BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak Tahun 1993 WHO menyatakan Tuberkulosis (TB) menjadi permasalahan global bagi masyarakat di dunia (Kemenkes RI, 2011). WHO menerapkan program Direct Observational Terapy Strategy (DOTS) sebagai strategi pemberantasan TB sebagai metode terbaru menggantikan metode terapi sebelumnya. Pada tahun 2013 WHO mendata Sejak 1995 terdapat sekitar 56 juta jiwa pasien yang sukses menjalankan terapi TB dan 22 juta jiwa terselamatkan. Berbagai kemajuan telah dicapai sejak tahun 2003, namun diperkirakan masih terdapat sekitar 8,7 juta kasus baru TB, dan sekitar 1,4 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2011). Data terbaru dari WHO pada tahun 2013 menyatakan Indonesia menempati peringkat ke 4 negara dengan kasus TB terbanyak di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan (WHO, 2013). Tujuh puluh lima persen pasien TB adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomis yakni berkisar antara 15-50 tahun, pasien dewasa yang terinfeksi TB diperkirakan akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan. Pasien TB akan kehillangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% selama terinfeksi TB dan jika meninggal dunia maka pasien TB akan kehilangan pendapatan setara dengan 15 tahun pendapatan selama hidup. Selain kerugian dari segi ekonomi, TB juga memberikan dampak buruk lainya secara sosialstigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2011).
2
Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4). Sejak 1969 penggendalian dilakukan secara nasional melalui puskesmas. Sejak 1977 mulai digunakan panduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan (Depkes RI, 2011). Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh Fayankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2011). Salah satu faktor utama yang berperan dalam pengobatan penyakit jangka panjang adalah faktor kepatuhan pasien. Rendahnya kepatuhan pasien dalam terapi jangka panjang akan berdampak pada efektifitas terapi yang akan berpengaruh pada kualitas hidup pasien dan kesehatan ekonomi pasien. Temuan yang didapat dalam rangka meningkatkan kepatuhan terapi akan sangat bermanfaat untuk pencegahan primer dari faktor risiko dan pencegahan sekunder terkait outcome kesehatan yang tidak diinginkan (WHO, 2003). Kepatuhan sendiri merupakan proses perilaku yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana pasien tinggal, praktek penyedia layanan kesehatan, dan System layanan kesehatan yang memberikan perawatan. Penting untuk mengenali pasien yang memiliki berbagai faktor risiko ketidakpatuhan pengobatan. Oleh karena itu dirasa sangat penting untuk terus mengakses kepatuhan pasien untuk kepentingan terapi (CMSA, 2006).
3
Case Management Adherence Guideline (CMAG) dibuat dari konsep WHO untuk membantu serta menilai, merencanakan, memfasilitasi dan mengadvokasi kepatuhan pengobatan pasien. Guidelines CMAG mempunyai fleksibilitas yang benar terhadap kepatuhan pasien secara individu yang dapat dinilai. Panduan ini dikembangkan untuk menggabungkan kepatuhan ke dalam alur kerja manajemen kasus biasa . Untuk pasien dengan terapi yang masih baru atau pasien dengan case management baru , pengetahuan dan motivasi dapat dinilai dengan menjalankan uji keterbacaan , pengetahuan , kemauan untuk berubah, dan alat dukungan sosial. Untuk pasien yang sudah berhasil dengan regimen terapi yang ada , Modified Morisky Scale (MMS) dapat digunakan untuk dengan cepat menentukan penempatan kategori kepatuhan sesuai kuadran kepatuhan untuk tujuan mengembangkan dan merencanakan perbaikan kepatuhan pasien (CMSA, 2006). B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pola pengobatan pasien tuberkulosis paru dewasa rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015? 2. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis paru dewasa rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015? 3. Apa faktor yang mendukung tingkat kepatuhan pengobatan pasien tuberkulosis paru rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015?
4
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui pola pengobatan pasien tuberkulosis paru dewasa rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015.
2.
Mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis paru dewasa rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015.
3.
Mengetahui faktor-faktor yang mendukung tingkat kepatuhan pengobatan pasien tuberkulosis paru rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015. D. Manfaat Penelitian
1.
Memberikan informasi terkait tingkat kepatuhan pengobatan pada pasien (rawat jalan) tuberkulosis paru dewasa di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015.
2.
Memberikan informasi terkait tingkat pengetahuan pengobatan pada pasien (rawat jalan) tuberkulosis paru dewasa di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015.
3.
Memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mendukung tingkat kepatuhan pasien paru rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014-Januari 2015.
4.
Memberikan motivasi kepada pasien bahwa kepatuhan dalam pengobatan bermanfaat untuk kesembuhan pasien
5
E. Tinjauan Pustaka 1.
Penyakit Tuberkulosis a. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosis berbentuk batang dan merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru (80%) atau di berbagai organ tubuh lainya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari (Tabrani, 2003; Depkes RI, 2005). Menurut DiPiro et al. (2006), tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang tingkat prevalensinya tinggi di dunia. Jika tidak diterapi atau tidak diterapi dengan tepat, TB dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang progresif dan menyebabkan kematian. Kuman TB dapat menyebabkan infeksi yang tidak terdeteksi (silent infection), infeksi laten, progresif, atau penyakit yang aktif. Tanpa terapi atau terapi yang tidak tuntas, TB dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang progresif, bahkan hingga kematian. Kuman TB di Amerika juga dijuluki “consumption” karena kehilangan berat badan yang bermakna yang diderita oleh orang yang terinfeksi. Ada juga yang menyebutnya sebagai “wasting disease” dan “the white plague” karena sejumlah plak yang ditimbulkanya pada organ yang terinfeksi (Dipiro et al., 2006).
6
b. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis (TB) akibat Mycobacterium tuberkulosis diperkirakan telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia dengan 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian wanita akibat kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes RI, 2011).
Gambar 1. Insidensi 22 negara dengan masalah terbesar TB (high burden country) (WHO, 2013).
Pada tahun 1990-an situasi TB dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkan dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan.
7
Terutama pada 22 negara dengan masalah terbesar TB (high burden countries). Oleh karena itu pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (Depkes RI, 2011). Data terbaru dari WHO pada tahun 2013 menyatakan Indonesia menempati peringkat ke 4 negara dengan kasus TB terbanyak di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan (WHO, 2013). c. Patofisiologi/ Patogenesis Tuberkulosis ditularkan melalui udara yang terkontaminasi oleh kuman M. tuberkulosis. Kuman ini bisa menetap di udara bebas selama 1-2 jam tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet, ada tidaknya ventilasi dan kelembaban. Keadaan yang lembab dan gelap dapat menjadikan kuman tuberkulosis tahan berhari-hari hingga berbulan-bulan (DepKes RI, 2007). Lesi pertama terjadinya penyakit TB berawal dari proses inhalasi dari pasien TB. Proses awal inhalasi menyebabkan kebanyakan bacilli tuberculosis berada di mukosa pada saluran pernafasan (trakhea dan bronkus), dan bacilli tersebut dieliminasi oleh mekanisme pertahanan mukosiliari. Partikel yang sangat kecil atau droplet nuklei yang berukuran 5µm dapat beraksi seperti gas sehingga mampu menembus barrier dan dapat masuk ke alveolus, dimana mereka akan segera difagosit oleh alveolar makrofag (Palomino et al., 2007). Kuman TB dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, setelah itu kuman TB dapat menyebar dari paru-paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
8
nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya. Infeksi yang terjadi melalui saluran pernafasan akan membuat peradangan bagian dalam alveoli (gelembung paru). Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat (DepKes RI, 2005). Berdasarkan transmisinya maka tuberkulosis dapat dibagi menjadi : 1)
Tuberkulosis Primer Menurut DiPiro et al. (2008), Infeksi primer terjadi akibat menghirup partikel udara (droplet) yang mengandung kuman M. Tuberkulosis. Droplet ini berisikan satu sampai tiga basili berukuran cukup kecil (15 mm). Tuberkulosis primer terjadi saat seorang terpapar pertama kali dengan kuman M. Tuberkulosis. Droplet yang sangat kecil dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan menetap di alveolus.
Infeksi
dimulai saat
kuman tuberkulosis
berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru (DepKes RI, 2005).
9
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan gejala primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau format (tidur). Terkadang daya tahan tubuh tidak mampu mengkentikan pertumbuhan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi penyakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Danususantoso, 2000). 2)
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) Menurut Rab (1996) tuberkulosis Post primer terjadi karena imunitas menurun yang disebabkan oleh malnutrisi, pecandu alkohol, Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), dan gagal ginjal. Kuman tuberkulosis disebarkan melalui hematogen ke bagian segmen apikal posterior atau melalui metastasis hematogen ke berbagai jangan tubuh. Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas dari tuberkulosis pasca
10
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2002). d. Penegakan Diagnosis 1) Gejala Klinis Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah, sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat di malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam dan meriang lebih dari sebulan (DepKes RI, 2011). 2) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), (a) S (sewaktu). Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. (b) P (Pagi). Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan.
11
(c) S (sewaktu). Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium (DepKes RI, 2011). 3) Profil Radiologis Gambaran foto torax yang menunjang diagnosis tuberkulosis adalah infiltrat atau modular, terutama pada lapangan atas paru , kavitas, kalsifikasi, efek Ghon, atelektasis, milier atau tuberkuloma (bayangan seperti coin lesion) (Rab, 1996). 4) Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini biasa digunakan untuk menegakan diagnosis TB pada anak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tes Mantoux (penyuntikan dengan cara intra kutan). Uji tuberkuin yang positif menunjukan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Uji tuberkulin dapat negatif pada anak dengan kasus TB berat disertai sinergi (malnutrisi, penyakit sangat berat dengan pemberian imunosupresif, dan lain-lain) (Depkes RI, 2006). e. Klasifikasi Tuberkulosis Klasifikasi tuberkulosis dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
12
1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena. (a) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus. (b) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru (DepKes RI, 2006). 2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis Keadaan ini terutama ditujukan pada TB Paru: (a) Tuberkulosis paru BTA positif. (1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. (2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. (3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. (4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. (b)Tuberkulosis paru BTA negatif. Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: (1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS
13
hasilnya BTA negatif (2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis. (3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. (4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan (DepKes RI, 2007). 3) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu: (a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA pada pasien pada kasus ini bisa positif atau negatif (b) Kasus yang sebelumnya diobati. (1) Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan
sembuh
atau
pengobatan
lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. (2) Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
14
(3) Kasus Pindahan (transfer in) adalah pasien yang dipindahkan pada
register
fasyankes
lain
untuk
melanjutkan
pengobatannya. (c) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti : (1) tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, (2) pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, (3) kembali diobati dengan OAT untuk pengobatan TB BTA negatif. (Depkes RI, 2005). f. Transmisi Sumber penularan TB paru BTA positif adalah penderita tuberkulosis paru BTA positif itu sendiri. Penularan dapat terjadi pada waktu batuk atau bersin karena menyebarnya kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet terhirup ke saluran pernapasan. Kuman tuberkulosis selanjutnya dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2007). 2.
Tata Laksana Terapi Tuberkulosis Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
15
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Depkes RI, 2011). a. Prinsip Pengobatan Dalam rangka memaksimalkan pengobatan, prinsip pengobatan tuberkulosis harus dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Tidak diperbolehkan menggunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi
Dosis
Tepat
(OAT-KDT)
lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan b) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOTS = Direct Observed Treatment Shortcourse) seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) c) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap. Yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap awal (intensif) i. Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi. ii. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien tidak lagi berpotensi menularkan kuman TB dalam kurun waktu 2 minggu iii. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan
16
2. Tahap Lanjutan (1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu lebih lama (2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan 3.
Obat Anti Tuberkulosis a. Regimen terapi OAT Penggunaan OAT yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas 3 mekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri, aktivitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol,
Rifampisin,
Pirazinamid,
dan
Streptomisin.
Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan streptomisin dan rifampisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah atrium para amino salisilat, kapreomisin, sikloserin, etionamid, kanamisin, rifanpetin, dan rifabutin. Atrium para amino salisilat, kapreomisin, sikloserin, etionamid, dan kanamisin umumnya mempunya efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Adapun rifapetin dan rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk rifampisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.
17
Regimen
pengobatan
TB
mempunyai
kode
standar
yang
menunjukan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE. Kode huruf adalah akronim dari nama obat yang dipakai. Yakni : H= Isoniazid, R= Rifampisin, Z= Pirazinamid, E= Ethambutol, S= Streptomisin. Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukan waktu atau frekwensi. Angka 2 di depan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf seperti “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan). Tabel I. Panduan Pengobatan Atandar yang Direkomendasikan oleh WHO dan International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) (DepKes RI, 2006). Kategori 1 2HRZE/4H3R3 2HRZE/4HR 2HRZE/6HE Kategori 2 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2HRZES/HRZE/5HRE Kategori 3 2HRZ/4H3R3 2HRZ/4HR 2HRZ/6HE Keterangan: H= Isoniazid, R= Rifampisin, Z= Pirazinamid, E= Ethambutol, S= Streptomisin
Panduan
OAT
yang
digunakan
oleh
Program
Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia : a) Kategori 1,
2(HRZE)/4(HR), tahap intensif terdiri dari HRZE
diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan
18
tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif, penderita TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat, dan penderita TB ekstra paru. b) Kategori 2, 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3, tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya pernah diobati, yakni : penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). c) Kategori 3, 2(HRZ)/4(HR)3, tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan selama 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan penderita TB ekstra paru ringan. d) OAT sisipan, 1(HRZE), bila akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih
19
BTA positif, diberikan obat sisipan HRZE selama 1 bulan (Depkes RI, 2006). Obat paket tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama puskesmas, balai pengobatan paru, RSU dan dokter praktek swasta yang telah bekerjasama dengan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (Depkes RI, 2006). 1) Obat Anti Tuberkulosis FDC (Fix Dose Combination) Obat Anti Tuberkulosis dosis tetap atau Fix Dose Combination merupakan obat dengan regimen dalam bentuk kombinasi yang didalamnya sudah berisi 2, 3, atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. . Obat anti tuberkulosis FDC ini tersedia di seluruh penyedia layanan kesehatan lini pertama dan diberikan secara cuma-cuma. Panduan pengobatan OAT-FDC yang tersedia saat ini di Indonesia terdiri dari : 2 (HRZE) / 4 (HR) 3
untuk kategori 1 dan 3
2 (HRZE) S/1 (HRZE) / 5 (HR) 3E3
untuk kategori 2
20
Tabel II. Jenis OAT-FDC yang tersedia di program penanggulangan TB (DepKes RI, 2006).
Tablet OAT – FDC
Komposisi
Pemakaian
4FDC
75mg INH
Tahap intensif / awal
150mg Rifampisin 400mg Pirazinamid 2FDC
150mg INH
Tahap lanjutan
Pelengkap panduan kategori -2 : Tablet etambuthol @ 400mg Injeksi (vial) streptomisin 750mg
Tabel III. Dosis Pengobatan Kategori 1 dan Kategori 3 (DepKes RI 2005). Berat Badan TAHAP INTENSIF TAHAP LANJUTAN
(setiap hari selama 2
(3 kali seminggu selama 4
bulan)
bulan)
30 – 37 kg
2 tablet FDC
2 tablet 2FDC
38 – 54 kg
3 tablet 4FDC
3 tablet 2FDC
55 – 70 kg
4 tablet 4FDC
4 tablet 2FDC
>70 kg
5 tablet 4FDC
5 tablet 2FDC
b. Adverse Drug Reaction OAT Respon Obat yang Tidak Diharapkan (ROTD) menggambarkan respon terhadap suatu obat yang tidak berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis, maupun terapi (WHO, 2003). Respon obat yang tidak diharapkan dibagi menjadi 2 kelompok utama, yakni reaksi tipe A dan reaksi tipe B. Reaksi tipe A(augmented), merupakan reaksi yang muncul berlebihan terkait dengan dosis obat yang diminum. Sedangkan reaksi tipe B (bizzare) merupakan reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali dengan dosis (Aslam, 2003).
21
Obat-obat tuberkulosis memiliki beberapa efek yang tidak diharapkan. Tabel IV. Efek Samping Ringan dan Berat OAT (Depkes RI, 2011).
Efek Samping
Ringan
Berat
Penyebab
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut
Rifampisin
Nyeri sendi
Pirasinamid
Kesemutan hingga rasa terbakar di kaki
INH
Warna kemerahan pada air seni (urine)
Rifampisin
Gatal dan kemerahan kulit
Semua jenis OAT
Tuli
Streptomisin
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Ikterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Bingung dan muntah-muntah (permulaan
Hampir semua OAT
ikterus karena obat)
4.
Gangguan penglihatan
Etambutol
Purpura dan renjatan (syok)
Rifampisin
Outcome Terapi Tuberkulosis Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan ini lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Depkes RI, 2011).
22
Tabel V. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak (DepKes RI, 2011). Tipe Pasien Tahap Hasil Tindak Lanjut TB Pengobatan Pemeriksaan Dahak Negatif Tahap lanjutan dimulai Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, Akhir tahap Tahap lanjutan tetap diberikan intensif Positif Jika memungkinkan, lakukan biakan tes resistensi atau rujuk ke layanan TBMDR Negatif Pengobatan dilanjutkan Pengobatan diganti dengan OAT Pada bulan kategori 2 mulai dari awal. Pasien baru ke-5 Positif Jika memungkinkan, lakukan biakan dengan pengobatan tes resistensi atau rujuk ke layanan TBpengobatan MDR kategori 1 Negatif Pengobatan dilanjutkan Pengobatan diganti dengan OAT Akhir kategori 2 mulai dari awal. Pengobatan Positif Jika memungkinkan, lakukan biakan (AP) tes resistensi atau rujuk ke layanan TBMDR Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih positif, Akhir Tahap lanjutan tetap diberikan Pasien paru Intensif Positif Jika memungkinkan, lakukan biakan, BTA positif tes resistensi atau tunjuk ke layanan dengan TB-MDR pengobatan Pada bulan Negatif Pengobatan diselesaikan ulang ke-5 Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke kategori-2 pengobatan layanan TB-MDR Akhir Negatif Pengobatan diselesaikan Pengobatan Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke (AP) layanan TB-MDR
5.
Kepatuhan Terapi Kepatuhan (adherence) adalah perilaku yang memerlukan persetujuan pasien yang kemudian menjadi aturan yang telah disepakati antara penyedia layanan kesehatan dengan pasien. Pasien harus menjadi mitra aktif tenaga kesehatan yang profesional dalam perawatan diri mereka sendiri dan terjadi
23
komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan adalah suatu keharusan untuk praktek klinis yang efektif (WHO, 2003). Kepatuhan merupakan suatu proses perilaku yang kompleks, yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal pasien, praktek penyedia layanan kesehatan, dan sistem layanan kesehatan yang memberikan perawatan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan, hal ini terkait dengan cara pandang pribadi pasien akan kebutuhan obat terhadap penyakitnya dengan berbagai kebutuhan, keinginan, dan kekhawatiran (mengenai efek samping, biaya, dan lain-lain) (DepKes RI, 2006). Pada penyakit kronis, ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengarahkan kepada hasil yang lebih buruk, tingkat perawatan di rumah sakit yang lebih tinggi, dan biaya pengobatan yang lebih tinggi (Kripalani, 2007). Sackett mengulas dari beberapa literatur bahwa tingkat kepatuhan pasien dengan terapi jangka panjang hanya 50%. Kegagalan ini memperlihatkan bahwa ketidak patuhan menjadi salah satu tantangan terapi terbesar bagi para profesional kesehatan (Suppapitiporn et al.,2005). Masalah Utama dalam pengobatan tuberkulosis adalah kelalaian pasien. Angka kelalaian yang ada pada klinik tuberkulosis dapat mencapai 40-60% dan jarang didapati angka kelalaian tersebut dibawah 15%. Kelalaian yang merupakan penyebab ketidakpatuhan pengobatan tuberkulosis tidak saja dapat menyebabkan kegagalan tetapi juga memperparah penyakit tuberkulosis tersebut dan penularan organisme yang resisten obat (Harison, 1999).
24
Untuk dapat menjalani terapi dengan baik atau mengikuti instruksi medis dengan tepat, pasien harus dapat memahami instruksi dengan baik, lalu mengingat instruksi tersebut. Selanjutnya pasien harus mampu melaksanakan instruksi secara prospektif. Untuk mencapai kepatuhan terapi pemahaman pasien sebaiknya tidak tebatas pada regimen terapi, tetapi juga mengenai informasi lain terkait pengobatan, seperti tujuan pengobatan (Park dan Meade, 2007). a. Faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi Kepatuhan merupakan proses perilaku yang kompleks, yang sangat dipengaruhioleh lingkungan dimana pasien tinggal, praktek penyedia layanan kesehatan, dan sistem layanan kesehatan yang memberikan perawatan. Penting untuk mengenali pasien yang memiliki berbagai faktor risiko ketidakpatuhan pengobatan, oleh karena itu dirasa sangat penting untuk terus mengakses kepatuhan pasien untuk kepentingan terapi (CMAS, 2006). Menurut Machtinger dan Bangsberg (2006), terdapat empat faktor yang paling mempengaruhi kepatuhan terapi, yaitu : 1) Karakteristik pasien Karakteristik pasien meliputi faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, ras/etnis, penghasilan, pendidikan,
status dalam rumah
tangga, status kepemilikan asuransi) dan psikososial (kesehatan mental, penggunaan senyawa senyawa adiktif, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap terapi yang dijalani). Berbagai studi
25
menunjukkan hasil yang berbeda beda mengenai hubungan antara faktor sosiodemografi dengan kepatuhan terapi, walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia yang lebih muda, ras kulit berwarna, pendapatan yang lebih rendah, dan kondisi rumah tangga yang tidak stabil dikaitkan dengan ketidakpatuhan terapi. Faktor yang tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan terapi adalah tingkat pendidikan dan stasus kepemilikan asuransi. Berbeda dengan sosiodemografi, hubungan yang lebih kuat ditemukan antara faktor psikososial dan kepatuhan terapi. Beberapa faktor yang memicu timbulnya ketidakpatuhan terapi antara lain depresi/morbiditas psikiatrik, penyalahgunaan obat atau alkohol, stres, rendahnya dukungan sosial, dan ketidakmampuan memahami regimen terapi. Hal ini sejalan dengan penelitian Manyeki (2012) yang menyatakan bahwa depresi, penyalahgunaan alkohol, dan kurangnya dukungan sosial dapat menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi. 2) Regimen terapi Faktor yang berkaitan dengan regimen terapi antara lain jumlah obat yang diresepkan, kompleksitas dari regimen, jenis obat, dan efek samping. Kompleksitas regimen dan efek samping merupakan faktor yang paling sering menyebabkan ketidakpatuhan. Penerapan dosis tunggal pada regimen terapi diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terapi.
26
3) Karakteristik penyakit Karakteristik penyakit meliputi stadium dan durasi penyakit, penyakit penyerta, dan gejala penyakit. a) Hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan Karakteristik hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan terapi antara lain kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diperoleh, kepercayaan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan dan petugas kesehatan, kondisi hubungan keduanya (kedekatan, keterbukaan, dan lain-lain), kesamaan ras/etnis antar keduanya, dan kesediaan keduanya dalam berinteraksi. Tidak banyak dilakukan penelitian mengenai pengaruh hubungan antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan. Terdapat studi yang menunjukkan kepercayaan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan terapi. b) Keadaan pelayanan kesehatan Faktor-faktor terkait pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan terapi antara lain akses terhadap pelayanan kesehatan primer, ketersediaan transportasi dan penitipan anak, kondisi lingkungan tempat pelayanan kesehatan, jadwal pertemuan dengan dokter, dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang pernah digunakan. b. Pengukuran kepatuhan terapi Terdapat beragam metode untuk mengukur tingkat kepatuhan terapi, berikut beberapa metode dalam Machtinger dan Bangsberg (2006).
27
1) Medication Event Monitoring System (MEMS) Cap Metode MEMS Cap menggunakan cip computer yang diletakkan di tutup botol obat yang telah didesain khusus untuk merekap waktu dan durasi setiap botol dibuka. Metode ini merupakan salah satu metode yang paling sensitif dalam mendeteksi ketidakpatuhan terapi, walaupun demikian terdapat beberapa keterbatasan pada akurasi dan kepraktisan metode ini. Sebagai contoh pasien tidak dapat menggunakan pill organizer atau kemasan blister yang biasa digunakan karena pasien harus mendapatkan semua dosis dari botol MEMS. Jumlah obat yang diambil setiap botol dibuka tidak dihitung, jika pasien mengambil obat dalam jumlah yang berlebih untuk diminum pada waktu minum obat selanjutnya, maka hal ini akan terdeteksi sebagai ketidakpatuhan. 2) Pill Counts Metode ini dapat dilaksanakan di klinik ataupun dengan kunjungan ke rumah pasien. Kepatuhan diukur dengan menghitung jumlah obat yang tersisa dan mengasumsikan apabila terdapat kelebihan jumlah obat maka ada dosis yang dilewatkan oleh pasien. Hal ini akan lebih mudah apabila pasien menggunakan pill organizer. Sensitivitas metode ini menjadi berkurang apabila pasien mengambil obat tetapi tidak meminumnya. 3) Biological markers Metode ini dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat dalam plasma pasien. Konsentrasi obat dalam plasma yang rendah dapat
28
mengindikasikan ketidakpatuhan terapi. Terdapat studi yang menyatakan metode ini kurang sensitif sebab konsentrasi obat dalam plasma dipengaruhi oleh banyak hal diluar kepatuhan terapi, misalnya malabsorpsi, interaksi obat, dan perbedaan metabolisme tiap individu. 4) Pharmacy refill data Metode ini dapat mengukur kepatuhan dengan melihat tanggal ketika obat diambil. Tanggal dapat diperoleh dari apotek atau penyedia layanan obat lain. Pada metode ini pasien dinyatakan telah melewatkan pengobatan ketika pengambilan obat tidak sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Selain keempat metode di atas, terdapat beberapa metode lain untuk mengukur tingkat kepatuhan terapi, antara lain : 5) Modified morisky scale (MMS) Pada pertengahan tahun 1980an, Morisky dan tim risetnya mengembangkan sebuah kuesioner untuk dapat memprediksi kepatuhan pasien terhadap pengobatan antihipertensi. Instrumen ini telah divalidasi dalam berbagai studi dan menunjukkan hasil psikometri yang baik. Sejak saat itu para peneliti di seluruh dunia telah mengembangkan penggunaan instrumen ini terhadap berbagai penyakit, seperti diabetes dan PPOK. Kuesioner MMS yang belum diterjemahkan dapat dilihat pada Tabel VI.
29
Tabel VI. Kuesioner MMS yang Belum Diterjemahkan (CMSA, 2006).
Question 1. Do you ever forget to take your medicine? 2. Are you careless at times about taking your medicine 3. When you feel better do you sometimes stop taking your medicine? 4. Sometimes if you feel worse when you take tour medicine, do you stop taking it? 5. Do you know the long-term benefit of taking your medicine as told to you by your doctor or pharmacist? 6. Sometimes do you forget to refill your prescription medicine on time?
Motivation Yes (0)
No (1)
Yes (0)
No (1)
Yes (0)
Knowledge
Yes (0)
No (1)
Yes (0)
No (1)
Yes (1)
No (0)
No (1)
Pertanyaan 1, 2, dan 6 mengindikasikan aspek motivasi dari kepatuhan. Sedangkan pertanyaan 3, 4, dan 5 mengindikasikan aspek pengetahuan dari kepatuhan. Selanjutnya kedua aspek (motivasi dan pengetahuan) dimasukkan ke dalam domain kepatuhan, terdapat tiga domain, yaitu kepatuhan tinggi, sedang/ berubah-ubah, dan rendah. (CMSA, 2006). 6) SMAQ SMAQ
(Simplified
Medication
Adherence
Questionnaire)
merupakan kuesioner yang dibuat berdasarkan Morisky Scale (MS), dengan beberapa tambahan dan pengurangan pertanyaan. Simplified Medication Adherence Questionnaire terdiri atas 6 butir pertanyaan yang terdiri dari 4 pertanyaan kualitatif dan 2 pertanyaan kuantitatif. Jawaban pertanyaan pada SMAQ menunjukkan indikasi positif apabila pasien tidak patuh. SMAQ menggabungkan pengukuran multidimensional dengan pengukuran dosis yang terlewat, sehingga perbedaan antara variabel patuh dan tidak patuh akan menjadi jelas (Knobel dkk, 2002).
30
6.
Pelayanan Tuberkulosis dari Tenaga Kesehatan Topik yang penting dan banyak dibahas dalam perawatan kesehatan adalah interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan. Sifat hubungan ini sangat penting karena merupakan faktor utama yang menentukan hasil konsultasi medis, seperti rasa puas pasien, kepatuhan aturan medis, dan akhirnya dengan hasil kesehatan (Smith, 2002). Berdasarkan CMAG faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pengobatan antara lain faktor dari perilaku dan pelayanan tenaga kesehatan. Waktu menunggu yang terlalu lama untuk mendapatkan pengobatan serta prosedur berobat yang rumit memiliki andil dalam keberhasilan pengobatan. Suatu penelitian menunjukan hanya 31% pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan dokternya yang benar2 patuh, sedangkan yang menunggu 30 menit, 67% dari pasien tersebut benar2 patuh (Siregar dan Kumolosari, 2005). F. Keterangan Empiris Penelitian dilakukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan dan faktorfaktor yang mempengaruhi pengobatan pada pasien tuberkulosis paru dewasa rawat jalan di RS. Khusus Paru Respira (BP4) UPKPM Minggiran Kota Yogyakarta periode Oktober 2014 - Januari 2015. Kepatuhan pengobatan pasien rawat jalan di BP4 UPKPM Minggiran periode Oktober 2014 - Januari 2015 didapat berdasarkan instrumen MMS (Modified Morisky Scale),
31
sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan pasien didapat berdasarkan instrumen guideline manajemen kepatuhan CMAG (Case Management Adherence Guideline ). Berikut adalah skema jalannya penelitian : Persiapan Penelitian Proposal Penelitian
Wawancara dengan Pasien
Perijinan Penelitian
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisa dan Interpretasi Data
Penarikan Kesimpulan Gambar 2. Skema jalannya penelitian.
Pemberian Kuisioner
32