, BNI Unit II, BNI Unit III, BNI Unit IV, dan BNI Unit V. Kemudian BNI Unit I berfungsi sebagai Bank Sirkulasi, Bank Sentral dan Bank Umum. Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 mengamanatkan pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang. Berkaitan dengan dunia perbankan pemerintah menyusun Rancangan UndangUndang Pokok-Pokok Perbankan, Rancangan Undang-Undang Bank Sentral dan Rancangan Undang-Undang Pendirian Enam Bank Pemerintah. Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang 13
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika. Ringkasan hal. 86-90.
26
Bank Sentral, ditata dan dibangun kembali bank sentral dalam kerangka penataan sistem perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Dengan adanya UndangUndang tersebut, mengenai pengintegrasian bank-bank milik negara ke dalam BNI berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 17 Tahun 1965, dilakukan peninjauan kembali dan disesuaikan kembali seiring dibentuknya kembali Bank Indonesia sebagai bank sentral. Di dalam peninjauan kembali tadi, termasuk di dalamnya mengenai tugas Bank Indonesia yang meliputi menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih melaksanakan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Di sisi lain, keberadaan Bank Indonesia belum independen dengan adanya campur tangan pemerintah dalam membentuk Dewan Moneter yang bertugas menentukan
kebijakan
moneter
yang harus
dilaksanakan
Bank
Indonesia.14 Mengingat peran ganda dari Bank Indonesia sebagai bank sentral dan
sekaligus
bank
komersial
mengakibatkan
kurang sehatnya
perkembangan moneter perekonomian, maka dikeluarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Dalam Undangundang tersebut Bank Indonesia tidak lagi berperan ganda dengan dihapusnya peranan sebagai bank komersial. Misi Bank Indonesia sebagai agen pembangunan masih melekat, demikian pula tugas-tugas
14
Op Cit. Munir Fuady. Ringkasan hal. 114-116.
27
sebagai kasir pemerintah dan banker’s bank. Selain itu Dewan Moneter keberadaannya masih dipertahankan sebagai lembaga pembuat kebijakan yang merumuskan kebijakan moneter. 15 Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tidak lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan dan dinamika perekonomian nasional dan internasional. Bank Indonesia sebagai bank sentral dikehendaki hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang merupakan sebagian dari prasyarat
bagi
tercapainya
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkesinambungan. Reorientasi sasaran Bank Indonesia ini merupakan bagian dari kebijakan pemulihan dan reformasi perekonomian dimana kegagalan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah seperti tercermin pada
kenaikan
harga-harga
dapat
merugikan
karena
berakibat
menurunkan pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing perekonomian nasional dalam kancah perekonomian dunia. Berdasarkan keadaan tadi, dan dengan mengacu kepada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998, pada tanggal 17 Mei 1999 ditetapkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 memberikan status dan kedudukan kepada Bank Indonesia
15
Op Cit. Djoni S. Gazali. Hal. 92
28
sebagai suatu bank sentral yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya. Dalam rangka penyesuaian terhadap keadaan ekonomi yang dinamis, Undang-Undang tentang Bank Indonesia mengalami perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.16 2.
Tujuan Bank Indonesia Dalam Pasal 7 Undang-Undang BI diatur mengenai tujuan BI, yaitu: “(1) Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.” Kasmir dalam bukunya menjelaskan sebagai berikut: “Mata uang Rupiah perlu dijaga dan dipelihara mengingat dampak yang ditimbulkan apabila suatu mata uang tidak stabil sangatlah luas seperti salah satunya terjadinya inflasi yang sangat memberatkan masyarakat luas. Oleh karena itu tugas Bank Indonesia untuk mencapai dn memelihara kestabilan nilai rupiah sangatlah penting.”17 Adapun maksud dari kestabilan rupiah yang diinginkan oleh Bank Indonesia adalah: 1.
Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang dapat diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi.
16
Op Cit. Munir Fuady. Kasmir, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Hal. 169-170. 17
29
2.
Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Hal ini dapat diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain. Dengan kestabilan nilai mata uang Rupiah, maka akan sangat
banyak manfaat yang akan diperoleh terutama untuk mendukung pembangunan
ekonomi
yang
berkelanjutan
dan
meningkatkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan perbankan itu sendiri. 3.
Tugas Bank Indonesia Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan sebelumnya, BI mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 UndangUndang BI, yaitu: “Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut: a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.” 3.1 Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter Dalam tugasnya menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 sampai Pasal 14 UndangUndang BI, BI mempunyai kewenangan sebagai berikut: a.
Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi.
b.
Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan caracara yang termasuk tidak terbatas pada:
30
-
Operasi pasar terbuka di pasar uang, baik mata uang rupiah maupun valuta asing
c.
-
Penetapan tingkat diskonto
-
Penetapan cadangan wajib minimum
-
Pengaturan kredit atau pembiayaan
Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.
d.
Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan, antara lain dengan melakukan devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing.
e.
Mengelola cadangan devisa.
f.
Menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktu diperlukan yang dapat bersifat makro dan mikro.
3.2 Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, lancar dan aman merupakan salah satu prasyarat dalam keberhasilan pencapaian tujuan
kebijakan
moneter,
sebagaimana
menjadi
tugas
BI
sebelumnya. Sehubungan dengan itu, BI diberi wewenang untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Tugas BI yang mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
31
dijabarkan dalam Pasal 15 sampai Pasal 23 Undang-Undang BI. Dalam tugas ini BI mempunyai kewenangan meliputi: a.
Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
b.
Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya.
c.
Menetapkan penggunaan alat pembayaran, dalam hal ini secara umum meliputi alat pembayaran tunai dan alat pembayaran nontunai.
d.
Mengatur sistem kliring antar bank baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing.
e.
Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
f.
Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah.
g.
Mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran, termasuk memberikan penggantian dengan nilai yang sama. Berkaitan dengan tugas BI mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, pengertian mengenai sistem pembayaran sendiri dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang BI yaitu:
32
“Sistem pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.” Dalam rangka untuk mendukung sistem pembayaran tersebut diadakan alat pembayaran seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang meliputi alat pembayaran tunai dan alat pembayaran nontunai. Alat pembayaran tunai adalah uang kartal yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Sedangkan alat pembayaran nontunai salah satunya adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) yang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012, selanjutnya disebut Peraturan Bank Indonesia tentang APMK. Dalam Peraturan Bank Indonesia tentang APMK disebutkan pengertian mengenai alat pembayaran menggunakan kartu yaitu: “Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet.” Pengertian ATM yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK yaitu:
33
“Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan.” Dalam PBI tersebut juga ditentukan mengenai manajemen risiko yang harus dilaksanakan oleh bank-bank yang telah memperoleh ijin menyelenggarakan alat pembayaran menggunakan kartu. Dengan adanya ketentuan manajemen risiko, bank diharuskan menggunakan
prinsip
kehati-hatian
dalam
menyelenggarakan
fasilitas pendukung dari APMK tadi. Hal ini dilakukan untuk melindungi nasabah dari bank-bank tersebut. 3.3 Mengatur dan Mengawasi Bank Tugas pengaturan dan pengawasan bank merupakan salah satu tugas yang penting khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat yang pada akhirnya akan dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter. Tugas BI yang mengatur dan mengawasi bank diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 sampai Pasal 35 Undang-Undang BI, yang kewenangannya meliputi: a.
Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
b.
Memberikan dan mencabut izin usaha Bank.
c.
Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank.
34
d.
Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
e.
Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.
f.
Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan Bank Indonesia.
g.
Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
h.
Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana dibidang perbankan.
i.
Mengatur dan mengembangkan informasi antar bank.
j.
Mengambil tindakan terhadap suatu bank sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku apabila menurut penilaian Bank Indonesia dapat membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan perekonomian nasional.
35
C. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah 1.
Perlindungan Hukum Konsep perlindungan hukum menurut Sulistyandari dalam bukunya yaitu sebagai berikut: “Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.”18 Konsep tersebut ditarik dari teori keadilan menurut Aristoteles dan John Rawls yang kemudian dihubungkan dengan hukum sesuai dengan pendapat Sudikno Mertokusumo sebagaimana diuraikan sebagai berikut: “Dari uraian mengenai teori keadilan baik menurut Aristoteles dan John Rawls ada benang merah yang bisa ditarik sebagai suatu kesimpulan dari teori-teori keadilan itu, yaitu kesemuanya berbicara sesuatu hal yang sama bahwa pada hakekatnya memberikan keadilan berhubungan dengan memberikan hak dan kewajiban kepada subyek hukum apakah itu masyarakat/institusi atau individu yang diatur dalam hukum positif. Jika dikaitkan dengan perlindungan hukum, maka pada intinya hukum itu memberikan perlindungan yang berarti memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum yaitu institusi maupun individu, dan menurut Aristoteles keadilan diberikan oleh hukum tergantung hubungan mana yang diatur oleh hukum tersebut. Pengaturan hubungan adalah pengaturan kepentingan-kepentingan dari yang bersangkutan, karena hubungan-hubungan hukum adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan hukum. tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, pada satu pihak ia mempunyai hak dan pada pihak lainnya ia mempunyai kewajiban. Jika pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajiban, maka terjadilah pelanggaran hak-hak pada pihak lainnya, yang demikian disebut dengan pelanggaran
18
Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo, Laros. Hal 283.
36
hukum. Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapat perlindungan hukum.”19 Berkaitan dengan hak
dan kewajiban, pendapat
Nicolai
sebagaimana dikutip Sulistyandari dalam bukunya adalah sebagai berikut: “Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht implieert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of na laten. (Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).”20 Pendapat Philipus M. Hadjon mengenai perlindungan hukum dalam bukunya yaitu sebagai berikut: “Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan hukum bagi rakyat ini minimal ada dua pihak, dimana perlindungan hukum difokuskan pada salah satu pihak, pemerintah di satu pihak dengan tindakan-tindakannya, berhadapan dengan rakyat yang dikenai tindakan-tindakan pemerintah tersebut. Segala sarana, diantaranya peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi pengajuan keberatankeberatan oleh rakyat sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk definitif, merupakan perlindungan yang preventif. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan merupakan perlindungan hukum yang represif.”21 Sudikno Mertokusumo menjelaskan mengenai perlindungan hukum dalam bukunya sebagai berikut:
19
Ibid. Hal 282-283. Ibid. 21 Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Jakarta, Peradaban. Hal 2. 20
37
“Perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang wan prestasi.”22 Menurut Fathor Rahman yang mengutip pendapat dari Soerjono Soekanto dalam bukunya menjelaskan sebagai berikut: “Maksud perlindungan hukum adalah untuk menjamin keberadaan sesuatu hal tertentu, dimana selaras dengan fungsi hukum, yakni sebagai: (1) alat ketertiban dan keteraturan masyarakat dengan memberikan pedoman tentang bagaimana berperilaku dalam masyarakat melalui norma-norma dan perintahperintah; (2) sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial dengan sifat dan wataknya yang memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis; dan (3) sebagai sarana penggerak pembangunan melalui daya mengikat dan memaksa dari hukum tersebut.”23 Dalam makalah yang ditulis oleh Salam Nasution dengan mengutip pendapat Muchsin yang menyebutkan sebagai berikut: “Perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.”24 Hermansyah menyatakan pemikirannya mengenai perlindungan hukum bagi nasabah dalam bukunya yaitu: “Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, 22
Soedikno Mertokususmo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty. Hal. 9. 23 Fathor Rahman, 2011, Menghakimi TKI Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI, Jakarta, Pensil-324. Hal.78. 24 Agus Salam Nasution, 2012, Makalah: Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Medan, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
38
sewajarnya bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah. Dengan kata lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, maka perlindungan hukum bagi nasabah terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan.”25 Hermansyah perlindungan
yang
menjelaskan dibagi
lebih
menjadi
lanjut
mengenai
perlindungan
bentuk
langsung
dan
perlindungan tidak langsung. Yang termasuk dalam perlindungan langsung antara lain: 1) Hak Preferen nasabah Penyimpan Dana Hak preferen adalah suatu hak yang diberikan kepada seorang kreditur untuk didahulukan dari kreditur-kreditur yang lain. Dalam sistem perbankan, nasabah penyimpan merupakan kreditur yang mempunyai hak preferen, dalam arti bahwa nasabah penyimpan yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran dari bank yang sedang mengalami kegagalan atau kesulitan dalam memenuhi kewajibannya. Dasar hukumnya adalah Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Perbankan. 2) Lembaga Asuransi Deposito Sistem asuransi deposito diciptakan dalam rangka memberikan perlindungan di kemudian hari bagi kepentingan nasabah-nasabah penyimpan dari bank-bank yang mengalami kegagalan, terutama deposan yang dananya relatif kecil. Misi dari lembaga asuransi 25
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Hal. 132
39
deposito ini adalah memelihara stabilitas dari sistem keuangan negara dengan cara mengasuransikan para deposan bank dan mengurangi gangguan-gangguan terhadap perekonomian nasional yang disebabkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh perbankan. Saat ini, sistem asuransi deposito di Indonesia telah diakomodasi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Yang termasuk dalam perlindungan tidak langsung di antaranya yaitu sebagai berikut: 1) Prinsip
kehati-hatian
(prudential
principal),
dasarnya
adalah
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perbankan. 2) Batas maksimum pemberian kredit (BMPK), dasarnya adalah ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Perbankan dan SK BI No. 31/177/KEP/DIR. 3) Kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Perbankan. 4) Merger, konsolidasi dan akuisisi bank. 2.
Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah Konsep hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya sebagaimana dijelaskan Munir Fuady dalam bukunya adalah:
40
“Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dan bank terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu hubungan kontraktual dan hubungan non-kontraktual.”26 2.1 Hubungan Kontraktual Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan ataupun nasabah nondebitur-nondeposan. Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai pihak debitur. Hubungan kontrak ini bersumber dan mendasarkan hukumnya pada ketentuan-ketentuan tentang kontrak, yaitu Buku III Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan hukum sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Dengan redaksional yang berbeda Sulistyandari menyatakan sebagai berikut: “Hubungan kontraktual merupakan hubungan bank dengan nasabah penyimpan didasarkan kepada kontrak/perjanjian dalam hal ini perjanjian penyimpanan. Dalam kontrak penyimpanan ini menimbulkan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan yaitu nasabah penyimpan berhak atas pengembalian dana simpanan dan bunganya, sedangkan bank mempunyai kewajiban untuk mengembalikan dana simpanan dan bunganya.”27 26
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal. 100 Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo, Laros. Hal. 335. 27
41
2.1.1. Perjanjian Pada Umumnya Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 buku ketiga KUH Perdata tentang perikatan. Perjanjian diartikan sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.” Pengertian perjanjian tersebut menurut para sarjana mengandung kelemahan, yaitu: -
Pada kata “perbuatan”, lebih tepat jika diganti dengan kata “perbuatan hukum”, yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum. Jadi akibat hukum dikehendaki atau dianggap dikehendaki.
-
Pada pengertian tersebut seharusnya ditambah dengan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya”, sebab jika tidak ditambahkan perkataan tersebut, perumusan pengertian tadi terkesan hanya berlaku untuk perjanjian sepihak, sedangkan maksudnya juga berlaku untuk semua perjanjian, termasuk perjanjian timbal balik.
Sehingga pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih atau saling mengikatkan dirinya. Unsur-unsur Perjanjian Perjanjian mengandung unsur-unsur di dalamnya yang dapat dikelompokkan menjadi unsur essensialia, unsur naturalia dan unsur
42
accidentalia. Untuk pengertian masing-masing menurut J. Satrio dalam bukunya adalah sebagai berikut: “Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, di mana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada.” “Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undangundang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht).” “Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.”28 Unsur essensialia berkaitan dengan syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar perjanjian sah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun syarat sah perjanjian adalah: a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Mengenai sepakat dijabarkan dalama Pasal 1321-1328 KUH Perdata. Sepakat itu tidak sah jika sepakat diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Terkait dengan ketentuan ini, Pasal 1449 KUH Perdata menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dalam
28
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 67-68.
43
hal ini undang-undang memberikan suatu hak kepada pihak yang dipaksa, yang merasa khilaf dan yang ditipu untuk menuntut pembatalan perjanjian melalui pengadilan, yang berarti perjanjian yang bersangkutan tidak menjadi batal sejak semula melainkan batal oleh putusan hakim yang bersifat konstitutif atas dasar tuntutan salah satu pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat atas dasar kekhilafan, paksaan atau penipuan maka sepakatnya tidak sah sehingga perjanjian pun tidak sah, akan tetapi lahir perjanjian (ada perjanjian) meskipun sewaktu-waktu dapat dibatalkan dengan mengingat Pasal 1449 KUH Perdata. b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan diatur dalam Pasal 1329-1331 KUH Perdata. Dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatanperikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undangundang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c.
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu di sini merupakan obyek prestasi perjanjian harus tertentu. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, pokok perjanjian atau obyek prestasi perjanjian harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat
44
ditentukan. Hal ini terkait dengan pelaksanaan perjanjian. Suatu perjanjian yang obyek prestasinya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan maka perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan. Menurut para sarjana, suatu perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan sama halnya dengan tidak ada perjanjian. Dengan kata lain perjanjian seperti itu sebagai perjanjian yang tidak sah dalam arti batal demi hukum karena sejak semula dipandang tidak pernah lahir perjanjian jika tidak ada obyek prestasinya. d.
Suatu sebab yang halal Tentang sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335-1337 KUH Perdata. Disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Oleh para sarjana, kata “tidaklah mempunyai kekuatan” ditafsirkan sebagai batal demi hukum. Unsur naturalia dapat dilihat dengan contoh ketentuan dalam
Pasal 1476 KUH Perdata yaitu mengenai kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin/vrijwaren yang diatur dalam Pasal 1491 KUH Perdata, keduanya dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Unsur accidentalia dapat dicontohkan dengan pengecualian terhadap benda-benda pelengkap dalam jual beli, seperti dalam jual beli rumah, dikecualikan dalam jual beli pintu gerbang rumah tersebut. Hal tadi tidak diatur dalam undang-undang tetapi dapat disepakati para pihak.
45
Asas-asas Perjanjian Dalam perjanjian terdapat asas-asas yang melandasinya, yaitu sebagai berikut: 1) Asas konsensuil 2) Asas pacta sunt servanda 3) Asas kebebasan berkontrak Ad. 1) Asas konsensuil, bahwa pada dasarnya perjanjian timbul atau lahir sejak tercapainya sepakat. Dengan kata lain perjanjian sudah lahir apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian dan tidaklah diperlukan formalitas. Pada umumnya perjanjian dalam KUH Perdata adalah konsensuil. Asas konsensuil terdapat dalam Pasa 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 KUH Perdata. Ad. 2) Asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Mengikat berarti para pihak yang membuat perjanjian berkewajiban untuk menaati dan melaksanakan perjanjian. Asas pacta sunt servanda terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Ad. 3) Asas kebebasan berkontrak, bahwa orang bebas untuk tidak membuat atau membuat perjanjian diluar yang disebutkan dalam undang-undang, bebas untuk menentukan siapa pihaknya, isinya maupun bentuk perjanjian yang dibuatnya, asalkan tidak bertentangan dengan
46
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi pentingnya ketiga asas hukum perjanjian tersebut yaitu: asas konsensuil berkaitan dengan terjadinya/lahirnya perjanjian, asas pacta sunt servanda berkaitan dengan akibat hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi perjanjian. Wanprestasi dalam Perjanjian Subekti menjelaskan bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memenuhi prestasi yang ditentukan dalam perjanjian karena salahnya, maka ia dinyatakan wanprestasi. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi, sebagaimana yang dijanjikan; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3. Melakukan yang dijanjikan tetapi terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.29 Akibat atau hukuman bagi debitur yang wanprestasi, yaitu:
29
45.
1.
Membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditur
2.
Pembatalan perjanjian
3.
Peralihan resiko
4.
Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di pengadilan
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cetakan kesembilanbelas, Jakarta, PT. Intermasa. Hal.
47
Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi, maka kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana yang disebut Pasal 1267 KUH Perdata, yaitu: 1.
Pemenuhan perjanjian
2.
Pemenuhan perjanjian dengan ganti rugi
3.
Ganti kerugian
4.
Pembatalan perjanjian
5.
Pembatalan dengan ganti rugi
2.1.2. Perjanjian Penyimpanan Untuk melihat lebih jelas hubungan hukum antara bank dengan nasabah berkaitan dengan perjanjian penyimpanan yang mendasarinya, dapat disimak pasal-pasal dalam Undang-Undang Perbankan berikut ini: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” “Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.” “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.”
48
“Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.” “Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.” “Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk Deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.” “Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.” Sulistyandari menyimpulkan bahwa: “Dari pasal-pasal tersebut dapat terlihat bahwa hubungan bank dengan nasabah penyimpan berdasarkan perjanjian/kontrak yang disebut perjanjian penyimpanan dana. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian penyimpanan dana diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Tidak ada ketentuan di dalam Undang-Undang Perbankan bahwa perjanjian penyimpanan dana harus dibuat secara tertulis seperti dalam perjanjian kredit.”30 Dari pengertian sebelumnya, simpanan Giro mempunyai ciri-ciri dapat dilakukan penarikan setiap saat, menggunakan sarana perintah pembayaran giral seperti cek, bilyet giro atau dengan pemindahbukuan. Sedangkan simpanan Deposito mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan simpanan lainnya yaitu penarikan hanya dapat dilakukan pada 30
Op cit. hal. 295.
49
jangka waktu tertentu sesuai yang telah diperjanjikan sebelumnya antara bank dengan nasabah. Dengan adanya ketentuan tersebut, nasabah penyimpan berhak atas bunga dari simpanannya sesuai dengan perjanjian. Sertifikat Deposito berbeda dengan Deposito, namun pada dasarnya ketentuannya sama, yaitu hanya dapat dilakukan penarikan pada waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan. Perbedaannya yaitu, sertifikat bukti simpanan tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Untuk simpanan Tabungan, ciri-cirinya hampir sama dengan Giro, hanya dalam penarikannya tidak menggunakan sarana perintah pembayaran giral seperti cek atau bilyet giro. Nasabah penyimpan Tabungan berhak menarik simpanannya setiap saat dan memperoleh bunga simpanan sesuai dengan yang diperjanjikan. Dari perbedaan masing-masing bentuk simpanan tadi, dapat disimpulkan bahwa perjanjian penyimpanan antara bank dengan nasabah penyimpan
untuk
masing-masing
bentuk
simpanan
berbeda
ketentuannya. Sehingga bentuk perjanjiannya juga berbeda. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewajiban pihak bank dan nasabah penyimpan. Perjanjian penyimpanan termasuk dalam perjanjian tak bernama. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyebutkan dua kelompok perjanjian yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Dalam bukunya, J. Satrio menjelaskan pengertian masingmasing, yaitu:
50
“Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.” “Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum mendapat pengaturannya secara khusus dalam undang-undang”31 Sulistyandari mengutip pendapat J. Satrio mengenai perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama sebagai berikut: “Mengenai perjanjian diatur dalam KUH Perdata,dimana dalam Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua kelompok perjanjian yaitu perjanjian bernama (benoemde atau nominaat contracten) dan perjanjian tak bernama. Perbedaan perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama terletak bahwa pada perjanjian bernama adalah perjanjian yang diberi nama oleh undang-undang dan mendapat pengaturan secara khusus dalam titel V sampai titel XIX Buku III KUH Perdata, KUHD, dan perundang-undangan yang lain, sehingga untuk perjanjian bernama selain tunduk kepada pengaturan secara khusus tersebut yang menyimpang dari ketentuan umum juga dapat tunduk pada ketentuan umum titel I, II, IV Buku III KUH Perdata, karena ketentuan umum tersebut berlaku bagi semua perjanjian.”32 Sulistyandari menyimpulkan dan mengaitkan dengan perjanjian penyimpanan sebagai berikut: “Dengan demikian perjanjian tak bernama tunduk pada ketentuan umum titel I, II, IV KUH Perdata. Perjanjian penyimpanan dana merupakan perjanjian yang tidak mendapat pengaturan secara khusus dalam KUH Perdata, KUHD maupun Undang-Undang Perbankan. Oleh karena ketentuan umum perjanjian dalam KUH Perdata tersebut berlaku bagi semua perjanjian, maka termasuk berlaku pula bagi perjanjian penyimpanan dana.”33
31
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Bandung, Citra Aditya Bakti. Hal. 149. 32 Op Cit, Sulistyandari. Hal. 296. 33 Ibid. Hal.
51
Daniel Djoko Tarliman menyatakan pendapat yang sama dengan Sulistyandari bahwa Perjanjian Penyimpanan termasuk dalam perjanjian tak bernama dalam disertasinya yang berjudul “Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia” sebagai berikut: “Perjanjian Penyimpanan dana termasuk jenis tidak bernama yang sifatnya sui generis dalam arti tunduk pada ketentuan umum dari suatu perjanjian sedangkan ketentuan perjanjian bernama dipakai secara analogi.”34 2.1.3. Transaksi Elektronik Pengertian transaksi elektronik diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, selanjutnya disebut Undang-Undang ITE, sebagaimana disebutkan sebagai berikut: “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media lainnya.” Pengaturan lebih lanjut mengenai transaksi elektronik dijabarkan dalam Pasal 15 sampai Pasal 22 Undang-Undang ITE. Pasal
15
menjelaskan
mengenai
penyelenggaraan
sistem
elektronik secara umum berkaitan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik. Pasal 16 menjelaskan mengenai syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi dalam menyelenggarakan sistem elektronik. Pasal 17 34
Daniel Djoko Tarliman, 2008, Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia, Ringkasan Disertasi yang tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya
52
menjelaskan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik yang dapat dilakukan dalam lingkup publik maupun privat. Pasal 18 menjelaskan bahwa transaksi elektronik harus dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik yang mengikat para pihak serta pilihan penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa antara para pihak. Pasal 19 menentukan bahwa dalam melakukan transaksi elektronik para pihak harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. Adapun pengertian Sistem Elektronik diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang ITE, sebagai berikut: “Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik menganalisis,
yang
berfungsi
menyimpan,
mempersiapkan, menampilkan,
mengolah,
mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.” Pasal 20 mengatur mengenai terjadinya transaksi elektronik berkaitan dengan penawaran dan penerimaan dalam transaksi elektronik. Pasal 21 mengatur mengenai pihak yang melakukan transaksi elektronik, pihak yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dan akibat hukumnya. Kemudian Pasal 22 mengatur tentang penyelenggara transaksi elektronik. Berkaitan dengan perbankan, transaksi elektronik dapat dilakukan dengan media APMK, salah satunya Kartu ATM. Masing-masing pengertian APMK dan Kartu ATM diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang APMK sebagai berikut:
53
“Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet.” “Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan.” Penggunaan Kartu ATM ini melalui sistem switching yang merupakan jasa Perusahaan Switching, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK sebagai berikut: “Perusahaan Switching adalah perusahaan yang menyediakan jasa switching atau routing atas transaksi elektronik yang menggunakan APMK melalui terminal seperti ATM atau Electronic Data Captured (EDC) dalam rangka memperoleh otorisasi dari Penerbit.” 2.2 Hubungan Non-kontraktual Dalam bukunya Munir menjelaskan berkaitan dengan hubungan non-kontraktual sebagai berikut: “Hubungan non kontraktual antara bank dan nasabah, dibagi menjadi 6 (enam) jenis hubungan hukum, yaitu: 1) Hubungan Fidusia (Fiduciary Relation) 2) Hubungan Konfidensial 3) Hubungan Bailor-Bailee 4) Hubungan Pricipal-Agent 5) Hubungan Mortgagor-Mortgagee, dan 6) Hubungan Trustee-Beneficiary 35
35
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal. 104
54
Di
Indonesia,
hubungan-hubungan
sebagaimana
yang
disebutkan dalam nomor 3 sampai nomor 6 tidak secara tegas diakui dalam hukum, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak. Hubungan kontraktual lainnya dapat dilihat dari adanya kewajiban bagi para pihak bank untuk menyimpan rahasia bank yang tidak diperjanjikan sama sekali. Sulistyandari
berpendapat
mengenai
hubungan
non-
kontraktual di dalam bukunya sebagai berikut: “Hubungan non kontraktual adalah hubungan nasabah penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis/peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan. Dalam peraturan perundangundangan perbankan di Indonesia, hubungan non kontraktual ini bisa dilihat antara lain dalam Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang BI beserta peraturan pelaksananya antara lain: hubungan kepercayaan (fiduciary relation) yaitu hubungan antara nasabah penyimpan dengan bank dan hubungan bank dengan nasabah debitur dimana nasabah penyimpan mempercayakan dananya kepada bank untuk dikelola dan bank kemudian mempercayakan dana yang dihimpunnya untuk disalurkan kepada nasabah debitur untuk dikelola pula, hubungan kepercayaan ini merupakan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan sehingga menimbulkan hubungan hukum antara nasabah penyimpan dengan bank, dan bank dengan nasabah debitur; hubungan kehati-hatian (prudential relation) yaitu hubungan antara bank dengan pemerintah (BI sebagai pengatur dan pengawas perbankan) diman bank dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib mentaati peraturan yang telah ditentukan oleh pemerintah/BI seperti peraturan tentang perizinan, peraturan tentang kesehatan bank, hubungan kehati-hatian ini merupakan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang BI dan Undang-Undang Perbankan sehingga menimbulkan hubungan hukum antara bank dan dengan pemerintah/BI;
55
hubungan kerahasiaan (confidential relation) merupakan hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana dimana bank wajib merahasiakan nasabah penyimpan dan simpanannya, hubungan kerahasiaan ini merupakan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan sehingga menimbulkan hubungan hukum bank dengan nasabah penyimpan.”36 Dalam hubungan non kontraktual yang telah disebutkan sebelumnya, dinyatakan bahwa hubungan antara nasabah dan bank bisa muncul karena adanya hukum tertulis/peraturan perundangundangan yang mengaturnya atau hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan. 2.2.1. Hubungan Nasabah dengan Bank Berdasarkan UndangUndang Perbankan Dalam
Undang-Undang
Perbankan
disebutkan
bahwa
kegiatan usaha bank yang utama adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan maka hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dilahirkan/didasarkan dari perjanjian penyimpanan dana seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa bank berkedudukan sebagai pihak debitur, karena
bank
mengembalikan
36
Ibid. Hal. 335-336.
adalah
sebagai
simpanan
pihak
nasabah
yang
penyimpan
berkewajiban sesuai
yang
56
diperjanjikan dan nasabah penyimpan berkedudukan sebagai pihak kreditur, karena nasabah penyimpan adalah sebagai pihak yang berhak atas pengembalian simpanannya dari bank sesuai dengan yang diperjanjikan. Hubungan antara bank dengan nasabah tidak hanya hubungan antara orang perseorangan dalam lingkup perdata saja, tetapi juga terdapat hubungan non kontraktual yang sering disebut asas-asas khusus dari hubungan bank dengan nasabah, meliputi: a.
Hubungan kepercayaan yang dapat disimpulkan dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan.
b.
Hubungan kerahasiaan yang diatur dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 41A,Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 47A dan Pasal 51 Undang-Undang Perbankan.
c.
Hubungan kehati-hatian yang disimpulkan dari Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 29 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Perbankan.
d.
Hubungan menjamin dana simpanan yang diatur dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan
2.2.2. Hubungan Nasabah dengan Bank Berdasarkan UndangUndang Perlindungan Konsumen Dilihat dari sisi berbeda dari dunia perbankan, hubungan antara nasabah dan bank juga merupakan hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha. Nasabah sebagai pengguna jasa dari bank
57
selaku pelaku usaha yang menyediakan jasa. Adapun pengertian dari perlindungan konsumen itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disebut Undang-Undang PK, yaitu: “Perlindungan
konsumen
adalah
segala
upaya
yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.” Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan pengertian konsumen sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Celina Tri Siwi Kristiyanti menjabarkan unsur “setiap orang” dari pengertian konsumen dalam bukunya, yaitu: “a. Setiap Orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk pelaku usaha yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.”37 37
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Sinar Grafika. Hal. 27.
58
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UndangUndang PK adalah sebagai berikut: a.
Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur dan tidak diskriminatif;
h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Adapun mengenai kewajiban konsumen yang dijelaskan
dalam Pasal 5 Undang-Undang PK, yakni:
59
a.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pengertian pelaku usaha diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang PK, yaitu: “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang.” Hak dari pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang PK yaitu: a.
Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
60
d.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Adapun kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal
7 Undang-Undang PK, yaitu: a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
61
g.
Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
62
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menjelaskan sebagai berikut: “Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.”38
B. Spesifikasi Penelitian Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan sebagai berikut: “Terdapat tiga tipe penelitian hukum yang dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum yang normatif yang di dalam kepustakaan AngloAmerican disebut sebagai legal-research, yaitu: (1) Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif; (2) Penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif; (3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.”39 Berdasarkan pendapat Ronny Hanitijo Soemitro tersebut, spesifikasi penelitian ini adalah penelitian penemuan hukum in concreto, dari kasus yang diteliti
38
kemudian
dicari
mengenai
ketentuan-ketentuan
hukumnya
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, CV. Rajawali. Hal.15. 39 Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia. Hal. 10.
63
berdasarkan norma-norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin hukum.
C. Sumber Bahan Hukum Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 8) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 9) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
64
10) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
7/7/PBI/2005
tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah 11) Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
11/11/PBI/2009
tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu 12) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
11/11/PBI/2009
tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder meliputi: 1) Literatur atau buku pustaka yang berkaitan dengan hukum dan topik penelitian, di antaranya tentang hukum perbankan, hukum perlindungan konsumen, hukum perikatan, perlindungan hukum. 2) Jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian, seperti hasil penelitian di bidang perbankan, tesis tentang perlindungan nasabah bank. 3) Makalah yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu makalah berkaitan dengan teknologi sistem komputer, fasilitas ATM. 4) Bahan hukum dari internet yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu mengenai kasus-kasus berkaitan dengan ATM, dunia perbankan.
65
5) Dokumen dari bank yang berkaitan dengan kasus yang diteliti, yaitu slip tanda bukti transaksi dan rekening koran serta form pembukaan rekening dan pembuatan kartu ATM. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tertier meliputi: 1) Kamus Besar Bahasa Indonesia 2) Kamus Perbankan
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini digunakan metode kepustakaan dan metode dokumenter. Metode kepustakaan yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka seperti literatur, perundangundangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dan sebagainya. Dari metode ini diperoleh peraturan perundang-undangan tentang perbankan, hasil penelitian juga jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode dokumenter yaitu suatu cara pengumpulan data dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah seperti putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, buku harian, foto, risalah rapat, laporan-laporan, mass media, internet, pengumuman, instruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah, dan sebagainya. Dengan metode ini diperoleh data dari internet berupa
66
pernyataan dalam blog, artikel-artikel terkait baik dengan kasus maupun penjabaran materi tentang perbankan dan fasilitasnya.
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum Metode pengolahan data dalam penelitian ini adalah metode reduksi data, yaitu suatu kegiatan memilih, merangkum, dan memfokuskan hal-hal yang pokok dan penting dari sekumpulan bahan hukum, sehingga menjadi ringkas yang disusun secara sistematis dan mudah dipahami.
F. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis normatif kualitatif adalah menganalisis data dengan cara mendiskusikan atau mendialogkan data dengan norma-norma dan teori-teori hukum serta doktrin-doktrin hukum, kemudian dari dialog tersebut diperoleh suatu kesimpulan.
67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN 1.
Sejarah Bank Mandiri Bank Mandiri didirikan pada 2 Oktober 1998, sebagai bagian dari program restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Pada bulan Juli 1999, empat bank pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia dan Bank Pembangunan Indonesia, digabung atau dilakukan merger menjadi Bank Mandiri, dimana masing-masing bank tersebut memiliki peran yang tak terpisahkan dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Bentuk badan hukum Bank Mandiri adalah Perseroan Terbatas sehingga bernama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kantor pusatnya berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 36-38 Jakarta. Sampai dengan hari ini, Bank Mandiri meneruskan tradisi selama lebih dari 140 tahun memberikan kontribusi dalam dunia perbankan dan perekonomian Indonesia. Hingga Desember 2011, total aset Bank Mandiri telah mencapai Rp 551,9 Triliun, dimana jumlah ini berlipat ganda dari total aset di tahun 2006 (sebesar Rp 267 Triliun), atau tumbuh 15,6% (CAGR). Ini mengukuhkan posisi Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia. Kredit Bank Mandiri juga tumbuh menjadi Rp 314,4 Triliun, meningkat 22% (CAGR) dari kredit tahun 2006 yang sebesar Rp 118 Triliun. Sedangkan net profit tumbuh
68
menjadi Rp 12,2 Triliun, meningkat 28,3% (CAGR) dari tahun 2006 yang sebesar Rp 2,4 Triliun. Selain menjadi bank pemberi pinjaman terbesar di Indonesia (secara konsolidasi), Bank Mandiri juga merupakan bank penyimpanan terbesar di Indonesia dengan dana pihak ke tiga sebesar Rp 422,3 Triliun. Bank Mandiri juga telah berhasil mempertahankan kualitas aset yang kuat, dibuktikan dengan nilai Gross dan Net NPL Ratio yang masingmasing sebesar 2,21% dan 0,52%. Salah satu momen penting dalam proses transformasi tahap ini adalah suksesnya rights issue pada Februari 2011 untuk memperkuat permodalan bank. Dengan ini, modal Bank Mandiri telah mencapai Rp 62,7 Triliun, meningkat dari 48,9% tahun ke tahun dan menjadi bank pertama di Indonesia yang meraih gelar Bank Internasional, sesuai dengan Banking Architecture atau Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
2.
Kegiatan Usaha Bank Mandiri Bank Mandiri memberikan penawaran dalam pelayanan yang diwujudkan dalam fitur-fitur yang ada. Berkaitan dengan kasus penelitian ini, fitur yang berhubungan adalah sebagai berikut: 2.1. Mandiri ATM Kartu Mandiri adalah kartu ATM dan Debit yang merupakan akses dari rekening Tabungan Mandiri dan atau Giro Mandiri rupiah perorangan menggunakan jaringan Visa/ Visa Electron dan PLUS dari Visa international. Nasabah dapat melakukan berbagai transaksi di tempat-tempat yang bertanda Visa/Visa electron atau PLUS tanpa perlu
69
membawa uang tunai. Nasabah juga dapat mengambil uang tunai melalui ATM. Mandiri ATM memberikan layanan transaksi sebagai berikut:
Tarik tunai, informasi saldo dan transfer.
Pembayaran / payment meliputi tagihan kartu kredit, listrik, gas, internet, pendidikan, PAM, pajak, angsuran, pinjaman bank, asuransi, tiket pesawat, tiket kereta api, zakat, dan sebagainya.
Pembayaran tagihan telepon atau telepon seluler.
Isi ulang pulsa handphone.
Penggantian PIN, registrasi dan cetak bukti transaksi.
Kartu mandiri prabayar meliputi informasi saldo, top up mandiri prabayar, histori transaksi dan update saldo. Nasabah cukup mengajukan permohonan kartu Mandiri dengan
membuka rekening Mandiri Tabungan Rupiah Perorangan di cabangcabang Bank Mandiri. Untuk Nasabah yang belum memiliki Kartu Mandiri, nasabah dapat melakukan permohonan aplikasi Kartu Mandiri ATM di cabang Bank Mandiri tempat Nasabah membuka rekening. Dari aspek hukum, ketentuan yang mengatur tentang kartu ATM antara lain sebagai berikut: 2.1.1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan
Alat
Pembayaran
Dengan
Menggunakan Kartu yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012
70
Pasal 1 angka 5 Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 22 ayat (1) (1) Dalam pemberian Kartu ATM dan/atau Kartu Debit, Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko. Pasal 23 Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, paling kurang meliputi: a.
Prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debit, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debit, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debit;
b.
Hak dan kewajiban Pemegang Kartu ATM dan/atau Kartu Debit; dan
71
c.
Tata cara pengajuan pengaduan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debit sebagaimana dimaksud pada huruf a dan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut.
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a.
Menggunakan sistem yang aman dan andal;
b.
Memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi APMK;
c.
Memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan APMK; dan
d.
Menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan audit teknologi informasi secara berkala dan melaporkan hasil audit teknologi informasi tersebut kepada Bank Indonesia.
72
2.1.2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 15 (1) Setiap
Penyelenggara
Sistem
Elektronik
harus
menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. (2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan,
dan/atau
kelalaian
pihak
pengguna
Sistem
Elektronik. Pasal 16 (1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a.
dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundangundangan;
73
b.
dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c.
dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d.
dilengkapi
dengan
prosedur
atau
petunjuk
yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan e.
memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38 (1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian. (2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat
74
merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 39 (1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase, atau lembaga
alternatif
lainnya
sesuai
dengan
penyelesaian
sengketa
ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan. 2.2. Mandiri Tabungan Pelayanan yang memberikan kenyamanan bagi nasabah menjadi penawaran fitur oleh Bank Mandiri dalam salah satu produknya, yaitu Mandiri
Tabungan.
Dengan
Mandiri
Tabungan,
Bank
Mandiri
memberikan penawaran keragaman, kemudahan dan kenyamanan bertransaksi. Keragaman transaksi keuangan yang dapat dilakukan dengan layanan e-banking kapan saja dan dimana saja. Pelayanan tersebut dapat dinikmati dengan kemudahan pembuatan rekening dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
Kartu identitas yang meliputi: WNI : KTP WNA : Paspor dan KIMS/KITAS/KITAP Setoran awal minimal Rp 500.000,Saldo minimal Rp 50.000,Dikenakan biaya administrasi bulanan
75
5.
Dikenakan biaya saldo dibawah minimum 40
Dasar hukum tabungan diatur dalam Undang-Undang Perbankan yaitu: Pasal 1 angka 5 Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat
Deposito,
Tabungan,
dan/atau
bentuk
lainnya
yang
dipersamakan dengan itu. Pasal 1 angka 9 Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
3.
Kasus Kesalahan Sistem Komputerisasi Kartu ATM pada Bank Mandiri Pada tanggal 17 Januari 2012 dibuat rekening Mandiri Tabungan atas nama PUTRY JULIANNIS dengan nomor rekening 139-00 ********, selanjutnya disebut sebagai nasabah 1. Sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pihak bank, pembukaan rekening dilakukan dengan setoran awal Rp 500.000,- oleh nasabah 1. Nasabah 1 memperoleh buku tabungan setelah melakukan prosedur untuk pembukaan rekening, yaitu penyerahan kartu identitas dan pengisian formulir pembukaan rekening.
40
www.bankmandiri.co.id
76
Pihak bank menawarkan fasilitas kartu ATM untuk melengkapi layanan dan nasabah 1 memilih kartu ATM silver secara instan. Kartu yang telah tersedia untuk kartu ATM diberi input data sesuai dengan rekening nasabah pemesan, yaitu nasabah 1, oleh pegawai bank. Setelah proses input data, dibuat PIN (Personal Identification Number) sebanyak 4 (empat) digit angka. Kartu ATM silver yang dibuat secara instan siap dipakai setelah kurang lebih 1 (satu) jam sejak dibuat PIN untuk kartu tersebut. Setelah pembuatan kartu ATM, kemudian kartu ATM digunakan untuk melakukan transaksi. Transaksi pertama nasabah 1 bermaksud untuk menarik dana dari saldo tabungannya, namun tidak bisa dipenuhi dikarenakan jumlah saldo tidak mencukupi. Kemudian dilakukan cek saldo melalui ATM dan ternyata ada perbedaan data, yaitu antara saldo yang tertera pada mesin ATM dengan data saldo dalam buku tabungan. Ketika dilakukan konfirmasi kepada pihak bank, pihak bank menyatakan adanya error system mesin ATM. Kemudian dilakukan beberapa transaksi penarikan melalui ATM dan berhasil, namun masih ada perbedaan data berkaitan dengan saldo tadi. Dari data yang diperoleh penulis, perbedaan data saldo terjadi karena adanya kesalahan data pada kartu ATM, sehingga selama melakukan transaksi penarikan menggunakan kartu ATM terjadi debet rekening terhadap saldo rekening milik nasabah lain. Hal ini diketahui setelah kartu ATM tersebut tidak dapat digunakan untuk transaksi dan dilakukan pengaduan kepada pihak bank. Pihak bank menyatakan bahwa kartu ATM telah diblokir atau dibekukan oleh bank atas permintaan nasabah pemegang pada kantor
77
cabang lain. Kemudian dilakukan penelusuran data dan didapati adanya kesalahan data pada kartu ATM. Data dalam kartu ATM merupakan data atas nama PUTRI RHEINANDA dengan nomor rekening 900-00 ********, selanjutnya disebut sebagai nasabah 2. Selama menggunakan kartu ATM, transaksi penarikan yang dilakukan menyebabkan debet terhadap rekening tersebut. Kesamaan atau kemiripan data nama pemilik rekening dinyatakan oleh pihak bank sebagai penyebab tertukarnya data pada kartu ATM. Pihak bank meminta kesediaan nasabah 1 untuk mengganti dana yang telah ditarik dari rekening nasabah 2 atas transaksi penarikan yang telah dilakukan dengan cara memblokir atau membekukan saldo rekening nasabah 1. Pemblokiran dilakukan terhadap saldo sesuai dengan jumlah saldo transaksi penarikan setelah pihak bank mengkonfirmasi transaksi yang sudah dilakukan nasabah 1 berdasarkan cetakan rekening koran. Setelah pemblokiran, kemudian dana tersebut ditransfer ke rekening nasabah 2. Dari uraian kasus di atas dapat dilihat bahwa dalam kasus ini melibatkan tiga pihak, yaitu pihak bank, pihak nasabah 1 dan pihak nasabah 2. Dengan demikian, dalam kasus ini ada dua perjanjian penyimpanan, yaitu perjanjian penyimpanan antara pihak bank dengan nasabah 1 dan perjanjian penyimpanan antara pihak bank dengan nasabah 2. Dalam kasus ini, nasabah 1 merasa dirugikan karena tidak dapat menggunakan kartu ATM sebagai fasilitas atau layanan yang diberikan pihak bank untuk kemudahan dan efisiensi transaksi sebagaimana telah diperjanjikan. Sedangkan nasabah 2
78
merasa dirugikan dengan adanya dana simpanan yang hilang akibat terdebet oleh pihak lain karena tertukarnya data pada kartu ATM tersebut sebagai akibat kesalahan bank dalam hal sistem komputerisasi kartu ATM.
4.
Tanggung Jawab Pihak Bank Mandiri atas Kesalahan Sistem Komputerisasi Kartu ATM Bank Mandiri memberi pelayanan pengaduan nasabah, yang didasari dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab bank ketika terjadi masalah yang diadukan oleh pihak nasabah. Termasuk dalam kasus pada penelitian ini, yaitu terjadi kesalahan sistem komputerisasi pada kartu ATM yang menimbulkan kerugian bagi nasabah. Dari pengaduan nasabah yang diterima, pihak Bank Mandiri akan menindaklanjuti dengan memeriksa data-data yang berhubungan dengan nasabah dan masalah yang dialami, dalam hal ini adalah kesalahan sistem komputerisasi pada Kartu ATM. Kemudian pihak Bank Mandiri akan menginvestigasi dan menelusuri masalah tersebut. Setelah ditemukan sumber dari masalahnya, pihak Bank Mandiri akan menyelesaikannya berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Jika masalah tersebut merupakan kesalahan pihak nasabah, maka Bank Mandiri tidak akan bertanggung jawab. Tetapi jika masalah tersebut terbukti merupakan kesalahan pihak bank, maka pihak Bank Mandiri akan bertanggung jawab dan menyelesaikannya.
79
Tanggung
jawab
bank
berkaitan
dengan
kesalahan
sistem
komputerisasi diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 4.1 Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
11/11/PBI/2009
tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 Pasal 38 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, Pasal, 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 15A, Pasal 16, Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 17, Pasal 17A, Pasal 17B, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 29A, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 58B dikenakan sanksi administratif berupa: a.
Teguran;
b.
Denda;
c.
Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK; dan/atau
d.
Pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK.
(2) ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
80
4.2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Tanggung jawab bank sebagai pelaku usaha dilandasi dengan adanya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang diatur sebagai berikut: Pasal 4 Hak konsumen adalah: a.
hak
atas
kenyamanan,
keamanan
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak
untuk
mendapatkan
kompensasi,
ganti
rugi
dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
81
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7 Kewajiban pelaku usaha adalah: a.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi
atas
barang
yang
dibuat
dan/atau
yang
diperdagangkan; f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
82
Pasal 19 a.
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang
dan/atau
jasa
yang
dihasilkan
atau
diperdagangkan. b.
Ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
c.
Tenggat waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d.
Pemberian
ganti
kerugian
tersebut
tidak
menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. e.
Ketentuan di atas tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pada kasus dalam penelitian ini, upaya Bank Mandiri dalam
mempertanggungjawabkan kesalahannya dalam sistem komputerisasi kartu ATM dilakukan dengan menyelesaikan kasus tersebut secara administrasi dan mengganti kerugian. Adapun rincian proses penyelesaian kasus pada penelitian ini yang dilakukan oleh Bank Mandiri adalah sebagai berikut: -
Pada bulan Maret nasabah 1 mengadukan perihal kartu ATM yang tidak bisa digunakan untuk transaksi karena dinyatakan telah diblokir.
83
-
Pihak
bank
menyatakan
adanya
kesalahan
data
pada
sistem
komputerisasi kartu ATM, yaitu data yang tertukar dengan data nasabah lain, dalam hal ini nasabah 2, dengan faktor kemiripan nama dalam data rekening. -
Pihak bank menarik kartu ATM nasabah 1 dan menggantinya dengan kartu ATM yang baru.
-
Pihak bank meminta kesediaan nasabah 1 untuk mengganti uang sejumlah saldo yang terdebet dari rekening nasabah 2 atas transaksi yang dilakukan nasabah 1
dengan
memblokir
saldo
rekening
yang
bersangkutan. -
Pihak bank meminta waktu untuk proses penyelesaian secara administratif.
-
Nasabah 1 menanyakan beberapa kali mengenai penyelesaian masalah tersebut selama kurun waktu 6 bulan.
-
Pihak bank menyelesaikan kasus tersebut pada tanggal 9 Oktober 2012 berdasarkan tanda bukti dari bank berupa slip advis debet atau debit advice form tertanggal 9 Oktober 2012 yang menyatakan berdasarkan kesalahan prosedur link ATM instan melakukan debet terhadap rekening nasabah 1 dan kredit dengan jumlah yang sama terhadap rekening nasabah 2.
84
B. PEMBAHASAN 1.
Tanggung Jawab Pihak Bank atas Kesalahan Sistem Komputerisasi Kartu ATM ditinjau dari Ketentuan Perlindungan Nasabah Roscoe Pound berpendapat mengenai pengertian tanggung jawab yang dikutip oleh Deasy Risma Rotua Siahaan dalam tesisnya yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna ATM (Automated Teller Machines) Dalam Sistim Perbankan Indonesia, sebagai berikut: “Tanggung jawab adalah mengenai kewajiban untuk menebus (mengganti) terhadap apa yang telah dilakukannya yang menimbulkan kerugian. Dasar pertanggungjawaban adalah kewajiban membayar ganti rugi atas tindakan yang menimbulkan kerugian, dan kewajiban untuk melaksanakan janji yang telah dibuat. Pertanggungjawaban harus didasarkan atas satu perbuatan, dan perbuatan itu haruslah perbuatan alpa. Perbuatan kealpaan dan penyebab kerugian adalah unsurnya.”41 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab merupakan kewajiban untuk mengganti atau menebus atas kerugian yang ditimbulkan atas suatu tindakan yang telah dilakukan, baik kerugian tersebut timbul dari tidak dipenuhinya perjanjian maupun karena pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengingat dalam penelitian ini akan dibahas mengenai tanggung jawab pihak bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM ditinjau dari ketentuan perlindungan nasabah, maka berikut ini akan dijelaskan tentang konsep perlindungan hukum. 41
Deasy Risma Rotua Siahaan, 2008, Tesis: Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna ATM (Automated Teller Machines) Dalam Sistim Perbankan Indonesia, Medan, Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
85
Philipus M. Hadjon berpendapat sebagai berikut: “Perlindungan hukum dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.”42 Menurut Sudikno: “Perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku disertai sanksi-sanksi bila ada yang wan prestasi.”43 Menurut Fathor Rahman yang mengutip pendapat dari Soerjono Soekanto: “Maksud perlindungan hukum adalah untuk menjamin keberadaan sesuatu hal tertentu, dimana selaras dengan fungsi hukum, yaitu sebagai alat ketertiban dan keteraturan, sebagai sarana mewujudkan keadilan sosial dan sebagai sarana penggerak pembangunan.”44 Menurut pendapat Salam Nasution yang mengutip dari pendapat Muchsin: “Perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.”45
42
Op Cit. M. Philipus Hadjon. Op Cit. Sudikno Mertokusumo. 44 Op Cit. Fathor Rahman. 45 Op Cit. Agus Salam Nasution. 43
86
Hermansyah membagi perlindungan hukum bagi nasabah bank menjadi dua, yaitu perlindungan langsung dan perlindungan tidak langsung. Yang termasuk dalam perlindungan langsung yaitu hak preferen nasabah bank dan lembaga penjamin simpanan. Perlindungan tidak langsung meliputi prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan bank, batas maksimum pemberian kredit, kewajiban bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, serta adanya merger, konsolidasi dan akuisisi bank.46 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep Sulistyandari mengenai perlindungan hukum yaitu: “Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.”47 Mengenai hak dan kewajiban, Sulistyandari menguraikan berdasarkan pendapat Nicolai: “Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.”48 Perlindungan hukum timbul karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya menurut Sulistyandari ada 2, yaitu hubungan kontraktual dan hubungan non-kontraktual. Secara singkat, hubungan kontraktual merupakan 46
Op Cit. Hermansyah. Op Cit. Sulistyandari. Hal 283. 48 Ibid. 47
87
hubungan yang mendasarkan pada perjanjian antara bank dengan nasabah. Sedangkan hubungan non-kontraktual adalah hubungan antara bank dan nasabah yang timbul karena undang-undang atau kebiasan yang berlaku dalam perbankan. Hubungan kontraktual dalam hal ini adalah hubungan yang timbul dari perjanjian penyimpanan dana antara bank dengan nasabah, kemudian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya. Adapun hak dari nasabah adalah mendapat pengembalian dana simpanan beserta bunga yang telah disepakati dan kewajiban pihak bank adalah mengembalikan dana simpanan nasabah tersebut.49 Pada kasus dalam penelitian ini, hubungan hukum yang ada adalah perjanjian penyimpanan dana antara bank dengan nasabah 1 dan perjanjian pernyimpanan dana antara bank dengan nasabah 2. Masing-masing berdasarkan perjanjian penyimpanan dana tersebut, dimana simpanan dana disini adalah dalam bentuk tabungan, antara bank dengan nasabah 1 timbul hak dan kewajiban. Hal tersebut berlaku pula antara bank dengan nasabah 2. Hak dari masing-masing nasabah dalam perjanjian penyimpanan dana ini adalah pengembalian dana simpanan beserta bunga yang telah disepakati. Hak nasabah tersebut menjadi kewajiban bagi pihak bank untuk mengembalikan dana simpanan beserta bunga yang telah disepakati. Menurut data nomor 2.2 yaitu Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan pengertian Simpanan adalah sebagai berikut:
49
Ibid. Hal. 299.
88
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarlan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.” Adapun pengertian Tabungan diatur dalam Pasal 1 angka 9 UndangUndang Perbankan, yaitu sebagai berikut: “Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.” Dari pengertian tersebut dapat dilihat karakteristik tabungan yaitu penarikan dana yang dapat dilakukan setiap saat tanpa menggunakan sarana perintah pembayaran seperti yang disebutkan. Penarikan dana simpanan tabungan dapat ditarik melalui teller pada kantor bank, atau juga dapat melalui ATM dengan menggunakan kartu ATM. Terkait dengan kasus sebagaimana data nomor 3 dalam hasil penelitian, kesalahan data pada kartu ATM telah menimbulkan kerugian, baik bagi pihak nasabah 1 maupun bagi pihak nasabah 2. Dalam membahas kasus ini, pertama-tama akan dianalisis dari hubungan kontraktual terlebih dahulu. Hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah dituangkan dalam perjanjian penyimpanan dana. Berdasarkan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian penyimpanan dana antara bank dengan nasabah, nasabah 1 berhak untuk mengambil uang simpanan dan bunga yang telah disepakati
89
sebelumnya, melalui ATM. Tetapi nasabah 1 tidak dapat mengambil simpanannya
melalui
ATM
sebagai
akibat
dari
kesalahan
sistem
komputerisasi oleh bank. Namun demikian, nasabah 1 masih dapat menggunakan haknya tadi melalui teller. Sehingga dari perjanjian penyimpanan tidak ada pelanggaran atau wanprestasi. Hanya saja disini nasabah 1 merasa dirugikan tidak dapat menggunakan kartu ATM sebagai fasilitas dari bank sebagaimana yang sudah diperjanjikan. Ditinjau dari perjanjian penyimpanan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, telah disebutkan di atas bahwa hak nasabah adalah pengembalian dana simpanan yang disimpan di bank beserta bunganya, dan kewajiban pihak bank adalah mengembalikan dana simpanan tersebut beserta bunganya. Kesalahan sistem komputerisasi oleh bank menyebabkan dana simpanan nasabah 2 hilang akibat terdebet oleh pihak lain, dalam hal ini oleh nasabah 1. Kemudian nasabah 2 mengadukan hal tersebut kepada bank. Pihak bank mengembalikan dana simpanan nasabah 2 tadi, dengan cara memblokir saldo rekening nasabah 1 dan memindahkan dana tersebut ke rekening nasabah 2, sehingga dana simpanan nasabah 2 telah dikembalikan oleh pihak bank. Dari uraian tersebut, bank telah memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian penyimpanan dana terhadap nasabah 2, maka bank tidak melanggar atau melakukan wan prestasi. Dari data nomor 3 yaitu kasus kesalahan sistem komputerisasi oleh bank dikaitkan dengan pendapat Sulistyandari tentang perlindungan hukum berdasarkan hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah serta hak dan
90
kewajiban
yang
timbul
dari
perjanjian
penyimpanan,
maka
dapat
dideskripsikan bahwa bank tidak melanggar kewajibannya, karena bank telah memenuhi prestasi, yaitu mengembalikan dana simpanan serta bunga yang telah disepakati kepada nasabah. Kesalahan data sistem komputerisasi kartu ATM yang menimbulkan kerugian bagi nasabah sebagaimana data nomor 3, hal ini bukan merupakan pelanggaran terhadap hak nasabah berdasarkan perjanjian penyimpanan yang merupakan hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah, melainkan berkaitan dengan hubungan non-kontraktual antara bank dengan nasabah. Hubungan non-kontraktual antara bank dengan nasabah timbul dari peraturan perundang-undangan dan kebiasaan yang berlaku di bidang perbankan. Adapun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian di sini antara lain Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang BI beserta peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang PK. Dalam Undang-Undang Perbankan dikenal asas perbankan yaitu asas demokrasi ekonomi dengan penerapan prinsip kehati-hatian. Asas perbankan ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan. Prinsip kehati-hatian erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat dan tingkat kesehatan bank. Hal ini berkaitan dengan dana yang dipercayakan masyarakat kepada pihak bank yang juga menjadi indikasi tingkat kesehatan bank. Ronny Sautma Hotma menyatakan pendapat yang dikutip oleh Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman mengenai prinsip kehati-hatian sebagai berikut:
91
“Adanya prinsip kehati-hatian bertujuan agar bank yang menggunakan dana nasabah akan mampu membayar kembali dana tersebut yang disimpan kepadanya apabila ditagih oleh para nasabah penyimpan dana.”50 Dengan prinsip kehati-hatian, bank diwajibkan untuk bertindak secara hati-hati, cermat, teliti, dan bijaksana atau tidak ceroboh dengan meminimalisir kemungkinan risiko yang akan terjadi dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Berlandaskan prinsip kehatihatian ini, bank juga harus memperhatikan dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan dalam melaksanakan kegiatan usahanya sehingga setiap tindakannya harus berdasarkan peraturan dan memperoleh kepastian hukum, yang kesemuanya merupakan
tindakan
dalam
rangka
memberikan
perlindungan
bagi
kepentingan nasabah dan dana simpanannya. Selain adanya prinsip kehati-hatian, pengawasan terhadap bank juga diperlukan untuk menjaga kestabilan dan kesehatan bank. Sebagaimana tujuan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, yaitu mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Tujuan BI ini diwujudkan melalui tugas-tugasnya yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Dari tugas-tugas tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan pelaksana
50
Op Cit. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Hal. 27.
92
yang memuat ketentuan-ketentuan berkaitan dengan perbankan. Mengingat pada prinsip kehati-hatian, peraturan pelaksana tersebut wajib dilaksanakan oleh bank dalam melakukan kegiatan usahanya, karena berpengaruh pada kepercayaan masyarakat dan tingkat kesehatan bank itu sendiri. Tugas BI yang kedua adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Berdasarkan tugas tersebut BI mengeluarkan peraturan untuk mengatur sistem pembayaran. Hal ini berhubungan dengan kartu ATM merupakan salah satu jenis Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) sebagaimana yang diatur dalam data nomor 2.1.1 pada hasil penelitian ini, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012. Dalam Pasal 1 angka 3 disebut pengertian APMK, yaitu sebagai berikut: “Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debit.” Berdasarkan konsiderans dalam Peraturan Bank Indonesia tentang APMK bahwa aspek kehati-hatian dan aspek perlindungan konsumen perlu lebih diperhatikan, maka dalam peraturan ini terdapat ketentuan pada Pasal 23 sebagaimana data nomor 2.1.1, mengenai kewajiban pihak bank sebagai penerbit Kartu ATM dan/atau Katu Debit dalam memberikan informasi kepada nasabah pemegang kartu. Di samping itu, dalam Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK, sebagaimana data nomor 2.1.1, yang
93
merupakan ketentuan Pengawasan oleh BI, diatur mengenai kewajiban pihak bank yang berperan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Selain ketentuan di atas, data nomor 2.1.1 dalam hasil penelitian ini juga memuat ketentuan Pasal 29 mengenai Peningkatan Keamanan Teknologi, yang mewajibkan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir berkaitan dengan peningkatan keamanan teknologi, yaitu: a.
menggunakan sistem yang aman dan andal;
b.
memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi APMK;
c.
memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan APMK; dan
d.
menjaga keamanan dan kerahasiaan data. Adapun yang dimaksud dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang diatur dalam Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK adalah sebagai berikut: “Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang kerja sama antar anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.” “Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan APMK.” “Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang:
94
a.
b.
melakukan kerja sama dengan pedagang sehingga pedagang mampu memproses transaksi dari APMK yang diterbitkan oleh pihak selain Acquirer yang bersangkutan; dan bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran kepada pedagang.”
“Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK.” “Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring.”
Dalam penjelasan Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK, yang dimaksud dengan “aman” adalah sistem elektronik yang digunakan terlindungi secara fisik dan nonfisik. Sedangkan yang dimaksud dengan “andal” adalah sistem elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Berkaitan dengan teknologi informasi, dalam penjelasan umum Peraturan Bank Indonesia tentang APMK disebutkan bahwa dari sisi aspek perlindungan kepada para pemegang APMK, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Penerbit, dalam hal ini bank, untuk menyesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang baru di bidang informasi dan transaksi elektronik dalam data nomor 2.1.2 dalam hasil penelitian ini, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE).
95
Berdasarkan uraian ketentuan dalam data nomor 2.1.1 yaitu Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK dan data nomor 2.1.2 yaitu Pasal 15 Undang-Undang ITE, dapat disimpulkan bahwa bank wajib menggunakan sistem teknologi dan elektronik yang aman dan andal dalam rangka melindungi nasabah pada umumnya, khususnya nasabah pemegang kartu ATM. Untuk memenuhi kriteria sistem teknologi dan elektronik yang aman dan andal, maka bank harus memenuhi syarat-syarat minimum dalam mengoperasikan sistem teknologi dan elektronik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang ITE. Dalam buku karangan Munir Fuady yang berjudul Hukum Perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat Advance), disebutkan mengenai teori hukum yang menentukan siapa yang bertanggung jawab secara hukum terhadap kekeliruan/penipuan dalam hal transfer dana lewat bank, yaitu sebagai berikut: 1.
2.
Dalam melaksanakan transaksi transfer uang, termasuk dalam memilih alat kirim yang cocok, selaku lembaga bisnis, bank memiliki kewajiban untuk berhati-hati (reasonable care). Jika bank secara hukum dianggap lengah, maka bank tersebut harus bertanggung jawab. Dimungkinkan diberikan pembebasan tanggung jawab (disclaimer) kepada bank jika terjadi penipuan/kekeliruan dan hal mana harus ditentukan dengan tegas dalam kontrak yang tertulis.51
Teori tersebut dapat dianalogikan terhadap kasus pada penelitian ini yaitu kesalahan bank dalam sistem komputerisasi. Bank telah dinyatakan lalai
51
Munir Fuady, 2001, Hukum Perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat Advance), Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal. 126.
96
atau lengah sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah, maka bank harus bertanggung jawab. Dari data nomor 2.1.1 yaitu Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK dan data nomor 2.1.2 yaitu Pasal 15 dan Pasal 16 UndangUndang ITE, serta analogi dari teori yang dikemukakan oleh Munir Fuady, maka dapat dideskripsikan bahwa dikarenakan bank wajib menerapkan sistem teknologi dan elektronik yang aman dan andal dalam menyelenggarakan kegiatan APMK, dengan demikian kesalahan data sistem komputerisasi pada kartu ATM merupakan kesalahan akibat kelalaian pihak bank dalam hal sistem komputerisasi. Kesalahan tersebut telah melanggar ketentuan yang disebutkan di atas sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah. Berdasarkan uraian berkaitan dengan kerugian di atas, dapat disimpulkan menurut teori tanggung jawab Roscoe Pound yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tanggung jawab merupakan kewajiban untuk mengganti atau menebus atas tindakan yang telah dilakukan dan menimbulkan kerugian, baik kerugian tersebut timbul karena tidak dipenuhinya
perjanjian
atau
karena
melanggar
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Bank lalai dan telah melanggar ketentuan peraturanperundang-undangan, maka bank harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh nasabah akibat kelalaian tersebut. Adapun kerugian yang dialami nasabah 1 dan nasabah 2 berbeda sebagaimana data nomor 3 pada hasil penelitian ini, maka tanggung jawab dalam mengganti kerugian tersebut juga berbeda. Terhadap nasabah 1 yang mengalami kerugian tidak dapat
97
menggunakan kartu ATM yang dipegang sebagaimana mestinya, maka bank harus menyelesaikan secara administratif dan mengganti kartu ATM tersebut dengan kartu ATM yang baru. Terhadap nasabah 2 yang mengalami kerugian hilangnya dana simpanan dalam rekening tabungannya, maka bank wajib menyelesaikan masalah tersebut, baik secara administratif maupun mengganti kerugian yang dialami oleh nasabah 2. Selain tanggung jawab terhadap nasabah,
bank juga harus
bertanggung jawab kepada BI sebagai bank pengawas. Dari data nomor 4.1 yaitu Pasal 38 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK, dikaitkan dengan pelanggaran terhadap ketentuan data nomor 2.1.1 yaitu Pasal 29 Peraturan bank Indonesia tentang APMK, dapat disimpulkan bank akan diberi sanksi oleh BI yaitu sanksi administratif berupa teguran, denda, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK, dan/atau pencabutan ijin penyelenggaraan kegiatan APMK. Ditinjau dari Undang-Undang PK sebagaimana data nomor 4.2 yaitu Pasal 4 Undang-Undang PK mengenai hak konsumen dan Pasal 7 UndangUndang PK mengenai kewajiban pelaku usaha, dikaitkan dengan data nomor 3 pada penelitian ini, yaitu kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM oleh bank, maka dapat dideskripsikan bahwa bank telah melanggar hak nasabah sebagai konsumen sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 huruf a, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi jasa kartu ATM, khususnya terhadap hak nasabah 1. Selain itu bank sebagai pelaku usaha juga melanggar ketentuan Pasal 7 huruf d Undang-Undang PK
98
yaitu kewajiban untuk menjamin mutu jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, hal ini dikaitkan kesalahan dengan sistem komputerisasi oleh bank menunjukkan bahwa bank tidak bisa menjamin mutu dari jasa yang diberikannya, yaitu kartu ATM. Dari uraian di atas dikaitkan dengan data nomor 4.2 yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-Undang PK mengenai tanggung jawab pelaku usaha, menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen karena barang atau jasa yang dihasilkan. Adapun ketentuan ganti rugi tersebut adalah sebagai berikut: a.
Ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
b.
Tenggat waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
c.
Pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
d.
Ketentuan di atas tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Dalam hal konsumen tidak memperoleh kompensasi ganti rugi dari
pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 19 tadi, konsumen
99
dapat melakukan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UndangUndang PK. Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur non-litigasi dilakukan dengan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan kesepakatan para pihak. Ketika telah disepakati menggunakan upaya non-litigasi untuk menyelesaikan sengketa, upaya litigasi atau melalui pengadilan dapat dilakukan setelah upaya non-litigasi dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau semua pihak. Hasil keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib dilaksanakan oleh para pihak. Namun ketika ada pihak yang merasa keberatan atas penyelesaian tersebut dapat mengajukan keberatan sebagai upaya banding ke pengadilan negeri di tempat konsumen berada. Berkaitan dengan gugatan, pihak yang mengajukan gugatan juga dapat melakukan melalui gugatan biasa, legal standing atau juga class action. Keberatan atas putusan pengadilan umum tersebut juga dapat dilakukan upaya hukum kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung.
100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Berdasarkan teori tanggung jawab, yang menyatakan bahwa tanggung jawab merupakan kewajiban mengganti kerugian akibat tindakan yang telah dilakukan, dalam penelitian ini yaitu melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang dilakukan bank terhadap beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan akibat kelalaian, menjadikan bank harus
bertanggung
jawab
atas
kerugian
yang
ditimbulkan
akibat
kesalahannya. 2.
Bentuk pertanggungjawaban bank sendiri diwujudkan dengan penyelesaian kasus secara adminstratif dan juga mengganti kerugian yang dialami nasabah. Terhadap nasabah 1 bank wajib mengganti kartu ATM dengan yang baru sehingga dapat digunakan oleh yang bersangkutan. Terhadap nasabah 2 bank wajib mengganti kerugian sesuai dengan kerugian yang dialami nasabah 2.
3.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar pihak bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM pada Bank Mandiri yaitu sebagai berikut: a.
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
11/11/PBI/2009
tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
101
Kartu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012, yang menyatakan bahwa bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam menyelenggarakan kegiatan APMK untuk melindungi kepentingan nasabah, juga wajib untuk menjamin keamanan dan keandalan sistem teknologi yang digunakan. Kesalahan sistem komputerisasi pada kartu ATM yang merupakan kesalahan pihak bank akibat kelalaian telah melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas. b.
Undang-Undang ITE yang mewajibkan untuk penggunaan sistem elektronik yang andal dan aman dalam rangka Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Berdasarkan penjelasan dalam Peraturan Bank Indonesia tentang APMK, bank harus menyesuaikan ketentuan dari perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang teknologi dan informasi yang baru, yaitu Undang-Undang ITE, sehingga bank wajib melaksanakan ketentuan Undang-Undang tersebut.
c.
Ditinjau dari Undang-Undang PK, bank telah melanggar ketentuan Pasal 4 huruf a dan Pasal 7 huruf d, yaitu hak nasabah atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi jasa kartu ATM dari bank, dan kewajiban bank untuk menjamin mutu jasa kartu ATM berdasarkan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM sebagai produk atau jasa bank tersebut telah menyebabkan kerugian bagi nasabah.
102
B. SARAN Dari pembahasan kasus dalam penelitian yang ada, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1.
Bagi nasabah, sebaiknya lebih memperhatikan berkaitan reputasi bank yang dapat menjamin simpanan dengan fasilitas keamanan dan keandalan teknologi yang memadai sehingga meminimalisir terjadinya kasus seperti dalam penelitian ini.
2.
Bagi
bank,
sudah
seharusnya
selalu
memantau
sistem
teknologi
komputerisasi yang digunakan untuk menjamin keamanan bagi nasabah demi reputasi bank yang bersangkutan sehingga dapat menjaga kepercayaan nasabah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. 3.
Dalam hal ada pengaduan nasabah berkaitan dengan kartu ATM, seharusnya bank menyelidiki terlebih dahulu sebelum menyatakan langsung bahwa hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah karena hal itu dapat mengikis kepercayaan nasabah terhadap bank itu sendiri.
4.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, Bank Indonesia sebaiknya untuk lebih mensosialisasikan tentang mediasi perbankan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan dapat mengajukan upaya penyelesaian jika merasa dirugikan oleh bank.
5.
Dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tanggung jawab atas kartu ATM dalam pengaturan regulasi intern bank.
6.
Bagi pemerintah sebagai penegak hukum dan pembuat undang-undang, sebaiknya membuat regulasi khusus yang mengatur mengenai perlindungan
103
nasabah bank dan mengenai kartu ATM, sehingga hak nasabah lebih terjamin secara hukum dan tingkat pelanggaran terhadap hak nasabah dapat ditekan.