BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini membahas tentang perjanjian Indonesia-Tiongkok sekitar tahun 1950an. Perjanjian ini pernah menimbulkan polemik besar di Indonesia dan juga hubungan Indonesia dengan Tiongkok pada tahun-tahun berikutnya. Para perantau dan keturunan dari Tiongkok yang menetap di Indonesia menyandang status dwikewarganegaraan (kewarganegaraan ganda). Mereka mewarisi
kewarganegaraan
Tiongkok
dan
juga
memperoleh
kewarganegaraan Indonesia sekaligus pada masa itu. Pemerintah Tiongkok secara resmi lalu menyetujui perjanjian bilateral dengan Indonesia yakni melepas
kewarganegaraan
Tiongkok
dalam
dwikewarganegaraan
Indonesia-Tiongkok pada tahun 1955. Konsekuensinya warga keturunan di Indonesia harus memilih satu kewarganegaraan saja yakni Tiongkok atau Indonesia.
Ini
menjadi
momentum
penyelesaian
persoalan
dwikewarganegaraan. Xi (2014: 221) menyebutkan bahwa dimulai sejak bulan Juli dan Agustus 1954 Tiongkok dan Indonesia telah melakukan perundingan. Pada 22 April 1955 ketika Konferensi Bandung sedang berlangsung dilaksanakan
1
2
penandatanganan "Perjanjian tentang Masalah Dwikewarganegaraan" oleh kedua negara. Warga Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia ada 800.000 orang pada Desember 1951. Perjanjian tersebut membatalkan kewarganegaraan Indonesia yang telah dimiliki oleh warga Tionghoa sebelumnya yakni pada 1946-1948 dan 1949-1951. Dampaknya berimbas ke ratusan ribu orang. Akibatnya berupa warga Tionghoa perantauan yang disebut stateless (tidak mempunyai kewarganegaraan) hingga tahun 1962 masih berjumlah 1.000.000 orang lebih (Xi, 2014: 162). Perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan dinilai sebagai keputusan yang tepat tetapi pelaksanaannya menimbulkan masalah baru. Hal ini dikarenakan pemerintah ingin segera menyelesaikan masalah warga Tionghoa perantauan
sekaligus. Akibatnya
berupa warga Tionghoa
perantauan di luar negeri dibuang. Warga Tionghoa perantauan menderita kerugian yang besar (Xi, 2014: 147). Tiongkok tidak menyadari bahwa situasi pasca Perang Dunia II telah berkembang menjadi rumit dan berjanji melaksanakan Lima Prinsip Hidup Damai Berdampingan. Tiongkok juga melepaskan dwikewarganegaraan. Akibatnya berupa Tiongkok kehilangan hak bicara dan hak untuk melakukan perbaikan tertentu. Hal ini membuat warga Tionghoa perantauan dan
3
peranakan di negara-negara Asia Tenggara menempati posisi pasif dan berbahaya
sehingga
kelompok
stateless
(tidak
berkewarganegaraan)
kehilangan arah dan muncul kesalahpahaman antara warga Tionghoa perantaun dan peranakan dengan Tiongkok sehingga mereka menjauhi Tiongkok (Xi, 2014: 149). Penelitian ini menggunakan sudut pandang pembahasan yakni konsep San Min Chu I dari filsuf Sun Yat Sen. Filsafatnya dikenal dengan sebutan San Min Chu I yang berarti Tiga Prinsip Rakyat. San Min Chu I terdiri atas tiga prinsip utama yakni nasionalisme, demokrasi dan penghidupan rakyat. Nasionalisme Sun Yat Sen mengajarkan tentang persatuan bangsa Tiongkok dan menyerukan rasa nasionalisme Tiongkok tanpa mempermasalahkan perbedaan
asal
kesukuan
yang
beragam
di Tiongkok.
Demokrasi
mengajarkan tentang hak kebebasan masyarakat Tiongkok. Penghidupan rakyat mengajarkan tentang pentingnya masyarakat untuk memperoleh kecukupan hidup misalnya makanan, pakaian dan tempat tinggal. Wicaksono (2015: 129) menulis, “Maka, setelah melalui perjalanan panjang menjelajahi berbagai negara dan belajar banyak mengenai berbagai sistem demokrasi yang ada, pada edisi ulang tahun dari Surat Kabar Min-Pao ( 民 报), Sun Yat-Sen mengemukakan secara panjang lebar mengenai sebuah ide yang kemudian ia beri nama "Tiga Prinsip Besar" (三 大 主 义 ). Falsafah ini di kemudian hari dikenal sebagai "Tiga Prinsip Rakyat" (三民主义): "Dari pengalaman belajar tentang kemajuan dan perubahan di Eropa dan Amerika Serikat, semuanya menggunakan
4
Tiga Prinsip Besar, yaitu: Kebangsaan, Demokrasi, dan Kesejahteraan." (Sun Yat-Sen)” Konsep San Min Chu I bukanlah terdiri atas tiga prinsip terpisah. Nasionalisme, demokrasi dan penghidupan rakyat adalah tiga prinsip yang saling membangun dan berkaitan. Perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok menarik untuk dikaji menggunakan San Min Chu I tidak hanya karena prinsip nasionalisme tetapi juga dua prinsip lainnya yakni demokrasi dan penghidupan rakyat. Sisi nasionalisme melihat warga Tionghoa dalam aspek kebangsaan. Sisi demokrasi melihat hak-hak dan kebebasan warga Tionghoa dalam kenegaraan atau politik. Sisi penghidupan rakyat melihat kehidupan warga Tionghoa setelah adanya perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan 1955. Pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada perspektif San Min Chu I terhadap perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok tahun 1955. 1. Rumusan masalah a. Bagaimana
perjanjian
Indonesia-Tiongkok
tentang
pelepasan
dwikewarganegaraan tahun 1955? b. Bagaimana konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen? c. Apa
hakikat
perjanjian
Indonesia-Tiongkok
tentang
pelepasan
dwikewarganegaraan tahun 1955 ditinjau dalam perspektif konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen?
5
2. Keaslian penelitian Sejauh meneliti secara kepustakaan, peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. Beberapa penelitian yang berdekatan dengan judul penelitian ini adalah: a. Penelitian berjudul Pelepasan Kebijakan Dwikewarganegaraan oleh Tiongkok (1955): Studi Hubungan Urusan Perantauan dan Diplomasi karya Cheng Xi tahun 2005 terbitan Beijing, yang diterjemahkan oleh Tan Beng Hok tahun 2014 terbitan Yayasan Nation Building (Nabil) Jakarta. Penelitian ini mengkaji kebijakan yang diambil pemerintah Tiongkok melepas dwikewarganegaraan tahun 1955 secara historis dan dengan menggunakan konteks urusan perantauan dan diplomasi. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian Cheng Xi tidak membahas objek dari segi filsafat San Min Chu I. b. Buku berjudul Chinese Policy toward Indonesia karya David Mozingo tahun 1976 terbitan Cornell University, London, berbahasa Inggris. Buku ini menjelaskan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok hanya sebagai suatu perjanjian yang pernah disetujui Tiongkok bersama Indonesia. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian David Mozingo tidak membahas objek dari segi filsafat San Min Chu I.
6
c. Skripsi berjudul Filsafat Politik dalam Pemikiran Dr. Sun Yat Sen oleh Saryani tahun 1986 terbitan Fakultas Filsafat UGM. Skrispi ini membahas filsafat politik Sun Yat Sen secara umum dengan membahas asas-asas dalam Tiga Prinsip Rakyat: nasionalisme, demokrasi, dan perikehidupan yang layak. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian Saryani tidak membahas filsafat San Min Chu I dengan suatu fenomena.. d. Skripsi berjudul Konsep Demokrasi Menurut Sun Yat Sen (Tinjauan Filsafat Politik) karya Ig Inung Sapandi tahun 2002 terbitan Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini membahas konsep demokrasi Sun Yat Sen dan menyertakan dasar-dasar demokrasi. Penelitian Ig Inung Sapandi hanya membahas prinsip demokrasi dan tidak membahas atau mengaitkan objek formal filsafat San Min Chu I dengan suatu kasus atau fenomena tertentu. 3. Manfaat penelitian a. Bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan bisa memberi sumbangsih pengetahuan pada sejarah Indonesia tentang perjanjian bilateral dengan Tiongkok. b. Bagi perkembangan Ilmu Filsafat Penelitian ini diharapkan bisa memberi sumbangsih pada perkembangan Ilmu Filsafat khususnya fokus Filsafat Cina yakni pemikiran Sun Yat Sen. c. Bagi masyarakat, bangsa dan negara
7
Penelitian ini diharapkan bisa memberi sumbangsih pada rasa kebangsaan dan memperkuat nation-building bangsa Indonesia. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui
perjanjian
Indonesia-Tiongkok
tentang
pelepasan
dwikewarganegaraan tahun 1955 2. Mengetahui konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen secara lebih mendalam 3. Menemukan hakikat perjanjian Indonesia-Tiongkok tentang pelepasan dwikewarganegaraan dengan menggunakan konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen C. Tinjauan Pustaka Buku Pelepasan Kebijakan Dwikewarganegaraan oleh Tiongkok (1955): Studi Hubungan Urusan Perantauan dan Diplomasi karya Cheng Xi banyak menuliskan sejarah pelepasan dwikewarganegaraan. Dwikewarganegaraan pada umumnya menganut prinsip ius sanguinis (berdasarkan garis darah keturunan) dan ius soli (berdasarkan tempat kelahiran) secara bersamaan. Tiongkok sejak zaman Kekaisaran Qing telah menetapkan menggunakan prinsip ius sanguinis. Xi (2014: 43) menulis: "Pemerintah Qing berkali-kali mendiskusikan masalah ini dan pada 18 Maret 1909 diumumkanlah undang-undang kewarganegaraan Tiongkok pertama, yakni 'Peraturan Kewarganegaraan Kekaisaran Qing Raya'. Undang-undang kewarganegaraan tersebut berdasarkan prinsip 'Jus Sanguinis', dan terhadap masalah penanggalan
8
kewarganegaraan, Tiongkok telah membuat ketentuan yang sangat ketat." Kewarganegaraan memiliki kaitan yang dekat dengan nasionalisme. Nationality
atau
status
kebangsaan
seseorang
muncul
dari
kewarganegaraannya. Hal ini membuat Tiongkok menghadapi situasi politik dengan Indonesia pada masa-masa awal berdiri. Tiongkok berhadapan dengan kebanyakan negara Asia Tenggara terutama negara yang baru beberapa tahun memproklamasikan kemerdekaan. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Republik
kewarganegaraannya
Indonesia
mengumumkan
undang-undang
pada 10 April 1946. Undang-undang tersebut
dinamakan "Undang-undang Kewarganegaraan dan Kependudukan Republik Indonesia" dan didasarkan pada prinsip ius soli (Xi, 2014: 49). Sikap pemerintah Tiongkok pada momentum perjanjian tersebut merupakan hal yang menarik. Tiongkok sebelumnya melalui konsulat Peking (Beijing) mengusahakan adanya perlakuan yang baik dari Indonesia terhadap perantau. Mozingo (1976: 160) mengaitkan dengan dwikewarganegaraan (dual nationality) sebagai berikut: "If implemented, the economic ban alone would completely nullify the Chinese interpretation of the 1955 treaty under which Indonesia had pledged to "protect the rights and interests" of the Chinese nationals. Implementation would also mean that Djakarta intended to take such measures without holding "consultations" with Peking, as provided for in the Dual Nationality Treaty."
9
Buku China and the Overseas Chinese karya Fitzgerald menjabarkan Tiongkok secara umum dan mengulas segala hal tentang Tionghoa perantauan. Ulasan-ulasan tersebut berupa warga domestik, administrasi dan komunikasi dengan luar negeri. Fitzgerald (1972: ix) menuliskan bahwa pengujian atas sikap RRT tentang Tionghoa perantauan menjadi relevan bagi interpretasi dan pertanyaan luas tentang sikap luar negeri RRT. Buku Ethnic Chinese as Southeast Asians berisi delapan esai dari beberapa negara (Indonesia, Myanmar, Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia, dan Filipina) tentang status sebagai Tionghoa di negara masing-masing. Buku The Chinese In Indonesia berisi tentang lima esai mengenai kehidupan Tionghoa di Indonesia. Buku Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China berisi tentang minoritas Tionghoa di Indonesia dalam berbagai aspek meliputi politik, sosial dan ekonomi. Skripsi berjudul Filsafat Politik dalam Pemikiran Dr. Sun Yat Sen oleh Saryani tahun 1986 membahas filsafat politik Sun Yat Sen secara umum. Saryani menjelaskan tiap isi pokok ajaran San Min Chu I. Tiga hal yang menjadi isi pokok ajaran San Min Chu I tersebut dikenal dengan sebutan Tiga Prinsip Rakyat yakni nasionalisme, demokrasi, dan penghidupan yang layak. Ig Inung Sapandi mendalami konsep demokrasi dari Sun Yat Sen. Konsep Demokrasi Menurut Sun Yat Sen (Tinjauan Filsafat Politik) karya Ig
10
Inung Sapandi tahun 2002 membahas konsep demokrasi Sun Yat Sen secara spesifik. Ig Inung Sapandi juga menyebutkan dasar-dasar demokrasi Sun Yat Sen yakni kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Sun Yat Sen dalam bukunya San Min Chu I beranggapan bahwa asas-asas pokok tersebut dapat mengangkat negara Tiongkok dari lembah kehinaan dan mencapai keselamatan (Sun Yat Sen, 1951: 13). Buku San Min Chu I berisi pidato-pidato Sun Yat Sen selama menyebarkan ajaran San Min Chu I. Pidato-pidato tersebut dikategorikan sesuai tiga isi pokoknya: nasionalisme, demokrasi dan penghidupan rakyat. Penelitian ini berada pada posisi membahas perjanjian antara Indonesia dan Tiongkok tentang pelepasan dwikewarganegaraan menggunakan konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen. Buku yang ditulis Cheng Xi membahas dwikewarganegaraan internasional
secara
historis
Indonesia-Tiongkok.
dan
Buku
dalam karya
konteks Mozingo
hubungan membahas
perjanjian dwikewarganegaraan hanya sebagai suatu perjanjian antara Indonesia dan Tiongkok. Buku karya Suryadinata dan Mackie berisi kehidupan Tionghoa di Indonesia. Skripsi karya Saryani dan Ig Inung Sapandi membahas pemikiran Sun Yat Sen secara murni dari sudut pandang filsafat politik tanpa mengaitkan dengan fenomena atau fakta tertentu. Buku San Min Chu I menjabarkan buah-buah pemikiran Sun Yat Sen sebagai
11
ajaran yang masih murni darinya berupa nasionalisme, demokrasi dan penghidupan rakyat. D. Landasan Teori San Min Chu I merupakan filsafat yang dicetuskan oleh Sun Yat Sen. San Min Chu I memiliki arti Tiga Prinsip Rakyat. Isinya tentang konsep yang baik mengenai pemerintahan, politik dan negara. Tiga poin dalam San Min Chu I yakni nasionalisme, demokrasi dan penghidupan masyarakat. Nasionalisme mengajarkan untuk memiliki rasa kebangsaan yang tinggi kepada negara yakni Tiongkok. Demokrasi mengajarkan untuk memiliki kebebasan bagi masyarakat umum. Penghidupan masyarakat menyerukan agar rakyat bisa hidup dengan layak dalam segi pangan, tempat tinggal dan pakaian. Wicaksono (2015: 132) menyebutkan bahwa selain konsep kesatuan sebagai satu bangsa, menurut Sun Yat Sen falsafah kebangsaan juga dimaknai
sebagai
kesatuan
identitas
nasional
Tiongkok
melawan
imperialisme asing. Sun Yat Sen berharap bahwa dengan persatuan semacam ini, Tiongkok akan kuat dan mampu mempertahankan diri di tengah serbuan imperialisme asing yang mencaploki wilayah Tiongkok. Soetoprawiro (1994: 4) menyebutkan bahwa kewarganegaraan itu sendiri memiliki kaitan yang erat dengan nasionalisme. Pemahaman ini perlu
12
didasarkan pada pengertian nasionalisme yang merupakan sendi dasar dari masalah kewarganegaraan. Masalah kewarganegaraan tidak terlepas dari paham nasionalisme. Peraturan mengenai kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung dari perkembangan paham nasionalisme. Rakyat melihat bahwa otokrasi adalah suatu sistem yang tujuannya semata-mata untuk memperoleh kekuasaan. Otokrasi membuat negara dan rakyat jadi milik seseorang, membantu kesenangan seseorang dan tidak menghiraukan
penderitaan
rakyat.
Penderitaan-penderitaan
akhirnya
menyadarkan rakyat bahwa sistem otokrasi tidak adil dan harus dilawan (Sapandi, 2002: 58). Corak pemerintahan demokrasi dipilih oleh Sun Yat Sen karena mengikuti zaman dan untuk mengurangi perang saudara. Tahap-tahap zaman untuk mencapai negara demokrasi dan mencari bantuan dewa-dewa untuk memperoleh kemenangan, ketiga zaman di mana manusia berselisih dengan sesamanya, negara dengan negara, bangsa dengan bangsa, dan kekuasaan otokrasi menjadi kekuatan serta senjata yang penting, keempat yaitu zaman demokrasi (Sapandi, 2002: 81). Tiongkok banyak mengambil dari pemerintahan Barat dalam membentuk pemerintahan demokrasi. Tiongkok harus memilah mana yang paling baik dan berfaedah bagi negaranya karena negeri-negeri Barat tidak sepenuhnya
13
mempunyai cara-cara yang baik guna mewujudkan demokrasi. Tiongkok tidak boleh hanya menirukan. Tiongkok harus menyesuaikan diri dengan suasana perasaan dunia modern dan tidak secara membabi buta mencontoh hal-hal yang berasal dari Barat. Penyesuaian ini penting dalam usaha mencapai kemakmuran nasional dan kesejahteran rakyat sebab sikap membabi buta dalam mencontoh dapat menimbulkan penderitaan rakyat (Saryani, 1986: 51). Penghidupan rakyat merupakan ajaran berjiwa sosial. Penghidupan rakyat menjadi refleksi sosial yang memuat unsur cita-cita revolusi sosial. Kekuatan dan kemajuan suatu bangsa amat bertumpu pada tingkat kesejahteraan hidup rakyatnya dan ini akan tercapai apabila bangsa Tiongkok bersatu (nasionalisme-minzu) dan rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan (demokrasi-minquan) (Helius, 1999: 71). E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif. Kaelan (2005: 5) menuliskan penelitian
kualitatif menekankan pada segi kualitas secara ilmiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata (untuk penelitian sosial, budaya dan filsafat bisa berupa lisan), catatan-catatan yang
14
berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Pengamatan data juga tidak dibatasi dan diisolasi dengan variable, populasi, sample, dan hipotesis (Kaelan, 2005: 5). Objek material penelitian berupa perjanjian bilateral yang dibuat secara historis di tahun 1955. Objek formal penelitian berupa filsafat San Min Chu I. Penelitian dilakukan dengan kepustakaan yakni melalui penelusuran teks-teks dan buku-buku yang berkaitan. Kaelan (2005: 5) menuliskan bahwa kepustakaan yang menekankan kebermaknaan filosofis dan teoretis cocok dipakai
pada
bidang-bidang
humaniora
yang
memerlukan
olahan
kebermaknaan terkait dengan nilai sehingga relevan untuk penelitian filsafat karena berkaitan dengan pemaknaan filosofis dan sistem nilai.
2.
Bahan Penelitian Bahan penelitian berupa buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan
dengan pelepasan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok dan San Min Chu I dari Sun Yat Sen. Bahan penelitian terdiri dari dua jenis: a.
Pustaka Primer
1). Teks isi perjanjian pelepasan kewarganegaraan Tiongkok tahun 1955 (teks bahasa Indonesia)
15
2). Teks isi perjanjian pelepasan kewarganegaraan Tiongkok tahun 1955 (teks bahasa Mandarin) 3). Buku San Min Chu I karya Sun Yat Sen (teks bahasa Mandarin) 4). Buku San Min Chu I karya Sun Yat Sen yang sudah diterjemahkan (teks bahasa Indonesia) b.
Pustaka Sekunder
1). Buku karya Cheng Xi yang sudah diterjemahkan oleh Tan Beng Hok dengan judul Pelepasan Kebijakan Dwikewarganegaraan oleh Tiongkok (1955): Studi Hubungan Urusan Perantauan dan Diplomasi yang diterbitkan pada 2014 oleh Yayasan Nabil (Nation Building) di Jakarta 2). Buku karya David Mozingo berbahasa Inggris berjudul Chinese Policy towards Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1976 oleh Cornell University di London 3). Buku karya Stephen Fitzgerald berbahasa Inggris berjudul China and the Overseas Chinese yang diterbitkan pada tahun 1972 oleh Cambridge University di Cambridge 4). Buku karya Leo Suryadinata berbahasa Inggris berjudul Ethnic Chinese as Southeast Asians yang diterbitkan pada tahun 1997 oleh Institute of Southeast Asian Studies di Singapura
16
5). Buku karya J.A.C. Mackie berbahasa Inggris berjudul The Chinese in Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1976 oleh The Australian Institute of International Affairs di Australia 6). Buku karya Leo Suryadinata berbahasa Inggris berjudul Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China yang diterbitkan pada tahun 1978 oleh Heinemann di Singapura 7). Buku karya Michael Wicaksono berbahasa Indonesia berjudul Republik Tiongkok yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh Elex Media Komputindo di Jakarta
3.
Jalan Penelitian Langkah-langkah penelitian ini yakni tahap-tahap berikut:
a. Persiapan pengumpulan data Tahap ini meliputi pengumpulan data kepustakaan yang berhubungan dengan perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan dan konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen b. Klasifikasi dan penulisan Informasi ilmiah disusun ke dalam kelompok sesuai tiap isinya: perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok dan konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen
17
c. Penyelesaian akhir Tahap akhir penulisan yakni menyusun pembahasan penelitian secara menyeluruh dan sistematis sesuai sistematika penulisan serta koreksi jika ada kesalahan
4.
Analisis Data Penelitian ini menggunakan sistem penelitian filsafat dengan unsur-unsur
metodis sebagai berikut: a.
Inventarisasi,
mengumpulkan
data
dan
informasi
pelepasan
dwikewarganegaraan dan Sun Yat Sen dengan filsafatnya San Min Chu I b.
Interpretasi, menangkap makna konsep-konsep dan pemikiran filosofis San Min Chu I dan analisis pemikiran tokoh yakni Sun Yat Sen
c.
Deskripsi, memaparkan sejarah dwikewarganegaraan dan konsep San Min Chu I dari Sun Yat Sen
d.
Analisis sintesis, menganalisis perjanjian dengan menggunakan konsep San Min Chu I serta merangkum atau mensintesakannya kembali F. Hasil Yang Dicapai Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Menguraikan secara historis perjanjian Indonesia-Tiongkok tentang pelepasan dwikewarganegaraan tahun 1955
18
2.
Menguraikan secara filosofis pemikiran San Min Chu I
3.
Memperoleh hakikat bagaimana perspektif San Min Chu I dari Sun Yat Sen
pada
perjanjian
Indonesia-Tiongkok
tentang
pelepasan
dwikewarganegaraan tahun 1955 G. Sistematika Penulisan BAB I: berisi pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, metode, hasil yang dicapai, dan sistematika penulisan. BAB II : berisi tentang pembahasan objek material yakni perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok tahun 1955. BAB III: berisi pembahasan objek formal yakni San Min Chu I, meliputi ajaran San Min Chu I nasionalisme, demokrasi dan penghidupan rakyat. BAB IV:
berisi
tentang
analisis
perjanjian
Tiongkok
dwikewarganegaraan dalam Indonesia-Tiongkok San Min Chu I BAB V : berisi penutup meliputi kesimpulan dan saran.
melepas