BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini dunia kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas dan antioksidan. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh yang dapat merusak struktur dan fungsi sel (Winarsi, 2007). Radikal bebas adalah molekul tidak stabil dalam sel, yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan di orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan menyerang dan mengikat elektron yang ada disekitarnya sehingga menyebabkan kerusakan pada suatu senyawa dan berakhir pada kerusakan jaringan. Senyawa radikal bebas disebabkan oleh polusi lingkungan seperti polusi kendaraan bermotor, bahan pencemar dan radiasi. Radikal bebas secara terus menerus tertimbun di dalam tubuh, dengan adanya sifat yang reaktif tersebut maka sebagian besar diperkirakan terlibat dalam proses terjadinya penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes atherosclerosis, hingga proses penuaan dan menurunnya stamina tubuh (Halliwell & Gutteridge, 2000). Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat proses oksidasi molekul yang dapat menghasilkan radikal bebas, dengan mendonorkan elektronnya kepada radikal bebas dan memutus reaksi berantai (Halliwell & Gutteridge, 2000). Di dalam tubuh terdapat beberapa antioksidan antara lain dari golongan enzim yaitu glutathione peroxidase dan superoxidase dismutase, golongan protein yaitu ferritin dan ceruloplastin serta senyawa mikromolekul seperti vitamin C dan vitamin E,
1
namun antioksidan yang terdapat dalam tubuh jumlahnya tidak mencukupi untuk menangkal semua radikal bebas yang ada sehingga dibutuhkan tambahan antioksidan dari luar tubuh misalnya sayur, buah dan vitamin (Winarsi, 2007). Buah yang banyak ditanam di pekarangan rumah dan ladang salah satunya adalah pisang. Pisang memiliki peranan penting di Indonesia karena di konsumsi oleh konsumen tanpa memperhatikan tingkat sosial. Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang, baik pisang segar, olahan dan pisang liar. Di Indonesia tanaman pisang adalah tanaman multiguna, selain buahnya yang digunakan sebagai bahan konsumsi, daunnya juga dapat digunakan sebagai pembungkus dan bakal buahnya yang biasa dikenal dengan jantung pisang digunakan sebagai sayur (Satuhu dan Supriyadi, 2004). Pada umumnya masyarakat hanya memakan buahnya dan membuang kulitnya begitu saja. Kulit pisang belum dimanfaatkan secara optimal, hanya beberapa orang yang memanfaatkannya sebagai kripik kulit pisang, selebihnya dibuang sebagai sampah organik atau digunakan sebagai makanan ternak. Penelitian Dinagunata (2009) membuktikan bahwa daging pisang memiliki aktivitas antioksidan. Kandungan kulit
pisang Ambon menurut (Lee et al., 2010) adalah flavonoid dan polifenol. Flavonoid dan fenol senyawa yang berkhasiat sebagai antioksidan (Winarsi, 2007). Senyawa antioksidan yang terdapat pada kulit pisang (Musa acuminate) yaitu katein, gallokatekin dan epikatekin yang merupakan golongan senyawa flavonoid (Someya et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, dkk., (2013), menunjukkan adanya kandungan flavonoid, tannin dan saponin pada getah kulit Pisang Goroho (Musa acuminate L.) yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Penelitian yang 2
dilakukan oleh Rachmad dkk., (2013) menunjukkan bahwa jantung pisang klutuk (Musa balbisiana Colla) mengandung flavonoid, polifenol dan tanin. Aglikon yang kurang polar dari flavonoid seperti isoflavon, flavonon dan flavon mudah larut dalam pelarut semi polar seperti etil asetat dan aseton (Harborne, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh (Wachida, 2010; Nirmalasari, 2013) membuktikan bahwa etil asetat dapat melarutkan senyawa flavonoid, dalam hal ini pada bunga rosella. Ekstrak etil asetat daun sirih merah mengandung alkaloid dan flavonoid sebagai antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 127,74 µg/mL (Racmawati dan Ciptati, 2011) Berdasarkan latar belakang yang didukung dengan penelitian sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk menguji aktivitas antioksidan pada fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja (Musa paradisiaca Var Raja) dengan menggunakan metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil).
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apakah fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja memiliki aktivitas antioksidan dengan metode DPPH?
2.
Seberapa besar potensi antioksidan fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja yang dinyatakan dengan IC50?
3.
Senyawa aktif apa yang terkandung dalam fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja?
3
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Tujuan umum: membuktikan secara ilmiah potensi antioksidan kulit pisang raja dan identifikasi senyawa aktif yang dikandungnya.
2.
Tujuan khusus a) Mengetahui ada atau tidaknya aktivitas antioksidan dari fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja. b) Mengetahui potensi antioksidan dari fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja yang ditunjukkan nilai IC50. c) Mengetahui senyawa aktif yang terkandung dalam fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja. D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemanfaatan kulit pisang raja
sebagai antioksidan alami, yang nantinya dapat dimanfaatkan secara luas. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi penemuan senyawa baru yang berkhasiat obat. E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Morfologi Tanaman A. Pisang (Musa paradisiaca) Pisang (Musa paradisiaca) adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Menurut ahli sejarah dan botani mengambil kesimpulan, bahwa tanaman pisang berasal dari Asia Tenggara (Satuhu dan Supriyadi, 2004). 4
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu jenis buah-buahan tropis yang tumbuh subur dan mempunyai wilayah penyebaran merata di seluruh wilayah Indonesia, dimana pisang termasuk salah satu komoditas hortikultura unggulan di Indonesia (Dirjen Hortikultura, 2012). Berdasarkan jenisnya pisang di kelompokkan menjadi empat jenis yaitu (1) Pisang yang dapat dimakan langsung tanpa dimasak contohnya pisang kepok, hijau, emas, raja, ambon dan lain-lain. (2) Pisang yang dapat dimakan setelah dimasak (diolah terlebih dahulu) contohnya pisang tanduk, oli dan kapas. (3) Pisang yang diambil seratnya dimanfaatkan untuk keperluan tekstil dengan memanfaatkan serat batangnya. Pisang ini disebut pisang manila karena diduga berasal dari Manila, dan (4) pisang berbiji yaitu pisang batu (pisang klutuk) (Prabawati, dkk., 2008). Tanaman pisang raja termasuk dalam kingdom Plantae (tumbuhan), divisi Magnoliophyta (berbunga), kelas Liliopsida (berkeping satu/monokotil), ordo Musales, family Musaceae (suku pisang-pisangan), genus Musa, spesies Musa paradisiaca var Sapientum (Dirjen Hortikultura, 2012). Buah pisang raja (Musa paradisiacal var. Raja) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pisang raja (Musa paradisiacal var Raja) (Prabawati dkk., 2008)
5
B. Kulit pisang Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara optimal. Jumlah kulit pisang yang banyak memiliki nilai jual yang tinggi bila diolah menjadi bahan makanan. Limbah kulit pisang mengandung zat gizi yang cukup tinggi terutama pada vitamin dan mineralnya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan dengan diolah menjadi tepung, kripik krispi dan lain sebagainya. Selain dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kulit pisang juga memperbaiki kandungan gizi bila diolah menjadi makanan (Suyanti & Supriyadi, 2008). C. Khasiat dan Penggunaan Kulit Pisang Hampir semua bagian dari tanaman pisang dapat dimanfaatkan, seperti daun, batang, bongol bunga, buah dan kulit buah pisang. Dalam penelitian ini hanya dibahas khasiat dan penggunaan dari kulit pisang saja. Kulit buah pisang dapat dijadikan pakan ternak, arang pisang yang menjadi alternatif sebagai bahan bakar memasak, selain itu kulit pisang dapat digunakan dalam pembuatan pektin, nata, tepung, cuka melalui proses fermentasi alkohol dan asam cuka, sebagai antikolesterol, hipoglikemi, hipertensi, kesehatan mata, dan sebagai obat gosok yang mengurangi rasa sakit dan nyeri artitis (Anhwange, 2008; Prihatman, 2008).
6
D. Kandungan Kimia Kulit Pisang Kulit pisang mengandung berbagai jenis komponen yang dapat dimanfaatkan, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Ying et al., (2005), didapatkan
kandungan
polifenol
pada
kulit
pisang
kering,
dengan
menggunakan pelarut air, methanol, aseton, dan etanol, dimana pelarut air memiliki efisiensi paling tinggi, diikuti dengan methanol dan etanol. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Someya et al., (2002), kulit pisang memiliki kadar senyawa flavonoid dan fenolik yang jauh lebih tinggi daripada yang terkandung pada daging buahnya. Menurut Lee et al., (2010), Kandungan kulit pisang ambon adalah flavonoid. Berdasarkan penelitian lain, komposisi anti-nutrien dari kulit pisang (per 100 g), antara lain adalah βkaroten, vitamin C, flavonoid, tannin, oksalat, dan asam sitrat (Nagarajaiah & Prakash, 2011). 2. Radikal Bebas Radikal bebas (free radical) merupakan salah satu bentuk senyawa yang mempunyai elektron tidak berpasangan. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan. Radikal bebas akan merebut elektron dari molekul lain yang ada di sekitarnya untuk menstabilkan diri. Radikal bebas erat kaitannya dengan kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses penuaan. Radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Radikal bebas menyerang biomakro molekul penting dalam tubuh seperti komponen penyusun sel, yaitu protein, asam nukleat, lipid dan polisakarida. 7
Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein serta DNA termasuk polisakaridanya. Radikal bebas merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel sehingga dinding sel menjadi rapuh, merusak pembuluh darah dan menimbulkan aterosklerosis. Radikal bebas juga merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem informasi genetika dan membentuk sel kanker. Jaringan lipid juga dirusak oleh senyawa radikal bebas sehingga terbentuk peroksida dan menimbulkan penyakit degeneratif. Serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya dapat berantai dan kemudian menghasilkan senyawa radikal baru. Hal ini menimbulkan kerusakan sel atau jaringan, penyakit degeneratif hingga kanker. Berbagai gangguan akibat radikal bebas adalah gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel, molekul yang tidak teridentifikasi oleh sistem imun bahkan terjadi mutasi. Semua gangguan tersebut memicu timbulnya berbagai macam penyakit. Secara umum, tahapan pembentukan reaksi radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan awal pembentukan radikal bebas, tahap propagasi merupakan pemanjangan rantai dan tahap terminasi merupakan beraksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal sehingga potensi propagasinya rendah (Winarsi, 2007). 3.
Antioksidan Antioksidan merupakan substansi nutrisi maupun non nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat terjadinya kerusakan oksidatif dalam tubuh. Antioksidan adalah senyawa pemberi
8
elektron (elektron donor) atau reduktor. Antioksidan mampu menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dicegah Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan dalam mempertahankan mutu produk pangan. Tubuh manusia mempunyai sistem antioksidan yang diproduksi secara kontinue untuk menangkal atau meredam radikal bebas, seperti enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Bila jumlah senyawa radikal bebas melebihi jumlah antioksidan alami dalam tubuh maka radikal bebas akan menyerang komponen lipid, protein dan DNA. Tubuh kita membutuhkan asupan antioksidan yang mampu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas tersebut (Winarsi, 2007). Berdasarkan sumber perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan alami umumnya terdapat dalam buah-buahan dan sayuran. Komponen yang terkandung didalamnya adalah vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin, isokatekin, asam lipoat, bilirubin dan albumin, likopen dan klorofil (Winarsi, 2007). Antioksidan sintetik dibuat dari bahan-bahan kimia antara lain butylated
hydroxyanisol (BHA),
butylated
hydroxytoluene
((BHT),
tert-
butylhydroqoinone (TBHQ) dan propyl gallate (PG) (Heo et al., 2005). 4.
Vitamin C Pemerian hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Pengaruh cahaya lambat laun berubah warna menjadi gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara,
9
dalam larutan cepat teroksidasi, mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform, eter dan benzene (Depkes RI, 1995). Vitamin C banyak dijumpai pada tanaman sebagai L-asam askorbat dan sumber vitamin C di alam adalah buah-buahan dan sayuran. Vitamin C sangat labil terhadap suhu dan oksigen. Vitamin C atau asam askorbat mampu bereaksi dengan radikal bebas dan mengubahnya menjadi radikal askorbit yang nantinya segera berubah menjadi dehidroaskorbat (Zakaria, 1996). 5.
Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan pemisahan suatu bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Bahan yang akan diekstrak biasanya berupa bahan kering yang telah dihancurkan, biasanya berbentuk serbuk atau simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan, dan kecuali dikatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000). Proses pengekstrasian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat terdifusi keluar sel, proses ini berulang terus menerus sampai tercapai keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel (Harborne, 1987). Pemilihan metode ekstraksi harus mempertimbangkan beberapa seperti sifat dari bahan dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau
10
mendekati sempurna (Ansel, 1989). Pelarut organik yang diperbolehkan hingga saat ini sesuai aturan adalah air dan golongan alkohol (Depkes RI, 2000). Maserasi adalah ekstraksi yang paling sederhana. Prinsip metode maserasi adalah merendam simplisia dalam pelarut organik dengan beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Remaserasi adalah penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian pada maserat pertama dan seterusnya. Kelebihan dari maserasi adalah pengerjaannya mudah dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah didapat, sedangkan kekurangan dari maserasi adalah waktu pengerjaan yang lama, membutuhkan pelarut dalam jumlah banyak dan tidak bias untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras (Sudjadi, 2007). 6.
Cairan Penyari Cairan penyari dalam suatu proses ekstraksi merupakan pelarut yang baik (optimal) untuk suatu zat aktif dari senyawa kandungan lainnya. Proses penyarian metabolit sekunder yang terkandung di dalam suatu tanaman memerlukan cairan penyari yang sesuai. Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan faktorfaktor antara lain selektivitas, mudah digunakan, ekonomis, ramah lingkungan dan aman digunakan. Jenis penyari yang biasa digunakan adalah air dan alkohol (etanol, metanol). Cairan penyari yang biasa digunakan dalam metode maserasi dapat berupa air, etanol ataupun campuran air dan etanol (Depkes RI, 1995). Etanol disebut juga etil alkohol murni, alkohol absolute atau alkohol saja. Etanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar dan tidak berwarna. Etanol mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol biasa digunakan sebagai pelarut bagi kebanyakan senyawa organik. Etanol
11
merupakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa yang bersifat polar maupun non polar sehingga disebut pelarut universal. Etanol 96% dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, antrakinon, flavonoid, steroid, dammar dan klorofil. Lemak, tannin dan saponin hanya sedikit terlarut, sehingga zat pengganggu yang ikut larut hanya terbatas (Depkes RI, 1986). Fraksinasi dilakukan dengan metode partisi cair-cair menggunakan pelarut semi polar yaitu etil asetat. Etil asetat adalah senyawa organik yang merupakan ester dari etanol dan asam asetat, cairan tak berwarna dan memiliki aroma khas. Berdasarkan sifat fisika kimia, etil asetat adalah pelarut polar menengah yang mudah menguap, tidak beracun dan tidak higroskopis (Depkes RI, 1979). Rotavapor merupakan proses pemisahan ekstrak dari pelarutnya dengan pemanasan dipercepat oleh putaran pada labu alas bulat, larutan penyari dapat menguap karena adanya penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa vakum, uap penyari akan menguap naik ke kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang akan ditampung dalam labu alas bulat penampung (Sudjadi, 2007). 7.
Spektrofotometri Spektrofotometri adalah metode analisis yang didasarkan pada pengukuran serapan monokromatis oleh larutan berwarna pada panjang gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detector fototube. Spektrofotometer adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang.
12
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri dari sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam panjang gelombang 200-800 nm. Komponen yang terdapat dalam spektrofotometer UV meliputi sumber sinar, monokromator dan sistem optik (Gandjar dan Rohman, 2007). Sumber sinar lampu adalah lampu deuterium (D2) digunakan untuk daerah UV dengan panjang gelombang 190-350 nm. Monokromator digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen panjang gelombang yang dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati spektrum. Optik dapat di desain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam). Larutan blanko digunakan untuk mengoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Blanko yang digunakan adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi. Syarat suatu senyawa atau obat dapat di ukur menggunakan alat spektrofotometer adalah senyawa atau zat tersebut harus punya gugus auksokrom dan gugus kromofor (Gandjar dan Rohman, 2007). Apabila cahaya putih dilewatkan larutan berwarna dengan panjang gelombang tertentu akan diserap (absorsi) secara selektif dan lainnya akan diteruskan (transmisi). Absorbsi adalah perbandingan intensitas cahaya yang diserap dengan intensitas cahaya yang datang. Nilai absorbansi tergantung pada 13
kadar zat yang dikandungnya, semakin banyak kadar zat terkandung dalam sampel maka semakin banyak molekul yang menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu sehingga nilai absorbansi semakin besar atau dengan kata lain nilai absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi zat yang terkandung dalam sampel. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert – Beer yang menyatakan bahwa nilai absorbansi zat terlarut adalah proporsional dengan konsentrasi sebagai: A= ε.b.c dimana A adalah absorbansi, ε adalah koefisien absorbansi molekuler [L/(mol.cm)], c adalah konsentrasi solute (mol/L) dan b adalah tebal kuvet (cm) (Gandjar dan Rohman, 2007). Spektrofotometer telah lama digunakan
untuk
penetapan kadar berbagai macam obat dan senyawa kimia tumbuhan seperti penentuan kandungan flovonoid dari ekstrak methanol daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa Scheff Boerl) yang dilakukan oleh Rohyami (2008). 8.
Metode DPPH (1.1-difenil-2-pikrilhidrazil) Metode ini dilakukan penangkapan radikal bebas dengan cara mengukur penangkapan radikal sintetik dalam pelarut polar pada suhu kamar. Radikal yang digunakan adalah DPPH (1.1 difenil-2-pikrilhidrazil), yaitu suatu radikal stabil berwarna ungu, larut dalam metanol maupun etanol yang dapat diukur intensitasnya pada panjang gelombang 515-520 nm. Struktur DPPH dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini (Molyneux, 2004).
14
Gambar 2. Struktur Kimia DPPH (1.1-difenil-2-pikrilhidrazil) (Molyneux, 2004).
Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Prinsip uji DPPH adalah penghilangan warna untuk mengukur kapasitas antioksidan dengan pemantauan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer. Semakin cepat memudarnya warna dari DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula (Yanuwar, 2002). 9.
IC50 (Inhibition Concetration)50 Parameter interpretasi hasil pengujian DPPH adalah dengan nilai IC50. IC50 didefinisikan sebagai konsentrasi dari larutan sampel yang mampu mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi nilai antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, sedang jika bernilai 100-150 ppm, dan lemah bila bernilai 150-200 ppm (Blois, 1958).
10. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu teknik pemisahan yang berdasarkan proses kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan (adsorpsi, penjerapan). Lapisan yang dipisahkan terdiri atas fase diam dan fase
15
gerak (Vogel, 1978). Fase diam adalah lapisan tipis penyerapan yang seragam atau media yang terpilih sebagai media pembawa (Touchstone dan Dobbins, 1983). Sedangkan, Fase gerak yaitu medium transport untuk memisahkan zat terlarut berdasarkan pergerakan/migrasi sepanjang fase stasioner/diam melalui gaya kapiler (Fried dan Sherma, 1999). Fase diam yang paling umum digunakan adalah silika, alumunium oksida atau alumina yang dilapiskan pada lempeng kaca atau aluminium. Jika fase diam berupa silika gel maka bersifat asam, jika fase diam alumina maka bersifat basa. Fase gerak atau larutan pengembang biasanya digunakan pelarut organik atau bisa juga campuran pelarut organik-anorganik (Gritter et al., 1991). Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah dari lapisan tipis menggunakan harga Rf (Retardation factor). Harga Rf didefinisikan sebagai berikut (Sastrohamidjojo, 2007) Harga Rf =
jarak yang ditempuh senyawa aktif jarak yang ditempuh
pelarut
Harga-harga Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan hargaharga standart. Harga-harga Rf yang diperoleh hanya berlaku untuk campuran tertentu dari pelarut dan penyerap yang digunakan (Sastrohamidjojo, 2007). Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa flavonoid seperti yang telah dilakukan oleh Sjahid (2008) pada daun dewandaru. Hasil penelitian yang dilakukan Firdaus (2015) jantung pisang mas mengandung flavonoid.
16
F. LANDASAN TEORI Kandungan kulit pisang Ambon menurut (Lee et al., 2010) adalah flavonoid, dan polifenol. Flavonoid dan fenol senyawa yang bermanfaat sebagai antioksidan (Winarsi, 2007). Senyawa antioksidan yang terdapat pada kulit pisang (Musa acuminate) yaitu katein, gallokatekin dan epikatekin yang merupakan golongan senyawa flavonoid (Someya et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, dkk., (2013), menunjukkan adanya kandungan flavonoid, tannin dan saponin pada getah kulit Pisang Goroho (Musa acuminate L.) yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat, dkk., (2013) menunjukkan bahwa jantung pisang klutuk (Musa balbisiana Colla) mengandung flavonoid, polifenol dan tannin. Aglikon yang kurang polar dari flavonoid seperti isoflavon, flavanon, flavonol dan flavon mudah larut dalam pelarut semi polar seperti etil asetat dan aseton (Harborne, 1987). Ekstrak etil asetat daun sirih merah mengandung alkaloid dan flavonoid sebagai antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 127,74 µg/mL (Rachmawati dan Ciptati, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh (Wachida, 2010; Nirmalasari, 2013) membuktikan bahwa etil asetat dapat melarutkan senyawa flavonoid, dalam hal ini pada bunga rosella.
G. HIPOTESIS Berdasarkan landasan teori diatas dapat diambil hipotesis bahwa fraksi etil asetat ekstrak etanol kulit pisang raja (Musa paradisiaca var. Raja) memiliki aktivitas antioksidan yang dapat ditetapkan dengan metode DPPH serta mengandung senyawa golongan flavonoid.
17